Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada
penulis untuk menyelesaikan makalah tentang Makna Simbolik dan Makna Konotatif Dalam
Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada pihak pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini,
antara lain :
1.
2.
memberikan motivasi.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritiknya.
Wasalammualaikum Wr.Wb
1.
Latar Belakang
Penelitian ini menggunakan objek kajian yaitu lirik lagu Lir-ilir. Lirik lagu termasuk dalam
genre sastra karena lirik lagu adalah karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan
perasaan pribadi, susunan kata dengan sebuah nyanyian. Oleh karena itu lirik sama dengan
puisi namun disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh musik dan termasuk dalam genre
sastra imajinatif.
Kegemaran masyarakat jawa akan kesenian baik itu seni musik, seni suara atau seni
tradisional yang berupa pertunjukkan seperti wayang ketoprak dan lainnya mendapatkan
perhatian khusus dari wali. Oleh karena itu para wali tidak dalam menciptakan lagu atau
tembang-tembang yang syarat dengan arti kehidupan. Diantara lagu atau tembang karya Wali
adalah lir-ilir ciptaan dari Sunan Kalijaga, di mana syair dari lagu ini syarat akan makna
kehidupan manusia, syair lagunya yang bernafaskan islami, serta cara penyampaiannya yang
menggunakan alunan yang lembut sehingga banyak menuai keberhasilan dalam berdakwah.
Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji makna pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam
syair lir ilir karya Sunan Kalijaga, sebagai salah satu bahan penelitian dengan judul : Makna
Simbolik dan Makna Konotatif Dalam Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka muncul pokok permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini dan permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.
2.
3.
Menurut Aminuddin (2010:140) mengatakan bahwa simbol adalah apabila kata-kata itu
mengandung makna ganda (makna konotatif), sehingga untuk memahaminya seseorang harus
menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut
dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berupaya menemukan fitur
semantisnya lewat kaidah proyeksi , mengembalikan kata atau bentuk larik (kalimat) ke
dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis.
Blank simbol, yaitu apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca
tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum.
2.
3.
Private simbol, yaitu symbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya.
Edi Subroto (2011:47) mengungkapkan bahwa arti konotatif yaitu arti tambahan atau
pinggiran yang berada di sekitar arti pokok. Tipe arti ini juga berkaitan dengan asosiasi
emosional yang dimunculkan oleh sebuah kata. Menurut Aminuddin (2011:56) makna
konotatif merupakan tambahan makna lain terhadap makna dasarnya. Dalam bukunya
Stephen Ullman yang diadaptasi oleh Sumarsono (2011:88) Mill menyimpulkan bahwa
manakala nama-nama itu mempunyai maknanya sendiri, maka makna itu tidak tinggal pada
apa yanng ditunjuk (didenotasi), melinkan pada apa yang dikonotasikan, nama objek yang
tidak mengkonotasikan sesuatu adalah nama sendiri.
bunyi) yaitu : lir-ilir, lir-ilir, royo-royo, cah angon-cah angon, lunyu-lunyu, dodot ira-dodot
ira.
Penggunaan ragam makna simbolik seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Pada baris pertama yang berbunyi lir-ilir,lir-ilir tandure wis sumiler terdapat 1 makna
simbol yaitu kata tandure yang mempunyai makna simbol yaitu berupa singkatan TAnDUR
naTA karo munDUR . Memiliki makna simbol yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga adalah
dalam menata barisan. Dalam konteks ini adalah menata sistem pemerintahan yang lebih baik
dari sebelumnya, dengan melihat pengalaman atau kejadian pada masa lalu yang menjadi
bahan untuk introspeksi diri dalam menata kembali kehidupan dengan memegang teguh
syariat islam sesuai dengan ajaran dakwah para Sunan Kalijaga. Menata kehidupan tidak
semerta-merta lurus atau pasti ada saja yang berubah arah menjadi penuh liku atau banyak
godaan dalam masa kepemimpinannya. Oleh sebab itu, para adipati harus bisa menerima
dengan lapang kritik atau saran dari masyarakat yang dipimpinnya.
Pada baris kedua yang berbunyi tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar terdapat 2
makna simbol yaitu pada kata ijo royo-royo. Jika diartikan makna tersebut tidak hanya
semerta-merta merupakan jenis warna, tetapi Sunan Kalijaga menyimbolkan kata ijo royoroyo yang mempunyai simbol tersirat untuk dakwah islam. Makna ijo royo-royo dalam islam
disimbolkan dengan kenikmatan, suasana, kesenangan, dan ketenangan jiwa. Karena dalam
islam warna hijau disimbolkan dengan pakaian ahli surga. Dengan harapan para bangsawan
dan masyarakat yang sebelumnya memeluk agama budha akan merasakan kedamaian dan
ketenangan jiwa setelah memeluk agama islam. Jika dikaitkan dengan kata berikutnya
temanten anyar yang berarti adanya kehidupan baru yang dijalani sepasang insan , yang daam
hal ini menyimbolkan sebagai orang yang baru masuk dan memeluk agama islam,
sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama islam, namun
mereka belum mempunyai penyerapan pemahaman yang dalam mengenai agama barunya,
disimbolkan seperti pengantin baru yang baru akan memulai kehidupan pernikahannya, di
mana kedua sepasang pengantin atau dalam konteks ini adalah para kalangan adipati (bupati
ke atas) yang baru masuk dan memelik agama islam. Oleh sebab itu, kalangan mualaf
(orang yang baru memeluk islam), (Wiyono, 2007:415) masih memerlukan bimbingan atau
pedoman untuk menjalaninya.
Menurut Chodim (2013:182), menyatakan bahwa pada baris ketiga yang berbunyi cah
angon-cah angon, penekno blimbing kuwi terdapat 2 simbol yaitu cah angon yang berarti
gembala secara literal, harfiah, justru merujuk pada masyarakat kelas bawah. Dengan kata
lain, gembala adalah kelompok masyarakat yang tidak terdidik. Yang hidupnya hanya
menjaga ternak yang sedang makan di peladangan atau padang rumput. Sependapat dengan
Achmad Chodim tentu yang dimaksudkan oleh Sunan Kalijaga bukan gembala dalam
pengertian seperti di atas. Gembala dalam konteks ini yang disimbolkan dengan penjaga
rakyat. Mereka adalah pengembala yang mengendalikan rakyat. Para bangsawan yang
disimbolkan oleh Sunan Kalijaga dengan pemilihan kata cah angon yaitu gembala. Jika
dikaitkan dengan kata yang selanjutnya yaitu blimbing yang mempunyai arti literal yaitu
tumbuhan perdu berdaun kecil dan buahnya bergerigi lima buah menurut Wiyono (2007:61).
Dalam konteks ini Sunan Kalijaga menyimbolkan blimbing sebagai rukun islam yang
berjumlah lima buah yang teridiri dari syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang
mampu. Sependapat dengan hal di atas bahwa blimbing yang memiliki makna simbol yaitu
rukun islam yang teridiri dari syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.
Kelima hal tersebut dalam ilmu islam memang bisa mensucikan harta dan jiwa raga manusia
selama hidup di dunia sebagai bekal untuk mati, sehingga Sunan Kalijaga menagmbil kata
blimbing sebagai simbol untuk membersihkan harta dan jiwa manusia agar suci dan bersih
dari dosa-dosa ang telah diperbuat.
Menurut Chodim (2013:180), menyatakan bahwa pada baris keempat yang berbunyi lunyulunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro terdapat 1 simbol yaitu dodot iro yang berarti kain
panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Dodot juga digunakan sebagai selimut tidur.
Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa orang-orang suruhan Aria Penangsang menemukan
Raja Pajang sedang tidur berselimut dodot. Jadi dodot merupakan kain yang amat penting
bagai raja. Padahal, dalam agama khasanah budaya Jawa disebut ageman atau pakaian.
Agama ageming Aji, agama merupakan pakaian raja. Sependapat dengan hal di atas bahwa
dodot menyimbolkan pakaian yang penting untuk para bangsawan dalam konteks ini adalah
pemerintah yang sedang memerintah pada saaat itu diibaratkan pemimpin yang sedang buruk
sistem pemerintahannya karena adanya perebutan kekuasaan dan korupsi besar-besaran,
sehingga rakyatnya menjadi sengsara. Terjadi hal demikian, karena pemerintahan pada saat
itu tidak memegang amanah rakyat dan tidak tangguh dalam penguatan agamanya. Oleh
sebab itu Sunan Kalijaga menyimbolkan dodot sebagai penilaian pada pemerintah, kenapa
Sunan Kalijaga memilih kata dodot, karena pakaian dodot adalah hal yang paling penting
bagi seorang raja. Jika pakaian itu kotor dan sudah lusuh maka Sunan Kalijaga mengingatkan
untuk segera membasuhnya atau mensucikannya dengan blimbing yaitu berpegang teguh
dengan rukun islam.
Menurut Chodim (2013:182), menyatakan bahwa pada baris keenam yang berbunyi
dondomono,jlumatono, kanggo sebo mengko sore terdapat 1 simbol yaitu sore yang berarti
matahari sudah tenggelam di ufuk barat (mengingatkan kepada segenap pemimpin dan
masyarakat bahwa umur kalian sudah senja) di mana Sunan Kalijaga menyimbolkan
peringatan itu dengan menggunakan kata sore. Sependapat dengan hal di atas kenapa sore
lebih dipilih oleh Sunan Kalijaga dalam liriknya, pada waktu sore pastilah matahari sudah
saatnya terbenam di ufuk barat, disimbolkan dengan keadaan manusia yang sudah memasuki
usia senja. Pola kehidupan orang Jawa memang unik. Sependepar dengan hal di atas jika
dipelajari lebih dalam kehidupan orang Jawa sangat syarat akan makna positif kehidupan.
Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia.
Setiap hari melihat banyak orang yang keluar rumah untuk bekerja mencari penghiupan yang
lebih baik. Pagi hari mereka keluar rumah untuk bekerja dan sore pulang dengan kondisi
yang lebih baik. Di sini alasan Sunan Kalijaga meemilih kata sore sebagai simbol jika
manusia telah pulang menghadap Allah SWT maka harus dalam keadaan yang baik atau
khusnul khotima.
Pada baris ketujuh yang berbunyi mumpung padhang rembulane, mumpung jembar
kalangane yang mempunyai 1 simbol yaitu rembulan yang menyimbolkan situasi terang dan
lapang, terang berartikan rembulan yang letaknya berada paling atas dalam kehidupan
manusia. Dapat disimbolkan sebagai adipati (yang dijunjung oleh rakyat) karena letaknya
berada paling atas sebagai pemimpin. Selain itu, kata rembulan merupakan suatu yang terang,
karena banyak adipati dan rakyat yang berpindah agama ke islam (Chodim, 2013:178)
sehingga islam memempunyai banyak pengikut.
berjumlah lima. Dalam hal ini pemimpin harus memberikan teladan serta menuntun umat
atau masyarakat untuk menjalankan ajaran islam dengan benar yaitu dengan menjalankan
lima rukun islam dan mendirikan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira kata lunyu-lunyu yang mempunyai
makna konotasi yaitu meskipun pohon belimbing itu licin tetapi tetap panjatlah. Karena akan
bisa digunakan untuk menyucikan sikap dan sifat para pemimpin yang rusuh atau kotor. Yang
bisa disucikan atau dibersihkan menggunakan belimbing. Belimbing dapat dipakai untuk
mencuci kain atau sinjang supaya tetap tahan lama. Dodot yang mempunyai konotasi yaitu
kain panjang yang dipaki oleh bangsawan orang jawa yang biasanya hanya dipakai pada
upacara atau pada waktu yang penting saja, dan dalam hal ini dodot mempunyai konotasi
yaitu badan kita. Badan kita yang mempunyai dosa atau rusuh karena ingkar kepada ajaran
islam akan disucikan dengan blimbing. Dalam hal ini khususnya yang memanjat itu adalah
para gembala, agar rakyat menjadi sejahtera dalam hidupnya dengan mmpuntai pemimpin
yang bijaksana.
Dodot ira-dodot ira kumitir bedah ing pinggir Dodot ira yang mempunyai makna
konotasi yaitu kain panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Sunan kalijaga
mengingatkan bahwa agama para raja, adipati, dan para nara praja (waktu itu) sudah pada
robek pinggirannya. Sudah kehilangan bentuknya, sudah tak layak untuk dipegangi. Oleh
karen itu agamanya harus diperbaiki mengenai akhlaknya atau budi pekertinya. Agama tanpa
perbaikan akhlak, tidak ada artinya. Orang yang perilakunya buruk, kalau memimpin
masyarakatpun akan bertindak semena-mena atau semaunya sendiri. Dodot atau akhlak
perilaku kita yang mempunyai banyak dosa karena tingkah laku kita saat di dunia yang sering
melalaikan ajaran agama, oleh sebab itu harus dijahit agar tampak utuh kembali.
Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore Dondomono yang mempunyai
konotasi memperbaiki kelakuan atau kalhak perilaku kita dengan sungguh-sungguh
(jlumatono) dalam memperbaiki akhlak perilau kita. Sekaligus mengingatkan kepada umat
islam semua diperintahkan tekun, konsisten dalam menjalankan dan menyempurnakan agama
islam sebagai agama yang paling benar. Tekun, sungguh-sungguh (jlumatono) dalam hal
menjalankan ibadah dan menyempurnakan iman kita pada agama islam. Semua hal itu
mempunyai tujuan yaitu untuk menghadap kepada Allah yang maha kuasa, dalam hal ini
orang yang akan menghadap di hadirat Allah yang maha kuasa atau berkomunikasi kepada
Tuhannya, harus terlebih dahulu memperbaiki agamanya dengan sempurna. (Purwadi dan
Niken, 2007:224-225) Lagu lir-ilir memeberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang
melakukan amal kebaikan amal itu berguna untuk bekal akhir. Kesenpatan hidup di dunia itu
harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan jangan hendak membunuh, nanti akan bergabti
dibunuh karena semua ada balasannya.
Menurut Achmad Chodim (2013:182), Mumpung padang rembulane, mumpung jembar
kalangane yang memiliki kisah yaitu pada saat Majapahit runtuh pada abad ke-15 karena
para pemmpin atau penguasa berebut kekuasaan sehingga menyebabkan rakyat menderita.
Kekacauan terjadi di mana-mana. Di sana-sini terjadi kerusuhan. Perampokan dan
pembegalan terdapat di kadipaten-kadipaten yang lemah. Korupsi para pejabat merajalela
sehingga agama-agama yang tumbuh subur di masa Majapahit kehilangan pamornya, pudar
cahayanya, semaraknya runtuh, dan dalam hal ini yakni agama budha yang pada sebelumnya
diantu oleh masyarakat. Karena banyak adipati (gelar untuk bupati ke atas) yang beralih
agama islam, maka banyak rakyat yang berpindah agama mengikuti adipati alias para
pemimpinnya. Sependapat dengan hal tersebut pada situasi semacam ini oleh sunan Kalijaga
dinamakan situasi yang terang dan lapang. Inilah makna konotasi dalam bait mumpung
padang rembulane, mumpung jembar kalangane. Sunan menyampaikan kepada segenap
adipati dan para nara praja bahwa kondisi untuk memperbaiki perilaku mereka dengan
menganut agama islam. Islam membuka lebar kesempatan untuk bertaubat dan sennatiasa
menerima pertaubatan masyarakat yang sudah rela mennggalkan agama yang sebelumnya
yaitu agama budha. Rakyat dan pemimpinnya pada bersenang-senang karena telah terjadi
peralihan kekuasaan, dan hal itu harus dilengkapi dengan perubahan perilaku yang baik, yang
bisa menyejaterahkan masyarakat. Sunan memperingatkan agar para pemegang kekuasaan
yang sudah beragama islam ini tdak berperilaku seperti raja-raja Majapahit. Kekuasaan saja
yang diperebutkan, sedangkan rakyat tidak diperhatikan. Karena itu diseru untuk menyambut
perubahan itu dengan bergembira ria, memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya.
Yo surako, surak hiyo kata surako yang mempunyai makna konotasi yaitu berupa seruan
kepada masyarakat agar bergembira karena keadaan yang mulai berubah karena aqidah islam
yang dibawakan oleh para sunan. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai dan keceriaan
untuk menjalankan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari. Itulah surak atau sorak ketika
purnama tiba. Sorak dimana rakyat bisa turut bergembira.
DAFTAR PUSTAKA
Amminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Jakarta: Sinar Baru Aglesindo
Chaer, Abdul. 2007. Linguistikk Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chodim, Ahmad. 2013. Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jakarta: PT SERAMBI ILMU
SEMESTA
Hadi Wiyono, Eko. 2007. KAMUS BAHASA INDONESIA LENGKAP. Jakarta: Akar Media
Muslich, Masnur. 2010. TATABENTUK BAHASA INDONESIA Kajian ke Arah Tatabahasa
Deskriptif. Jakarta:Bumi Aksara
Purwadi, Niken Enis. 2007. Dakwah Wali Songo Penyebaran Islam Berbasis Kultural Di
Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yoyakarta
Ramlan, M. 1985. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Jakarta Selatan: BALAI BUKU
SATRIA HARAPAN
Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakata: Cakrawala Media
Sumarsono. 2011. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar