Anda di halaman 1dari 3

Era Globalisasi, Masyarakat Membeli Barang atau Membeli Gengsi

Dewasa ini, banyak orang yang rela merogoh kantong lebih dalam hanya untuk membeli tas,
sepatu, baju, dan barang-barang lainnya. Konsumen tidak lagi memilih produk berdasarkan
kebutuhan saja namun juga pertimbangan-pertimbangan hedonis, hal ini dapat ditandai dari
berbagai perusahaan yang memasarkan produknya tidak lagi menekankan pada unsur utilitas atau
daya manfaat dari suatu produk. 

Jika dahulu, proses pengambilan keputusan saat akan membeli suatu barang didasarkan
pada melakukan perbandingan dengan beberapa produk yang memenuhi kriteria-kriteria yang telah
diputuskan seperti harga, kualitas, model, dan kebutuhan. 

Pada tahap ini konsumen akan memanfaatkan seluruh pengetahuannya mengenai utilitas
dari produk dan keinginannya serta kondisi yang ingin dicapai setelah menggunakan produk
tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap perbandingan produk inilah konsumen mampu membedakan
apakah produk tersebut memiliki fitur atribut yang cenderung bersifat utilitas ataukah lebih bersifat
hedonis.

Umumnya barang yang bersifat hedonis cenderung memiliki harga lebih mahal jika
dibandingkan dengan barang yang bersifat utilitas. Namun hal ini bukan berarti barang hedonis tidak
memiliki manfaat hanya saja barang hedonis jika dibandingkan barang utilitas memiliki fungsi yang
sama namun dengan harga yang jauh berbeda.

Sebagai contoh yaitu penggunaan jamur truffle sebagai bahan masakan, mungkin, bagi yang
belum tau harga dari jamur truffle sendiri akan menganggap wajar karena jamur memang bahan
makanan.

Fakta bahwa jamur truffle ini dibandrol seharga 5,6 juta/450 gram rasanya sungguh tidak
wajar menggunakan jamur seharga handphone tersebut untuk dimakan. Namun bukan tanpa alasan
harga jamur ini mahal, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan jamur menjadi mahal. 

Faktor pertama yaitu karena jamur ini hanya tumbuh di daerah tertentu dengan masa panen
yang lama. Selain itu, menurut beberapa orang rasa jamur ini menambah kelezatan dalam makanan.
Bahan makanan mewah ini lebih sering ditemukan dalam sajian fine dining di restoran ataupun
hotel-hotel bintang lima. 

Oleh sebab itu, umumnya sajian menu yang mengandung jamur ini sebagai penunjang
gengsi dan rasa pada makanan. Meskipun dibandrol dengan harga mahal jamur ini sangat digemari
oleh beberapa kalangan, hal ini membuktikan bahwa harga tidak lagi menjadi pertimbangan utama
konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli produk hedonis.  

Saat ini, salah satu tolak ukur masyarakat dalam menilai kesuksesan seseorang yaitu melalui
barang-barang yang digunakan mulai yang digunakan dari ujung rambut hingga ujung kaki, mulai dari
pakaian, tas, sepatu hingga aksesoris penunjang seperti jam tangan. 
Semakin mahal barang yang digunakan semakin sukses seseorang tersebut. Masyarakat
mengetahui seberapa mahal barang melalui merek-merek barang mewah yang secara luas diakui
sebagai luxury brand seperti Louis Vuitton, Gucci, Chanel, Cartier, dan masih banyak lagi. 

Branding perusahaan yang menggunakan harga mahal untuk menandai bahwa merek
mereka termasuk dalam luxury brands sehingga hanya orang-orang tertentu yang dapat
menggunakannya.  Banyak local brand yang saat ini mulai menciptakan produk-produk dengan
kualitas dan desain yang hampir sama dengan merek-merek mewah tersebut dengan harga yang
cukup miring tetap saja tidak dapat menggantikan nilai dari kepemilikan barang-barang mewah
tersebut. Alih-alih membeli barang orang-orang hedonis ini cenderung membeli gengsi dan
kepuasan hatinya. 

Produk Hedonis adalah produk yang dikonsumsi dengan perasaan menyenangkan, rasa
gembira, bahkan kenyamanan estetika atau sensual sebagai ciri khasnya. Tidak heran, jika barang-
barang hedonis ini memiliki manfaat yang standar namun harga yang ditetapkan cenderung mahal
dan jika diperhatikan merek-merek mewah tersebut jarang memberikan diskon ataupun penawaran-
penawaran untuk menarik konsumen karena hal tersebut akan mengurangi eksklusivitas yang
mereka miliki. 

Mereka menyadari target pasar mereka merupakan orang-orang yang memiliki ekonomi
sangat baik. Namun tidak menutup kemungkinan orang-orang dengan ekonomi menengah mampu
membeli produk-produk mewah tersebut. Beberapa saat lalu sempat terdapat pembahasan
mengenai lanyard Coach dimana banyak karyawan-karyawan di daerah SCBD yang menggunakan
lanyard dengan merek mewah tersebut sebagai tanda pengenal perusahaan masing-masing. 

Daerah SCBD atau Sudirman Central Business District merupakan pusat kawasan bisnis yang
ada di Jakarta. lanyard tersebut seolah memberikan tanda tersendiri dan menambah kepercayaan
diri bagi para penggunanya. 

Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk yang tidak saja memiliki kecerdasan rasional
namun dalam keputusan pembeliannya konsumen pun terlibat dengan banyak hal yang sifatnya
psikologis seperti persepsi konsumen terhadap dirinya sebagai pribadi atau sebagai anggota
masyarakat. 

Sehingga tidak heran jika semakin tinggi kedudukan maka semakin besar pula beban standar
yang ditanggung. Secara tradisional tindakan konsumen dipercaya sebagai tindakan yang rasional
berdasarkan motif ekonomi yaitu berupaya untuk memperoleh manfaat terbesar dengan
pengorbanan yang minimal. 

Namun banyak penelitian perilaku konsumen berhasil membuktikan bahwa konsumen tidak
selalu bertindak rasional dalam keputusan pembeliannya bahkan pertimbangan psikologis seringkali
menjadi alasan tindakan konsumen seperti keinginan untuk mendapatkan rasa nyaman,
kebahagiaan, merasa dihargai sebagai seorang individu dan perasaan emosional lainnya. 

Sayangnya masih sedikit bukti-bukti empiris tentang pengaruh dalam keputusan pembelian
khususnya yang berkaitan dengan konsep diri konsumen. Bagaimana konsumen memandang dirinya
pada akhirnya akan menentukan perilakunya, Belum banyak pembahasan mengenai bagaimana
interaksi konsep diri konsumen terhadap keputusan pembelian barang mewah.

Tidak dapat dipungkiri, gaya hidup seseorang dipengaruhi oleh konsep diri yang tertanam
dalam hidup seseorang. Menurut Sarwono konsep diri merupakan bagaimana kita menggambarkan
diri maka gaya hidup yang harus dijalani pun harus sesuai dengan gambaran kita tersebut. 

Misalnya saja orang yang memiliki konsep diri sebagai tokoh agama maka gaya hidup yang
harus dijalani adalah kehidupan sederhana dan penuh rasa syukur, atau orang yang memiliki konsep
diri sebagai seorang atlet olahraga maka gaya hidup yang yang dijalaninya adalah gaya hidup sehat. 

Contoh lain adalah seorang aktor/aktris maupun pelaku dunia industri hiburan seringkali
memiliki gaya hidup serba mewah dengan menggunakan aksesoris bermerek, citra glamour menjadi
gaya hidup yang seringkali diperlihatkan oleh para pelaku industri hiburan. 

Hal ini lumrah terjadi karena pelaku industri hiburan akan mendapatkan lebih banyak atensi
dari masyarakat. Saat ini, hedonisme merupakan sebuah fenomena dan gaya hidup yang telah
tercermin dalam perilaku masyarakat khususnya anak muda. 

Kenyataan secara empiris kondisi kehidupan kepemudaan saat ini mengalami kemunduran,
bahkan terjadi degradasi apabila dibandingkan dengan sepak terjang generasi-generasi sebelumnya.
Kondisi ini didominasi karena adanya pengaruh budaya dan derasnya arus globalisasi melalui
teknologi informasi dan perkembangan komunikasi antar bangsa yang membawa budaya baru bagi
identitas kebangsaan seseorang.

Hedonisme secara cepat berkembang dikalangan para remaja dimana hal ini dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, mereka seringkali meniru gaya hidup orang-orang terkenal dan berusaha
untuk mengikuti mereka. Hedonisme sendiri merupakan pandangan hidup yang menganggap
kesenangan merupakan tujuan utama hidup sehingga mereka menjalani hidup dengan senikmat-
nikmatnya. 

Menurut para ahli psikologi, hedonisme tidak dapat disangkal, karena manusia selalu terkait
perasaan nikmat, sekaligus secara otomatis condong menghindari perasaan tidak enak. Manusia
berusaha untuk mencapai tujuannya yang kemudian membuatnya nikmat atau puas. Hal inilah yang
menyebabkan tingkat hedonisme masyarakat di era modern cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat tradisional.

Anda mungkin juga menyukai