Anda di halaman 1dari 2

Namun demikian, ada cerita menarik di sela proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang

masih dilantunkan di berbagai pesantren dan madrasah ini.

Sum

Kami Buat Trading Menjadi Lebih Mud

Pasang sekarang

ber: https://islam.nu.or.id/hikmah/ketika-pengarang-alfiyah-dihinggapi-rasa-ujub-sdUT4

k kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu) ¤ ‫صى ِبلَ ْف ٍظ ُموْ َج ِز‬ َ ‫تُقَرِّبُ اَأل ْق‬
ْ ْ ُ
‫( َوتَ ْبسُـط البَذ َل بِ َو ْع ٍد ُم ْن َج ِز‬Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat
memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat) ‫ْطي‬ ِ ‫ فَـاِئقَةً َأ ْلفِــــيَّةَ ا ْب ِن ُمع‬¤ ‫ضا ً بِ َغي ِْر س ُْخ ِط‬ ِ ‫( َوتَ ْقت‬Kitab
َ ‫َضي ِر‬
ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi) Sampai di sini Ibnu
Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab
karya ulama sebelumnya, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thî ibn Abdin Nur Az-Zawâwi al-Maghribi atau Ibnu
Mu'thi. Dalam kitab Hasyiyah al-'Allâmah Ibnu Hamdûn 'ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik
dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait: ‫ت‬ ٍ ‫ف بَ ْي‬ ِ ‫ فَاِئقَةً لَهَا بَِأ ْل‬¤ ................
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…....) Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba
saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan.
Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia
bertemu seseorang dalam mimpi. “Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu
nahwu?” “Betul,” sahut Ibnu Malik. “Sampai di mana?” “Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…” “Apa yang
membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?” “Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya
lagi. “Kau ingin menuntaskannya?” “Ya.” Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait ‫ف‬ ِ ‫فَاِئقَةً لَهَا بَِأ ْل‬
ٍ ‫ بَ ْي‬yang terpotong dengan ‫ت‬
‫ت‬ ْ ‫َأ‬ ْ
ٍ ِّ‫( َو ال َح ُّي قَ ْد يَ ْغلِبُ لفَ َمي‬Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan
seribu orang mati). Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan berapa
pun banyaknya orang yang tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah mati. Kalimat ini merupakan
sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus
dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang
pengarang Alfiyah. Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?” “Betul.” Ibnu Malik
insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan
menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna: ‫ ُمسْـتَوْ ِجبٌ ثَنَاِئ َي‬¤ ً‫ض ْيال‬ ِ ‫ق َحاِئ ٌز تَ ْف‬
ٍ ‫َو ْه َو بِ َس ْب‬
َ‫( ْال َج ِم ْيال‬Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang
indah) ‫ت اآل ِخ َر ْه‬ ِ ‫ لِي َولَهُ فِي د ََر َجا‬¤ ‫ت َوافِ َر ْه‬ ِ ‫( َواهللاُ يَ ْق‬Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas
ٍ ‫ضي بِ ِهبَـا‬
untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat) Kisah di atas mengungkap pesan bahwa
tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama
sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu
Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan
ulama berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah
(para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat). Cerita tersebut juga
mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu,
sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit
tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan
berkah, bak mata air yang terus memancar hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai