Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi ekonomi dan kedatangan era perubahan dalam menghadapi
perdagangan bebas merupakan tantangan serius bagi para eksekutif dalam
mengelola organisasi. Dalam menghadapi perubahan, harus diperlukan
kehati-hatian untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan
sekaligus menjaga kelangsungan organisasi agar mampu bertahan hidup.
Dalam era keterbukaan, batas-batas goegrafis bukanlah merupakan hambatan
bagi kemungkinan persaingan yang timbul. Oleh karena itu, diharapkan
perusahaan yang ada di dalam negeri dapat mempersiapkan diri untuk
membina organisasinya, terutama sumber daya manusia dan sistem, untuk
mampu menghadapi kedatangan pesaingnya, baik dalam industri yang sejenis
maupun industri lain (Moeljono 2003).
Dalam interaksi organisasi (sebagai sistem terbuka) dengan
lingkungannya/eksternal, organisasi menghadapi berbagai persoalan terutama
jika lingkungannya tidak stabil dan terus berkembang. Terhadap lingkungan
yang berubah-ubah ini, organisasi perlu menyesuaikan diri dengan
menjawab/mengatasi masalah-masalahnya. Disamping itu, pada saat yang
sama organisasi juga menghadapi masalah-masalah internal, yang
mengharuskan organisasi mengatasinya sehingga tetap terjadi suatu
keterpaduan dalam fungsi organisasi. Mengatasi masalah-masalah eksternal
dan internal tersebut, organisasi perlu membentuk suatu budaya organisasi
yang kuat dan sehat, bila ingin mempertahankan diri, bahkan jika ingin terus
tumbuh. Sejak berdirinya organisasi, secara sadar atau tidak, pendiri
meletakkan dasar bagi budaya organisasi yang didirikan. Pertumbuhan
organisasi, sebagai hasil interaksi organisasi dengan lingkungannya juga
dalam mengusahakan pengembangan organisasinya, secara sadar nilai-nilai

1
pokok tertentu perlu mengalami perubahan. Budaya organisasi perlu juga
menyesuaikan diri terhadap pertumbuhan organisasi ( Munandar, 2001).
Menurut Moeljono (2003) mengatakan budaya organisasi adalah system
nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari,
diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai
system perekat, dan dijadikan acuan perilaku dalam organisasi untuk
mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Terdapat beberapa jenis budaya organisasi. Menurut Robbin (1996)
terdapat empat jenis budaya organisasi yaitu tipe akademik, tipe kelab, tim
bisbol, dan banteng. Sedangkan menurut Tosi dkk (dalam Munandar 2001)
menguraikan lima tipe budaya organisasi yaitu tipe charismatic vs self-
suffiant, tipe paranoid vs trusting, tipe avoidant vs achievhment, tipe
politicied vs focused, tipe bureaucratic vs creative. Tidak ada suatu tipe
budaya yang dominan dan ektrem dalam suatu perusahaan. Untuk menjadi
organisasi yang kuat dan sehat, organisasi haruslah memiliki campuran dari
berbagai macam tipe kepribadian, karena tidak ada yang menjadi dominan
dan ektrem. Organisasi haruslah mampu mengadopsi dari berbagai tipe
kepribadian yang sehat yaitu budaya self-sufficient (prakarsa individu),
trusting (kepercayaan), achievement (prestasi), focused (focus), creative
(kreatif).
Robbin (1996) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat
memberikan para karyawan suatu pemahaman yang jelas dari tugas-tugas
yang diberikan oleh organisasi, mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perilaku anggota-anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan. Budaya
organisasi juga dapat membina kekohesifan, kesetiaan dan komitmen
bersama. Apabila karyawan diberikan pemahaman tentang budaya organisasi
maka setiap karyawan akan termotivasi dan semangat kerja untuk melakukan
setiap tugas-tugas yang diberikan oleh perusahaan. Hal ini salah satu kunci
untuk memperoleh prestasi kerja yang optimal, sehingga produktivitas
meningkat untuk mencapai tujuan organisasi.

2
Dengan adanya budaya organisasi yang kuat dan sehat di setiap
perusahaan akan berdampak positif di perusahaan tersebut. Dengan adanya
budaya organisasi kuat dan sehat dapat difungsikan sebagi tuntutan yang
mengikat para karyawan karena diformulasikan secara formal ke dalam
berbagai peraturan dan ketentuan perusahaan. Dengan budaya organisasi akan
menciptakan peningkatan produktifitas, dan kinerja karyawan (Block dalam
Moeljono 2003).
Dalam hal melakukan studi tentang organisasi dan perilaku orang-orang di
dalamnya memperhatikan berbagai macam masalah, terutama masalah prestasi
kerja atau dikenal dengan kinerja. Kinerja sering juga disebut dengan prestasi
kerja, unjuk-kerja, perfomance. Istilah kinerja berasal dari kata job performance
atau actual performance. Jika karyawan tidak melakukan pekerjaannya,
organisasi tersebut akhirnya akan mengalami kegagalan. Seperti juga perilaku
manusia, tingkat dan kualitas kinerja ditentukan oleh sejumlah variabel
perseorangan dan lingkungan (Jewell dan Siegell 1998).
Kinerja dapat digambarkan sebagai fungsi proses dari respon individu
terhadap ukuran kinerja yang diharapkan organisasi, yang mencakup desain
kerja, proses pemberdayaan, dan pembimbingan, serta dari sisi individu itu
sendiri yang mencakup ketrampilan, kemampuan dan pengetahuan. Kinerja
merupakan hasil suatu proses perpaduan kapabilitas individu dengan sikap
individu terhadap aspek pekerjaan dan organisasi.
Menurut Robbin (1990) kinerja merupakan perilaku kerja yang
ditampakkan oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu perusahaan dan dapat
dijelaskan melalui system evaluasi kerja atau performance appraisal.
Selanjutnya Benardin dan Russel (dalam Moeljono 2003) menyatakan kinerja
merupakan hasil keluaran yang dihasilkan pada fungsi atau aktivitas kerja
tertentu selama perioade tertentu. Hal ini berarti kinerja identik dengan dengan
hasil upaya dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Muchinsky kinerja adalah suatu gagasan yang umum digunakan
sebagai suatu kriteria dalam pekerjaan, disamping itu, kinerja juga mengandung
sejumlah faktor yang bersifat multi dimensional dan variabel yang berkaitan

3
dengannya sangat bervariasi antar pekerjaan yang berbeda (Miner dan Brewer
dalam Sjabadhyani 2001). Kinerja merupakan hasil atau taraf kesuksesan
seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya menurut kriteria yang berlaku
untuk pekerjaan tersebut (Anoraga dan Widiyanti 1993).
Blumberg dan Priangle, telah mengusulkan sebuah model kinerja yang
berusaha untuk menghasilkan tingkat dan kualitas kinerja. Model ini terdiri dari
tiga komponen yang dinamakan: kesempatan (opportunity), kapasitas (capacity),
dan kemauan (willingness) untuk melakukan prestasi. (dalam Jewell dan Siegal
1998 ).
Berdasarkan gambaran diatas peneliti berasumsi bahwa apabila semakin
tinggi pemahaman tentang budaya organisasi maka semakin tinggi kinerja
karyawan.
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini berusaha untuk meneliti apakah ada
hubungan antara budaya organisasi terhadap kinerja karyawan ?.

B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris
hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja karyawan.

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kasanah psikologi
industri dan organisasi, terutama yang berkaitan dengan persepsi karyawan
terhadap budaya organisasi dengan kinerja kerja.

b. Manfaat Praktis
Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi manajemen
personalia, khususnya manajemen personalia dalam rangka meningkatkan
manfaat budaya organisasi di perusahaan, sehingga budaya organisasi yang

4
diterapkan dapat secara maksimal memotivasi karyawan untuk meningkatkan
kinerja.

Anda mungkin juga menyukai