Anda di halaman 1dari 12

Kata Pengantar

Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada
penulis untuk menyelesaikan makalah tentang Makna Simbolik dan Makna Konotatif Dalam
Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada pihak pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini,
antara lain :
1.
2.

Wahyu Widodo, M. Hum sebagai dosen pengampu mata kuliah.


Teman-teman Kelas B Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan motivasi.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritiknya.
Wasalammualaikum Wr.Wb

1.

Latar Belakang
Penelitian ini menggunakan objek kajian yaitu lirik lagu Lir-ilir. Lirik lagu termasuk dalam
genre sastra karena lirik lagu adalah karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan
perasaan pribadi, susunan kata dengan sebuah nyanyian. Oleh karena itu lirik sama dengan
puisi namun disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh musik dan termasuk dalam genre
sastra imajinatif.
Kegemaran masyarakat jawa akan kesenian baik itu seni musik, seni suara atau seni
tradisional yang berupa pertunjukkan seperti wayang ketoprak dan lainnya mendapatkan
perhatian khusus dari wali. Oleh karena itu para wali tidak dalam menciptakan lagu atau
tembang-tembang yang syarat dengan arti kehidupan. Diantara lagu atau tembang karya Wali
adalah lir-ilir ciptaan dari Sunan Kalijaga, di mana syair dari lagu ini syarat akan makna
kehidupan manusia, syair lagunya yang bernafaskan islami, serta cara penyampaiannya yang
menggunakan alunan yang lembut sehingga banyak menuai keberhasilan dalam berdakwah.
Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji makna pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam
syair lir ilir karya Sunan Kalijaga, sebagai salah satu bahan penelitian dengan judul : Makna
Simbolik dan Makna Konotatif Dalam Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga
2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka muncul pokok permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini dan permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.

Bagaimana makna simbolik dalam syiir lir-ilir oleh sunan kalijaga?

2.

Bagaimana makna konotatif dalam syiir lir-ilir oleh sunan kalijaga?

3.

Data dan Teori


a.

Data yang akan dianalisis

Lir-ilir oleh Sunan Kali Jaga


Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodot iro, dodot iro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako surak hiyo
Terjemahan bahasa Indonesia lirik lagu ilir-ilir oleh Sunan Kalijaga
Ilir-ilir tanaman sudah bersemi
Tampak menghijau ibarat pengantin baru
Wahai pengembala panjatlah blimbing itu
Meski licin panjatlah untuk mencuci kain
Kain yang sudah robek pinggirannya
Jahitlah dan tamballah untuk
Menghadap nanti sore
Mumpung bulan terang dan lebar tempatnya
(Purwadi dan Niken, 2007:224)
b.

Teori yang digunakan

Menurut Aminuddin (2010:140) mengatakan bahwa simbol adalah apabila kata-kata itu
mengandung makna ganda (makna konotatif), sehingga untuk memahaminya seseorang harus
menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut
dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berupaya menemukan fitur
semantisnya lewat kaidah proyeksi , mengembalikan kata atau bentuk larik (kalimat) ke
dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis.

Menurut Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman


kandungan makna dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan
yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda
dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan
parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang
pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat
dalam suatu cipta sastra.
Prinsip dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis pada hakikatnya berangkat dari
pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2)
simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang
atau bentuk lain yang tidak mengandung makna, (3) kalimat-kalimat atau baris dalam suatu
cipta satra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4)
pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk
yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang
diperoleh pembaca itu sendiri, (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan
menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam
pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Menurut Aminuddin (2010:140) membagi symbol menjadi tiga jenis, yaitu:
1.

Blank simbol, yaitu apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca
tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum.

2.

Natural simbol, yaitu apabila symbol itu memggunakan realitas alam.

3.

Private simbol, yaitu symbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya.

Edi Subroto (2011:47) mengungkapkan bahwa arti konotatif yaitu arti tambahan atau
pinggiran yang berada di sekitar arti pokok. Tipe arti ini juga berkaitan dengan asosiasi
emosional yang dimunculkan oleh sebuah kata. Menurut Aminuddin (2011:56) makna
konotatif merupakan tambahan makna lain terhadap makna dasarnya. Dalam bukunya
Stephen Ullman yang diadaptasi oleh Sumarsono (2011:88) Mill menyimpulkan bahwa
manakala nama-nama itu mempunyai maknanya sendiri, maka makna itu tidak tinggal pada
apa yanng ditunjuk (didenotasi), melinkan pada apa yang dikonotasikan, nama objek yang
tidak mengkonotasikan sesuatu adalah nama sendiri.

Konotasi merupakan kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi, dan biasanya bersifat emosional


yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya.
Konotasi mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. Dalam memilih kata
konotasi bukanlah hal yang mudah. Makna konotasi sebagian terjadi karena pembicara ingin
menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya
pada pihak pendengar, dipihak lain kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa
pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Makna konotatif sebenarnya adalah
makna denotasi yang mengalami penambahan. Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi. Jika dan jika digunakan
sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.Jika tidak memiliki
rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Nilai rasa bisa berupa ketakziman, kekaguman,
keilmuan, kebencian, ketakwaan, ketakutan, yang dialami penutur, kelompok atau
masyarakat penutur. Nilai rasa tersebut ditautkan dengan peristiwa di dalam pengalaman.
4. Hipotesis Temuan
Syiir Lir-ilir terdiri dari 53 kata, 5 kata yang bereduplikasi sebagai berikut : Lir-ilir, royoroyo, cah angon-cah angon, lunyu-lunyu, dodot iro-dodot iro, dan hanya mempunyai 9
makna simbol yang terdiri dari 6 natural simbol (apabila symbol itu menggunakan realitas
alam) yaitu: lir-ilir, tandure, ijo royo-royo,blimbing, rembulane, dan sore, dan 3 blank simbol
(apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya
karena acuan maknanya sudah bersifat umum) yaitu : temanten anyar, cah angon, dodot iro.
Terdapat 31 makna konotasi (makna konotatif sebenarnya adalah makna denotasi yang
mengalami penambahan. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu
mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif ) yaitu: lir-ilir, lir-ilir, ijo royo-royo
temanten anyar, cah angon, cah angon, blimbing , lunyu-lunyu penekna , dodot ira, dodot
ira-dodot ira , bedah , dondomono, jlumatono, sebo, padang rembulane, jembar kalangane,
surako, surak. Disertai dengan adanya 5 kata yang bereduplikasi, menurut Ramlan (1985:57)
(pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi
fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang
diulang merupakan bentuk dasar), menurut Muslich (2010:48) (proses pengulangan
merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jangan mengulang bentuk dasar, baik
seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi afks
atau tidak), menurut Chaer (2007:182) reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang
bentuk dasar , baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial) maupun dengan perubahan

bunyi) yaitu : lir-ilir, lir-ilir, royo-royo, cah angon-cah angon, lunyu-lunyu, dodot ira-dodot
ira.

Penggunaan ragam makna simbolik seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Pada baris pertama yang berbunyi lir-ilir,lir-ilir tandure wis sumiler terdapat 1 makna
simbol yaitu kata tandure yang mempunyai makna simbol yaitu berupa singkatan TAnDUR
naTA karo munDUR . Memiliki makna simbol yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga adalah
dalam menata barisan. Dalam konteks ini adalah menata sistem pemerintahan yang lebih baik
dari sebelumnya, dengan melihat pengalaman atau kejadian pada masa lalu yang menjadi
bahan untuk introspeksi diri dalam menata kembali kehidupan dengan memegang teguh
syariat islam sesuai dengan ajaran dakwah para Sunan Kalijaga. Menata kehidupan tidak
semerta-merta lurus atau pasti ada saja yang berubah arah menjadi penuh liku atau banyak
godaan dalam masa kepemimpinannya. Oleh sebab itu, para adipati harus bisa menerima
dengan lapang kritik atau saran dari masyarakat yang dipimpinnya.
Pada baris kedua yang berbunyi tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar terdapat 2
makna simbol yaitu pada kata ijo royo-royo. Jika diartikan makna tersebut tidak hanya
semerta-merta merupakan jenis warna, tetapi Sunan Kalijaga menyimbolkan kata ijo royoroyo yang mempunyai simbol tersirat untuk dakwah islam. Makna ijo royo-royo dalam islam
disimbolkan dengan kenikmatan, suasana, kesenangan, dan ketenangan jiwa. Karena dalam
islam warna hijau disimbolkan dengan pakaian ahli surga. Dengan harapan para bangsawan
dan masyarakat yang sebelumnya memeluk agama budha akan merasakan kedamaian dan
ketenangan jiwa setelah memeluk agama islam. Jika dikaitkan dengan kata berikutnya
temanten anyar yang berarti adanya kehidupan baru yang dijalani sepasang insan , yang daam
hal ini menyimbolkan sebagai orang yang baru masuk dan memeluk agama islam,
sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama islam, namun
mereka belum mempunyai penyerapan pemahaman yang dalam mengenai agama barunya,
disimbolkan seperti pengantin baru yang baru akan memulai kehidupan pernikahannya, di
mana kedua sepasang pengantin atau dalam konteks ini adalah para kalangan adipati (bupati
ke atas) yang baru masuk dan memelik agama islam. Oleh sebab itu, kalangan mualaf
(orang yang baru memeluk islam), (Wiyono, 2007:415) masih memerlukan bimbingan atau
pedoman untuk menjalaninya.
Menurut Chodim (2013:182), menyatakan bahwa pada baris ketiga yang berbunyi cah
angon-cah angon, penekno blimbing kuwi terdapat 2 simbol yaitu cah angon yang berarti

gembala secara literal, harfiah, justru merujuk pada masyarakat kelas bawah. Dengan kata
lain, gembala adalah kelompok masyarakat yang tidak terdidik. Yang hidupnya hanya
menjaga ternak yang sedang makan di peladangan atau padang rumput. Sependapat dengan
Achmad Chodim tentu yang dimaksudkan oleh Sunan Kalijaga bukan gembala dalam
pengertian seperti di atas. Gembala dalam konteks ini yang disimbolkan dengan penjaga
rakyat. Mereka adalah pengembala yang mengendalikan rakyat. Para bangsawan yang
disimbolkan oleh Sunan Kalijaga dengan pemilihan kata cah angon yaitu gembala. Jika
dikaitkan dengan kata yang selanjutnya yaitu blimbing yang mempunyai arti literal yaitu
tumbuhan perdu berdaun kecil dan buahnya bergerigi lima buah menurut Wiyono (2007:61).
Dalam konteks ini Sunan Kalijaga menyimbolkan blimbing sebagai rukun islam yang
berjumlah lima buah yang teridiri dari syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang
mampu. Sependapat dengan hal di atas bahwa blimbing yang memiliki makna simbol yaitu
rukun islam yang teridiri dari syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.
Kelima hal tersebut dalam ilmu islam memang bisa mensucikan harta dan jiwa raga manusia
selama hidup di dunia sebagai bekal untuk mati, sehingga Sunan Kalijaga menagmbil kata
blimbing sebagai simbol untuk membersihkan harta dan jiwa manusia agar suci dan bersih
dari dosa-dosa ang telah diperbuat.
Menurut Chodim (2013:180), menyatakan bahwa pada baris keempat yang berbunyi lunyulunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro terdapat 1 simbol yaitu dodot iro yang berarti kain
panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Dodot juga digunakan sebagai selimut tidur.
Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa orang-orang suruhan Aria Penangsang menemukan
Raja Pajang sedang tidur berselimut dodot. Jadi dodot merupakan kain yang amat penting
bagai raja. Padahal, dalam agama khasanah budaya Jawa disebut ageman atau pakaian.
Agama ageming Aji, agama merupakan pakaian raja. Sependapat dengan hal di atas bahwa
dodot menyimbolkan pakaian yang penting untuk para bangsawan dalam konteks ini adalah
pemerintah yang sedang memerintah pada saaat itu diibaratkan pemimpin yang sedang buruk
sistem pemerintahannya karena adanya perebutan kekuasaan dan korupsi besar-besaran,
sehingga rakyatnya menjadi sengsara. Terjadi hal demikian, karena pemerintahan pada saat
itu tidak memegang amanah rakyat dan tidak tangguh dalam penguatan agamanya. Oleh
sebab itu Sunan Kalijaga menyimbolkan dodot sebagai penilaian pada pemerintah, kenapa
Sunan Kalijaga memilih kata dodot, karena pakaian dodot adalah hal yang paling penting
bagi seorang raja. Jika pakaian itu kotor dan sudah lusuh maka Sunan Kalijaga mengingatkan
untuk segera membasuhnya atau mensucikannya dengan blimbing yaitu berpegang teguh
dengan rukun islam.

Menurut Chodim (2013:182), menyatakan bahwa pada baris keenam yang berbunyi
dondomono,jlumatono, kanggo sebo mengko sore terdapat 1 simbol yaitu sore yang berarti
matahari sudah tenggelam di ufuk barat (mengingatkan kepada segenap pemimpin dan
masyarakat bahwa umur kalian sudah senja) di mana Sunan Kalijaga menyimbolkan
peringatan itu dengan menggunakan kata sore. Sependapat dengan hal di atas kenapa sore
lebih dipilih oleh Sunan Kalijaga dalam liriknya, pada waktu sore pastilah matahari sudah
saatnya terbenam di ufuk barat, disimbolkan dengan keadaan manusia yang sudah memasuki
usia senja. Pola kehidupan orang Jawa memang unik. Sependepar dengan hal di atas jika
dipelajari lebih dalam kehidupan orang Jawa sangat syarat akan makna positif kehidupan.
Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia.
Setiap hari melihat banyak orang yang keluar rumah untuk bekerja mencari penghiupan yang
lebih baik. Pagi hari mereka keluar rumah untuk bekerja dan sore pulang dengan kondisi
yang lebih baik. Di sini alasan Sunan Kalijaga meemilih kata sore sebagai simbol jika
manusia telah pulang menghadap Allah SWT maka harus dalam keadaan yang baik atau
khusnul khotima.
Pada baris ketujuh yang berbunyi mumpung padhang rembulane, mumpung jembar
kalangane yang mempunyai 1 simbol yaitu rembulan yang menyimbolkan situasi terang dan
lapang, terang berartikan rembulan yang letaknya berada paling atas dalam kehidupan
manusia. Dapat disimbolkan sebagai adipati (yang dijunjung oleh rakyat) karena letaknya
berada paling atas sebagai pemimpin. Selain itu, kata rembulan merupakan suatu yang terang,
karena banyak adipati dan rakyat yang berpindah agama ke islam (Chodim, 2013:178)
sehingga islam memempunyai banyak pengikut.

Penggunaan ragam makna konotatif seperti terlihat pada kutipan


di bawah ini :
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumiler yang mempunyai makna konotasi yaitu gerakan
semilir angin yang menghidupkan atau membuat adanya gerakan dalam suatu keadaan,
keadaan dalam konteks ini adalah keadaan adipati dan para pemimpin rakyat yang tidak
memegang teguh syariat agama. Diserukan oleh Sunan Kalijaga untuk segera memperbaiki
diri dari segala perilaku semena-mena pada rakyatnya. Hal yang perlu dibangunkan adalah
kesadaran adipati untuk bergerak membenahi keadaan yang buruk pada sikap
kepemimpinannya pada saat itu.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar yang berkonotasi umat yang masuk
agama islam diibaratkan dengan sebuah tanaman yang sedang dalam masa subur-suburnya,
sehingga ada kata ijo royo-royo yang berkonotasi warna hijau yang melambangkan kesuburan
tanaman tersebut. Dalam kalimat ini mempunyai makna konotasi bahwa agama islam telah
banyak penganutnya karena ajaran yang dibawakan sunan menggiring masyarakat yang
sebelumnya beragama hindu dan budha untuk memeluk agama islam, dan hal itu berhasil
dilakuakn oleh sunan. Terbukti dengan pesatnya masyarakat yang mau masuk dan memeluk
agama islam. temanten anyar yang menyimbolkan sebagai orang yang baru masuk dan
memeluk agama islam, sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke
agama islam, namun mereka belum mempunyai penyerapan pemahaman yang dalam
mengenai agama barunya, seperti pengantin baru yang baru akan memulai kehidupan
pernikahannya yang masih memerlukan bimbingan atau pedoman untuk menjalaninya.
Menurut Achmad Chodim (2013:182), Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
yang berkonotasi wahai gembala, panjatlah blimbing itu. Meskipun licin tetap panjatlah.
Gunakan perasan buahnya untuk penyuci dosa pada dodot. Begitulah ajkan sunan kepada
para raja dan pamong praja. Mereka dipanggil dengan sebutan cah angon, gembala. Gembala
yang menggunakan dodot, dodot sendiri mempunyai makna yaitu pakaian adat jawa yang
dipakai oleh kaum bangsawan. Gembala dalam hal ini mempunyai makna konotasi penjaga
rakyat. Mereka adalah gembala yang menegndalikan rakyat. Merekalah yang diajak oleh
sunan untuk memperbaiki perilaku dan keyakinan mereka. Dan bukan hanya dalam
formalitas, tetapi menjalani dengan benar-benar. Bukan hanya formalitas dalam kekuasaan,
melainkan harus memanjat pohon belimbing, dan belimbing tersebut mempunyai konotasi
yaitu islam. Sependapat dengan hal di atas kenapa mempunyai konotasi hal demikian, karena
buah belimbing kulitnya bergaris lima, dan hal itu diartikan sebagai rukun islam yang

berjumlah lima. Dalam hal ini pemimpin harus memberikan teladan serta menuntun umat
atau masyarakat untuk menjalankan ajaran islam dengan benar yaitu dengan menjalankan
lima rukun islam dan mendirikan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira kata lunyu-lunyu yang mempunyai
makna konotasi yaitu meskipun pohon belimbing itu licin tetapi tetap panjatlah. Karena akan
bisa digunakan untuk menyucikan sikap dan sifat para pemimpin yang rusuh atau kotor. Yang
bisa disucikan atau dibersihkan menggunakan belimbing. Belimbing dapat dipakai untuk
mencuci kain atau sinjang supaya tetap tahan lama. Dodot yang mempunyai konotasi yaitu
kain panjang yang dipaki oleh bangsawan orang jawa yang biasanya hanya dipakai pada
upacara atau pada waktu yang penting saja, dan dalam hal ini dodot mempunyai konotasi
yaitu badan kita. Badan kita yang mempunyai dosa atau rusuh karena ingkar kepada ajaran
islam akan disucikan dengan blimbing. Dalam hal ini khususnya yang memanjat itu adalah
para gembala, agar rakyat menjadi sejahtera dalam hidupnya dengan mmpuntai pemimpin
yang bijaksana.
Dodot ira-dodot ira kumitir bedah ing pinggir Dodot ira yang mempunyai makna
konotasi yaitu kain panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Sunan kalijaga
mengingatkan bahwa agama para raja, adipati, dan para nara praja (waktu itu) sudah pada
robek pinggirannya. Sudah kehilangan bentuknya, sudah tak layak untuk dipegangi. Oleh
karen itu agamanya harus diperbaiki mengenai akhlaknya atau budi pekertinya. Agama tanpa
perbaikan akhlak, tidak ada artinya. Orang yang perilakunya buruk, kalau memimpin
masyarakatpun akan bertindak semena-mena atau semaunya sendiri. Dodot atau akhlak
perilaku kita yang mempunyai banyak dosa karena tingkah laku kita saat di dunia yang sering
melalaikan ajaran agama, oleh sebab itu harus dijahit agar tampak utuh kembali.
Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore Dondomono yang mempunyai
konotasi memperbaiki kelakuan atau kalhak perilaku kita dengan sungguh-sungguh
(jlumatono) dalam memperbaiki akhlak perilau kita. Sekaligus mengingatkan kepada umat
islam semua diperintahkan tekun, konsisten dalam menjalankan dan menyempurnakan agama
islam sebagai agama yang paling benar. Tekun, sungguh-sungguh (jlumatono) dalam hal
menjalankan ibadah dan menyempurnakan iman kita pada agama islam. Semua hal itu
mempunyai tujuan yaitu untuk menghadap kepada Allah yang maha kuasa, dalam hal ini
orang yang akan menghadap di hadirat Allah yang maha kuasa atau berkomunikasi kepada
Tuhannya, harus terlebih dahulu memperbaiki agamanya dengan sempurna. (Purwadi dan
Niken, 2007:224-225) Lagu lir-ilir memeberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang
melakukan amal kebaikan amal itu berguna untuk bekal akhir. Kesenpatan hidup di dunia itu

harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan jangan hendak membunuh, nanti akan bergabti
dibunuh karena semua ada balasannya.
Menurut Achmad Chodim (2013:182), Mumpung padang rembulane, mumpung jembar
kalangane yang memiliki kisah yaitu pada saat Majapahit runtuh pada abad ke-15 karena
para pemmpin atau penguasa berebut kekuasaan sehingga menyebabkan rakyat menderita.
Kekacauan terjadi di mana-mana. Di sana-sini terjadi kerusuhan. Perampokan dan
pembegalan terdapat di kadipaten-kadipaten yang lemah. Korupsi para pejabat merajalela
sehingga agama-agama yang tumbuh subur di masa Majapahit kehilangan pamornya, pudar
cahayanya, semaraknya runtuh, dan dalam hal ini yakni agama budha yang pada sebelumnya
diantu oleh masyarakat. Karena banyak adipati (gelar untuk bupati ke atas) yang beralih
agama islam, maka banyak rakyat yang berpindah agama mengikuti adipati alias para
pemimpinnya. Sependapat dengan hal tersebut pada situasi semacam ini oleh sunan Kalijaga
dinamakan situasi yang terang dan lapang. Inilah makna konotasi dalam bait mumpung
padang rembulane, mumpung jembar kalangane. Sunan menyampaikan kepada segenap
adipati dan para nara praja bahwa kondisi untuk memperbaiki perilaku mereka dengan
menganut agama islam. Islam membuka lebar kesempatan untuk bertaubat dan sennatiasa
menerima pertaubatan masyarakat yang sudah rela mennggalkan agama yang sebelumnya
yaitu agama budha. Rakyat dan pemimpinnya pada bersenang-senang karena telah terjadi
peralihan kekuasaan, dan hal itu harus dilengkapi dengan perubahan perilaku yang baik, yang
bisa menyejaterahkan masyarakat. Sunan memperingatkan agar para pemegang kekuasaan
yang sudah beragama islam ini tdak berperilaku seperti raja-raja Majapahit. Kekuasaan saja
yang diperebutkan, sedangkan rakyat tidak diperhatikan. Karena itu diseru untuk menyambut
perubahan itu dengan bergembira ria, memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya.
Yo surako, surak hiyo kata surako yang mempunyai makna konotasi yaitu berupa seruan
kepada masyarakat agar bergembira karena keadaan yang mulai berubah karena aqidah islam
yang dibawakan oleh para sunan. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai dan keceriaan
untuk menjalankan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari. Itulah surak atau sorak ketika
purnama tiba. Sorak dimana rakyat bisa turut bergembira.

DAFTAR PUSTAKA
Amminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Jakarta: Sinar Baru Aglesindo
Chaer, Abdul. 2007. Linguistikk Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chodim, Ahmad. 2013. Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jakarta: PT SERAMBI ILMU
SEMESTA
Hadi Wiyono, Eko. 2007. KAMUS BAHASA INDONESIA LENGKAP. Jakarta: Akar Media
Muslich, Masnur. 2010. TATABENTUK BAHASA INDONESIA Kajian ke Arah Tatabahasa
Deskriptif. Jakarta:Bumi Aksara
Purwadi, Niken Enis. 2007. Dakwah Wali Songo Penyebaran Islam Berbasis Kultural Di
Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yoyakarta
Ramlan, M. 1985. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Jakarta Selatan: BALAI BUKU
SATRIA HARAPAN
Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakata: Cakrawala Media
Sumarsono. 2011. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai