Anda di halaman 1dari 2

Dahulu kala, hiduplah seorang gadis nan cantik jelita dari daerah Tulungagung.

Dia adalah seorang resi atau pendeta bernama Winadi, yang tak lain dan tak bukan
adalah sosok Nyi Roro Kembang sore. Putri dari Pangeran Bedalem dari dukuh
Bonorowo Dia memutuskan untuk menjadi seorang resi dan bertapa di gunung CIlik
setelah seseorang yang amat dicintainya tewas, dibunuh oleh Kyai Kasan Besari dan
Pangeran Bedalem.

Sungguh kisah cinta yang amat memilukan…

Penghianatan yang dilakukan oleh Kyai Kasan Besari terhadap gurunya Kyai
Pacetlah yang menjadi awal mula kisah ini. Kyai Besari yang terkena hasutan Pangeran
Kalang (paman dari Nyi ROro Kembang Sore) untuk membangkang dan membuat
perguruan sendiri dengan aliran hitam inilah yang membuat Kyai Pacet murka.

Kyai Pacet akhirnya menyuruh putra mahkota majapahit dan muridnya untuk
menangkap Kyai Kasan Besari. Namun, tak dinyana. Putra mahkota tewas saat
bertarung dengan Kyai Kasan Besari. Raja Majapahit yang mendengar bahwa putra
Mahkota tewas terbunuh, memerintahkan Pangeran Lembu Peteng untuk mencari
keberadaan Kyai Kasan Besari.

Namun, di tengah pencariannya, justru Pangeran Lembu Peteng ini bertemu


dengan sosok perempuan nan cantik jelita bernama Nyi Roro Kembang Sore. Cinta
pada pandangan pertama inilah yang membuat mereka berdua lupa akan bahaya yang
mengintai mereka.

Pangeran Lembu Peteng lupa akan tugasnya untuk mencari Kyai Kasan Besari.
Dia justeru tengah dimabuk cinta oleh kecantikan Nyi Roro Kembang Sore. Pangeran
Kalang yang mengetahui hal ini, memberitahukan pada Pangeran Bedalem yang
tengah bersembunyi di Ringin Putih. Pangeran Bedalem murka dan terjadilah
pertarungan antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Namun, hasilnya
imbang. Dan mereka berhasil kabur dari pengejaran.

Nyi Roro Kembang Sore dan Pangeran Lembu Peteng memutuskan untuk lari ke
Majapahit. Namun, di tengah perjalanan, pertarungan itu terjadi lagi. Pangeran Bedalem
yang tak terima, meminta bantuan pada Kyai Kasan Besari untuk membunuh Pangeran
Lembu Peteng. Pertarungan sengit yang tak seimbang itupun akhirnya membuat
tumbang Pangeran Lembu Peteng. Dia tewas dan jasadnya dibuang di sungai. Dan
sungai itu yang sekarang terkenal dengan nama Sungai Lembu Peteng.

Tak terima akan perbuatan ayahnya, Nyi Roro Kembang Sore memutuskan
untuk pergi meninggalkan ayahnya. Hatinya begitu sakit dan hancur karena cinta
pertamanya tewas di depan matanya sendiri. Nyi Roro Kembang Sore terus berlari
hingga akhirnya dia berhenti di suatu desa bernama Desa Dadapan. Di desa itu,
tinggallah Mbok Rondho dadapan bersama anaknya, Joko Bodho. Mbok Rondho
Dadapan mengizinkan Nyi Roro Kembang Sore untuk tinggal bersamanya.

Joko Bodho yang melihat kecantikan Nyi Roro Kembang Sore pun akhirnya jatuh
hati padanya. Berulangkali, Joko Bodho menyatakan cintanya pada Nyi Roro Kembang
Sore. Namun, hanya penolakan yang didapat. Tak patah arang, hari demi hari Joko
Bodho tetap melakukan hal yang sama. Akhirnya, Nyi Roro Kembang Sore memberikan
sebuah syarat.

“Selama empat puluh hari, empat puluh malam, kamu harus bertapa di bukit dan
kepalamu harus ditutupi dengan cikrak. Jangan pernah kembali ke sini jika semua itu
belum kau penuhi.”

Dasarnya orang bodoh dan sudah terlanjur cintanya ia kepada Nyi Roro


Kembang Sore, Joko Bodho pun menyanggupi permintaannya. Sore itu, mereka
berpisah. Nyi Roro Kembang Sore menuju ke Gunung CIlik atau arah barat, sedangkan
Joko Bodho ke arah selatan.

Mbok Rondho Dadapan yang mengetahui mereka berdua tak ada di rumah,
panik. Mbok Rondho mencari Joko Bodho yang tengah bertapa di sebuah bukit. Saat
melihat anaknya bertapa menghadap arah barat dengan ditutupi cikrak, marahlah dia.
Berulangkali, Joko Bodho dipanggil, namun tetap saja tak menggrubris mbok Rondho
dadapan. Dia masih memegang teguh janjinya untuk bertapa sesuai syarat yang
diajukan oleh Nyi Roro Kembang Sore. Emosi Mbok Rondho Dadapan kian memuncak.
Dan keluarlah kata-kata murka itu.

“Joko Bodho…! Ditange’ke kok malah njegideg koyo watu tho…!” ( Joko
Bodho…! Dipanggil kok diam saja kayak batu).

Langit tiba-tiba bergemuruh. Bumi gonjang-ganjing… Halilintar menyambar-


nyambar dan akhirnya mengenai tubuh Joko Bodho. Mbok Rondho Dadapan yang tak
sengaja mengeluarkan amarahnya, seketika menangis tersedu. Melihat anaknya
berubah menjadi batu. Dan tempat itu kini dikenal dengan nama Joko Budheg. Nyi Roro
Kembang Sore yang telah mempunyai firasat sebelumnya hanya bisa berpasrah
melihat segala kejadian itu dari kejauhan. Joko Bodho berubah menjadi batu. Dan,
tempat itu dikenal dengan nama Batu Joko Budheg atau Gunung Budheg yang berada
di Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur.

Nyi Roro Kembang Sore memutuskan untuk bertapa di Gunung Cilik hingga
akhir hayatnya. Dia memutuskan untuk tidak menikah. Terlalu sakit, mungkin. Ah,
begitulah cinta. Deritanya memang sungguh tiada tara…

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai