Anda di halaman 1dari 41

BAB XII

PEMBERSIHAN DIRI

TUJUAN:
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan
mampu :
1. Memahami Dosa dan Maksiat
2. Mengetahui dan memahami makna pembersihan diri
3. Mengetahui dan memahami cara pembersihan diri
4. Termotivasi untuk senantiasa membersihkan diri
5. Memahami arti dan cara bertaubat

Muqaddimah
Bab ini merupakan bab penutup dalam pembahasan Aktualisasi
Akhlaq Terpuji yang diberi judul Pembersihan Diri. Yang dimaksud Diri
dalam tulisan ini adalah diri manusia secara total, yaitu jasmani dan rohani
beserta elemen-elemennya. Pembersihan diri berarti pembersihan jasmani
dan rohani berikut elemen-elemenya.
Bab ini menjadi sangat penting, karena untuk mengaktualisasikan
akhlak terpuji, harus bersih dari dosa dan atau ma’shiat. Sehingga hubungan
dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam
lingkungan menjadi harmonis. Nilai-nilai agama menjadi terinternalisasi
dalam akal, jiwa, dan kehormatan manusia.
Pembahasannya di awali dengan pembahasan dosa dan maksiat ,
dillanjutkan dengan makna dan cara pembersihan diri, kemudian diakhiri
dengan pembahasan taubat.

Dosa
Dalam Ensiklopedi Islam (1993:I: 318), dosa dipahami sebagai
pelanggaran terhadap hukum agama (Islam). Dalam istilah fiqih, dosa
berkaitan dengan siksa (penderitaan sebagai hukuman). Dalam Al-Qur’an,
dosa disebut wizrun, itsmun, junah, dan kaba-ir.

1
Bab XIII – Pebersihan Diri

Menurut ajaran Islam, dosa seseorang menjadi tanggung jawabnya


diri sendiri (individu) tidak ada dosa warisan dalam Islam. Allah berfirman:

‫ﳾ ءٍ َوَﻻ َِﻜْﺴ ُﺐ ُﰻ ﻧَﻔ ٍْﺲ اﻻ َﻠ َﳱْ َﺎ َوَﻻ َﺰُِر‬ َْ ‫ﰻ‬ ّ ِ ُ ‫ﻗ ُﻞْ ْ ََﲑ ا ِ ﺑ ْﻐِﻲ َر َوﻫ َُﻮ رَب‬
[/‫ﻌُﲂ ﻓ َُ ﻨ َ ِ ّ ُ ُْﲂ ﺑِﻤَ ﺎ ﻛُ ﻨ ُ ْْﱲ ﻓِ ﻪِ َ ْﲣﺘ َﻠِ ﻔُﻮنَ ] ا ٔﻧﻌﺎم‬
ْ ُ ِ‫َوا َزِرة ٌ وِزْ َر ﺧ َْﺮى ُﰒ َاﱃ َر ُّ ِْﲂ ﻣ َْﺮﺟ‬
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [masing-masing orang
memikul dosanya sendiri-sendiri). Kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
(QS. Al-An’am [6]:164)
Islam juga melarang seseorang menolong orang lain dalam perbuatan
dosa karena akibat hukumnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan
itu. Dalam ayat lain Allah berfirman:

... ‫ ََﻌَﺎوﻧُﻮا ََﲆ ْاﻻ ْﰒ ِ َواﻟ ْﻌُﺪْ َوانِ وَ اﺗ ُﻘﻮا ا َ ان ا َ ﺷَ ﺪِ ﯾﺪُ اﻟ ْﻌِ ﻘ َِﺎب‬....
‫َوَﻻ ﺗ‬
”.... dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kalian kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya (QS. Al-Maidah [5]: 2).
Menurut tingkatannya, dosa ada dua macam yaitu dosa kecil dan
dosa besar. Dosa kecil adalah pelanggaran hukum atas perbuatan yang tidak
dirinci sebagaimana dosa besar. Sedangkan dosa besar adalah pelanggaran
hukum atas perbuatan yang telah di rinci, seperti: (a) Menyekutukan Allah
(musyrik); (b) Menyakiti kedua orang tua; (c) Bersaksi palsu; (d) Bunuh
diri; (e) Membunuh orang lain; (d) Berzina; (e) Hirobah (mengganggu
ketentraman orang).

Maksiat
Selain istilah dosa dikenal juga istilah “maksiat”. Asmaran (2002:185)
mengartikan ma’siat sebagai “pelanggaran terhadap ajaran Islam yang
dilakukan oleh orang yang sudah baligh-berakal (mukallaf) termasuk
meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syari’at Islam”. Baik dalam
hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan sesama
manusia dan alam. Selain itu, kita juga mengenal istilah “munkar”, yakni
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh semua manusia, baik
sudah orang yang sudah baligh/berakal ataupun belum.

2 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 3

Dari segi jenisnya maksiat terbagi menjadi: (a) maksiat lahir; dan
(b) maksiat batin.
Maksiat lahir, meliputi antara lain:
1. Maksiat Lidah/Lisan
Imam Al-Ghazali mengungkapkan lima belas bahaya lidah, yaitu:
a. Membicarakan hal yang tidak perlu;
b. Perkataan yang berlebihan
c. Berbicara hampa dalam hal batil;
d. Bertengkar dan berbantah-bantahan;
e. Permusuhan;
f. Kata keji, caci maki, kotor lidah;
g. Mengutuk,
h. Senda gurau yang tidak berguna;
i. Menghina dan mentertawakan;
j. Membuka rahasia;
k. Janji palsu;
l. Dusta pada ucapan dan sumpah;
m. Adu domba dan fitnah;
n. Pembicaraan orang yang berlidah dua (plin-plan)
o. Sanjungan atau pujian karena kepentingan.
2. Maksiat Telinga
Di antara maksiat telinga adalah mendengarkan pembicaraan atau suara
yang dapat melalaikan beribadah kepada Allah, mendengarkan ghibah
(mengumpat), namimah (adu domba).
3. Maksiat Mata
Maksiat mata ialah melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, seperti melihat aurat. Rasul Saw bersabda yang artinya:
Janganlah seorang pria melihat aurat pria lainnya, dan janganlah pula
wanita melihat aurat wanita lainnya.
Allah mengancam terhadap orang-orang yang tidak memanfaakan mata
telinga dan hatinya terhadap kebaikan (ajaran Islam). Firman-Nya dalam
Al-Qur’an Surah Al-A’raf (7):179:

‫ِْﺲ ﻟ َ ﻬ ُْﻢ ﻗ ُﻠ ُﻮبٌ َﻻ ﯾ َ ْﻔﻘ َﻬُﻮنَ ﲠِﺎ َ َوﻟ َﻬ ُْﻢ ُ ٌْﲔ‬ ‫َوﻟ َﻘ َﺪْ َذَر َ ﻟِﺠَ ﻬ ََﲌ ﻛَﺜِﲑًا ﻣِﻦَ اﻟ ْﺠِ ِّﻦ َو ْاﻻ‬
َ‫ُﺒْﴫونَ ﲠِ َﺎ َوﻟ َ ﻬ ُْﻢ َٓذَانٌ َﻻ َْﺴﻤَ ﻌُﻮنَ ﲠِ َﺎ وﻟ َﺌِﻚَ ﰷَ ْ ﻧْﻌَﺎمِ ﺑ َﻞْ ُﱒْ ﺿَ ﻞ وﻟ َﺌِﻚ‬ُ ِ ‫َﻻ ﯾ‬
. َ‫ُﱒُ اﻟ ْ ﻐَﺎﻓِ ﻠ ُﻮن‬

Bahan Ajar PAI-Akhlak 3


Bab XIII – Pebersihan Diri

Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan


dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
4. Maksiat Tangan
Maksiat tangan ialah menggunakan tangan untuk hal-hal yang haram,
atau sesuatu yang dilarang oleh agama Islam, seperti mencuri, merampok,
merampas, mengurangi timbangan/takaran dan lain sebagainya.
Maksiat Batin. Maksiat batin dipandang lebih berbahaya dibandingkan
dengan maksiat lahir. Karena ia tidak kelihatan dan sukar dihilangkan. Maksiat
batin merupakan pendorong maksiat lahir. Selama maksiat batin belum
dilenyapkan, maka maksiat lahir tidak bisa dihindarkan. Maksiat batin meliputi:
marah (ghadhab); perasaan mengkel dalam hati (hiqdun); dengki (hasad);
dan sombong (takabbur).
Pada dasarnya, akibat dari perbuatan dosa akan kembali kepada dirinya.
Hukum sebab akibat atau balasan dosa dapat terjadi di dunia dan dapat pula
terjadi di akhirat. Tetapi Allah Swt, memberikan kesempatan kepada hamba
hamba-Nya yang berdosa untuk memohon ampunan-Nya.

Perbersihan Diri
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa yang dimaksud diri dalam
tulisan ini adalah diri manusia secara total atau rohani dan jasmani beserta
elemen-elemennya. Pembersihan diri berarti pembersihan jasmani dan
rohani berikut elemen-elemenya secara total.
Perintah membersihkan diri secara total ditunjukkan oleh Allah Swt
antara lain dalam al-Qur’an surah al-Muddatstsir ayat ke 4 yang berbunyi:

‫َوﺛِﯿَﺎﺑ َﻚَ ﻓ َﻄَ ﻬِّﺮ‬


Dan bersihkanlah pakaianmu
Dalam Tafsir Fath Al-Qodir Juz 7: 346 dan Tafsir Al-Qurtubi, kata
“tsiyâbun” dalam ayat ini dimaknai pembersihan diri secara total, meliputi
jasmani dan rohani beserta elemen-elemennya. Terdapat delapan makna
pembersihan diri yang diuraikan dalam tafsir-tafsir tersebut, yaitu:
1. Kata Tsiyâbun diartikan Al-Malbûtsâtu ‘alâ al-zhahiri (pakaian yang
biasa dipakai oleh manusia secara zhahir atau pakaian sehari-hari).
2. Kata Tsiyâbun diartikan ‘Amal (perbuatan)

4 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 5

3. Kata Tsiyâbun diartikan Qalbun (hati)


4. Kata Tsiyâbun diartikan Nafsu (jiwa)
5. Kata Tsiyâbun diartikan Jismun (fisik/jasmani)
6. Kata Tsiyâbun diartikan Akhlaq (perilaku)
7. Kata Tsiyâbun diartikan Ahlu (Keluarga)
8. Kata Tsiyâbun diartikan Dien/ad-Dien (agama Islam)
Jika ke delapan makna “tsiyabun” di atas digabungkan dengan kalimat
perintah “fa-thohhir (bersihkanlah)”, maka makna ayat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Al-Malbûtsâtu ‘alâ al-zhahiri fa thahhir).
Artinya, maka bersihkanlah pakaianmu yang biasa dipakai dalam
keseharian.
Kata “tsiyabun” dalam makna pertama adalah pakaian yang biasa
dipakai oleh manusia dalam keseharian. Ar-Raghib Al-Isfahani mengatakan,
bahwa pakaian dinamai “tsiyâb" atau “tsaub”, karena ide dasarnya adalah
pakaian untuk dipakai. Yang paling utama dalam “berpakaian” menurut
ajaran Islam adalah menutup aurat dan tidak berlebihan, karena menutup
aurat adalah fitrah dan kehormatan manusia. Islam sangat menghargai
kehormatan manusia.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa, Muawiyah pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah, terhadap aurat kami, apa
yang dapat kami lakukan dan apa pula yang terlarang? Rasulullah Saw
menjawab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang
artinya:Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu dan hamba sahayamu.
Kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: Jika sesama
kaum itu sendiri? Beliau menjawab: Jika kamu dapat berusaha agar
seorangpun jangan ada yang melihatnya. Beliau ditanya lagi: Jika kami
seorang diri? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah lebih berhak dimalui
daripada manusia.
Berkaitan dengan memelihara aurat, ayat suci Al-Qur`an Surah Al-
Mukminun (23): 5-7 menunjukkan:

‫َﻜَﺖ ﯾ ْﻤَ ﺎﳖُ ُْﻢ ﻓ َﺎﳖ ُْﻢ ْ َُـﲑ‬


ْ ‫( اﻻ ََﲆ َزْوا ِ ِْﻢ وْ ﻣَﺎ ﻣَﻠ‬) َ‫َوا ِ ﻦَ ُﱒْ ﻟِ ﻔ ُُﺮو ِ ِْﻢ َﺎﻓِﻈُ ﻮن‬
() َ‫(ﻓ َﻤَﻦِ اﺑ ْﺘ َﻐَﻰ َوَر َاء ذَ ِ َ ﻓ َ وﻟ َﺌِﻚَ ُﱒُ اﻟ ْﻌَﺎدُون‬) َ‫ﻣَﻠ ُﻮﻣِ ﲔ‬
Dan mereka (orang-orang Mukmin) yang memelihara auratnya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka dan budak sahaya mereka, maka sesungguhnya
mereka tidak tercela. Barangsiapa yang mengharap lebih dari itu, merek
itulah orang-orang yang melampaui batas.”

Bahan Ajar PAI-Akhlak 5


Bab XIII – Pebersihan Diri

Dengan demikian, kalimat wa tsiyâbaka fa thahhir dalam makna


pertama adalah:
a. Membesihkan dan memelihara pakaian dari najis dan kotoran.
b. Rapih dan menutupi aurat sesuai dengan aturan Islam.
c. Bersih dalam perolehannya, yakni diperoleh dengan usaha yang halal.
d. Bersih dari pengaruh kejiwaan yang negatif (tidak sombong). Karena
pakain dapat mencerminkan jiwa seseorang dan menjadi petunjuk
identitas, “al-libâsu mir`atun nufusi (=Pakaian itu cerminan jiwa
pemakainya).”
2. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa ’amalaka fa thahhir). Artinya, dan
bersihkanlah amal/perbuatanmu.
Kata “tsiyâb” dalam makna yang kedua (menurut Mujahid dan Ibnu
Zaid) adalah “’amal-perbuatan”. Al-Mawardi mengatakan bahwa menurut
Rasulullah Saw, jika dilihat dari segi kualitasnya amal ada dua macam,
yaitu: (1) ‘amal shaleh; dan (2) ‘amal thaleh (jelek). Sebagaimana sabda beliau
yang artinya: “Seseorang akan dikumpulkan pada salah satu dari dua bajunya.
Sedang memakai baju apa pada saat dia meninggal dunia. Maksudnya apakah
pada saat ia meninggal dunia, sedang mengerjakan amal shaleh atau amal
thaleh (amal jelek).”
Di dalam Ensiklopedi Islam (1993/I: 131) dijelaskan, bahwa amal
merupakan perwujudan dari sesuatu yang menjadi harapan jiwa, baik berupa
ucapan, perbuatan anggota badan dan atau sikap. Atau dengan perkataan lain
bahwa amal merupakan perwujudan dari niat. Tidak ada amal tanpa niat.
Oleh karena itu, setiap amal akan dinilai Tuhan berdasarkan niat-nya. Dengan
demikian, azas penerimaan amal di sisi Allah adalah niat-nya, kemudian
dipraktekkan dalam bentuk lahir yang disebut kaifiyat (tatacara pelaksanaannya).
Niat (keikhlasan) adalah suatu pertimbangan sebelum melakukan
amal/perbuatan. Sebagaiamana sabda Nabi Saw yang artinya:
Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Dan
setiap orang ingin sesuatu (tercapai) harus diniatkan, maka siapa yang
berhijrah semata-mata karena (niat) taat kepada Allah dan Rasulullah,
maka hijrahnya itu diterima Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang
hijrahnya karena untuk keuntungan dunia yang dikerjakannya atau karena
perempuan yang akan dikawini, maka hijrahnya tercapai pada yang ia
niatkan dalam hijrahnya itu (kawin) (HR. Bukhari-Muslim dari Umar bin
Khaththab).
Hadits ini merupakan salah satu dasar tentang diterimanya amal oleh
Allah Swt. Upaya menetapkan dan meluruskan niat dalam amal merupakan

6 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 7

sesuatu yang sangat penting agar tujuan tidak bergeser. Segala amal muslim
harus dilakukan dengan niat karena Allah, niat mengagungkan-Nya, dan
niat menegakkan kalimah-Nya. Apabila niat dan tujuan itu bergeser dari
keikhlasan kepada kursi kekuasaan dan kemegahan diri atau kepada
kehidupan dunia, maka dimungkinkan akan timbul pertentangan dan
persaingan yang tidak sehat, perpecahan dan permusuhan antar sesama
umat.
Sedangkan kaifiyat (amal) sebagai buah dari niat harus sesuai dengan
syari’at yang disebut sebagai amal shaleh. Karena itu, Ibnu Katsir (III: 108)
mengartikan Amal Shaleh, sebagai “perbuatan yang cocok (muwaffiqun)
dengan syari’at Allah yang ditampilkan melalui keteladanan Rasulullah Saw.
Dengan demikian, bersatunya niat yang iklash dengan amal shaleh
laksana bangunan yang kokoh dan menjadi sebab diterimanya amal di
hadapan Allah Swt. Allah menjanjikan tiga macam kemenangan bagi umat
Islam yang beriman dan beramal shaleh. Pertama, mereka akan diberikan
kedudukan sebagai pengatur dan penguasa di muka bumi (khalifah fil-ardli).
Kedua, agama mereka akan dikokohkan sehingga tidak akan tergoyahkan
oleh urusan dunia yang menyesatkan. Ketiga, bahwa mereka akan diberi
kehidupan yang aman dan tentram, bebas dari segala ketakutan dan
kekhawatiran.
Dengan demikian, perintah membersihkan amal (wa amalaka fa
thahhir) mengandung arti: (1) mendasari amal dengan niat karena Allah; (2)
mencocokkan amal perbuatan dengan Sunnah Rasulullah Saw.
3. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa qalbaka fa thahhir). Artinya bersihkanlah
hatimu.
Ada dua penegasan yang dikemukakan oleh Al-Mawardi berkenaan
dengan perintah membersihkan hati: Pertama, membersihkan hati dari dosa
dan maksiat (wa qolbaka fa thahhir minal-itsmi wal-ma’ashî) (periksa, Ibnu
Abbas dan Qatadah); (2) Membersihkan hati dari penipuan (wa qolbaka fa
thahhir minl-ghadri) (lihat: Ibnu ‘Abbas).
Hati, memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam
perbuatan manusia, hati bagaikan seorang raja yang mengatur anak buahnya,
dimana seluruh anggota bergerak dan bekerja sesuai dengan perintahnya.
Rasulullah Sw bersabda, yang artinya: “Ingatlah! Bahwa dalam tubuh itu
ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh itu. Dan bila
ia rusak, maka rusak pulalah seluruhnya. Itu-lah dia Qalbu (hati)”. (HR.
Bukhari dalam Al-Iman I/126, dari Nu’aim bin Basyir)

Bahan Ajar PAI-Akhlak 7


Bab XIII – Pebersihan Diri

Hati, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam al-Hadits sering disebut


qalbun yang terambil dari akar kata yang bermakna “taqallub (membalik /
berbolak-balik).” Diartikan demikian karena hati kadang-kadang senang
kadang susah, kadang-kadang setuju kadang-kadang menolak. Hati (Qalbun-
taqollub), berpotensi tidak konsisten dan atau labil. Bahkan Al-Qur`an
menggambarkan hati ada yang baik dan ada yang buruk. Seperti firman
Allah surah Qaf (50), ayat 37:

‫ٕا ن ِﰲ ذَ ِ َ َ َِﻛْﺮى ﻟِﻤَﻦْ ﰷَ نَ َ ُ ﻗ َﻠ ْﺐٌ وْ ﻟ ْ ﻘ َﻰ اﻟﺴﻤْ ﻊَ َوﻫ َُﻮ ﺷَ ﻬِﯿ ٌﺪ‬


Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya,
sedang dia menyaksikan.”
Fungsi Hati, sebagaimana digambarkan oleh al-Qur’an sebagai berikut:
a. Hati berfungsi sebagai wadah, seperti diungkapkan dalam QS. Al-Hadid
(57): 27:
... ً‫ُﻮب ا ِ ﻦَ اﺗﺒَﻌُﻮﻩُ َرﻓ َﺔً َوَر ْﲪَﺔ‬
ِ ‫ َوﺟَ ﻌَﻠ ْ ﻨ َﺎ ِﰲ ﻗ ُﻠ‬...
... Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun
dan kasih sayang...” (lihat juga QS. Ali Imran [3]: 151; QS. Al-Hujarat
[49]: 71).
Ayat ayat tersebut menunjukkan bahwa “hati" (qalb) berfungsi sebagai
wadah pengajaran; wadah kasih sayang; wadah rasa takut; wadah
keimanan; dan lain sebagainya.
Karena hati berfungsi sebagai wadah, maka isi yang ada dalam hati
(qalb) akan dituntut pertanggungjawabannya. Sebagaimana Firman
Allah dalam Q.S, Al-Baqarah (2) ayat 225:

ٌ‫ﻻَ ﯾ ُﺆَا ُ ُِﺬ ُﰼ ﷲُ ِ ﻠ ﻐْﻮِ ِﰲ ﯾ ْﻤَ ﺎ ُ ِْﲂ َوﻟ َﻜِﻦْ ﯾ ُﺆَا ُ ُِﺬ ْﰼ ﺑِﻤَ ﺎ َﻛَﺴ َْﺖ ﻗ ُﻠ ُﻮ ُ ُْﲂ َوﷲُ ﻏ َﻔُﻮر‬
ٌ‫َﻠِﲓ‬
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagai wadah, hati ada yang disegel, sebagaimana firman Allah dalam
QS. Al-Baqarah (2): 7)
...‫ﺧ ََﱲَ ﷲُ ََﲆ ﻗ ُﻠ ُﻮﲠِ ِْﻢ‬
Allah mengunci mati hati mereka...

8 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 9

Demikian pula sebagai wadah hati dapat diperbesar/diperluas, sebagaimana


firman Allah Swt dalam QS. Al-Hujarat (49) ayat 3:

....‫وﻟ َﺌِﻚَ ا ِ ﻦَ اﻣْ َﺤَﻦَ ا ُ ﻗ ُﻠ ُﻮﲠَ ُْﻢ ِﻠﺘ ﻘْﻮَى‬...


... Mereka itulah yang diperluas qalbu-nya untuk menampung taqwa...
َ‫ﻟ َْﻢ َْﴩَحْ َ َ َﺻﺪْ رَك‬
Bukankah kamu telah mempeluas dadamu? (QS. Al-Insirah (94):1)
Hati, bisa diperkecil atau dipersempit (QS. Al-An’am (6): 125)
‫ْ ﻓ َُﻤَﻦﺮِدِ ﷲُ نْ ﳞَ ْﺪِ ﯾ َ ُﻪ َْﴩَحْ َﺻﺪْ َ ﻩُر ْﻟِﻼ ْﺳﻼَمِ َوﻣَﻦْ ُ ِﺮ ْد نْ ﯾ ُﻀِ ُ ﳚَ ْﻌَﻞْ َﺻﺪْ َﻩُر‬
‫ﺿَ ِّﯿ ﻘ ًﺎ َﺣَﺮ ًﺎ‬
Maka barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan
dada (qalbu) nya sempit lagi sesak”.
b. Hati berfungsi sebagai “alat”, seperti firman Allah (QS. Al-A’raf (7): 179:
‫ﻟ َ ﻬ ُْﻢ ﻗ ُﻠ ُﻮبٌ ﻻَ ﯾ َ ْﻔﻘ َﻬُﻮنَ ﲠِ َﺎ‬
… Mereka mempunyai qalb (hati), tetapi tidak digunakan untuk
memahami (kebenaran) …
Ayat di atas menunjukkan bahwa hati berfungsi sebagai alat atau sarana
untuk memahami kebenaran. Sebagai alat, hati dilukiskan juga dengan
kata “fu`ad”, yakni alat untuk bersyukur kepada Allah Swt. Firman
Allah dalam QS. Al-Nahl (16) ayat 78,
َ‫ َوﺟَ ﻌَ َﻞ ﻟ ُ َُﲂ اﻟﺴﻤْ ﻊَ َوا ْ ﺑ َْﺼ َﺎر َوا ْ ﻓ ْ ِﺪَ َة ﻟ َﻌَﻠ ُ ْﲂ َﺸْ ُﻜُﺮون‬...
... Allah memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (fu-ad),
agar kamu bersyukur”
Baik sebagai wadah maupun sebagai alat, hati memiliki tiga bentuk,
yaitu: (1) Hati yang sehat; (2) Hati yang mati; dan (3) Hati yang
berpenyakit. Sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur`an sebagai berikut:
Pertama, Hati yang sehat, yakni hati bersih yang mengantarkan manusia
untuk menghadap Allah pada hari qiyamat. Firman Allah QS. Al-Syu’ara’
(26): 88-89:
‫ اﻻ ﻣَﻦْ َﰏ ﷲَ ِﺑﻘ َﻠ ٍْﺐ َﺳ ٍﻠِﲓ‬. َ‫ﯾ َْﻮمَ ﻻَ ﯾ َ ْﻨﻔَﻊُ ﻣَﺎلٌ َوﻻَ ﺑ َﻨ ُﻮن‬
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna; Kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Bahan Ajar PAI-Akhlak 9


Bab XIII – Pebersihan Diri

Hati yang sehat, adalah hati yang terhindar dari keinginan hawa nafsu,
selamat dari subhat dan kesalahan. Sehingga ia selamat dalam
menghambakan diri kepada Allah Swt, ikhlas dalam beribadah, penuh
mahabbah, tunduk, pasrah dan penuh harap. Bila ia mencintai sesuatu,
ia akan mencintainya karena Allah. Bila ia membenci sesuatu, ia pun
akan membencinya karena Allah. Apabila ia memberi, semata-mata
karena Allah. Jika ia melarang atau mencegah sesuatu, juga karena Allah.
Orang yang sehat hatinya senantiasa tunduk dan bertahkim kepada
ajaran Rasulullah Saw.
Kedua, Hati yang mati, adalah hati yang tidak mengenal Tuhannya,
tidak beribadah kepada-Nya. Selalu berjalan bersama-sama keinginan
hawa nafsu, walaupun hal itu dibenci dan dimurkai Allah Swt. Bila ia
mencintai sesuatu, ia mencintainya karena hawa nafsu. Bila ia membenci
sesuatu, membencinya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya,
menjadi pemimpin dan pengendali bagi dirinya. Ia diselimuti oleh
kesenangan duniawi semata. Tidak lagi bisa membedakan mana yang
haq dan mana yang bathil. Gagan Subhan (2014) mengemukakan 13
tanda-tanda hati yang mati
1) Tarkush sholah: Berani meninggalkan salat wajib.
2) Adzdzanbu bil farhi : Tenang tanpa merasa berdosa padahal sedang
melakukan dosa besar (lihat: QS. al A'raf 3).
3) Karhul Qur'an:Tidak mau membaca Al-Qur'an.
4) Hubbul ma'asyi: Terus menerus mengerjakan maksiat.
5) Asikhru:Sib uknya hanya mempergunjing dan buruk sangka, serta
merasa dirinya selalu lebih suci.
6) Ghodbul ulama’i: Sangat benci dengan nasehat baik dari ulama.
7) Qolbul hajari: Tidak ada rasa takut akan peringatan
kematian,kuburan dan akhirat.
8) Himmatuhul bathni: Gilanya pada dunia tanpa peduli halal atau
haram, yang penting kaya.
9) Anaaniyyun:Tidak mau tau, "cuek" atau masa bodoh keadaan orang
lain,bahkan pada keluarganya sendiri sekalipun menderita.
10) Al-intiqoom: Pendendam hebat.
11) Al-bukhlu: Sangat kikir.
12) Ghodhbaanun: Cepat marah karena keangkuhan dan dengki.
13) Asysyirku: Syirik dan percaya sekali kepada praktek dukun

10 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 11

Ketiga, Hati yang bepenyakit. Yakni hatinya hidup, tapi mengandung


penyakit. Hati semacam ini sesekali mahabah kepada Allah, Iman dan
ikhlas serta ber-tawakkal. Tetapi ia juga, suka mengikuti hawa nafsu,
sesekali tamak/rakus dalam meraih kesenangan, mementingkan kehidupan
dunia, hasad, dan takabbur. Hati yang berpenyakit ini, mungkin bisa
kembali sembuh dan selamat, atau mungkin akan terus celaka dan bahkan
mungkin terus menjadi mati.
Penyakit yang menyerang hati ada dua macam; (a) penyakit tarikan
hawa nafsu; (b) penyakit ragu-ragu dan salah memandang agama.
Penyakit pertama akan merusak niat dan tujuan; sedangkan penyakit
yang kedua akan merusak ilmu dan i’tikad (keyakinan).
Ketika hati terserang penyakit, maka:
1) Hati bisa menjadi Hitam dan tertelungkup (bagaikan gayung yang
terbalik). Jika hati menjadi hitam dan tertelungkup, maka akan terkena
dua penyakit berikutnya yaitu: (a) mencampuradukan perkara haq
dengan perkara bathil” (b) menjadikan hawa nafsu sebagai kendali.
Seperti diungkapkan dalam sebuah hadits yang berbunyi:
‫ُﻜَﺬب‬
ُ ‫ َو‬، ‫ذِب‬ ُ َ‫ﺪق ﻓِ ﳱ َﺎ اﻟ ْﲀ‬ ُ ‫ﯾ َُﺼ‬، ‫اﻟﻨﺎس َﺳ ﻨ ََﻮاتٌ َﺪا َُﺎت‬ ِ ‫َﺳ ﯿَ ِﰐ ََﲆ‬
‫ َوﯾ َﻨْﻄِ ُﻖ ﻓِ ﳱ َﺎ‬، ُ‫ و َُﳜَﻮنُ ﻓِ ﳱ َﺎ ا ﻣِ ﲔ‬، ُ‫ ﯾ ُﺆْ ﺗَﻤَﻦُ ﻓِ ﳱ َﺎ اﻟ ْ َﺎ ِﻦ‬،َ‫ﻓِ ﳱ َﺎ اﻟﺼﺎدِ ُق و‬
. ِ‫ اﻟﺮ ُ ُﻞ اﻟﺘﺎﻓِ ُﻪ ِﰲ ﻣْ ِﺮ اﻟ ْﻌَﺎﻣﺔ‬: َ‫ َوﻣَﺎ اﻟﺮَوﯾ ْﺒِﻀَ ﺔُ ؟ ﻗ َﺎل‬: ‫ ﻗِ َﻞ‬، ُ‫اﻟﺮَوﯾ ْﺒِﻀَ ﺔ‬
Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya,
dimana pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianat
diberi amanah dan orang amanah dikhianati, dan Ruwaibidhoh
berbicara. (Orang bodoh berbicara tentang urusan umum/masyarakat).
[HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah ra dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’).
2) Hati ada yang Tetap putih bersih, terpancar di dalamnya sebersih sinar
keimanan, bagaikan pelita yang terang. Bila datang fitnah menyerang ia
menolaknya dan berpaling.
Jika hati terserang penyakit, maka obat yang paling ampuh adalah berdzikir
kepada Allah; dan membaca Al-Qur’an.

Dzikir
Secara etimologis dzikir berasal dari bahasa arab, yaitu dzakara, yadzkuru,
dzikr, berarti “menyebut, mengingat, memperhatikan, mengenang,
mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti”. Sedangkan menurut

Bahan Ajar PAI-Akhlak 11


Bab XIII – Pebersihan Diri

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1571), dzikr mempunyai arti puji-


pujian kepada Allah yang diucapkan secara berulang-ulang. Jadi dzikir
kepada Allah (dzikrullah) secara sederhana dapat diartikan ingat kepada
Allah atau menyebut nama Allah secara berulang-ulang.
Secara terminologi, dzikir mempunyai arti bahwa dzikir adalah menyebut
Allah dengan membaca tasbih (Subhanallahi), membaca Tahlil (Lâ
ilâha illallâhu), membaca Tahmid (al-hamdulillâh) dan membaca do’a-
do’a yang ma’tsur, yaitu do’a-do’a yang diterima dari Nabi SAW. (
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2002:4) Menurut M. Afif
Ansori (2003:16) secara terminologi yang dimaksud dengan dzikir adalah
menyebut atau mengingat nama-nama Allah sebagai bentuk rangkaian
dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah.
Sementara menurut Ustman Sa’id Sarqawi sebagaimana dikutip oleh
Nedy Sugianto, menjelaskan bahwa dzikir adalah jalan yang menyampaikan
kepada kecintaan Allah dan keridhoanNya, dan dzikir adalah pintu yang
amat besar untuk naik dan memperoleh kemenangan serta dzikir-lah
yang dapat menyelamatkan dari siksa Allah. Dzikir menerangi wajah
dan hati, menghilangkan ketakutan dan kesedihan antara seorang abdi
dengan TuhanNya. Dzikir juga dapat menghilangkan kebingungan dan
kegundahan hati. Dzikir pula yang menjadikan hati menjadi jernih,
tenang, tentram, dan bahagia.
Kemudian menurut TB. Aca Hasan Sadzali yang dikutip oleh Nedy
Sugianto (2011:30-38), menjelaskan bahwa dalam Islam dzikir selain
untuk mendatangkan ketenangan dan ketentraman hati, dzikir juga
merupakan jalan atau alat satu-satunya yang dapat mengantarkan seorang
hamba untuk mendekatkan diri kepadaNya. Menurut sebagian ulama
bahwa seseorang tidak akan sampai ke hadirat Allah apabila orang
tersebut tidak terus-menerus mengingat-Nya (berdzikir), oleh karena itu
dzikir merupakan ungkapan yang diamalkan dengan terus-menerus dan
berulang kali dengan menyebut nama-nama Allah. Jadi dzikir merupakan
satu istilah yang tidak pasif dan selalu on (hidup) lewat penyebutan–
penyebutan, baik dengan jahr (terdengar) ataupun ghairu jahr (tidak
terdengar) dalam tiap-tiap qolbun hamba Allah. Satu kelebihan yang
didapat oleh dzakir (orang yang berdzikir) adalah dengan dibukanya
pintu untuk bersepi-sepi dan menyendiri di tempat yang sunyi dari suara
dan gerakan. Sementara menurut R.W.J Austin, Stephen Hirtenstein
dalam bukunya yang berjudul Shalat dan Perenungan (2001:36)

12 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 13

menyatakan bahwa dzikir adalah ibadah verbal ritual, yang tidak terikat
dengan waktu, tempat atau keadaan, dan jika manusia menyibukkan diri
untuk melakukannya, dzikir menghasilkan pengetahuan dan penglihatan
dalam dirinya.
Dzikir dalam pengertian yang luas dapat berarti do’a. Menurut Sudirman
Tebba dalam bukunya yang berjudul Meditasi Sufistik menyebutkan
bahwa do’a adalah permintaan atau permohonan manusia kepada Allah
untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat. Do’a
merupakan kesempatan manusia untuk mencurahkan hati kepada Tuhan,
menyatakan kerinduan, ketakutan dan kebutuhan manusia kepada-Nya.
Dengan syarat, do’a hanya dipanjatkan kepada Allah, dengan sikap
tadorru’an (handap asor) wa khufyatan (dengan suara lembut dan hanya
terdengar oleh diri yang berdo’a) sebagaimana firman Allah dalam surat
Al a’raf (7): 55-56.
‫( َوَﻻ ﺗُﻔ ِْﺴﺪُ وا ِﰲ ا ْ ر ِْض‬) َ‫ا ْد ُﻋﻮا َر ُ ْﲂ ﺗ ََﴬ ًﺎ وَ ُﺧ ْﻔ َﺔً اﻧ ُﻪ َﻻ ُﳛِﺐ اﻟ ْﻤُ ﻌْ ﺘ َﺪِ ﻦ‬
.() َ‫ْﻤُﺤْﺴ ﻨِﲔ‬
ِ ‫ﺑ َﻌْﺪَ ْاﺻ َﻼ ِ َﺎ َوا ْدﻋُﻮﻩُ ﺧ َْﻮﻓ ًﺎ وَﻃَ ﻤَﻌًﺎ ان ر َْﲪ ََﺖ ا ِ ﻗ َﺮِﯾﺐٌ ﻣِﻦَ اﻟ‬
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(55). Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.(56)”
Dengan berdzikir kepada Allah. Hati akan menjadi hidup (on) dan subur,
karena berdzikir kepada Allah:
1) bagaikan air bagi ikan;
2) makanan hati dan jiwa;
3) dapat mengusir syaitan, mengalahkan dan menundukkannya;
4) menjadikan Allah ridla kepadanya;
5) menghilangkan duka nestapa;
6) melenyapkan kegelisahan dan kesusahan;
7) mendatangkan rasa riang dan gembira, lapang dan gampang.
8) menerangi qalbu;
9) berwibawa dalam kepribadian;
10) merasakan manisnya iman;
11) dapat bermahabah kepada-Nya.

Bahan Ajar PAI-Akhlak 13


Bab XIII – Pebersihan Diri

Persoalannya adalah ”bagaimana cara yang efektif dalam berdikir kepada


Allah Swt? Dalam Tafsir Al Misbah, dijelaskan bahwa dzikir digolongkan
kedalam empat bentuk, yaitu: (1) dengan lidah melalui ucapan, (2)
dengan anggota tubuh melalui pengamalan, (3) dengan pikiran melalui
perenungan yang mengantar kepada pengetahuan, serta (4) dengan hati
melalui kesadaran akan kebesaran-Nya yang menghasilkan emosi
keagamaan dan keyakinan yang benar. Dan pada gilirannya dzikir harus
dapat menghasilkan amal kebajikan

Membaca Al-Qur’an
Membaca al-Qur`an dapat dikatakan sebagai obat bagi penyakit hati,
karena Al-Qur’an mengandung penjelasan dan keterangan yang mampu
melenyapkan keragu-raguan yang merusak ilmu dan pola pikir. Al-
Qur’an dapat mengembalikan kemampuan untuk memandang segala
sesuatu dengan pandangan yang obyektif, dapat melihat garis pembeda
antara yang haq dan yang batil bagaikan melihat siang dan malam. Al-
Qur`an juga dapat berfungsi sebagai obat pencegah ajakan hawa nafsu
(syahwat), karena ia mengandung hikmah dan mau’izhah. Dengan Al-
Qur`an manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub),
karena hati menjadi jernih.
4. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa Nafsaka fa thahhir). Artinya bersihkanlah
jiwamu.
Makna “Tsiyab” yang keempat adalah “Nafsun” (=jiwa). Dengan
demikian makna wa tsiyabaka fathahhir adalah “bersihkanlah jiwamu dari
segala kotoran.” (lihat uraian tentang nafsu).
5. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa Jismaka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
jasmanimu.
Membersihkan pakaian diartikan mebersihkan jasmani dari kotoran
maksiat. Karena semua maksiat adalah racun, penyebab sakit dan binasanya
hati. Sesuai dengan uraian di atas tentang maksiat lahir, sekurang-kurangnya
ada lima anggauta badan yang perlu dijaga dan dibersihkan dari kotoran
maksiat, yaitu:
a. Lidah.
Rasulullah Saw, bersabda yang artinya: ... Tidaklah akan lurus hati
seorang hamba sehingga lurus lidahnya” (HR. Ahmad dari Anas ra.)
Lidah, adalah medan yang amat luas dan tak terbatas. Ia tidak mempunyai
tempat bertertolak, karenanya ia pandai mengelak. Ia mempunyai lapangan

14 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 15

yang luas untuk kebajikan, namun tidak sedikit peluang yang


dimainkannya untuk kejahatan. Ia bisa menjadi sumber fatwa tetapi bisa
juga menjadi sumber malapetaka. Ia bisa menjadi sumber hujjah, tetapi
kadang-kadang menjadi sumber fitnah. Banyak manusia terangkat dan
tersohor karena lidahnya. Sebaliknya, banyak manusia yang hancur dan
jatuh tersungkur karena lidahnya. Segala bentuk fitnah, ghibah (mengumpat),
namimah (adu domba), dan segala bentuk bahaya lainnya banyak
bersumber dari lidah.
Sebenarnya, lidah adalah termasuk di antara nikmat-nikmat Allah yang
besar dan halus. Lidah itu kecil bendanya, tapi besar efeknya, besar
bahayanya, besar dosanya, dan besar mudlaratnya. Imajinasi atau fantasi,
khayalan atau kenyataan, dugaan atau sangkaan semuanya dapat
diungkapkan dengan lidah dinyatakan dengan “iya” atau “tidak” oleh
lidah. Demikian pula ilmu pengetahuan dapat dicapai melalui lidah.
Bentuk komunikasi, motivasi, dan informasi hingga kini masih banyak
menggunakan lidah.
Dalam potongan hadits (hasan shohih) yang diriwayatkan oleh Imam
Turmudzi dari Shahabat Mu’adz bin Jabbal, diterangkan bahwa lidah
menjadi kunci semua perkara. Sabda beliau yang artinya:
Maukah aku beritahukan kepadamu (wahai Mu’adz) tentang kunci
semua perkara? Mu’adz menjawab: “Aku sangat menginginkannya
(wahai Rasulullah).” Kemudian Rasulullah Saw sambil memegang
lidahnya bersabda: “Jagalah ini dari-mu (maksudnya jaga lidahmu).
b. Mata
Para dokter akhlak berkata: "Antara hati dan mata ada tali penghubung.
Bila mata rusak, maka binasalah hati dan menjadilah ia seperti keranjang
sampah berisi tumpukan sampah dan macam-macam kotoran. Maka
tidaklah patut dihuni oleh makrifat dan mahabbah kepada Allah serta
kembali kepada-Nya. Ia juga gelisah dan tidak betah bersama Dia, tidak
merasa gembira dekat dengan-Nya. Sebaliknya, ia akan dihuni oleh hal-
hal yang berlawanan dengan semua itu."
Bahkan melepaskan pandangan mata secara bebas berarti durhaka
kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Nur (24): 30:
َ‫ﻗ ُﻞْ ِﻠ ْﻤُ ـﺆْﻣِ ِﲔَ ﯾ َﻐُـﻀﻮا ﻣِ ـﻦْ ﺑ َْـﺼﺎرِ ِﱒْ وَﳛَ ْ ﻔَﻈُ ـﻮا ﻓ ُُـﺮو َ ُْﻢ ذَ ِ َ زْ َﰽ ﻟ َ ﻬ ُْـﻢ ان ﷲ‬
َ‫َﺧ ِﲑٌ ﺑِﻤَ ﺎ ﯾ َْﺼﻨ َﻌُﻮن‬

Bahan Ajar PAI-Akhlak 15


Bab XIII – Pebersihan Diri

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman supaya mereka


menundukkan pandangannya (dari melihat yang terlarang) dan menjaga
kehormatannya. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa-apa yang mereka lakukan”.
c. Telinga
Telinga berfungsi untuk mendengar. Telinga merupakan salah satu potensi
yang dianugrakan Allah kepada manusia untuk digunakan kepada kebaikan
dan kebenaran. Jika fungsi ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya,
maka derajat manusia akan jatuh kepada kesesatan bahkan lebih sesat
dari pada binatang (perhatikan QS.Al-A’raf (8): 179). Ayat ini menunjukkan
bahwa manusia yang tidak menggunakan pendengarannya kepada
kebaikan ia akan tersungkur jatuh menjadi penghuni neraka jahannam.
Dalam ayat lain digambarkan suatu penyesalan manusia akibat tidak
mau menggunakan pendengarannya kepada kebenaran. (perhatikan Q.S.
Al-Mulk ayat 10)
d. Perut
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi
Barzah, Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Bahwasanya yang aku khawatirkan atas kalian beberapa syahwat yang
ada pada perut dan yang ada di bawah perut (kemaluan) kalian, serta
disesatkan dengan macam-macam fitnah (hawa nafsu).”
Makan yang berlebihan mengundang berbagai akibat buruk. Ia bisa
mendorong untuk berbuat maksiat, dan susah untuk taat beribadah. Dua
hal ini merupakan keburukan yang cukup. Berapa banyak maksiat yang
diakibatkan oleh banyak makan dan perut kekenyangan. Dan berapa
banyak pula ketaatan dan beribadah tertinggal karenanya. Maka
barangsiapa yang berhati-hati menjaga nafsu perutnya, berarti telah
memelihara dirinya dari bahaya besar. Syetan adalah penguasa yang
dominan atas seseorang yang perutnya kenyang dengan berlebihan.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Tidaklah seseorang mengisi wadah yang lebih buruk ketimbang perutnya.
Cukuplah bagi manusia beberapa suapan saja untuk menegakkan tulang
punggungnya. Jika tidak mungkin demikian, maka hendaklah sepertiganya
dari perutnya diisi dengan makanan, sepertiganya lagi dengan minuman,
dan sepertiganya lagi untuk pernapasan” (HR Ahmad dari Miqdam bin
Ma’dikarib ra.)
Berkaitan dengan hawa nafsu syahwat, Hatim Al-Asham berkata:

16 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 17

Bahwasanya syahwat itu ada tiga macam, yaitu: (1) syahwat pada makan;
(2) syawat pada bicara; dan (3) syahwat pada melihat. Maka peliharalah
makan dengan berhenti sebelum kenyang, pelihara lidah (ucapan) dengan
kebenaran, dan peliharalah penglihatan dengan pelajaran.
e. (yang) Di bawah Perut (Kemaluan).
Berdasarkan hadits di atas, kemaluan (farj) adalah salah satu anggauta
tubuh yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw akan tersesatkan
oleh macam-macam fitnah hawa nafsu.
Ajaran Islam tidak melarang ummat manusia menikmati kesenangan
seksual, malahan Islam sangat mencela orang-orang yang tetap
mempertahankan hidup membujang. Islam memberi jalan mulia untuk
menuju ke arah kesenangan seksual melalui jalan pernikahan.
6. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa akhlaq-ka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
perilakumu.
Rasulullah Saw bersabda: Lâ dîna liman lâ khuluqu lahu (Tidak patut
orang yang beragama kalau tidak baik perilakunya).
Ada ilustrasi berkaitan dengan perilaku, yakni: “Apabila anda ingin
tahu apa yang ada dalam hati seseorang, perhatikanlah hal-hal yang dilakukan
orang itu. Perhatikan perilaku orang bersangkutan”. Ilustrasi ini memberi
isyarat bahwa antara perilaku dan sikap merupakan dua istilah yang berbeda,
namun memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.
“Perilaku anda sebagai seorang muslim haruslah konsisten dengan sikap anda”.
Islam sangat memerhatikan perilaku yang ditampilkan seseorang
agar tidak bertentangan dengan sikap mentalnya. Jujur dan benar (dapat
dipercaya); ‘Iffâh (selalu menjaga diri dari sesuatu yang merusak kehormatan
dan kesucian); Adil dalam memutuskan sesuatu tanpa membedakan
kedudukan, status sosial ekonomi, maupun hubungan kekerabatan. Jika
terpaksa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam,
maka Islam mengajarkan agar: cepat bertobat dan meminta ampunan Allah
Swt (maghfiroh).
7. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa-aHlaka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
keluargamu).
Kata tsiyab dalam makna ketujuh ini diartikan “ahla”. Ahla yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah keluarga. Membersihkan keluarga adalah
menasehati dan mendidik keluarga dengan jalan menyelamatkan keluarga
dari dosa; membersihkan makanannya, membersihkan hati mereka dari
kemusyrikan, membersihkan ibadah mereka dari perbuatan bid’ah. Dengan

Bahan Ajar PAI-Akhlak 17


Bab XIII – Pebersihan Diri

demikian, membersihkan keluarga adalah menyelamatkan keluarga dari


penyakit hati sehingga menjadi mukmin yang paripurna. (Uraian lengkap
tentang keluarga akan dibahas pada bab berikutnya tentang Akhlak terhadap
keluarga).
8. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa dîena-ka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
agamamu.
Kata “tsiyâb” dalam makna kedelapan ini diartikan “ad-Dîn (agama
Islam). Sebagai umat Islam kita telah meyakini bahwa agama yang diterima
di sisi Allah Swt adalah Islam. Karena Allah telah menunjukkan dalam
firman-Nya surah Ali Imran ayat ke-16, yang berbunyi:
[ :‫ ] ل ﲻﺮان‬... ُ‫ان ا ّ ِ ﻦَ ﻋِ ْﻨ َﺪ ﷲِ ْاﻻ ْﺳﻼَم‬
Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah adalah Islam...
Ayat ini mengandung pengertian bahwa agama Islam adalah:
a. Aturan dan ketentuan Allah Swt untuk manusia;
b. Sumber ajarannya adalah Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw;
c. Isi ajarannya adalah berupa nasihat, perintah, larangan, dan petunjuk;
d. Tujuannya untuk kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat;
e. Jangkauannya adalah keselamatan dunia akhirat dan lepas dari siksa
neraka.
Oleh karena itu, Allah telah menyatakan kesempurnaan agama Islam
dan telah mencukupkannya sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagaimana
Firman-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 3:

...‫َﯿْﲂ ِﻧِﻌْﻤَﱵ َوَر ِﺿ ُﺖ ﻟ ُ َُﲂ ْاﻻ ْﺳﻼَمَ دِ ﯾﻨ ًﺎ‬


ْ ُ ‫ﻤْﺖ َﻠ‬
ُ َ‫ ْﳈَﻠ ُْﺖ ﻟ ُ َْﲂ دِ ﯾﻨ ُ َْﲂ َو ﺗْﻤ‬....
َ‫اﻟ ْْﯿَﻮم‬
...Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku
cukupkan nikmat-Ku untukmu, serta telah Aku ridloi Islam sebagai agamamu...
Ayat ini membimbing kita agar memiliki keyakinan bahwa:
1) Agama Islam telah sempurna, tidak perlu ditambah, dikurangi dan
direkayasa;
2) Orang yang mengada-ada dalam Islam sama dengan menganggap bahwa
Nabi Saw telah berbuat khianat dalam menyampaikan risalahnya;
3) Tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru untuk mendekatkan diri
kepada Allah (melakukan cara-cara yang dipandang menyalahi sunnah
Rasul Saw), karena upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah telah
dicontohkan oleh Nabi Saw;

18 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 19

4) Tidak perlu meninggalkan sesuatu yang dibolehkan oleh agama dengan


alasan untuk mendapatkan ridla Allah, karena apapun yang membuat
diri jauh dari Allah telah dilarang oleh Nabi Saw.
Jadi yang dimaksud dengan membersihkan agama adalah membersihkan
diri dalam beragama, yakni (1) membersihkan diri dalam ber-‘aqidah (salimul
‘aqidah) dari syirik, takhayul, khurofat, dan kesesatan; (2) memberishkan diri
dalam beribadah (shohihul ibadah), yakni menjauhkan diri dari perbuatan
bid’ah; (3) membersihkan diri dalam ber-akhlaq (husnul khuluk), bersih dari
sifat-sifat Takabur, Tamak/Rakus (hirshu), dan hasud (dengki).

Metode Pembersihan Diri


Adalah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menciptakan
lingkungan yang baik. Untuk itu diperlukan sosok Muslim yang memiliki
kebersihan jiwa. Karena, kebersihan jiwa akan mewujudkan masyarakat yang
sejahtera dan lingkungan yang terpelihara.
Abdullah bin Ma’ud dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda,
yang artinya:
Sesungguhnya kebenaran itu membawa kebaikan, dan kebaikan membawa
ke surga. Seseorang yang membiasakan diri berbuat baik/benar, tercatat di
sisi Allah Swt sebagai orang yang baik/benar (HR. Bukhari-Muslim)
Kemudian Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Sesungguhnya kekotoran jiwa (berdusta) akan membawa kepada keburukan,
dan keburukan akan membawa ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang
yang membiasakan berdusta akan tercatat di sisi Allah sebagai tukang
dusta. (HR. Mutafaq ‘alaihi)
Hadits di atas mengisyaratkan betapa pentingnya setiap individu
manusia memiliki jiwa yang bersih. Muhammad Al-Ghazali (1970: 16)
mengatakan bahwa: “pengaruh yang baik hanya bisa diharapkan dari orang-
orang yang berjiwa bersih. Sehingga orang-orang disekitarnya akan tertarik
dan mengikutinya. Sebaliknya, jiwa yang kotor akan berakibat buruk baik
bagi pelaku itu sendiri maupun bagi keharmonisan hubungan dengan sesama
manusia (termasuk dengan alam semesta).”
Persoalannya adalah bagaimana cara efektif untuk membesihkan diri?
Para sufi (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, 2003:400) telah memberikan
contoh dalam mengobati seseorang agar memiliki jiwa yang bersih, yaitu
melalui metode muroqobah (meditasi) yang dalam prakteknya meliputi dua
cara, yaitu:

Bahan Ajar PAI-Akhlak 19


Bab XIII – Pebersihan Diri

Cara pertama disebut Takhliyah, yakni meniadakan atau mengosongkan


kotoran yang ada dalam jiwa secara total, kemudian mengisinya dengan
kebaikan-kebaikan.
Cara kedua disebut Tahliyah, yakni menguatkan kebaikan yang
sudah ada di dalam jiwa dan menanamkan kebaikan-kebaikan yang baru
secara rutin dengan tidak mengosongkan terlebih dahulu kotoran-kotoran
yang sudah ada pada jiwa. Sehingga pada gilirannya kotoran-kotoran yang
ada di dalam jiwa dengan sendirinya menjadi lemah dan musnah.
Cara kedua ini sejalan dengan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi (hadits hasan shahih) dari Abi Dzar Jundub bin
Junadah dan Abu ‘Abdurrahman Mu’adz bin Jabbal r.a.,yang berbunyi:
ٍ‫اﻟﻨﺎس ِﲞُﻠ ُﻖ‬
َ ِ‫ َو َﺎﻟِﻖ‬،‫ َوﺗْﺒِﻊ ِ اﻟﺴ ِ ّ َﺔَ اﳊ ََﺴ ﻨ َﺔَ ﺗَﻤْﺤُ ﻬَﺎ‬،‫اﺗﻖِ ﷲِ ﺣَ ْ ﺜُﻤَ ﺎ ﻛُ ﻨ َْﺖ‬
. ٍ‫ﺣَﺴﻦ‬
َ
Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah
perbuatan dosa dengan kebaikan, karena kebaikan akan menghapuskannya,
dan pergaulilah sesama manusia dengan akhlaq yang bai (HR. Tirmidzi
(1987).
Sebagaimana firman Allah yang diungkapkan dalam Qur’an Surah
Hud ayat 114:
َ ِ َ‫ْﺤَﺴ ﻨ َِﺎت ﯾ ُﺬْ ﻫِ ْ َﱭ اﻟﺴ ِ ّ َِﺎت ذ‬
َ ‫َو ِﻗِﻢ اﻟﺼ َﻼ َة ﻃَ َﺮ َ ِﰲ ا ﳯ َﺎرِ َوزُ ﻟ َﻔًﺎ ﻣِ ﻦَ اﻠ ﯿْﻞِ ان اﻟ‬
[ :‫ ]ﻫﻮد‬. َ‫ذِ َﻛْﺮى ِ اﻛِ ِﺮﻦ‬
Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk. (dosa). Itulah peringatan
bagi orang-orang yang berdzikir.
Ayat di atas, mengungkapkan bahwa segala amal kebajikan menghapus
perbuatan dosa”.

Taubat
Penjelasan mengenai Taubat lihat pada Bab Akhlak Kepada Allah

---

20 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab XIII – Pembersihan Diri 21

PERTANYAAN
1. Apa makna dosa dan maksiat ?
2. Kemukakan tingkatan dosa beserta penjelasannya!
3. Berikan penjelasan tingkatan dan bentuk-bentuk maksiat !
4. Jelaskan makna pembersihan diri yang terkandung dalam Al-Qur’an
surat Al-Muddatsir ayat 4!
5. Jelaskan bagaimana metode Pembersihan diri!
6. Jelaskan makna taubat dan jenis-jenisnya!
7. Bagaimana cara taubat yang benar!

Bahan Ajar PAI-Akhlak 21


BAB XII-B
AKHLAQ DALAM MENUNTUT ILMU

Pendahuluan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, sehingga
Islam menempatkan orang yang memiliki ilmu pada tempat yang istimewa
dan strategis. Sebaliknya Islam memberikan kecaman terhadap kebodohan
dan orang-orang yang enggan untuk menuntut ilmu.
Allah berfirman dalam QS Al-Mujadalah (58): 11

‫َ ﳞَﺎ ا ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا اذَا ﻗِ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﺗَﻔَﺴﺤُ ﻮا ِﰲ اﻟ ْﻤَ َ ﺎ ِﻟِﺲ ﻓ َﺎﻓ َْﺴﺤُ ﻮا ﯾ َﻔ َْﺴ ِﺢ ا ُ ﻟ ُ َْﲂ وَ اذَا ﻗِ َﻞ‬
َ‫َﺎت َوا ُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠ ُﻮن‬
ٍ ‫ا ْ ُ ُوا ﻓ َﺎ ْ ُ ُوا َْﺮﻓ َﻊ ِ ا ُ ا ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا ﻣِ ُ ْْﲂ َوا ِ ﻦَ وﺗ اُﻮ اﻟ ْْﻌِﲅ َ د ََر‬
. ٌ‫َﺧ ِﲑ‬
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah memuliakan orang yang berilmu
dan tingginya derajat orang yang berilmu. Ilmu menempatkan kedudukan
yang tinggi dan derajat orang yang memilikinya.
Seorang pujangga mengatakan: “Belajar diwaktu kecil bagai
mengukir di atas batu, belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air”
Dalam Agama Islam, tidak ada batasan bagi seseorang dalam menimba
ilmu. Abdul Hamid M. Djamil (2015) mengatakan: “Islam menganjurkan
pemeluknya untuk menyibukkan dirinya dengan ilmu. Dikarenakan hampir
seluruh aktifitas yang dilalui manusia sehari-hari butuh kepada ilmu.”
Ilmu bukan hanya bermanfaat di dunia bagi pemiliknya, melainkan
pahalanya akan terus mengalir meskipun pemiliknya telah meninggal dunia.
Sabda Rasulullah Saw:

23
Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

‫ﺣَﺴ ﻨ َﺎﺗِﻪِ ﺑ َﻌْ َﺪ‬ ُ ‫ ان ﻣِ ﻤﺎ ﯾ َﻠ‬ ِ‫ِﰊ ﻫ َُﺮ َْﺮ َة ﻗ َﺎلَ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳ ْﻮلُ ﷲ‬
َ ‫ْﺤَﻖ اﻟ ْﻤُﺆْﻣِ ﻦَ ﻣِﻦْ َ َﲻ ِ ِ َو‬
ْ‫ﻣ َْﻮﺗِﻪِ ِﻠ ْﻤً ﺎ َﻠ ﻤَ ُﻪ َو ََﴩَﻩُ َوَوَ ً ا َﺻﺎﻟِ ًﺎ َ ﻛََﺮ ُﻪ َوﻣ ُْﺼﺤَ ﻔًﺎ َورﺛ َ ُﻪ وْ ﻣ َْﺴ ِ ﺪً ا ﺑ َﻨ َﺎﻩُ و‬
ِ‫ﺑ َ ْ ًﺎ ِﻻ ْﻦِ اﻟﺴ ِ ْﻞِ ﺑ َﻨ َﺎﻩُ وْ ﳖَ ًْﺮا َﺟْﺮاﻩُ وْ َﺻﺪَ ﻗ َﺔً ﺧ َْﺮ َ َﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﺎ ِ ِ ِ ْﰲ ِﲱﺘِﻪِ َوﺣَ َﺎﺗِﻪ‬
ِ‫ﯾ َﻠ ْﺤَ ُﻘ ُﻪ ﻣِﻦْ ﺑ َﻌْﺪِ ﻣ َْﻮﺗِﻪ‬
Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amalan
kebajikan yang pahalanya akan mengiringi seorang mukmin setelah
meninggal dunia adalah ilmu yang ia ajarkan kepada orang lain, anak
saleh yang ia tinggalkan, Al-Qur`an yang ia wakafkan, masjid yang ia
dirikan, rumah yang ia bangun untuk sabilillah, sungai yang ia alirkan
airnya, dan sedekah yang ia infaqkan ketika sehat dan sakinya.
Kesemuanya itu mengiringinya ketika meninggal dunia (HR. Ibnu Majah).
Imam Ghazali dalam kitab Ihya `Ulumuddin bab Ilmu mengatakan ,
dunia adalah tanaman bagi akhirat. Orang yang mengamalkan ilmu, dia
menanamkan kebahagiaan abadi bagi dirinya, yaitu dengan memperbaiki
jiwa dan akhlaknya sesuai dengan dengan apa yang diajarkan oleh ilmunya.
Dan dia juga menanamkan kebahagiaan abadi bagi orang lain dengan
mengajarkan ilmunya. Dia memperbaiki akhlak manusia dan menyeru
kepada mereka dengan ilmunya kepada segala sesuatu yang mendekatkan
mereka kepada Allah SWT.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa orang yang berilmu lebih mulia
dibandingkan dengan orang yang bodoh. Dengan ilmu, manusia dapat
mengantarkan dirinya dan diri orang lain untuk mencapai derajat yang
tinggi.

Akhlak dalam Menuntut Ilmu


1. Pengertian Ilmu dan Keutamaan Menuntut Ilmu
Secara bahasa, ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu yang berarti ‫اﻟﻌﲅ‬
pengetahuan. Kata ilmu, dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata al-
‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu adalah
bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima – ya`lamu- `ilman. Lawan
kata dari al-‘ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu). Menurut Abdul Hamid
(2015), secara istilah ilmu adalah usaha mempelajari alam semesta secara
objektif dengan mengerahkan pikiran yang menghasilkan kebenaran sesuai
dengan kenyataan.

24 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Imam Zamroji dalam makalahnya yang berjudul “Etika menuntut


Ilmu dalam Islam” mengutip Tafsir Aisar at-Tafaasir yang menjelaskan
tentang ilmu, yaitu:

ِ‫اﻟ ْْﻌِﲅ ُ َﺳ ِ ْﻞُ اﻟ ْﺨ َْﺸ ﯿَﺔِ ﻓ َﻤَﻦْ َﻻ ِْﲅ َ َ ُ ِ ِ ﻓ ََﻼ ﺧ َْﺸ ﯿَﺔً َ ُ اﻧﻤَ ﺎ ﳜَ َْﴙ ﷲَ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِ ﻩ‬
ِ‫اﻟ ْﻌُﻠ َﻤَ ﺎء‬
Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang
tidak mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-
Nya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama.
Hal tersebut senada dengan firman Allah dalam QS. Fatir (35): 28:

ِ‫اﻟﻨﺎس َوا َو ِ ّاب وَ ا ْ ﻧْﻌَﺎمِ ُﻣ ْﺨﺘ ٌَﻠِﻒ ﻟ َْﻮاﻧ ُ ُﻪ ﻛَﺬَ ِ َ اﻧﻤَ ﺎ ﳜَ َْﴙ ا َ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِ ﻩ‬ ِ َ‫َوﻣِﻦ‬
. ٌ‫اﻟ ْﻌُﻠ َﻤَ ُﺎء ان ا َ َﻋ ِﺰ ﺰٌ ﻏ َﻔُﻮر‬
dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.

Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang
mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Menurut Quraish Syihab (1992), jika dikembalikan kepada Al-Qur’an,
maka yang disebut orang ‘alim ialah orang yang pengetahuannya
menimbulkan sifat khasyyah (takut) kepada Allah. Ada korelasi antara ilmu
dengan khasyyah, karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga
dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai
puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada orang berilmu
namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh, berarti ilmunya
tidak bermanfaat. Bahkan, orang yang berilmu namun melepaskan tanggung
jawabnya karena mengikuti hawa nafsu, dalam Al-Qur`an diumpamakan
seperti seekor anjing yang tetap menjulurkan lidahnya, baik dihalau maupun
dibiarkan. Allah berfirman surat Al-A’raf (7): 175-176:
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan
(sampai Dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya

Bahan Ajar PAI-Akhlak 25


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya
dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar merekaberfikir.”
Menurut Quraish Shihab (1992), Al-Qur`an sebagai kitab petunjuk
yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di
dunia dan di akhirat, dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, adalah
mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya
serta menambah lmu pengetahuannya sebisa mungkin.
Ditinjau dari subjeknya, ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam dua
bagian.
Pertama, ilmu yang diproleh melalui usaha (al-muktasab), seperti ilmu yang
dimiliki manusia. Untuk memperoleh sebuah ilmu, manusia harus berusaha
untuk menggalinya. Usaha dimaksud baik dengan cara berguru, membaca,
ataupun melalui cara lain yang bersifat usaha. Kedua, ilmu yang diperoleh
bukan dari usaha (ghairu al-muktasab), seperti ilmu Allah, ilmu para Rasul,
dan ilmu para Malaikat. Untuk memperoleh ilmu, mereka tidak perlu
belajar, membaca atau menulis, seperti halnya manusia.
Sementara, dilihat dari segi objeknya, ilmu digolongkan ke dalam
dua golongan. Pertama, ilmu nadzari adalah ilmu yang didapatkan
seseorang melalui proses penelitian. Misalnya, penelitian yang dilakukan
oleh Thomas Alva Edison dalam membuat bola lampu pijar. Kedua, ilmu
zhahuri ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melakukan
penelitian. Bahkan, ilmu yang bersifat zhahuri ini akan secara otomatis
diketahui manusia meskipun tidak belajar, seperti mengetahui bahwa api itu
panas, es itu dingin, dan gula itu rasanya manis.
Allah menjelaskan dalam firmanNya pada QS Al-Mujadalaah (58):
11, bahwa sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu.
Rasulullah Saw bersabda :

‫ اﻣﺎ اﻫﻞ اﻟﻌﲅ ﻓﺪﻟﻮا اﻟﻨﺎس‬,‫اﻗﺮب اﻟﻨﺎس ﻣﻦ در ﺔ اﻟﻨﺒﻮة اﻫﻞ اﻟﻌﲅ و اﻫﻞ اﳉﻬﺎد‬
‫ و اﻣﺎ اﻫﻞ اﳉﻬﺎد ﲾﺎﻫﺪوا ﺑ ٔﺳﯿﺎﻓﻬﻢ ﲆ ﻣﺎ ﺎءت ﺑﻪ‬,‫ﲆ ﺎءت ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻞ‬
‫اﻟﺮﺳﻞ‬

26 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Manusia yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan
ahli jihad. Ahli ilmu menunjukkan manusia kepada sesuatu yang dibawa
oleh para rasul, sementara ahli jihad dengan pedang mereka berdasarkan
sesuatu (tuntunan) yang dibawa oleh para rasul (HR. Dzahabi).
Ilmu merupakan sarana utama menuju kebahagiaan abadi. Ilmu
merupakan pondasi utama sebelum berkata-kata dan berbuat. Dengan ilmu,
manusia dapat memiliki peradaban dan kebudayaan. Dengan ilmu, manusia
dapat memperoleh kehidupan dunia, dan dengan ilmu pula, manusia
menggapai kehidupan akhirat.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukhtashar Ihya
‘Ulumuddin (2014), Ilmu merupakan kehidupan bagi hati yang mengalami
kebutaan, cahaya bagi penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi tubuh
dari kelemahan. Dari ilmu, seorang hamba akan mencapai kedudukan
orang-orang yang taat dan mencapai derajat yang tinggi. Pahala memikirkan
ilmu setara dengan pahala berpuasa, sedangkan pahala mempelajari ilmu
sepadan dengan pahala qiyamulail.
Untuk memperoleh ilmu manusia harus belajar atau dengan kata lain
menuntut ilmu.
ّ ِ ُ ‫ ﻠ» َُﺐ اﻟ ْْﻌِﲅ ِ ﻓ َﺮِﯾﻀَ ﺔٌ ََﲆ‬:َ‫ﻃ‬ ِ ‫ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ا‬: َ‫َِﺲ ْﻦِ ﻣَﺎ ِ ٍ ﻗ َﺎل‬
… ٍ ‫ﰻ ﻣ ُْﺴ ِﲅ‬
Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda: Menuntut ilmu itu adalah
wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah).
Menuntut ilmu tidaklah mudah, tetapi juga tidak sulit. Dalam
menuntut ilmu dibutuhkan keyakinan, kesabaran, kesungguhan, dan
pengorbanan. Kita harus meyakini bahwa kita pasti bisa memahami suatu
ilmu/pelajaran. Kita harus bersabar, karena untuk memahami suatu ilmu
sampai tuntas memerlukan waktu yang lama. Kita harus sungguh-sungguh,
karena hanya dengan kesungguhan suatu ilmu dapat kita miliki. Kita harus
mempunyai jiwa berkorban, karena untuk meraih ilmu perlu tenaga dan
biaya. Akan tetapi pengorbanan yang dilakukan untuk menuntut ilmu
jaminannya adalah surga, sebagaimana sabda Rasulullah :

‫ َﺳﻬ َﻞ‬،‫ َوﻣَﻦْ َﺳ َ َ ﻃَ ﺮِﯾﻘ ًﺎ ﯾ َﻠ ْ ﺘ َُﻤِﺲ ﻓِ ﻪِ ِﻠ ْﻤً ﺎ‬: ِ‫ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ﷲ‬: َ‫ ﻗ َﺎل‬،َ‫ِﰊ ﻫ َُﺮ َْﺮة‬
،ِ‫ﷲُ َ ُ ﺑِﻪِ ﻃَ ﺮِﯾﻘ ًﺎ َاﱃ اﻟ ْﺠَﻨﺔ‬
Abi Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda: Siapa yang berjalan di
suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga. (HR. Muslim)

Bahan Ajar PAI-Akhlak 27


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

Sabda Rasullah tersebut di atas menjelaskan bahwa orang yang


menuntut ilmu akan mendapat jaminan surga dari Allah Swt. Hal tersebut
akan didapatinya jika menuntut ilmu dengan tujuan mencari keridhaan Allah.

2. Etika dalam menuntut Illmu


Seorang muslim mengharapkan dalam menuntut ilmu itu tidak
mengalami kegagalan. Oleh karena itu, Islam telah membuat rambu-rambu
dalam menuntut ilmu. Jika penuntut ilmu itu mengikuti rambu-rambu yang
telah ditetapkan dalam Islam, maka hal tersebut dapat meminimalisir
kegagalan dalam menuntut ilmu.
Imam Zamroji (2015) dalam makalahnya yang berjudul “Etika
Menuntut Ilmu Dalam Islam”, mengungkapkan ada beberapa kiat dan jalan
menuju kesuksesan dalam menuntut ilmu berdasarkan nash-nash Al-Qur`an,
hadits, di samping penjelasan dan contoh dari para ulama, yaitu :

a. Ikhlas
Ikhlas merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam
upaya seseorang mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat.
Karena hanya dengan dasar ikhlas, segala tindakan kebaikan yang dilakukan
akan menjadi amal shalih yang layak mendapatkan balasan kebaikan dari
Allah, Tuhan semesta alam. Hal tersebut sesuai dengan QS. Al-Bayyinah
ayat 5 yang berbunyi :

‫َوﻣَﺎ ﻣِ ﺮ ُ وا اﻻ ﻟِﯿَﻌْﺒُﺪُ وا ا َ ُﻣ ْ ﻠِﺼِ ﲔَ َ ُ ا ّ ِ ﻦَ ﺣُ َﻔ ََﺎء َو ﯾ ُﻘِ ﳰ ُﻮا اﻟﺼ َﻼ َة َوﯾ ُﺆْ ﺗُﻮا اﻟﺰﰷَ َة‬
. ِ‫َوذَ ِ َ دِ ﻦُ اﻟ ْ ﻘ َ ِّﻤَﺔ‬
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”
Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda:
‫اﻟﻨﺎس‬
ِ َ‫ َوﯾ َْﴫ َِف ﺑِﻪِ وُﺟُﻮﻩ‬،َ‫ و َُﳚَﺎرِيَ ﺑِﻪِ اﻟﺴ َﻔﻬَﺎء‬،َ‫ﻟِﯿُﺒَﺎﱔ ﺑِﻪِ اﻟ ْﻌُﻠ َﻤَ ﺎء‬
َ ِ َ ‫»ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﲅ َ اﻟ ْْﻌِﲅ‬
« ‫ ْد َ َ ُ ا ُ َ ََﲌ‬، ِ‫اﻟ َﯿْﻪ‬
Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan
para ulama, mempermainkan diri orang-orang bodoh dan dengan itu wajah
orang-orang berpaling kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka Jahannam. (HR. Ibn Majah).

28 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

b. Berdo`a
Dalam Islam, seorang penuntut ilmu disamping didorong untuk
berusaha Allah Swt memerintahkan kepada penuntut ilmu untuk berdo’a
dengan do’a. Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Thaha (20):114:

ْ‫َﻌَﺎﱃ ا ُ اﻟ ْﻤَ ِ ُ اﻟ ْﺤَﻖ َوَﻻ ﺗَﻌْ َﻞْ ِ ﻟﻘُْﺮ ٓنِ ﻣِﻦْ ﻗ َْﻞِ نْ ﯾ ُﻘ َْﴣ اﻟ َﯿْﻚَ َوﺣْ ُ ُﻪ َوﻗ ُﻞ‬
َ َ‫ﻓ‬
.‫ر ِ َّب زِد ِْﱐ ِﻠ ْﻤً ﺎ‬
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan."
Rasulullah juga mengajarkan sebuah do’a khusus bagi para penuntut
ilmu.

‫ َوﺗَﻌَﻮذُ وا ِ ِ ﻣِﻦْ ِْﲅ ٍ َﻻ‬،‫ » َﺳﻠ ُﻮا ا َ ِﻠ ْﻤً ﺎ َ ﻓِﻌًﺎ‬: ِ ‫ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ا‬: َ‫َﺎ ِ ٍﺮ ﻗ َﺎل‬
« ُ‫ﯾ َ ْﻨﻔَﻊ‬
Jabir Abdillah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Ya Allah sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung kepada
Engkau dari (mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat (HR. Al-Nasa’i).

c. Bersungguh-Sungguh
Termasuk juga kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah
bersungguh-sungguh dan diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut (29): 69,
yang artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”
Seorang penuntut ilmu memerlukan kesungguhan. Tidak layak para
penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan
ilmu yang bermanfaat-dengan izin Allah-apabila kita bersungguh-sungguh
dalam menuntutnya. Sebab, jika seorang penuntut ilmu malas, maka ia tidak
akan mendapatkan ilmu yang dicarinya.
Maka tak heran jika para ulama terdahulu selalu bersungguh-
sungguh dalam menuntut ilmu. Dalam makalahnya, Zamroni mengangkat
sbuah kisah Imam Syafi`i rahimahullah dalam menuntut ilmu. Beliau

Bahan Ajar PAI-Akhlak 29


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

berasal dari keluarga yang fakir, namun hal itu tidak dianggap aib oleh
beliau. Justru sebaliknya, itu dijadikan sebagai kekuatan yang dapat
mendorongnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Imam Syafi’i, sebagaimana
yang dikisahkan Humaidi, pernah bercerita
Aku adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengayoman ibu, ia
selalu mendorongku untuk hadir ke majelis ilmu. Guru sangat sayang pada
aku, sampai-sampai aku menempati tempatnya ketika ia berdiri. Tatkala
aku sudah merapikan Al-Qur’an, kemudian aku masuk ke dalam masjid
dan duduk bersama para ulama. Di sana aku mendengarkan hadits beserta
rinciannya kemudian aku hafal semuanya. Ibuku tidak dapat memberikan
kepadaku sesuatu yang dengannya aku dapat belikan kertas. Aku melihat
tulang maka aku ambil, kemudian aku menulisnya, tatkala sudah penuh,
maka aku menghafalnya sekuat tenagaku.

d. Menjauhi Kemaksiatan
Syarat lain bagi penuntut ilmu yang ingin sukses adalah menjauhi
kemaksiatan. Syarat ini merupakan syarat unik yang hanya dimiliki oleh
agama Islam. Pengaruh kemaksiatan terhadap terhalangnya ilmu pernah
terbukti menimpa Imam Syafi’i. Hal ini terlihat dari pengaduan Imam
Syafi’i kepada salah seorang gurunya yang bernama Waki’. Kisah ini
diceritakan Imam Syafi’i dalam sebuah syair berikut:
‫ﺎﴆ‬
ْ ِ َ‫ﺷَ ﻜ َْﻮ ُت َا ْﱃ َوِ ْﻛ ﻊ ٍ ُﺳ ْ َﻮء ﺣِ ﻔْﻈِ ْﻲ ﻓ َ رْﺷَ ﺪَ ِ ْﱐ َاﱃْ ﺗ َْـﺮكِ اْﳌ َﻌ‬
‫ـــــﻮر َوﻓ َﻀْ ﻞُ ﷲِ ﻻَ ﯾ ُﺆْ َﻩُ َﻋ ِﺎص‬ ْ ُ ‫ا َْﲅْ ِﺑ ناﻟ ْْﻌِﲅ َ ﻧ‬: َ‫وﻗ َﺎل‬
Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi’, tentang jeleknya hafalanku,
maka ia memberikan petunjuk kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan.
Karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak
akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”

e. Tidak Malu dan Tidak Sombong


Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan
mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dalam dirinya.
Ummul Mukminin Aisyah ra pernah berkata tentang sifat malu para wanita
Anshar:

ِ‫َﻧِﻌْﻢ اﻟ َِّﺴﺎءُ َِﺴ ُﺎء ا ﻧ َْﺼﺎرِ ﻟ َْﻢ ﯾ َﻤْ ﻨ َ ْﻌﻬُﻦ اﳊ َُﯿَﺎء نْ ﯾ َﺘ َﻔَﻘ ﻬْﻦَ ِﰲ ا ّ ِ ﻦ‬

30 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi


mereka untuk memperdalam ilmu agama (HR. Bukhari)
Artinya sekalipun wanita Anshar merupakan sekelompok perempuan
yang memiliki rasa malu yang tinggi sebagai cerminan keimanan mereka,
namun itu tidak berlaku dalam menuntut ilmu. Sebab, rasa malu dalam
menuntut ilmu dapat menyebabkan kekeliruan atau ketidakjelasan.
Seseorang yang malu bertanya dalam menuntut ilmu akan menyebabkan ia
tidak mendapatkan penjelasan dari hal-hal yang masih samar atau
meragukan baginya. Karena itu agar seorang penuntut ilmu mendapatkan
penjelasan yang terang dan ilmu yang pasti, maka ia harus memberanikan
diri bertanya mengenai permasalahan yang belum jelas ataupun belum
meyakinkan bagi dirinya.
Sementara mengenai larangan sombong, Allah Swt jelaskan
dalam QS. Al-Baqarah (2):34, yang artinya:
Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat : Sujudlah kamu
kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur
dan adalah ia termasuk golongan orang–orang yang kafir. “
Kesombongan dalam menuntut ilmu dilarang, karena akan
menyebabkan tertolaknya kebenaran. Seorang yang sombong akan
cenderung merendahkan manusia lainnya dan menolak kebenaran, sehingga
ia akan kesulitan untuk mendapatkan guru dan ilmu. Orang sombong akan
merasa dirinya selalu lebih baik dari pada orang lain, sehingga tidak lagi
memerlukan tambahan ilmu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan
Rasulullah dalam salah satu sabdanya:

‫اﻟﻨﺎس‬
ِ ُ‫ْﻜِﱪ ﺑ َﻄَ ُﺮ اْ ﳊ ّ َِﻖ و َ َْﲽﻂ‬
ُ ْ ‫اَﻟ‬
Sombong itu adalah, menolak kebenaran dan merendahkan manusia. (HR.
Muslim dari sahabat Ibn Mas’ud ra)

f. Mengamalkan dan Menyebarkan Ilmu


Di dalam ajaran Islam, ada tiga perintah yang saling bertautan
kepada para penuntut ilmu. Perintah itu adalah mencari ilmu, mengamalkan
dan menyampaikannya kepada orang lain. Trilogi menuntut ilmu ini tidak
boleh lepas dari diri seseorang, sebab antara satu dengan yang lainnya
mempunyai shilah (hubungan) yang erat. Islam mensyariatkan wajibnya
menuntut ilmu atas setiap Muslim. Di sisi lain, ia juga memerintahkan agar

Bahan Ajar PAI-Akhlak 31


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

ilmu yang sudah diketahui harus diamalkan dan didakwahkan kepada orang
lain. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang
mengamalkan ilmu dan mendakwahkannya. Banyak pula nushûsh yang
berbicara tentang ancaman orang yang tidak mau mengamalkan dan
mendakwahkan ilmunya. Mengenai keutamaan mendakwahkan ilmu,
misalnya dapat disimak dari sabda Nabi Saw berikut ini:

ِ ِ ِ ‫ﻣَﻦْ دَل ََﲆ ْ ٍَﲑ ﻓ َ َ ُ ﻣِ ْﻞُ ﺟْ ِﺮ ﻓ َﺎ‬


Siapa orang yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti
orang yang melakukkannya”(HR. Tirmidzi dari sahabat Abi Mas’ud ra).
Dalam hadits di atas, Rasulullah memberikan dorongan berupa janji
pahala bagi orang yang mengajarkan ilmunya. Pahala itu berupa kebaikan
semisal kebaikan yang didapat oleh orang yang diajari ilmu olehnya dari
ilmunya itu.

3. Etika dan Tugas Murid


Abdul Hamid (2015) mengutip sebuah nasihat Imam Syafi`i: “Guru
dan Dokter tidak akan memberikanmu kesembuhan jika engkau tidak
memuliakan keduanya. Bersabarlah dengan obat yang diberikan jika
membuatmu tidak tenang, dan berpuaslah dengan kebodohanmu jika engkau
membuat gurumu tak senang.”
Menghormati dan mencintai guru adalah salah satu cara dalam
menuntut ilmu, karena menghormati dan mencintai guru seperti
menghormati dan mencintai ilmu yang ada padanya. Ali bin Abi Thalib
telah diberi gelaran oleh Nabi Muhammad Saw dengan gelaran gudang
ilmu, beliau tidak pernah meremehan gurunya. Suatu ketika beliau berkata:
”Aku bersedia dijadikan budak oleh seseorang yang mengajariku satu huruf.
Jika ia ingin menjualkan aku, juallah. Jika ia ingin memerdekakan aku,
merdekakanlah.”
Imam Ghazali dalam kitab Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin (2014)
mengatakan, etika dan tugas murid sangat banyak, tetapi dapat diringkas ke
dalam 10 bagian, yaitu :
a. Mengutamakan kesucian jiwa dari kejelakan akhlak dan keburukan sifat.
Rasulullah Saw bersabda :
ِ‫ﺑِ ُ َﲏ ا ّ ِ ْ ﻦِ َ َﲆ اﻟﻨﻈَ ﺎﻓ َﺔ‬
Agama didirikan dengan asas kebersihan”

32 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Kebersihan dalam hal ini bukan hanya mencakup kebersihan pakaian,


melainkan kebersihan hati. Hal ini ditunjukan oleh firman Allah Swt:

‫َ ﳞَﺎ ِا ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا اﻧﻤَ ﺎ اﻟ ْْﻤُﴩِﻛُﻮنَ َﳒ ٌَﺲ ﻓ ََﻼ ﯾ َﻘَْﺮﺑ ُﻮا اﻟ ْْﻤَﺴ ِ ﺪَ اﻟ َْﺤَﺮامَ ﺑ َﻌْﺪَ َﺎﻣِ ﻬ ِْﻢ‬
ٌ‫ِﯿﲂ ا ُ ﻣِ ﻦْ ﻓ َﻀْ ِ ِ نْا ﺷَ َﺎء ان ا َ َﻠِﲓ‬ ُ ُ ‫ﻫَﺬَ ا َنْوا ﺧِ ﻔ ُ ْْﱲ ﻋَﯿْ َ ً ﻓ ََﺴ ْﻮ َف ﯾ ُﻐْﻨ‬
. ٌ‫ﺣَﻜِﲓ‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam
sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah
nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (QS. Al-Taubah [9]: 28).
Ayat tersebut di atas Allah Swt menjelaskan bahwa najas (najis) tidak
terbatas pada pakaian saja. Najis ialah ungkapan tentang sesuatu yang
harus dijauhi dan dihindari.Sedangkan kotoran sifat lebih penting untuk
dijauhi karena disamping kotor secara langsung juga pada akhirnya
menghancurkan. Selama batin (hati) tidak dibersihkan dari kotoran-
kotoran tersebut, maka ia tidak akan menerima ilmu yang bermanfaat
dalam agama dan tidak akan diterangi dengan cahaya ilmu.

b. Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena ikatan-


ikatan itu akan menyibukkan dan memalingkan.
Jika pikiran terpecah maka tidak akan mengetahui berbagai hakikat
ilmu. Pikiran yang terpencar pada berbagai hal yang berserakan adalah
seperti sungai kecil yang airnya terpencar kemudian sebagiannya diserap
tanah dan sebagian lagi dihisap udara sehingga tidak ada yang
terkumpul dan sampai ke ladang tanaman.
c. Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap guru.
Seorang murid tidak boleh mengatur guru. Bahkan dia harus
menyerahkan segala keputusan kepada sang guru. Dia juga harus terus-
menerus berkhidmat kepada guru.
Mencari muka bukanlah salah satu sifat seorang Mukmin,
kecuali dalam menuntut ilmu. Dikatakan,”ilmu memusuhi orang yang
sombong, sebagaimana arus air memusuhi tempat yang tinggi”. Di
antara bentuk kesombongannya terhadap guru ialah sikap tidak mau
mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari orang-orang besar yang terkenal,

Bahan Ajar PAI-Akhlak 33


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

padahal sikap ini merupakan kebodohan. Sebab, ilmu merupakan faktor


penyebab keselamatan dan kebahagiaan.
Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan tawaadhu` ( rendah hati)
dan menggunakan pendengaran (berkonsentrasi). Allah berfirman :
.‫ان ِﰲ ذَ ِ َ َ َِﻛْﺮى ﻟِﻤَﻦْ ﰷَ نَ َ ُ ﻗ َﻠ ْﺐٌ وْ ﻟ ْ ﻘ َﻰ اﻟﺴﻤْ ﻊَ وَ ﻫ َُﻮ ﺷَ ﻬِﯿ ٌﺪ‬
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya” (QS. Qaf [50]: 37).
Maksud dari “mempunyai akal” adalah menerima ilmu dengan
faham,kemudian kemampuan memahami itu tidak akan bisa
membantunya sebelum menggunakan pendengarannya. Ali r.a
berkata,”di antara hak seorang guru adalah kamu tidak banyak bertanya
kepadanya, tidak merepotkannya dalam memberi jawaban, tidak
mendesaknya apabila ia malas, tidak memegangi kainnya apabila ia
bangkit, tidak menyebarkan rahasianya,tidak menggujing seseorang di
hadapannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya; jika ia tergelincir
maka kamu terima alasannya. Kamu harus menghormatinya dan
memuliakannya karena Allah ta`ala, selama ia tetap menjaga perintah
Allah, dan tidak duduk di hadapannya, sekalipun kamu ingin
mendahului orang dalam berkhidmat memenuhi keperluannya.”
d. Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari
mendengar perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu
termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat.
Hal demikian akan membingungkan akal dan pikirannya dan
membuatnya putus asa dari melakukan pengkajian dan telaa`ah
mendalam. Bahkan, pertama kali harus menguasai satu jalan yang
terpuji dan memuaskan, kemudian setelah itu baru mendengarkan
berbagai pendapat.
e. Tidak meninggalkan satu cabang di antara cabang-cabang ilmu yang
terpuji, kecuali apabila seorang murid menyelam ke dalam ilmu tersebut
hingga mendapatkan apa yang dia cari.
Apabila usia mendukung penuntut ilmu untuk melakukan pencarian itu,
maka dia dapat menyempurnakan ilmu tersebut. Tetapi apabila tidak, dia
dapat memilih hal yang paling penting. Pemilihan yang paling penting
itu hanya mungkin dilakukan setelah dia melihat semuanya. Sebab ilmu
pengetahuan saling mendukung dan saling terkait antara yang satu
dengan lainnya. Ia juga harus berusaha dengan segera untuk tidak

34 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

memusuhi ilmu tersebut dikarenakan kebodohannya, sebab manusia


memusuhi apa yang tidak diketahuinya.
f. Tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi mejaga
urutan dan dimulai dengan yang paling penting
Apabila faktor usia tidak memungkinkan untuk mendapatkan semua
ilmu, maka seyogyanya dia mengambil yang terbaik dari segala sesuatu
dan mencurahkan segenap kekuatannya pada ilmu yang mudah
dipelajari, sampai menyempurnakan ilmu yang paling mulia yaitu ilmu
akhirat.
g. Hendaklah tidak memsuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai
cabang ilmu yang sbelumnya, karena ilmu tersusun secara berurutan.
Orang yang mendapatkan taufiq ialah orang yang menjaga urutan dan
pentahapan tersebut. Tujuannya, dalam setiap ilmu yang dicarinya
adalah adanya peningkatan kepada apa yang berada di atasnya. Oleh
karena, itu seseorang tidak boleh menilai tidak benar terhadap suatu
ilmu, dikarenakan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh orang-
orang yang menekuninya.
h. Hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa
mengetahui ilmu yang paling mulia.
Maksudnya, pertama, kemuliaan hasil dan kedua, kekokohan dan
kekuatan dalil. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah,
Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan ilmu
tentang jalan yang mengantarkan kepada ilmu-ilmu ini.
i. Hendaknya tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan
mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akhirat adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa
berdekatan dengan makhluk tertinggi di kalangan malaikat dan orang-
orang yang didekatkan (muqarrrabin)
Setiap murid hendaknya tidak bertujuan dalam mencari ilmu tersebut
untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan pangkat atau untuk
mengelabui orang-orang bodoh dan membanggakan diri kepada sesama
orang yang berilmu. Di samping itu, ia tidak boleh meremehkan semua
ilmu.
j. Hendaknya mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar mengutamakan
yang tinggi lebih dekat daripada yang jauh dan yang penting daripada
yang lainnya.

Bahan Ajar PAI-Akhlak 35


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

Yang terpenting adalah apa yang tetap ada selama-lamanya; sehingga


pada saat itu dunia menjadi tempat singgah, jasad menjadi kendaraan,
dan amal perbuatan menjadi upaya menuju tujuan yaitu perjumpaan
dengan Allah. Hal ini merupakan nikmat terbesar sekalipun hanya sdikit
di dunia ini orang yang mengetahui nilainya.

4. Tugas Pembimbing dan Pengajar


Abdul Hamid (2015), mengutip perkataan Ibnu Sirin : “Hendaklah
kamu bersama orang-orang yang jika hanya dengan melihatnya saja sudah
mengingatkanmu kepada Allah Swt, kewibawaannya membekas di hatimu,
ucapannya memotivasimu dalam beramal, amalannya membuatmu zuhud di
dunia, kamu tidak akan bermaksiat kepada Allah selama di dekatnya, dia
menasihatimu dengan perbuatan, bukan dengan perkataan.”
Sa`id Hawwa (2004) mengutip pendapat Imam Al-Ghazali mengenai
tugas pembimbing dan pengajar, yaitu :
a. Menyayangi murid dan memperlakukannya seperti anak sendiri.
،ْ‫ اﻧﻤَ" ﺎ َ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِ ْﻞُ اﻟ َْﻮا ِ ِ َﻟِﻮَ ِﻩِ َﻠ ِ ّ ُﻤُﲂ‬: ِ ‫ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ا‬: َ‫ ﻗ َﺎل‬،َ‫ِﰊ ﻫ َُﺮ َْﺮة‬
Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Aku bagi kalian adalah
ibarat ayah bagi anaknya (HR Ibnu Majah)
Hak guru lebih besar daripada hak kedua orang tua, karena orang tua
adalah sebab keberadaan sekarang dan kehidupan yang fana, sedangkan
guru adalah sebab kehidupan yang abadi. Sesungguhnya guru adalah
orang yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat yang abadi, yakni guru-
ilmu-ilmu akhirat atau ilmu-ilmu dunia yang dimaksudkan untuk
akhirat, bukan untuk tujuan dunia semata-mata.

b. Mengikuti jejak Rasulullah


Seorang guru tidak diperbolehkan untuk meminta upah atas ilmu yang
diajarkannya. Allah Swt berfirman:

.‫ﻜُﻮرا‬
ً ُ‫ﺟَﺰَاء َوَﻻ ﺷ‬
ً ‫ﻌِﻤُﲂ َﻟِﻮ ْﻪِ ا ِ َﻻ ُﺮِﯾﺪُ ﻣِ ُ ْْﲂ‬
ْ ُ ْ‫اﻧﻤَ ﺎ ﻧ ُﻄ‬
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari
kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS. Al-Insan [76]: 9).
. َ‫اﺗﺒِﻌُ ﻮا ﻣَﻦْ َﻻ َْﺴ ﻟ ُ ُْﲂ ﺟْ ًﺮا َو ُﱒْ ُﻣﻬْﺘ َﺪُ ون‬

36 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Yasin [36]: 21).
Meskipun dia memiliki jasa terhadap para murid, jasa tersebut
sebanding dengan keberadaan mereka sebagai penyebab kedekatannya
kepada Allah swt, yaitu melalui penanaman ilmu dan iman di dalam hati
mereka.
c. Tidak meninggalkan nasehat kepada murid
Guru melarang murid untuk memasuki suatu tingkatan sebelum
waktunya dan menyelami ilmu yang tersembunyi (al-khafi) sebelum
menguasai ilmu yang jelas. Guru juga harus mengingatkan kepada
muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah dalam rangka taqarrub
kepada Allah ta`ala bukan untuk meraih kekuasaan, kedudukan dan
persaingan.
d. Menasehati para murid dan melarang mereka agar tidak memiliki akhlak
yang tercela
Cara menasehati para muridnya dapat dilakukan dengan menggunakan
sindiran tanpa menjatuhkan harga diri mereka. Sebab menasehati para
muridnya dengan secara terang-terangan, maka akan mengurangi
kewibawaan mereka, menimbulkan keberanian untuk membangkang dan
merangsang sikap bersikeras mempertahankan. Guru harus terlebih
dahulu beristiqamah. Setelah itu, dia meminta murid untuk beristiqamah.
Apabila itu tidak dilakukan, maka nasihat tidak akan bermanfaat.
Meneladani dengan perbuatan lebih efektif daripada mentaati perkataan.
e. Guru yang menekuni ilmu tertentu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu
yang tidak ditekuninya
Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas
wawasan murid pada orang lain. Jika ia mnekuni beberapa ilmu, maka ia
harus menjaga pentahapan dalam meningkatkan murid dari satu
tingkatan ke tingkatan yang lain.
f. Membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid
Seorang guru hendaknya tidak menyampaikan kepada muridnya apa
yang tidak terjangkau oleh kemampuan akalnya. Hal tersebut
mengantisipasi agar tidak membuat muridnya enggan atau memberatkan
akalnya. Ibnu Mas`ud berkata :

« ً‫ اﻻ ﰷَ نَ ﻟِﺒ َﻌْﻀِ ﻬ ِْﻢ ﻓِ ْﻨ َﺔ‬،‫» ﻣَﺎ ﻧ َْﺖ ﺑِﻤُ َ ّﺪ ٍِث ﻗ َْﻮﻣًﺎ َﺪِ ﯾﺜًﺎ َﻻ ﺗَﺒْﻠ ُ ُﻐ ُﻪ ُﻋ ُﻘﻮﻟ ُ ﻬ ُْﻢ‬

Bahan Ajar PAI-Akhlak 37


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan suatu


pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan
akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka" (HR Muslim)
Oleh sebab itu dikatakan :”Takarlah setiap orang dengan takaran
akalnya, dan timbanglah dia dengan timbangan pemahamannya, agar
engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat darimu”
g. Murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya
hal-hal yang jelas dan cocok dengannya.
Sebaiknya seorang guru tidak menyebutkan bahwa apa yang
disampaikan itu ada yang tidak disampaikan kepadanya. Hal tersebut
dapat mengurangi minatnya terhadap hal-hal tersebut dan membuat
hatinya terguncang dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu
terhadap dirinya.
h. Hendaknya guru melaksanakan ilmunya
Maksudnya, perbuatannya tidak mensdustakan perkataannya, karena
ilmu diketahui dengan mata hati (bashiroh) dan amal diketahui dengan
mata. Jika amal perbuatan bertentangan dengan ilmu, maka tidak akan
memiliki daya bimbing.
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah(2): 144 :
. َ‫اﻟﻨﺎس ِ ﻟ ِ ِّْﱪ وَ ﺗَ َْﺴ ْﻮنَ ﻧْﻔ َُﺴ ُ ْﲂ َو ﻧ ُ ْْﱲ ﺗَﺘْﻠ ُﻮنَ اﻟ ْﻜِ ََﺎب ﻓ ََﻼ ﺗَﻌْﻘِﻠ ُﻮن‬
َ َ‫ﺗَ ﻣ ُُﺮون‬
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al
kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
Orang yang berilmu tetapi bermaksiat akan mendapatkan dosa yang
lebih besar daripada orang bodoh. Karena jika orang yang berilmu
tergelincir, maka ia akan menggelincirkan orang lain juga.

5. Kriteria Orang Berilmu


Menurut Islam, seorang yang berilmu bukan hanya dilihat dari
luasnya ilmu yang dimiliki, melainkan dilihat juga dari sifat atau tingkah
lakunya. Jika seserang memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas, tetapi
akhlak dan budi pekertinya masih seperti orang yang tidak berilmu, atau
bahkan lebih dari itu, maka orag seperti itu belum bisa dikategorikan
sebagai orang yang berilmu.
Menurut Abdul Hamid M. Djamil (2015), sifat yang harus dimiliki
oleh orang yang berilmu adalah :

38 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

a. Bertanggung Jawab
Orang yang berilmu harus bertanggung jawab dalam menjaga ilmu
yang sudah dimilikinya sesuai dengan ketentuan syariat. Salah satu
tanggung jawab yang dibebankan syariat ialah menjaga ilmu yng telah
dimiliki agar tidak hilang. Agar ilmu tidak mudah hilang, maka cara yang
dapat ditempuh di antaranya adalah:
1) Sering diulang-ulang
Mengulang-ulang ilmu yang sudah dimiliki adalah bagian bentuk
mensyukuri nikmat Allah. Dengan mengkaji ulang berarti seseorang
telah berusaha menjaga ilmu yang telah dipelajarinya. Ketika nikmat
pengetahuan (ilmu) telah dilupakan, karena tidak pernah dikaji ulang,
maka secara tidak langsung dia sudah mengkufuri nikmat pengetahuan
yang diberikan kepadanya.
2) Beramal dengan ilmu yang ada
Salah satu cara meraih keberkahan ilmu adalah dengan beramal.
Seseorang yang berbuat kebajikan dengan ilmunya, maka Allah akan
mewariskan ilmu lain padanya yang tidak ia pelajari. Beramal dengan
ilmu yang sudah dimiliki ada banyak faedahnya. Beramal dengan ilmu
yang sudah diketahui akan lebih membekas dalam otak sesorang
ketimbang menghapalnya. Para ulama memberikan gambaran tentang
ciri-ciri orang yang beramal dengan ilmunya. Mereka adalah orang yang
menjaga diri dari makanan haram, menjauhkan perbuatan syubhat,
bergaul dengan masyarakat dengan sikap yang santun, tutur katanya
lembut, dan tidak mencerca orang lain ketika terdapat sebuah kesalahan.
b. Tidak menyembunyikan Ilmu
Menyembunyikan ilmu dengan arti tidak mau mentransferkan ilmu
tersebut kepada orang yang membutuhkan. Menyembunyikan sesuatu
dengan menutup-nutupi, menghilangkannya atau meletakkan objek lain
pada sesuatu yang dihilangkan itu. Menyembunyikan suatu ilmu (Kitman al-
ilm) merupakan sifat yang tercela. Sebuah sifat yang sangat dibenci oleh
syariat. Sehingga pelakunya dijanjikan akan dicambuk pada hari kiamat.
Pribadi yang menyembunyikan ilmu tidak ingin orang lain mengetahui apa
yang dia ketahui. Ilmunya merasa berkurang jika diberikan kepada orang
lain. Orang-orang seperti ini adalah bagian dari manusia yang dilaknat
Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 159 :

Bahan Ajar PAI-Akhlak 39


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu

‫ِﻠﻨﺎس ِﰲ اﻟ ْﻜِ َِﺎب‬


ِ ُ‫ان ا ِ ﻦَ َﻜْ ُﻤُ ﻮنَ ﻣَﺎ ْﺰَﻟ ْ ﻨ َﺎ ﻣِﻦَ اﻟ ْﺒ َ ِ ّ َِﺎت َواﻟ ْ ﻬُﺪَ ى ﻣِ ﻦْ ﺑﺪِ َ ْﻌ ﻣَﺎ ﺑ َ ﺎﻩ‬
. َ‫وﻟ َﺌِﻚَ ﯾ َﻠ ْﻌَﳯُ ُُﻢ ا ُ َوﯾ َﻠ ْﻌَﳯُ ُُﻢ اﻟﻼﻋِ ﻨ ُﻮن‬
Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati
Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati”
c. Tawadlu (Rendah hati)
Tawadlu diartikan dengan rendah hati. Secara istilah tawadlu
memiliki arti menerima kebenaran dari segala sisi. Sifat tawadlu ditinjau
dari dua arah, yaitu hubungan manusia dengan Rab-nya (vertical) dan
hubungan dengan sesamanya (horizontal). Syarat bertawadlu adalah ikhlas
dan sanggup untuk bertawadlu. Tawadlu adalah sikap yang lahir secara
otomatis pada diri seseorang setelah segala syarat-syarat tawadlu terpenuhi.
Tawadlu terbagi menjadi dua, yaitu tawadlu yang sifatnya terpuji
dan tawadlu yang sifatnya tercela. Tawadlu terpuji adalah bertawadlu
karena Allah, serta menghilangkan sifat sombong dan tidak merendahkan
orang lain. Sedangkan tawadlu tercela adalah bertawadlu kepada selain
Allah. Seperti menghina diri di depan orang kaya agar mendapat harta,
menghina diri di hadapan penguasa supaya diberi jabatan, dan merendahkan
hati di depan manusia agar dipuji-puji.
Tawadlu hanya diperdapatkan pada empat hal: dalam mengerjakan
perintah Allah, dalam berpakaian, tawadlu orang berilmu dengan ilmu yang
dimilikinya, dan tawadlu seorang pelajar terhadap ilmu yang digalinya.

---

Pertanyaan-Pertanyaan :

1. Allah telah berjanji akan mengangkat derajat orang yang berilmu,


tuliskan ayat Al-Qur`an tentang itu, lengkap dengan artinya !
2. Jelaskan pembagian ilmu ditinjau dari segi subyek dan objeknya,
penjelasan agar dilengkapi dengan contoh!
3. Islam telah menetapkan rambu-rambu dalam menuntut ilmu yang jika
rambu-rambu tersebut diikuti, maka kita tidak akan gagal dalam
menuntut ilmu. Coba Saudara jelaskan rambu-rambu tersebut!
4. Mengapa seorang murid harus menghormati dan memuliakan gurunya?
Uraikan penjelasan Saudara!

40 Bahan Ajar PAI-Akhlak


Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

5. Mengapa hak guru lebih besar terhadap muridnya daripada hak orang
tua kepada anaknya? Uraikan penjelasan Saudara!
---
Daftar Pustaka :

Abdul Hamid M. Djamil,(2015), Agar Menuntut Ilmu Jadi Mudah, Jakarta :


PT Alex Media Komputindo
Choiruddin Hadhiri, (2015), Akhlak dan Adab Islami,Menuju Pribadi
Muslim Ideal, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
Imam Ghazali, (2014), Ihya `Ulumiddin,terj., Depok : Keira Publishing
Imam Zamroni (2015), Makalah : Etika Menuntut Ilmu dalam Islam(Dosen
STID M Natsir) : Jakarta
Masdar Helmy, (2012), Keteladan Akhlak Rasulullah, Tuntunan Moral
Untuk Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah
M. Quraish Shihab, (1992), Membumikan Al-Qur`an; Fungsi dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Penerbit Mizan
Sa`id Hawwa, (2004), Mensucikan Jiwa, terj., Jakarta : Robbani Press

Bahan Ajar PAI-Akhlak 41

Anda mungkin juga menyukai