Anda di halaman 1dari 21

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PELAYANAN KEBIDANAN DALAM

NEGERI DAN LUAR NEGERI

Disusun Oleh :
Frina Dea Marisa
P01740223017

Dosen Pengampu:
Eva Susanti,SST,M.Keb

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI DIII KEBIDANAN CURUP
Tahun 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karena berkat
hidayah dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Sejarah
Perkembangan dan Pelayanan Kebidanan Dalam Negeri dan Luar Negeri”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Konsep Kebidanan.
Penulis mengucap kan banyak terima kasih kepada Bunda Eva Susanti, SST,M.Keb selaku
dosen pengampu mata kuliah tersebut yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Dan
kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna masih
banyak kesalahan dan kekurangannya, oleh karena itu penulis mohon maaf serta mohon
saran dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

Curup, 29 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan .................................................................................................................... 5

BAB II ISI

A. Sejarah Perkembangan Kebidanan di Luar Negeri ................................................ 6


B. Sejarah Perkembangan Kebidanan di Dalam Negeri ............................................ 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 20
B. Saran ................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pelayanan dan pendidikan kebidanan setiap waktu mengalami
perkembangan, berupa kemajuan atau justru kemunduran. Perkembangan ini terjadi di
Indonesia maupun di luar negeri. Setiap perkembangan memiliki alasan tersendiri
mengapa mengalami kemajuan. dan kemunduran. Perkembangan pelayanan dan
pendidikan Indonesia tidak terlepas dari masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan,
politik/kebijakan pemerintah dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan,
kebutuhan masyarakat, serta kemajuan ilmu dan teknologi. Perkembangan kebidanan
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak
Sejarah kebidanan dimulai sejak awal kehidupan/awal peradaban manusia.
Namun, tidak ada pencatatan secara jelas kapan dimulainya persalinan seperti yang
dilakukan oleh bidan. Di zaman dahulu persalinan dan menstruasi dianggap kotor atau
menjijikkan sehingga cara persalinan dilakukan secara tidak manusiawi. Kelahiran
anak dikaitkan dengan ibu pertiwi (tempat anak dilahirkan) dan misteri perempuan
yang hanya dipahami oleh perempuan sendiri. Proses persalinan dapat dilakukan
sendiri oleh perempuan itu atau hanya dengan dibantu suami mereka. Barulah pada
saar manusia mulai berperilaku menetap dan membentuk kelompok masyarakat, para
ibu yang melahirkan dijaga/ditolong orang lain atau dukun bayi yang dianggap mampu.
Dukun bayi adalah perempuan setengah baya, sudah menikah, dan pernah
melahirkan. Melalui percobaaan dan tukar pengetahuan, dukun bayi mengembangkan
keahlian menolong persalinan. Terdapat catatan yang menunjukkan tindakan yang
dilakukan bidan antara lain terdapat pada patung Mochicha (500 SM), lukisan Papyri
dan Tomb dalam Old Testament, serta catatan tentang bidan Yahudi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan kebidanan di luar negeri?
2. Bagaimana sejarah perkembangan kebidanan di dalam negeri?

4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami sejarah perkembangan kebidanan di luar negeri.
2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah perkembangan kebidanan di dalam
negeri.

5
BAB II
ISI
A. Sejarah Perkembangan Kebidanan di Luar Negeri
Di bawah ini adalah para pionir yang berkontribusi dalam perkembangan
kebidanan.
a. Hippocrates (460-370 SM). Dia diberi gelar bapak kedokteran karena dia menaruh
banyak perhatian pada perawatan dan pengobatan sepanjang hidupnya. Prinsip
medis dari zaman Hippocrates masih digunakan sampai sekarang. Dia juga tertarik
pada kebidanan. Dia merekomendasikan bantuan kemanusiaan kepada wanita
pascapersalinan, meringankan penderitaan ibu dan perawatan yang tepat setelah
melahirkan. Dengan usulan tersebut, Yunani dan Roma menjadi negara pertama
yang merawat ibu setelah melahirkan.
b. Soranus (98-138 M). Beliau berasal dari Turki dan belajar di Alexandria, Mesir.
Beliau berpraktik di sana, kemudian melanjutkan ke Roma. Beliau disebut Bapak
Kebidanan karena merupakan orang pertama yang menaruh minat terhadap
kebidanan sesudah masa Hippocrates dan berpendapat bahwa seorang bidan
hendaknya seorang ibu yang telah mengalami sendiri kelahiran bayi ibu yang tak
takut hantu atau setan serta jauh dari takhayul. Selain itu, beliau yang pertama kali
menemukan serta menulis Versi Podali. Namun, karyanya ini tidak disertai
keterangan- keterangan yang lengkap. Setelah Soranus meninggal dunia, usahanya
diteruskan oleh seorang pembantu dan juga muridnya yang bernama Moscion.
Moscion juga menaruh minat terhadap kebidanan dengan meneruskan usaha
Soranus. Moscion juga menulis buku yang merupakan buku pelajaran bagi bidan-
bidan. Ini adalah pertama kalinya karena sebelumnya bidan-bidan sama sekali tak
mendapat pendidikan dan hanya bekerja berdasarkan pengalaman serta
keberanian. Buku yang dituliskan itu diberi judul Katekismus hagi Bidan-Bidan
Roma. Dengan adanya buku itu pengetahuan bidan semakin maju.
Pada tahun 1994 dengan adanya International Conference Population and
Development (ICPD) di Kairo Mesir terjadi pengembangan pelayanan bidan yaitu
Safemotherhood (program penyelamatan selama masa reproduksi), Family Planning
6
(keluarga berencana), Penyakit Menular Sexual termasuk infeksi saluran reproduksi,
kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan reproduksi lanjut usia (lansia). Saat ini
dengan adanya Millenium Development Goals (MDG's) pelayanan kebidanan lebih
difokuskan untuk mencapai MDG's pada tahun 2015.
Seperti kita ketahui bahwa Millenium Development Goals (MDG's) merupakan
kesepakatan dari mayoritas kepala. negara yang ada di dunia ini untuk mencapai
delapan tujuan yaitu:
1. Eradicate extreme poverty dan hunger
2. Achieve universal primary education
3. Promote gender equality and empower women
4. Reduce child mortality
5. Improve maternal health
6. Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases
7. Ensure enviromental sustainability
8. Develop a global partnership for development.
Khusus untuk pelayanan kebidanan lebih difokuskan pada tujuan nomor 4 dan 5
yaitu reduce child mortality dan Improve maternal health (penurunan angka kematian
anak dan peningkatan derajat kesehatan ibu).
1. Di Spanyol pada tahun 1752 dibuat persyaratan bahwa bidan harus lulus ujian,
dimana materi ujiannya adalah dari sebuah buku kebidanan berjudul: "A short
Treatise on the art of midwifery". Pendidikan bidan di ibukota Madrid dimulai
pada tahun 1789. Bidan dipersiapkan untuk bekerja secara mandiri di masyarakat,
terutama di kalangan keluarga petani dan buruh tingkat menengah ke bawah. Pada
tahun 1924 sebuah Rumah Sakit Santa Christina mulai menerima ibu-ibu yang
hendak bersalin. Untuk itu dibutuhkan tenaga bidan lebih banyak. Pada tahun 1932
pendidikan bidan disini secara resmi menjadi school of midwives.
2. Belanda Akademi pendidikan bidan yang pertama dibuka pada tahun 1861 di
rumah sakit Universitas Amsterdam. Akademi kedua dibuka pada tahun 1882 di
Rotterdam dan yang ketiga pada tahun 1913 di Heerlen. Pada awalnya pendidikan
bidan adalah 2 tahun, kemudian menjadi 3 tahun dan kini 4 tahun (1994).
7
Pendidikannya adalah direct-entry dengan dasar lulusan SLTA 13 tahun. Tugas
pokok bidan di Belanda adalah dalam keadaan normal saja dan merujuk keadaan
yang abnormal ke dokter ahli kebidanan. Dokter umum disini tidak menangani
kasus kebidanan, sesuai dengan ketentuan dan peraturan pemerintahnya tahun
1970.
3. Kanada di Kanada pendidikan bidan dimulai dari university based direct entry dan
lamanya pendidikan 3 tahun. Mereka yang telah mempunyai ijazah bidan
sebelumnya diberi kesempatan untuk mengikuti semacam penyesuaian selama 1
tahun, sesudah itu diadakan registrasi dan mendapat ijin praktek bidan. Beberapa
aspek di dalamnya antara lain: hubungan dengan wanita, asuhan berkelanjutan,
informed choice and consent, praktik bidan yang memiliki otonomi dan fokus pada
normalitas kehamilan dan persalinan.
4. Inggris pada tahun 1980, bidan di Inggris mulai berusaha mendapatkan otonomi
yang lebih dan meningkatkan sistem melalui penelitian tentang alternatif pola
perawatan. Dengan perkembangan persalinan alternatif, bidan mulai
mengembangkan praktik secara mandiri.
5. Amerika tahun 1915 dokter Joseph de Lee menyatakan bahwa kelahiran bayi
adalah proses patologis dan bidan tidak mempunyai peran di dalamnya. Ia
memberlakukan prosedur tetap pertolongan persalinan di AS yaitu memberikan
sedatif pada awal inpartu, membiarkan serviks berdilatasi, memberikan ether pada
kala II, melakukan episiotomi, melahirkan bayi dengan forsep, ekstraksi plasenta,
memberikan uterotonika serta menjahit episiotomi. Akibat protap tersebut
kematian ibu mencapai angka 600-700 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 1900-1930, dan sebanyak 30- 50% wanita melahirkan di rumah sakit. Tahun
1940 dokter Grantly Dick meluncurkan buku tentang persalinan alamiah. Hal ini
membuat para spesialis obstetris berusaha meningkatkan peran tenaga di luar
medis, termasuk bidan. Pada era 1980-an ACNM (American college of Nurse-
Midwives) membuat pedoman alternatif lain dalam pelayanan persalinan dan
mengubah pernyataan yang negatif tentang home birth. Pada tahun 1980-an, dibuat
legalisasi tentang praktik profesional bidan.
8
6. Australia kebidanan dan keperawatan di Australia dimulai dengan tradisi dan
latihan yang dipelopori oleh Florence Nightingale pada abad ke 19. Pada tahun
1824 kebidanan masih belum dikenal sebagai bagian dari pendidikan medis di
Inggris dan Australia. Pada tahun 1913 sebanyak 30% persalinan ditolong oleh
bidan. Meskipun ada peningkatan jumlah dokter yang menangani persalinan antara
tahun 1900 sampai 1940 tidak ada penurunan yang berarti pada angka kematian
ibu. Kebidanan di Australia telah mengalami perkembangan yang pesat sejak 10
tahun terakhir. Mahasiswa kebidanan harus menjadi perawat dahulu sebelum
mengikuti pendidikan bidan, sebab di Australia kebidanan masih menjadi
subspesialisasi dalam keperawatan (maternal and child health). Di dalamnya
termasuk pendidikan tentang keluarga berencana, kesehatan wanita, perawatan
ginekologi, perawatan anak, kesehatan anak dan keluarga serta kesehatan neonatus
dan remaja.
7. New Zeland (Selandia Baru) Selandia baru telah mempunyai peraturan mengenai
praktisi kebidanan sejak tahun 1904, tetapi lebih dari 100 tahun yang lalu, lingkup
praktik bidan telah berubah secara berarti sebagai akibat dari meningkatnya
hospitalisasi dan medikalisasi dalam persalinan.
Dari tenaga yang bekerja dengan otonomi penuh dalam persalinan normal
diawal tahun 1900 secara perlahan bidan menjadi asisten dokter. Pada era tahun 80-an,
bidan bekerja sama dengan wanita untuk menegaskan kembali otonomi bidan dan
bersama-sama sebagai rekanan. Model kebidanan yang digunakan di Selandia Baru
adalah 'partnership' antara bidan dan wanita. Bidan dengan pengetahuan, keterampilan
dan pengalamannya dan wanita dengan pengetahuan tentang kebutuhan dirinya dan
keluarganya serta harapan- harapan terhadap kehamilan dan persalinan. Dasar dari
model partnership adalah komunikasi dan negosiasi.

Sejarah Bidan di Beberapa Negara Berdasarkan Urutan Waktu Inggris


a. Bidan adalah penolong persalinan tradisional. Pengetahuan dan keterampilan
diturunkan dari generasi ke generasi. Pada Abad Pertengahan, beberapa bidan
tradisional dikutuk sebagai penyihir dan dibakar di tiang pancang (Ehreinreich dan
9
English 1972). Bidan juga dianggap sebagai satu- satunya pemilik seni
keperawatan.
b. Abad ke-16 di lembaga pensiun Inggris, bidan dibayar oleh kerajaan atas jasa yang
diberikan. Bidan mendapat penghormatan yang tinggi.
c. Abad ke-17, muncul bidan pria/praktisi media yang mempunyai spesialisasi dalam
kelahiran anak. Kemunculan bidan pria menimbulkan peningkatan penerimaan
masyarakat pada mereka dalam suatu area yang sebelumnya dipertimbangkan
sebagai tanggung jawab perempuan.
d. William Harvey (1578-1657) menjelaskan tentang sirkulasi darah serta fisiologi
plasenta dan selaputnya (1616). Beliau adalah Bapak Kebidanan di Inggris. Dia
mencatat tentang pertumbuhan embrio dan fetus menyeluruh dalam berbagai
tahap.
e. William Smellei (1676-1763) dokter Skotlandia, memperdalam ilmu kebidanan
dari London ke Prancis, William Smellei melakukan sesuai ilmu yang
didapatkannya untuk menunjukkan peran dokter obstetri. Beliau mengakui
pentingnya pelatihan bagi bidan dan mendirikan pelatihan bidan pria.
f. Peningkatan pengetahuan kebidanan dilakukan antara lain oleh Ny. Sarah Stone
(1737) dengan menerbitkan Praktik pengetahuan menyeluruh tentang anatomi dan
merekomendasikan bantuan operasi Chamberlain (1981). Dalam menghadapi
peningkatan bidan pria, Ny. Sarah Stone.

10
B. Sejarah Perkembangan Kebidanan di Dalam Negeri
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat
tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (Zaman Gubernur
Jendral Hendrik William Deandels) para dokter dilatih dalam petolongan persalinan,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi
orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 di buka
pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD
Gatot Subroto). Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun1851,
dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer
Belanda (Dr. W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja dirumah sakit juga di
masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan
bidan. Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Kursus untuk dukun masih berlangsung
sampai dengan sekarang yang memberikan kursus adalah bidan. Perubahan
pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara
menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada
tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lain di
nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan
Anak (BKIA) dimana bidan sebagai penanggung jawab pelayanan pelayanan kepada
masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, postnatal, dan di
luar BKIA, bidan memberikan pertolongan persalinan dirumah keluarga dan pergi
melakukan kunjungan rumah sebagai upaya tindak lanjut dari pasca persalinan.
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada
masyarakat yang dinamakan. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun
1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan
berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam
memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga
berencana baik di luar gedung maupun didalam gedung. Pelayanan kebidanan yang
diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos
11
pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup 4 kegiatan yaitu:
Pemeriksaan kehamilan pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan
lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat
dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini melalui
Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya
mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa
adalah sebagai pelaksana kesehatan di KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu
hamil, bersalin, dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk
pembinaan dukun bayi. Dalam kaitan tersebut, bidan di desa juga menjadi pelaksana
pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang pelaksanaannya sejalan dengan
tugas utamanya dalam pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya
bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang
memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta
mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut diatas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa.
Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya
dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan
berorientasi pada individu. Bidan dirumah sakit memberikan pelayanan poliklinik
antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam
hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas, dan
ruang perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994
yang menekankan pada reproductive health (kesehatan reproduksi) memperluas area
garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi:
1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.
2. Family Planning.
3. Penyakit Menular Seksual termasuk Infeksi Saluran Reproduksi.
4. Kesehatan reproduksi remaja.
5. Kesehatan reproduksi pada orang tua.
12
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada
kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang
bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Permenkes tersebut dimulai dari:
1. Permenkes No.5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan
persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
6. Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989
wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam
wewenang khusus ditetapkan bila bidan melaksanakan tindakan khusus dibawah
pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya
tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan.
Pelaksanaan dari Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan Praktik perorangan
dibawah pengawasan dokter.
7. Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan
Praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan Praktiknya diberi kewenangan yang
mandiri. Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan
tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup:
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
b. Pelayanan Keluarga Berencana.
c. Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan
merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Selanjutnya
diuraikan kewenangan bidan yang terkait dengan ibu dan anak, lebih terinci misalnya:
kuretasi digital untuk sisa jaringan konsepsi, vakum ekstraksi dengan kepala bayi di
dasar panggul, resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia dan hipotermia dan
sebagainya. Pelayanan kebidanan dalam bidang keluarga berencana, bidan diberi
wewenang antara lain: memberikan alat kontrasepsi melalui oral, suntikan, AKDR,
AKBK (memasang maupun mencabut) kondom dan tablet serta tissu vaginal.
13
Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang
ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa
bidan dalam menjalankan Praktik harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan,
pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Disamping itu bidan
diwajibkan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia, meminta
persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan, memberikan informasi serta melakukan
rekam medis dengan baik. Untuk memberikan petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci
mengenai kewenangan bidan ini dikeluarkan Juklak yang dituangkan dalam Lampiran
Keputusan Dirjend Binkesmas No. 1506/Tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidaklah
mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini
mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.
Pencapaian kemampuan tersebut dapat diawali dari institusi pendidikan yang
berpedoman pada kompetensi inti bidan dan melalui institusi pelayanan dengan
meningkatkan kemampuan bidan sesuai kebutuhan.
Perkembangan pelayanan kebidanan memerlukan kualitas bidan yang memadai
atau handal dan diperlukan monitoring/pemantauan pelayanan oleh karena itu adanya
Konsil Kebidanan sangat diperlukan serta adanya pendidikan bidan yang berorientasi
pada profesional dan akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian
adalah suatu terobosan dan syarat utama untuk percepatan peningkatan kualitas
pelayanan kebidanan.

Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Indonesia


Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan pekembangan pelayanan
kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat
akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah pendidikan
formal dan non formal. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia
Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka
pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung

14
lama, karena kurangnya pesera didik yang disebabkan karena adanya larangan ataupun
pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pada tahun 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di
Rumah Sakit Militer di Batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita
Ludo dibuka di Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan
dimana saja tenaga nya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang
mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang
lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden perbulan
(tahun 1923).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di
CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun)
dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta
didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi
perawat wanita yang lulus yang dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan
selama dua tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah kolonial Belanda mulai mendidik bidan
lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan
di beberapa kota besar antara lain di Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua
dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah
peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan.
Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan selama
tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu (Vroedrouw eerste klas) dan bidan lulusan dari
perawat (mantri) disebut Bidan Kelas Dua (Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini
menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan
Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan
dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan
Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka
mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan
usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga
15
untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan
yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan
sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP
ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan
pendidikan bidan selama dua tahun.

Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya


kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke
Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan
mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat,
sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA.
Pada tahun 1967 KTB ditutup (discontinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru
perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini
berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi
tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru
Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan
sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari
Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang di sebut
Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak
dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi. Pada tahun 1974 mengingat jenis
tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 katagori), Departemen
Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana.
Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan
adanya tenaga multipurpose dilapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong
persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama
yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK
dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil. Pada tahun 1975
sampai 1984 institusi pendidikan bidan di tutup, sehingga selama 10 tahun tidak
16
menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara
wajar. Tahun 1981 untuk mengingkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam
pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan diplona I
Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak
dilakukan oleh semua institusi. Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan
yang disebut (PPB) yang menerima lulusan dari SPR dan SPK. Pada saat itu.
dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu
tahun dan lulusan nya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara rasional yang
memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.
Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan
satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa, dengan tujuan untuk memberikan
pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah
pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka
kematian ibu dan anak. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa
sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa
sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga diperpanjang 2x3
tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah.
BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik
sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan
untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan
anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup
besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal
seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan
dan ketrampilan seperti diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama
pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun
waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk Praktik klinik

17
kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang
bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta
didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun.
Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program
Pendidikan Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik
kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena
lama pendidikan yang terlalu singkat yanitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya
berlangsung selama dua angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang
menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi yaitu:
Aceh, Bengkulu, Lampung, dan Riaun (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian
Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam
waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan diatas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah
juvga menyelenggarkan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di
tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebijakan ini
dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan
yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes
No.1247/Menkes/SK/XII/1994 Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan
yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan bidan agar
mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan
AKB. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh
Bapelkes di provinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 provinsi, pada tahap
II (1996- 1997) dilaksanakan di 16 provinsi dan pada tahap III (1997- 1998)
dilaksanakan di 26 provinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III telah di ikuti oleh 6306
orang bidan dan sejulah 3439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999) DJJ
18
dilaksanakan di 26 provinsi dengan jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang kecuali
provinsi Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi Tengah. Masing-masing hanya 40 orang dan
Provinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang lulus
karena laporan belum masuk.

Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan
pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (LSS = Live, Saving, Skill) dengan
materi pembelajaran berbentuk 10 modul kordinatornya adalah Direktorat Kesehatan
Keluarga Ditjen Binkesmas, sedang pelaksanaannya adalah Rumah Sakit Provinsi/
Kabupaten. Penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif ditinjau dari proses.
Pada tahun 1996 IBI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan
American Colloge Of Nurse Midwife (ACNN) dan rumah sakit swasta mengandalkan
Training Of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS, yang kemudian
menjadi tim pelatih LSS inti di PP IBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT dan
pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan Praktik swasta. Pelatihan Praktik
dilaksanakan di 14 provinsi dan selanjutnya mealtih Bidan Praktik Swasta secara
swadaya, begitu juga gur/dosen dari DIII Kebidanan.
Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care
melakukan pelatihan dan PER Review bagi bidan rumah sakit, bidan puskesmas, dan
bidan di desa, di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih
Asuhan Pelatihan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh maternal neonatal (MNH
Maternal Neonatal Health) yang sampai saat ini telah melatih APN dibeberapa
provinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan
tetapi juga guru, dosen-dosen dari akademi kebidanan.
Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas
pelayanan juga diadakan seminar dan lokal karya. Lokal Karya Organisasi dengan
materi pengembangan organisasi (Organization Development-OD) dilaksanakan setiap
tahun sebanyak 2kali mulai tahun 1996- 2000 dengan biaya dari UNICEF.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan pendidikan dan pelayanan kebidanan di Indonesia tidak terlepas
dari masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan politik/kebijakan pemerintah dalam
pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan. masyarakat serta kemajuan
ilmu dan teknologi. Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan
pekembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab
kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam
pendidikan ini adalah pendidikan formal dan non formal. Pendidikan bidan dimulai
pada masa penjajahan Hindia Belanda.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami sadar banyak kekurangan dan jauh dari
hal sempurna, masih banyak kesalahan dari makalah ini, kami juga membutuhkan
kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi bagi kami agar kedepannya bisa lebih
baik lagi, terima kasih juga kami ucapkan kepada teman teman yang telah membantu
hingga makalah ini dapat kami selesaikan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Rizki, dkk. 2022. Modul Konsep Kebidanan. Jawa Tengah: PT Nasya Expanding
Management.

Nurbaya, St, dkk. 2023. Pengantar Praktik Kebidanan. Jawa Tengah: PT Global Eksekutif
Teknologi.

Wulandari, Ratna. 2022. Konsep Kebidanan. Padang: PT Inovasi Pratama Internasional.

Abdullah, Vera Iriani, dkk. 2021. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jawa Tengah: PT Nasya
Expanding Management.

21

Anda mungkin juga menyukai