1. Gagasan penting dari Ferdinand de Saussure yang mengubah paradigma historis ke
paradigma formal ada tiga hal, yaitu kajian bahasa secara sinkronis dan diakronis, bahasa sebagai tanda, dan adanya hubungan sintagmatis dan paradigmatis. Bahasa diteliti secara diakronis artinya bahasa dipelajari melalui pendekatan historis, sedangkan bahasa dikaji secara sinkronis artinya bahasa diteliti dalam penggunaannya pada waktu tertentu, misalnya adanya perbedaan penggunaan bahasa pada tahun 1900an dengan penggunaan bahasa pada masa sekarang. Sebagai tanda, bahasa terdiri atas penanda ‘yang menandai’ dan petanda ‘yang ditandai’. Tanda merupakan wujud psikis yang menyatukan penanda yang merupakan citra akustis (bentuk) dan petanda yang merupakan konsep (makna), misalnya penandanya berupa meja lalu petandanya yaitu benda yang umumnya berbentuk persegi, memiliki kaki sebanyak empat buah dan umumnya digunakan untuk menaruh barang-barang. Hubungan sintagmatis berkenaan dengan sifat linear bahasa seperti fona, fonem, silabel, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana, sementara hubungan paradigmatis merupakan hubungan asosiatif antara satuan kebahasaan tertentu dengan satuan kebahasaan yang lain. Hubungan paradigmatis antarsatuan kebahasaan akan membentuk sebuah sistem bahasa. 2. Para peneliti perlu memahami adanya perubahan paradigma dalam kajian bahasa supaya dapat menambah serta memperluas objek kajian, teori yang digunakan, dan metode pengkajian bahasa yang dapat dilakukan. Hal ini juga dilakukan agar ilmu pengetahuan bahasa kita selalu baru (terupdate) dan tidak ketinggalan zaman. 3. Pada jawaban ini, saya memilih teori linguistik prinsip tindak tutur sebagai teori analisis dari video stand up comedy Abdur: Anggota DPR Sudah Gila dari Awal. Namun, saya tidak hanya menggunakan teori yang dikemukakan dari salah satu tokoh, tetapi mengambil dari beberapa yang masih sama-sama membahas mengenai prinsip tindak tutur. Pertama, saya akan menganalisis video tersebut menggunakan Prinsip Tindak Tutur Performatif yang dikemukakan oleh J.L. Austin dan John R. Searle. Menurut mereka, pada dasarnya perbuatan tindak tutur itu menganjurkan agar penutur mempertimbangkan apa yang ia katakan (tindak lokusi), apa maksud yang hendak diungkapkan (tindak ilokusi), serta pengaruh tuturan tersebut bagi orang lain (tindak perlokusi). Hasil analisis saya dari video Abdur tersebut, tindak lokusi yang ditunjukkan yaitu mengatakan sebuah tuturan yang bersifat humor atau menghibur dengan mengangkat materi mengenai anggota DPR. Tindak ilokusi yang ditunjukkan yaitu mengungkapkan sebuah keresahan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah khususnya DPR. Lalu untuk tindak perlokusinya adalah mempengaruhi para pendengar yang hadir di studio maupun di rumah supaya tidak golput dalam pemilu agar Indonesia dapat dipimpin oleh seseorang yang lebih layak dan dapat mewujudkan negara yang demokrasi. Kedua, saya menganalisis video stand up tersebut menggunakan Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan oleh H.P. Grice. Grice menyebutkan bahwa terdapat empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim cara, dan maksim relevansi. Namun, pada prinsip kedua ini saya hanya menggunakan tiga maksim saja yaitu maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kualitas yang ditunjukkan dalam video tersebut ditunjukkan pada tuturan Abdur yang berbunyi “teman-teman sudah 16 tahun kita tertatih dalam reformasi, ditipu oleh para politisi yang katanya berikan bukti bukan janji, tapi begitu ada tangis di pelosok negeri mereka sibuk mencari koalisi bukan solusi.” Hal tersebut benar adanya dengan dibuktikan dari salah satu berita yang sempat ramai dibicarakan akhir-akhir ini terkait akses jalan yang sangat tidak layak di daerah Kota Lampung. Melalui media sosial terlihat banyak warga lokal yang mengeluhkan hal tersebut kepada pemerintah daerah tetapi tidak mendapat tanggapan baik, bahkan saat presiden melakukan terjun lapangan pun ia mengatakan bahwa jalanannya sangat bagus hingga ia dapat tertidur. Maksim kedua yaitu maksim relevansi, meskipun jika dilihat dan didengarkan dengan sekilas tampak seperti tidak ada hubungan antarkalimatnya karena seperti terpecah-pecah, tapi sebenarnya ada, yaitu masih sama-sama menyinggung mengenai DPR dibuktikan dengan tuturannya yang berbunyi “teman-teman ada 6608 orang yang berebut kursi di DPR RI 560 kursi ini berarti satu orang cuman punya peluang menang 8%”, perbandingan peluang kemenangan menduduki kursi DPR “… orang gila mana yang mau menghabiskan uang banyak untuk investasi yang peluang dia kalah adalah 92% ...” dengan memenangkan perlombaan kuda “92% kalau dalam balapan kuda, itu berarti kita bertaruh pada kuda yang giting…” dan kemenangan dalam permainan catur “peluang 8% menang, kalau dalam permainan catur itu artinya kita cuman pakai bidak dua kuda itupun satu kuda liar”, golput dan pemilu “makanya teman- teman jangan ada yang golput karena kita semua yang ada di sini dan yang ada di rumah adalah harapan Indonesia agar orang-orang yang sudah gila sejak awal tidak terpilih di pemilu tahun ini”. Maksim ketiga yaitu maksim cara, sama seperti halnya pada maksim kedua, jika hanya didengarkan dengan sekilas kita akan menilai bahwa stand up yang dituturkan oleh Abdur tiak memenuhi maksim cara karena tuturan yang ia sampaikan tidak jelas dan seperti diputar-putar. Namun menurut saya, stand up yang dibawakan oleh Abdur memenuhi maksim cara karena ia menyampaikan dan menjelaskan materi-materi yang ingin ia sampaikan secara berurutan mulai dari perkenalan, pembukaan, pembahasannya pun juga tidak melompat-lompat lalu ditutup dengan perumpamaan yang masih tetap menghibur.