Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan
suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama (kronis) yaitu
lebih dari 3 bulan. Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko yang kemudian
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan biasanya berakhir dengan
gagal ginjal.1 Definisi CKD berdasarkan The Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) adalah kerusakan ginjal
secara structural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau
penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam
waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2
Angka peningkatan kasus dialisis di negara barat meningkat 6-8% per tahun
menunjukkan CKD telah menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan.
Peningkatan yang progresif di Amerika Serikat adalah meningkatnya penderita CKD
yang membutuhkan terapi pengganti ginjaldalam dua dekade terakhir. 1 Jumlah penderita
CKD di Indonesia sendiri pun makin meningkat.3
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari,
yang mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron
sehingga mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal
pada CKD menurun dan menyebakan berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan
penyakit gagal ginjal kronik stadium I - III umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan
manifestasi klinis biasanya muncul pada stadium IV - V. Manifestasi klinis CKD dapat
sesuai dengan penyakit yang mendasari, adanya sindrom uremia, maupun gejala dari
komplikasi yang ditimbulkan.1
Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan
lingkungan karena melibatkan modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun CKD merupakan penyakit
yang ireversibel, akan tetapi dengan penanganan yang baik akan dapat mengurangi
gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.1

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IdentitasPasien
Nama : Tn. MT
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kota Baru
Masuk RS : 06J uni 2023
No. MR : 096274
Pekerjaan : Petani

B. Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien mengeluh badan terasa lemas sejak ±1minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Sejak 2 Bulan SMRS, pasien mengalami bengkak di seluruh badan,
awalnya bengkak hanya terjadi di kedua kaki namun lama kelamaan sampai
keseluruh wajah. Bengkak progresif. Jika ditekan kulit tidak kembali normal.
Pasien merasa seluruh badan terasa berat. Selain bengkak, pasien juga merasa
BAK semakin sedikit, sehari hanya dua kali BAK.
Sejak 1 bulan SMRS, pasien berobat ke dokter spesialis penyakit dalam
dan disarankan untuk melakukan cuci darah karena pasien mengalami gangguan
ginjal tahap akhir. Sejak saat itu pasien rutin cuci darah dua kali seminggu yaitu
pada hari selasa dan jumat.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien merasa seluruh badan lemas, pasien
merasa tidak bertenaga. Keluarga mengatakan wajah dan tangan pasien juga
semakin pucat, keluhan ini semakin hari semakin bertambah, diperberat dengan
penurunan nafsu makan. Keluhan progresif tidak makin ringan. Pasien juga
merasa lesu, ada mual dan muntah yang lebih sering, isi muntahan adalah apa
yang dimakan oleh pasien. Muntah sekitar 5 kali perhari terutama setelah makan.

2
Muntah berwarna kekuningan disertai makanan yang baru ia cerna sebanyak
seperempat gelas belimbing di setiap muntah. Sejak saat itu, ulu hatinya menjadi
terasa sakit dan terasa tidak nyaman. Pasien mengaku buang air kecil tidak
banyak. Karena keluhan dirasakan semakin memberat, pasien memeriksakan diri
ke IGD RS Baiturrahim Jambi.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat DM Tipe 2 (+) sudah 7 tahun
 Riwayat hipertensi (+) sudah 2 tahun
 Riwayat sakit jantung (-)
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat konsumsi obat rutin (-)
 Riwayatkeganasan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat penyakit yang sama dikeluarga (-)
 Riwayat DM (+)
 Riwayat sakit jantung (-)
 Riwayat keganasan (-)
 Riwayat penyakit keturunan (-)

C. PemeriksaanFisik

a. Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : CM (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Frekuensi Jantung : 100 x/menitreguler
Frekuensi Nafas : 23 x/menit
Temperatur : 37oC
Berat Badan : 45 Kg

3
b. Status General
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Kembali cepat
Ikterus : (-)
Anemi : (+/+)
Sianosis : (-)
Hidrasi : cukup

Kepala
Bentuk : Kesan Normocephali
Rambut : Berwarna hitam, agak jarang,tidakmudah dicabut
Mata : pupil isokor, refleks cahaya (+/+), sklera ikterik
(-/-)
Telinga : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-),perdarahan (-/-)

Mulut
Bibir : Kering (-), Sianosis (-)
Gigi geligi : Karies (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)

Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran KGB (-)
Peningkatan JVP : (5 + 3 cm H2O)
Kelenjar tiroid : Tidak teraba pembesaran
Axilla : Pembesaran KGB (-)

4
Thorax
Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis terlihat
 Palpasi : Ictus kordis teraba di ICS V MCL Sinistra
 Perkusi batas Jantung
Batas atas : sela iga II garis sternalis kanan
Batas kanan : 1 cm garis midsternalis dextra
Batas kiri : sela iga V midclavicular line sinistra
 Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-)

Pulmo
 Inspeksi : Pergerakandinding dada simetris
 Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil kiridan kanandbn
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi :Suaranafasvesicular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, iikatrik (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) epigaster
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) dbn

Ekstremitas
Superior : Akralhangat, CRT <2 detik, edem (-), anemis (+/+)
Inferior : Hangat, CRT <2 detik, anemis(+/+)

D. PemeriksaanPenunjang
Darah Rutin (06-06-2023)
Pemeriksaan Hasil Nilai
Hematologi Rujukan
WBC 12.47 4-10.0
Neutrofil% 88.1 55-75

5
Limfosit% 5.8 20-35
Monosit% 4.0 2-6
Eosinofil% 1.7 1-3
Basofil% 0.4 0.0-1.0
RBC 2.07 3.5-4.5
HGB 5.8 12-14
HCT 17.7 37-43
MCV 85.4 81-99
MCH 28.2 28-33
MCHC 33.0 32-36
RDSW-CV 12.1 11.6-14.8
RDW-SD 44.0 35-56
PLT 220 150-400
MPV 7.6 6.5-12
PDW 16.2 9.0-17.0
PCT 0.167 0.108-0.282
GDS 202 <200
Kesan : Anemia normositik normokromik, leukositosis, hiperglikemia

FaalGinjal (6/6/2023)
Jenis Hasil Nilai Rujukan Satuan
Pemeriksaan
Ureum 127 10-50 mg/dL
Kreatinin 6.8 0.9-1.3 mg/dL
Kesan : Hiperuremia

Elektrolit (6/6/2023)
Jenis Hasil Nilai Rujukan Satuan
Pemeriksaan
Kalium 4.1 3.5 – 5.5 umol/L
Natrium 136.35 135 - 145 umol/L

6
Calcium 0.83 1.10 – 1.35 umol/L
Chlorida 100.54 96 – 106 umol/L
Kesan : Hipokalsemia

E. DiagnosaKerja
1. Diagnosis utama : Anemia Renalis ec CKD stage V
2. Diagnosis Sekunder : CKD stage V on Hemodialisa rutin +
Hiperglikemia pada DM tipe 2 + Leukositosis

F. Tatalaksana
a. Non Farmakologi
 Istirahat tirah baring
 Pantau keluhan, tanda-tanda vital dan keseimbangan cairan
 Diet diabetes bentuk makanan lunak 1900 kkal
b. Farmakologi (IGD)
 O2 2 lpm via nasal kanul
 IVFD NaCl 0.9% 500 cc/24 jam
 Transfusi PRC sampai Hb ≥ 8 gr/dl, premedikasi dengan inj.
Dexametason 2 amp iv
 Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr iv
 Inj. Ondansentron 3 x 4 mg iv
 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg iv
 PO. Asamfolat 3 x 1 tab
 PO. Bicnat 3x1 tab
 PO. CaCO3 3x1 tab

G. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad malam
Ad Sanactionam : dubia ad malam

7
Follow Up
06/06/2023
S Lemas, pucat, BAK sedikit
O GCS: 15 GDS Premeal
TD: 140/90 1. Malam :511 mg/dl
N :90 x/i
RR: 20 x/i
SpO2 :99 % free air
T : 36.1
Mata: CA +/+
Jantung: SI/II reg m- g-
Pulmo: SNV +/+, Rh-/-,Wh-/-
Abd: BU (+), soepel, NT (-)
Eks: akralhangat, anemis (+), CRT < 2 dtk,

A Anemia Renalis+ CKD stage V on Hemodialisarutin + Hiperglikemia pada DM tipe 2 +


Leukositosis
P  O2 2 lpm via nasal kanul - RencanaHemodialisatanggal 7-06-2023
 IVFD NaCl 0.9% 500 cc/24 jam - RencanaTransfusi PRC sampai Hb ≥ 8
 Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr iv gr/dl, premedikasidengan inj.
 Inj. Ondansentron 3 x 4 mg iv Dexametason 2 amp iv
 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg iv - Rencanacek DR post transfuse 2 kolf
 Inj. Insulin novorapid premeal PRC
 PO. Paracetamol 3x500 mg
 PO. Candesartan 1 x 8 mg
 PO. Asam folat 3 x 1 tab
 PO. Bicnat 3x1 tab
 PO. CaCO3 3x1 tab

8
07/06/2023
S Lemas, pucat, nafsumakanmenurun, BAK sedikit
O GCS: 15 GDS Premeal
TD: 130/80 2. Pagi : 511 mg/dl
N :88 x/i 3. Siang : 561 mg/dl
RR: 22 x/i 4. Malam : 237 mg/dl
SpO2 : 100 % free air
T : 36.6
Mata: CA +/+
Jantung: SI/II reg m- g-
Pulmo: SNV +/+, Rh-/-,Wh-/-
Abd: BU (+), soepel, NT (-)
Eks: akralhangat, anemis (+), CRT < 2 dtk,

A -Anemia Renalis+ CKD stage V on Hemodialisarutin + Hiperglikemia pada DM tipe 2 +


Leukositosis
P  O2 2 lpm via nasal kanul - RencanaHemodialisahariini
 IVFD NaCl 0.9% 500 cc/24 jam - RencanaTransfusi PRC sampai Hb ≥ 8
 Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr iv gr/dl, premedikasidengan inj.
 Inj. Ondansentron 3 x 4 mg iv Dexametason 2 amp iv
 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg iv - Rencanacek DR post transfuse 2 kolf
 Inj. Insulin novorapid premeal PRC
 PO. Paracetamol 3x500 mg
 PO. Candesartan 1 x 8 mg
 PO. Asam folat 3 x 1 tab
 PO. Bicnat 3x1 tab
 PO. CaCO3 3x1 tab

9
08/06/2023
S Tidakadakeluhan
O GCS: 15 DR post transfusi PRC 2 kolf
TD: 120/80  Hb 8.7 gr/dl
N :88 x/i  WBC 15.650
RR: 22 x/i  Neutrofil 86.3 %
SpO2 :98 % free air  RBC 3.04
T : 36.5
 HCT 25.6 %
Mata: CA +/+
 PLT 212.000
Jantung: SI/II reg m- g-
Pulmo: SNV +/+, Rh-/-,Wh-/- GDS 437 mg/dl
Abd: BU (+), soepel, NT (-) HbA1C : 9.0 %
Eks: akralhangat, anemis (-), CRT < 2 dtk,

A CKD stage V on Hemodialisarutin + DM tipe 2 + Leukositosis


P  Insulin lantus 1x 10 unit SC - Rencana Rawat Jalan
 Insulin novorapid 3x12 unit SC - Rencanakontrolulangtanggal 15 juni
 PO. Candesartan 1 x 8 mg 2023
 PO. Asam folat 3 x 1 tab
 PO. Bicnat 3x1 tab
 PO. CaCO3 3x1 tab

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu
proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialysis atau transplantasi ginjal. 1 Kerusakan ginjal
mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang
bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah
pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara
bersamaan pada hampir semua kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah
kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio> 30
mg/g; total protein-creatinine-ratio> 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan
elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau
riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60
ml/menit/1,73 m2 ) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan
struktural ginjal.2

2). Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical
practice guideline for evaluation and management of CKD. 2013;3(1).

3.2 Klasifikasi

11
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat penyakit dan
berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit didasarkan pada LFG
yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai berikut :

Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80


tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita
Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis),
atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap (amputasi).1 Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2

Tabel 1.Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:2


Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi

12
Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau
tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau
patologis dariginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2

Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal

13
3.3 Epidemiologi

Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktek
klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10- 13% daripopulasi. Di
Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang menderita Chronic
Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di Australia mengalami Chronic Kidney Disease.4
Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per
juta penduduk per tahun.1
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang lebih rendah
dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes 2013 prevalensi
meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan
kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang dilakukan PerhimpunanNefrologi
Indonesia melaporkan sebayak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan
fungsi ginjal.4

3.4 Etiologi

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat penyebab


gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 4. Walaupun
menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014, hipertensi muncul sebagai
penyebab tertinggi.3
Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2000
dan Tahun 2014

14
3.4.1 Diabetes Melitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita
seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin
yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada.
Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar glukosa
dalam darah.6
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran
darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh
darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa
darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan albumin dapat
melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal
tersebut tidak seharusnya terjadi. 6
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf
membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk
memberi tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf
pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat
merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung kemih
yang tinggi akan dapat merusak ginjal. 7
Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai
dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses
penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus
tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga
dapat berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan
diabetes mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya
muncul diawali dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik
yangterlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila
pasien tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis
juga akan muncul. Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1

15
bergantung dan diobati dengan exogenous insulin yang digunakan sehari-
hari disertai dengan diet makanan yang sudah direncanakan.1,8

2. Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang
dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi
dari resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan
sekresi glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di
tangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan
gangguan pada sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan
juga neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi
gangguan arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer.
Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat
mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun perifer.8

3.4.2 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan
sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak
diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder apabila diketahui penyakit
pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif
merupakan salah satu penyebab CKD. 6
Faktor resiko dari CKD juga dapat dibagi berdasarkan1,6:
a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik,
infeksi saluran kencing, batu kandung kencing, obstruksi saluran kencing
bawah, keganasan, riwayat keluarga CKD, penurunan massa ginjal,
paparan banyak obat, serta berat lahir rendah.
b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan kimia
dan kondisi lingkungan dan rendahnya pendidikan.

16
3.5 Patogenesis dan Patofisiologi CKD

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada
ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal glomerulus, sel
endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan secara langsung
oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh
mekanisme progresif yang berlangsungdalamjangka panjang.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal
ikut memberikan kontribus iterhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.

17
Gambar 1. Patogenesis CKD

3.6 Manifestasi Klinis CKD

Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2
seringkali asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala. Pasien belum mengalami gejala
gangguan keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari system endokrin dan
system metabolik. Gejala seringkali mulai muncul pada pasien dengan CKD derajat IV
hingga V dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada
tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut
dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering memperlihatkan
tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2,5
Manifestasi klinis berupa sindroma berkemih pada pasien dengan CKD derajat
V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun dengan jenis yang belum
diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang dialami ginjal pada CKD dapat
menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang bermanifestasi menjadi edema
paru dan hipertensi karena volume cairan meningkat.2,5

18
Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada CKD terjadi
akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang bermanifestasi menjadi gejala-
gejala anemia yaitu lemas, penurunan kemampuan dalam berkegiatan, penurunan fungsi
imun, dan penurunan kualitas hidup. Insiden anemia pada CKD meningkat seiring
dengan menurunnya LFG.11 Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit
kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari penyakit
gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh sistem
kardiovaskular.2,5
Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD, terutama
pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat, diuraikan sebagai
berikut:7
 Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade
jantung, yang dapat menyebabkan kematian.
 Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian - Neuropati
perifer - Restless Leg Syndrome
 Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
 Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
 Lemas, malnutrisi
 Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
 Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk perdarahan.

3.7 Diagnosis CKD

Diagnosis pasti sering memerlukan biopsy ginjal yang meskipun sangat jarang
dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, biopsy ginjal
dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat ditegakkan dengan
biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan merubah baik pengobatan maupun
prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
yang lengkap dan factor penyebab yang didapat dari evaluasi klinik dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pencitraan ginjal.5

19
3.7.1 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1


1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida).

3.7.2 Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium CKD meliputi:1


1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria

3.7.3 Gambaran Radiologis

Pemeriksaanradiologis CKD meliputi:1


1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

20
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

3.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan


ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak
bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5

3.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan CKD meliputi1 :


a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal Perencanaan
tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya dapat dilihat pada tabel
berikut.1

Tabel 5.RencanaTatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1

21
3.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran
ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.1,2

3.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal ini
untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor
komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 1,2

3.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus.


Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1
1. Restriksi Protein.
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel
berikut: 1

Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD

22
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada
penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8
gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi)
dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien
CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain
dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain
itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan
meningkatkan perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkanpemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dan kalori
dapat ditingkatkan.1,5
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena
pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien HD
kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi
kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid,
gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak adekuat,
overhidrasi interdialitik.7

23
2. Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait
dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya
perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat
enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. 1
3. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan. 1
1. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-
obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe
1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%. 8
2. Hipertensi
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/
ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian dilakukan
evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >
35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan. 1,2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin
reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek
samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker,
seperti verapamil dan diltiazem. 1,2

24
3. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl dianjurkan golongan
statin. 1
4. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan
dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah
(perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek
akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum tulang,
proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi,
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis. Pemberian transfusi pada CKD harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi
darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal. 1,2
5. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara
umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan
telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi.
Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien CKD dengan
hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium,
aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium
asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-
akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca
pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini
disebut juga calcium mimetic agent. 1,2
6. Kelebihan Cairan

25
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang
dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible
water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800
ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K
sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan
hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu
pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi
kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan
3.5-5.5 mEq/lt. 1,2
7. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia
dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah
mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah
hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi: 1
 Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta
sayuran rendah kalium;
 Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.

Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu: 1,2


 Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
 Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
 Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram
glukosa
 Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)

8. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l


Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.
Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat,
sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.

3.9 Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi

26
3.9.1 Anemia

Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan produksi
eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut berkontribusi
antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang pendek pada CKD dan
faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran
cerna tersembunyi dan malnutrisi dapatmenambah beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi
harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Tujuan
pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah
pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:1
 Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
 Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
 Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun yang
telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena.1

3.9.2 Terapi pengganti ginjal

Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi
tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
Pembuatan akses vascular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin
dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vascular jika klirens kreatinin telah
dibawah 20 ml/menit.
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal. 4,6 Hemodialisis digunakan
pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau

27
permanen. Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen dan racun lain
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. 2 Pada penderita
gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis bukan
bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari
gagal ginjal, tetapi terapi hemodialisa ini bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal
sebagai alat filtrasi dan ekskresi serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.1, 3
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu hemodialisis emergensi atau
hemodialisissegera dan hemodialisiskronik. Keadaan akuttindakandialisisdilakukan
pada kegawatanginjaldengankeadaanklinisuremikberat, overhidrasi, oliguria (produksi
urine < 200 ml/12 jam), anuria (produksiurin<50 ml/12 jam), hiperkalemia
(terutamajikaterjadiperubahan EKG, biasanya K> 6,5 mmol/l), asidosisberat (PH <7,1
ataubikarbonat<12 meq/l), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum,
neuropati/miopatiuremikum, pericarditis uremikum, disnatremiaberat (Na>160
atau<115 mmol/l), ensefalopatiuremikum, neuropati/miopatiuremikum, pericarditis
uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau<115 mmol/l), hypernatremia, keracunan
akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialysis.
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesinhemodialisis, dialisis dimulai jika
GFR < 15 ml/menit, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15 ml/menit tidak selalu
sama, sehingga dialysis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari :
1) GFR < 15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan
5) Komplikasi metabolik yang refrakter. 7,9

3.9.3 Terapinutrisi pada Pasien CKD

28
Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium
I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat
tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis.
Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan
medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan
akan masuk ke stadium V atau fase gagalginjal. Status gizi kurang masih banyak
dialami pasien dengan CKD.5,10
Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang
sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan
dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status
kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari
suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain
diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition
Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal,
pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, yang
pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.5,10
Terapi nutrisi pada pasien CKD:5,10
1. Pengaturan asupan protein.
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Besi: 10-18mg/hari
10. Magnesium: 200-300 mg/hari
11. Asam folat pasien HD: 5mg
12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

29
3.10 Prognosis

Pasiendengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk


mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir dari
penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur, penyebab dasar,
dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder dan individu dari pasien itu
sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk
memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal dan mencegah terjadinya
komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian.6,7
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika
disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat menjadi 30%.
Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab CKD,
kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor risiko serta komplikasi yang sudah
terjadi.2
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagaiberikut :

Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori Albuminuria

30
BAB IV
ANALISA KASUS

Chronic kidney diseases adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.
Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika
nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/ menit/1,73m². Pada kasus ini pasien
didiagnosa anemia renalis, Chronic Kidney Disease Stage V, Hiperglikemia pada DM
tipe 2, dan leukositosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

4.1 Anamnesis

Seorang laki-laki, Tn. M.T, 41 tahun datang dengan keluhan badannya terasa
lemas seperti tidak ada tenaga sejak kurang lebih 1 minggu terakhir. Pasien juga
mengeluh mual dan muntah. Mual muntah dirasakan kurang lebih 5 kali dalam satu hari
terutama setelah makan. Muntah berwarna kekuningan disertai makanan yang baru ia
cerna sebanyak seperempat gelas belimbing di setiap muntah. Sejak saat itu, ulu hatinya
menjadi terasa sakit dan terasa tidak nyaman. Pasien mengaku buang air kecil tidak
banyak. Ia merasa intensitas berkemih menurun dalam 2 bulan terakhir. Dalam sehari ia
buang air kecilsebanyak 2 kali dan berwarna kekuningan. 2 bulan yang lalu pasien juga
mengalami bengkak di seluruh tubuh dan 1 bulan kemudian terdiagnosis dengan
gangguan ginjal tahap akhir dan mendapatkan terapi cuci darah rutin 2 kali seminggu.
Pasien memiliki riwayat hipertensi serta kencing manis. Ia mengaku tidak rutin kontrol
ke dokter atau di Puskesmas terdekat.
Gejala seringkali mulai muncul pada pasien dengan CKD derajat IV hingga V
dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada tubulointerstitial,
cystic, sindromanefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut dengan gejala positif
seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering memperlihatkan tanda-tanda penyakit
pada derajat yang lebih awal.2,5 Pada pasien diketahui mengalami bengkak diseluruh
badan sebelum terdiagnosis CKD stadium akhir.
Pasien juga memiliki riwayat diabetes dan riwayat hipertensi. Kedua keadaan
tersebut merupakan factor risiko utama terjadinya penyakit ginjal kronik pada pasien.

31
Penelitian mencatat bahwa 35% hingga 65% dari penderita hipertensi esensial
berkembang menjadi proteinuria, dengan satu pertiganya berkembang menjadi
insufisiensi ginjal dan 6 hingga 10% meninggal akibat uremia. Diabetic Kidney Disease
(DKD) akan terjadi pada 30-40% penderita diabetes, dan sepertiga dari penderita
tersebut akan berkembang menjadi gagal ginjal.12
Hipertensi merupakan factor risiko utama terjadinya penyakit ginjal. Sebaliknya,
CKD merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi sekunder. Prevalensi CKD
dikarakteristikan lebih baik sejak National Kidney Foundation mengeluarkan klasifikasi
standar berdasarkan tingkat Glomerular Filtration Rate (GFR) dan ada atau tidaknya
bukti renal injury. Risiko lebih besar pada penderita dengan tekanan darah sistolik
berkepanjangan>200 mmHg. Dengan demikian jelas berdasarkan literature banyak
penderita hipertensi yang tidak diobati berkembang menjadi insufisiensi renal.
Diabetes juga merupakan keadaan utama yang dapat menyebabkan CKD.
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran darah yang
melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh darah yang sangat
kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat menyebabkan pembuluh
darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat
terjadi pada ginjal dan albumin dapat melewati system filtrasi tersebut dan akan
didapatkan pada urin, dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi. 6
Ciri klinis CKD pada diabetic microvascular disease of the kidney adalah
adanya proteinuria; sekali hal tersebut ditemukan, maka nefropati diabetic jelas
dipertimbangkan. Istilah "nefropati" secara klasik dikaitkan dengan urin berbusa,
hipertensi, dan terbentuknya edema disebabkan retensi natrium akibat gangguan fungsi
ginjal dan hiperglikemia. Bahkan pada kenyataannya, trias diagnosis proteinuria,
tekanan darah tinggi, dan edema sebenarnya menunjukkan bahwa penyakit ginjal
diabetes sudah hadir dan kemungkinan telah terjadi selama beberapa tahun sebelum
disadari.12
Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD, terutama
pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat, diantaranya adalah
gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare, lemas dan malnutrisi 7
yang ditemukan pada pasien.

32
4.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 150/80 mmHg,
nadi: 100 x menit, pernafasan 23 x/menit, dan suhu: 37 °C, BB 45 kg. Konjungtiva
anemis, terdapat nyeri tekan di epigastrium, dan ekstremitas anemis. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 5,8 g/dl, leukosit12.470, ureum127 mg/dl, kreatinin6,8
mg/dl, dan GDS 202 mg/dl serta hipokalsemia. Dengan penghitungan GFR 9.09 ml/
mnt/1,73m2 .
DKD memiliki karakteristik penting yang membedakannya dari bentuk CKD
yang lain. Pasien seringkali lebih anemia pada DKD daripada CKD nondiabetic. Hal
tersebut dapat terlihat pada pasien dalam case report ini, dimana Hb pasien awal adalah
5.8 g/dl, dimana kurang dari setengah nilai normal. Lesi kompartemen interstitial
mungkin merupakan factor penting yang mendasari. Fibrosis progresif dari daerah ini di
ginjal menghalangi peningkatan adaptif produksi eritropoietin endogen dalam
menanggapi peningkatan tingkat hipoksia organ. Ketika peradangan, proteinuria, atau
keduanya, pasien DKD menjadi sangat rentan terhadap anemia CKD.12

4.3 Tatalaksana

Pasien dirawat di ruang rawat inap dan diberikan terapi berupa tatalaksana
nonmedikamentosa dan medikamentosa. Nonmedikamentosa berupa istirahat (tirah
baring), diet diabetes bentuk makanan lunak 1900 kkal, asupan cairan dan elektrolit
yang seimbang. Medika mentosa berupa transfuse PRC sampai Hb sama atau lebih dari
8, cairan infusNaCl 0.9% 500 cc/24 jam, injeksi ceftriaxone 1x2 gr, candesartan 1x8
mg, CaCO3 3 x 1 tab, bicnat 3 x 1 tab, dan asamfolat 3 x 1 tab serta pemberian insulin
pre meal. Pada pasien dilakukan hemodialisa sesuai dengan jadwal.
Pembatasan cairan dan elektrolit perlu dilakukan pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya oedem dan komplikasi
kardiovaskuler. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar, baik melalui urin maupun Insensible Water Loss (IWL), dengan berasumsi
bahwa air yang keluar melalui IWL antara 500-800 ml/hari.12
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah dengan

33
pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis. Pembatasan asupan protein mulai
dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan
protein tidak selalu dianjurkan. Pemberian protein yaitu 0,6- 0,8/kgBB/hari. Jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Perhatikan status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, asupan kalori dan protein harus ditingkatkan. Berbedaddengan
lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak dapat disimpan dalam tubuh namun
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan di
ginjal.12
Pada penatalaksanaan kasus, pemberian transfuse PRC untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah. Pada pasien dengan penyakit CKD, terjadi anemia pada 80-
90% pasien. Anemia pada penyakit CKD terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoietin. Pemberian transfusi pada penyakit CKD harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi dan pemantauan yang tepat. Transfusi yang dilakukan secara tidak
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan
fungsi ginjal.
Pemakaian obat anti hipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskuler, juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan
nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Beberapa obat antihipertensi terutama ACE inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme
inhibitor) atau Angiotensin reseptor blocker (ARB), seperti Candesartan, melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi melalui mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. ARB
diberikan jika ACE-I tidak ditoleransi yaitu misalnya terdapat gejala batuk.12
Pada pasien DM, lakukan kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. 8 Pada pasien diberikan insulin pre
meal selama masa perawatan untuk mengontrol gula darah pasien, sementara saat
pulang diberikan kombinasi insulin basal bolus untuk mengontrol DM pasien.
Bicnat merupakan salah satu antasida dimana merupakan basa lemah yang
bereaksi dengan asam lambung untuk membentuk air dan garam, dengan demikian
menghilangkan keasaman lambung. Obat ini juga memiliki efek lain seperti
pengurangan kolonisasi H. pylori dan merangsang sintesis prostaglandin. Zat-zat
antasida sangat bervariasi dalam komposisi kimia, kemampuan menetralkan asam,

34
kandungan natrium, rasa dan harganya. Kemampuan menetralkan asam suatu antasida
tergantung pada kapasitas untuk menetralkan HCl lambung dan apakah lambung dalam
keadaan penuh atau kosong (makanan memperlambat pengosongan lambung,
memungkinkan antasida bekerja untuk waktu yang lebih lama).12 Pemberian bicnat
digunakan sebagaiupaya untuk mengendalikan keseimbangan asam dan basa.
Salah satu komplikasi dari penyakit ginjal kronik yang paling sering adalah
osteodistrofi renal. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone kalsitriol. Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan menghambat absorbs fosfat di saluran cerna, serta dialisis. Pemberian diet rendah
fosfat sejalan dengan diet pada pasien dengan penyakit ginjal kronik secara umum, yaitu
tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung
dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg/hari.12 Pada pasien diberikan CaCO3 yang merupakan pengikat fosfat. Pengikat
fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, dan garam
magnesium.
Segera setelah pasien mengalami perbaikan keadaan umum, dilakukan
hemodialisis. Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal. 4,6 Indikasi hemodialisis
dibedakan menjadi 2 yaitu hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan
hemodialisis kronik. Indikasi hemodialisa pada pasien ini adalah sebagai hemodialisa
kronis karena laju GFR kurang dari 15 ml/menit dan adanya uremia.

35
BAB V
KESIMPULAN

Chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah kesehatan global dengan


insidensi, prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Penyebabnya tidak
hanya dikarenakan satu hal dan kerusakan umumnya ireversibel dan mengarah
keperburukan.
Seorang laki-laki berusia 41 tahun datang dengan keluhan utama lemas, pucat
serta mual dan muntah sebanyak kurang lebih dari 5 kali perhari setelah makan.
Intensitas berkemih juga dirasakan berkurang selama 2 bulan terakhir, ada riwayat
bengkak seluruh badan sejak 2 bulan terakhir. Riwayat hipertensi dan diabetes sejak dua
tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 150/80
mmHg, nadi: 100 x menit, pernafasan 23 x/menit, dan suhu: 37 °C, BB 45 kg.
Konjungtiva anemis, terdapat nyeri tekan di epigastrium, dan ekstremitas anemis. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5,8 g/dl, leukosit12.470, ureum127 mg/dl,
kreatinin 6,8 mg/dl, dan GDS 202 mg/dl serta hipokalsemia. Dengan penghitungan GFR
9.09 ml/ mnt/1,73m2. Maka berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pasien terdiagnosis sebagai Anemia renalis, CKD stage V on
HD, DM tipe 2 dan leukositosis.

36
DAFTAR PUSTAKA

1) Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1035-
1040.
2) Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international
Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation and
management of CKD. 2013;3(1).
3) Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal Registry. 2014.
Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
4) Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your
kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI); 2010.
5) Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870-
876.
6) Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and
Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014.
hal 1-63.
7) National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5. New
York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org
8) Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-
2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical Diabetes.2016
9) Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010
10) Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik. Surabaya:
Gizi Indonesia; 2004.
11) PERNEFRI. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta;
PB PERNEFRI. 2011
12) Fadhilal Agnez Zahrah. Chronic Kidney Disease Stage V. J AgromedUnila,
2014;1(2):109-113

37
38

Anda mungkin juga menyukai