PEMBERSIHAN DIRI
TUJUAN:
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan
mampu :
1. Memahami Dosa dan Maksiat
2. Mengetahui dan memahami makna pembersihan diri
3. Mengetahui dan memahami cara pembersihan diri
4. Termotivasi untuk senantiasa membersihkan diri
5. Memahami arti dan cara bertaubat
Muqaddimah
Bab ini merupakan bab penutup dalam pembahasan Aktualisasi
Akhlaq Terpuji yang diberi judul Pembersihan Diri. Yang dimaksud Diri
dalam tulisan ini adalah diri manusia secara total, yaitu jasmani dan rohani
beserta elemen-elemennya. Pembersihan diri berarti pembersihan jasmani
dan rohani berikut elemen-elemenya.
Bab ini menjadi sangat penting, karena untuk mengaktualisasikan
akhlak terpuji, harus bersih dari dosa dan atau ma’shiat. Sehingga hubungan
dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam
lingkungan menjadi harmonis. Nilai-nilai agama menjadi terinternalisasi
dalam akal, jiwa, dan kehormatan manusia.
Pembahasannya di awali dengan pembahasan dosa dan maksiat ,
dillanjutkan dengan makna dan cara pembersihan diri, kemudian diakhiri
dengan pembahasan taubat.
Dosa
Dalam Ensiklopedi Islam (1993:I: 318), dosa dipahami sebagai
pelanggaran terhadap hukum agama (Islam). Dalam istilah fiqih, dosa
berkaitan dengan siksa (penderitaan sebagai hukuman). Dalam Al-Qur’an,
dosa disebut wizrun, itsmun, junah, dan kaba-ir.
1
Bab XIII – Pebersihan Diri
ﳾ ءٍ َوَﻻ َِﻜْﺴ ُﺐ ُﰻ ﻧَﻔ ٍْﺲ اﻻ َﻠ َﳱْ َﺎ َوَﻻ َﺰُِر َْ ﰻ ّ ِ ُ ﻗ ُﻞْ ْ ََﲑ ا ِ ﺑ ْﻐِﻲ َر َوﻫ َُﻮ رَب
[/ﻌُﲂ ﻓ َُ ﻨ َ ِ ّ ُ ُْﲂ ﺑِﻤَ ﺎ ﻛُ ﻨ ُ ْْﱲ ﻓِ ﻪِ َ ْﲣﺘ َﻠِ ﻔُﻮنَ ] ا ٔﻧﻌﺎم
ْ ُ َِوا َزِرة ٌ وِزْ َر ﺧ َْﺮى ُﰒ َاﱃ َر ُّ ِْﲂ ﻣ َْﺮﺟ
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [masing-masing orang
memikul dosanya sendiri-sendiri). Kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
(QS. Al-An’am [6]:164)
Islam juga melarang seseorang menolong orang lain dalam perbuatan
dosa karena akibat hukumnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan
itu. Dalam ayat lain Allah berfirman:
... ََﻌَﺎوﻧُﻮا ََﲆ ْاﻻ ْﰒ ِ َواﻟ ْﻌُﺪْ َوانِ وَ اﺗ ُﻘﻮا ا َ ان ا َ ﺷَ ﺪِ ﯾﺪُ اﻟ ْﻌِ ﻘ َِﺎب....
َوَﻻ ﺗ
”.... dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kalian kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya (QS. Al-Maidah [5]: 2).
Menurut tingkatannya, dosa ada dua macam yaitu dosa kecil dan
dosa besar. Dosa kecil adalah pelanggaran hukum atas perbuatan yang tidak
dirinci sebagaimana dosa besar. Sedangkan dosa besar adalah pelanggaran
hukum atas perbuatan yang telah di rinci, seperti: (a) Menyekutukan Allah
(musyrik); (b) Menyakiti kedua orang tua; (c) Bersaksi palsu; (d) Bunuh
diri; (e) Membunuh orang lain; (d) Berzina; (e) Hirobah (mengganggu
ketentraman orang).
Maksiat
Selain istilah dosa dikenal juga istilah “maksiat”. Asmaran (2002:185)
mengartikan ma’siat sebagai “pelanggaran terhadap ajaran Islam yang
dilakukan oleh orang yang sudah baligh-berakal (mukallaf) termasuk
meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syari’at Islam”. Baik dalam
hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan sesama
manusia dan alam. Selain itu, kita juga mengenal istilah “munkar”, yakni
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh semua manusia, baik
sudah orang yang sudah baligh/berakal ataupun belum.
Dari segi jenisnya maksiat terbagi menjadi: (a) maksiat lahir; dan
(b) maksiat batin.
Maksiat lahir, meliputi antara lain:
1. Maksiat Lidah/Lisan
Imam Al-Ghazali mengungkapkan lima belas bahaya lidah, yaitu:
a. Membicarakan hal yang tidak perlu;
b. Perkataan yang berlebihan
c. Berbicara hampa dalam hal batil;
d. Bertengkar dan berbantah-bantahan;
e. Permusuhan;
f. Kata keji, caci maki, kotor lidah;
g. Mengutuk,
h. Senda gurau yang tidak berguna;
i. Menghina dan mentertawakan;
j. Membuka rahasia;
k. Janji palsu;
l. Dusta pada ucapan dan sumpah;
m. Adu domba dan fitnah;
n. Pembicaraan orang yang berlidah dua (plin-plan)
o. Sanjungan atau pujian karena kepentingan.
2. Maksiat Telinga
Di antara maksiat telinga adalah mendengarkan pembicaraan atau suara
yang dapat melalaikan beribadah kepada Allah, mendengarkan ghibah
(mengumpat), namimah (adu domba).
3. Maksiat Mata
Maksiat mata ialah melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, seperti melihat aurat. Rasul Saw bersabda yang artinya:
Janganlah seorang pria melihat aurat pria lainnya, dan janganlah pula
wanita melihat aurat wanita lainnya.
Allah mengancam terhadap orang-orang yang tidak memanfaakan mata
telinga dan hatinya terhadap kebaikan (ajaran Islam). Firman-Nya dalam
Al-Qur’an Surah Al-A’raf (7):179:
ِْﺲ ﻟ َ ﻬ ُْﻢ ﻗ ُﻠ ُﻮبٌ َﻻ ﯾ َ ْﻔﻘ َﻬُﻮنَ ﲠِﺎ َ َوﻟ َﻬ ُْﻢ ُ ٌْﲔ َوﻟ َﻘ َﺪْ َذَر َ ﻟِﺠَ ﻬ ََﲌ ﻛَﺜِﲑًا ﻣِﻦَ اﻟ ْﺠِ ِّﻦ َو ْاﻻ
َُﺒْﴫونَ ﲠِ َﺎ َوﻟ َ ﻬ ُْﻢ َٓذَانٌ َﻻ َْﺴﻤَ ﻌُﻮنَ ﲠِ َﺎ وﻟ َﺌِﻚَ ﰷَ ْ ﻧْﻌَﺎمِ ﺑ َﻞْ ُﱒْ ﺿَ ﻞ وﻟ َﺌِﻚُ ِ َﻻ ﯾ
. َُﱒُ اﻟ ْ ﻐَﺎﻓِ ﻠ ُﻮن
Perbersihan Diri
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa yang dimaksud diri dalam
tulisan ini adalah diri manusia secara total atau rohani dan jasmani beserta
elemen-elemennya. Pembersihan diri berarti pembersihan jasmani dan
rohani berikut elemen-elemenya secara total.
Perintah membersihkan diri secara total ditunjukkan oleh Allah Swt
antara lain dalam al-Qur’an surah al-Muddatstsir ayat ke 4 yang berbunyi:
sesuatu yang sangat penting agar tujuan tidak bergeser. Segala amal muslim
harus dilakukan dengan niat karena Allah, niat mengagungkan-Nya, dan
niat menegakkan kalimah-Nya. Apabila niat dan tujuan itu bergeser dari
keikhlasan kepada kursi kekuasaan dan kemegahan diri atau kepada
kehidupan dunia, maka dimungkinkan akan timbul pertentangan dan
persaingan yang tidak sehat, perpecahan dan permusuhan antar sesama
umat.
Sedangkan kaifiyat (amal) sebagai buah dari niat harus sesuai dengan
syari’at yang disebut sebagai amal shaleh. Karena itu, Ibnu Katsir (III: 108)
mengartikan Amal Shaleh, sebagai “perbuatan yang cocok (muwaffiqun)
dengan syari’at Allah yang ditampilkan melalui keteladanan Rasulullah Saw.
Dengan demikian, bersatunya niat yang iklash dengan amal shaleh
laksana bangunan yang kokoh dan menjadi sebab diterimanya amal di
hadapan Allah Swt. Allah menjanjikan tiga macam kemenangan bagi umat
Islam yang beriman dan beramal shaleh. Pertama, mereka akan diberikan
kedudukan sebagai pengatur dan penguasa di muka bumi (khalifah fil-ardli).
Kedua, agama mereka akan dikokohkan sehingga tidak akan tergoyahkan
oleh urusan dunia yang menyesatkan. Ketiga, bahwa mereka akan diberi
kehidupan yang aman dan tentram, bebas dari segala ketakutan dan
kekhawatiran.
Dengan demikian, perintah membersihkan amal (wa amalaka fa
thahhir) mengandung arti: (1) mendasari amal dengan niat karena Allah; (2)
mencocokkan amal perbuatan dengan Sunnah Rasulullah Saw.
3. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa qalbaka fa thahhir). Artinya bersihkanlah
hatimu.
Ada dua penegasan yang dikemukakan oleh Al-Mawardi berkenaan
dengan perintah membersihkan hati: Pertama, membersihkan hati dari dosa
dan maksiat (wa qolbaka fa thahhir minal-itsmi wal-ma’ashî) (periksa, Ibnu
Abbas dan Qatadah); (2) Membersihkan hati dari penipuan (wa qolbaka fa
thahhir minl-ghadri) (lihat: Ibnu ‘Abbas).
Hati, memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam
perbuatan manusia, hati bagaikan seorang raja yang mengatur anak buahnya,
dimana seluruh anggota bergerak dan bekerja sesuai dengan perintahnya.
Rasulullah Sw bersabda, yang artinya: “Ingatlah! Bahwa dalam tubuh itu
ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh itu. Dan bila
ia rusak, maka rusak pulalah seluruhnya. Itu-lah dia Qalbu (hati)”. (HR.
Bukhari dalam Al-Iman I/126, dari Nu’aim bin Basyir)
ٌﻻَ ﯾ ُﺆَا ُ ُِﺬ ُﰼ ﷲُ ِ ﻠ ﻐْﻮِ ِﰲ ﯾ ْﻤَ ﺎ ُ ِْﲂ َوﻟ َﻜِﻦْ ﯾ ُﺆَا ُ ُِﺬ ْﰼ ﺑِﻤَ ﺎ َﻛَﺴ َْﺖ ﻗ ُﻠ ُﻮ ُ ُْﲂ َوﷲُ ﻏ َﻔُﻮر
ٌَﻠِﲓ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagai wadah, hati ada yang disegel, sebagaimana firman Allah dalam
QS. Al-Baqarah (2): 7)
...ﺧ ََﱲَ ﷲُ ََﲆ ﻗ ُﻠ ُﻮﲠِ ِْﻢ
Allah mengunci mati hati mereka...
Hati yang sehat, adalah hati yang terhindar dari keinginan hawa nafsu,
selamat dari subhat dan kesalahan. Sehingga ia selamat dalam
menghambakan diri kepada Allah Swt, ikhlas dalam beribadah, penuh
mahabbah, tunduk, pasrah dan penuh harap. Bila ia mencintai sesuatu,
ia akan mencintainya karena Allah. Bila ia membenci sesuatu, ia pun
akan membencinya karena Allah. Apabila ia memberi, semata-mata
karena Allah. Jika ia melarang atau mencegah sesuatu, juga karena Allah.
Orang yang sehat hatinya senantiasa tunduk dan bertahkim kepada
ajaran Rasulullah Saw.
Kedua, Hati yang mati, adalah hati yang tidak mengenal Tuhannya,
tidak beribadah kepada-Nya. Selalu berjalan bersama-sama keinginan
hawa nafsu, walaupun hal itu dibenci dan dimurkai Allah Swt. Bila ia
mencintai sesuatu, ia mencintainya karena hawa nafsu. Bila ia membenci
sesuatu, membencinya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya,
menjadi pemimpin dan pengendali bagi dirinya. Ia diselimuti oleh
kesenangan duniawi semata. Tidak lagi bisa membedakan mana yang
haq dan mana yang bathil. Gagan Subhan (2014) mengemukakan 13
tanda-tanda hati yang mati
1) Tarkush sholah: Berani meninggalkan salat wajib.
2) Adzdzanbu bil farhi : Tenang tanpa merasa berdosa padahal sedang
melakukan dosa besar (lihat: QS. al A'raf 3).
3) Karhul Qur'an:Tidak mau membaca Al-Qur'an.
4) Hubbul ma'asyi: Terus menerus mengerjakan maksiat.
5) Asikhru:Sib uknya hanya mempergunjing dan buruk sangka, serta
merasa dirinya selalu lebih suci.
6) Ghodbul ulama’i: Sangat benci dengan nasehat baik dari ulama.
7) Qolbul hajari: Tidak ada rasa takut akan peringatan
kematian,kuburan dan akhirat.
8) Himmatuhul bathni: Gilanya pada dunia tanpa peduli halal atau
haram, yang penting kaya.
9) Anaaniyyun:Tidak mau tau, "cuek" atau masa bodoh keadaan orang
lain,bahkan pada keluarganya sendiri sekalipun menderita.
10) Al-intiqoom: Pendendam hebat.
11) Al-bukhlu: Sangat kikir.
12) Ghodhbaanun: Cepat marah karena keangkuhan dan dengki.
13) Asysyirku: Syirik dan percaya sekali kepada praktek dukun
Dzikir
Secara etimologis dzikir berasal dari bahasa arab, yaitu dzakara, yadzkuru,
dzikr, berarti “menyebut, mengingat, memperhatikan, mengenang,
mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti”. Sedangkan menurut
menyatakan bahwa dzikir adalah ibadah verbal ritual, yang tidak terikat
dengan waktu, tempat atau keadaan, dan jika manusia menyibukkan diri
untuk melakukannya, dzikir menghasilkan pengetahuan dan penglihatan
dalam dirinya.
Dzikir dalam pengertian yang luas dapat berarti do’a. Menurut Sudirman
Tebba dalam bukunya yang berjudul Meditasi Sufistik menyebutkan
bahwa do’a adalah permintaan atau permohonan manusia kepada Allah
untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat. Do’a
merupakan kesempatan manusia untuk mencurahkan hati kepada Tuhan,
menyatakan kerinduan, ketakutan dan kebutuhan manusia kepada-Nya.
Dengan syarat, do’a hanya dipanjatkan kepada Allah, dengan sikap
tadorru’an (handap asor) wa khufyatan (dengan suara lembut dan hanya
terdengar oleh diri yang berdo’a) sebagaimana firman Allah dalam surat
Al a’raf (7): 55-56.
( َوَﻻ ﺗُﻔ ِْﺴﺪُ وا ِﰲ ا ْ ر ِْض) َا ْد ُﻋﻮا َر ُ ْﲂ ﺗ ََﴬ ًﺎ وَ ُﺧ ْﻔ َﺔً اﻧ ُﻪ َﻻ ُﳛِﺐ اﻟ ْﻤُ ﻌْ ﺘ َﺪِ ﻦ
.() َْﻤُﺤْﺴ ﻨِﲔ
ِ ﺑ َﻌْﺪَ ْاﺻ َﻼ ِ َﺎ َوا ْدﻋُﻮﻩُ ﺧ َْﻮﻓ ًﺎ وَﻃَ ﻤَﻌًﺎ ان ر َْﲪ ََﺖ ا ِ ﻗ َﺮِﯾﺐٌ ﻣِﻦَ اﻟ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(55). Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.(56)”
Dengan berdzikir kepada Allah. Hati akan menjadi hidup (on) dan subur,
karena berdzikir kepada Allah:
1) bagaikan air bagi ikan;
2) makanan hati dan jiwa;
3) dapat mengusir syaitan, mengalahkan dan menundukkannya;
4) menjadikan Allah ridla kepadanya;
5) menghilangkan duka nestapa;
6) melenyapkan kegelisahan dan kesusahan;
7) mendatangkan rasa riang dan gembira, lapang dan gampang.
8) menerangi qalbu;
9) berwibawa dalam kepribadian;
10) merasakan manisnya iman;
11) dapat bermahabah kepada-Nya.
Membaca Al-Qur’an
Membaca al-Qur`an dapat dikatakan sebagai obat bagi penyakit hati,
karena Al-Qur’an mengandung penjelasan dan keterangan yang mampu
melenyapkan keragu-raguan yang merusak ilmu dan pola pikir. Al-
Qur’an dapat mengembalikan kemampuan untuk memandang segala
sesuatu dengan pandangan yang obyektif, dapat melihat garis pembeda
antara yang haq dan yang batil bagaikan melihat siang dan malam. Al-
Qur`an juga dapat berfungsi sebagai obat pencegah ajakan hawa nafsu
(syahwat), karena ia mengandung hikmah dan mau’izhah. Dengan Al-
Qur`an manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub),
karena hati menjadi jernih.
4. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa Nafsaka fa thahhir). Artinya bersihkanlah
jiwamu.
Makna “Tsiyab” yang keempat adalah “Nafsun” (=jiwa). Dengan
demikian makna wa tsiyabaka fathahhir adalah “bersihkanlah jiwamu dari
segala kotoran.” (lihat uraian tentang nafsu).
5. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa Jismaka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
jasmanimu.
Membersihkan pakaian diartikan mebersihkan jasmani dari kotoran
maksiat. Karena semua maksiat adalah racun, penyebab sakit dan binasanya
hati. Sesuai dengan uraian di atas tentang maksiat lahir, sekurang-kurangnya
ada lima anggauta badan yang perlu dijaga dan dibersihkan dari kotoran
maksiat, yaitu:
a. Lidah.
Rasulullah Saw, bersabda yang artinya: ... Tidaklah akan lurus hati
seorang hamba sehingga lurus lidahnya” (HR. Ahmad dari Anas ra.)
Lidah, adalah medan yang amat luas dan tak terbatas. Ia tidak mempunyai
tempat bertertolak, karenanya ia pandai mengelak. Ia mempunyai lapangan
Bahwasanya syahwat itu ada tiga macam, yaitu: (1) syahwat pada makan;
(2) syawat pada bicara; dan (3) syahwat pada melihat. Maka peliharalah
makan dengan berhenti sebelum kenyang, pelihara lidah (ucapan) dengan
kebenaran, dan peliharalah penglihatan dengan pelajaran.
e. (yang) Di bawah Perut (Kemaluan).
Berdasarkan hadits di atas, kemaluan (farj) adalah salah satu anggauta
tubuh yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw akan tersesatkan
oleh macam-macam fitnah hawa nafsu.
Ajaran Islam tidak melarang ummat manusia menikmati kesenangan
seksual, malahan Islam sangat mencela orang-orang yang tetap
mempertahankan hidup membujang. Islam memberi jalan mulia untuk
menuju ke arah kesenangan seksual melalui jalan pernikahan.
6. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa akhlaq-ka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
perilakumu.
Rasulullah Saw bersabda: Lâ dîna liman lâ khuluqu lahu (Tidak patut
orang yang beragama kalau tidak baik perilakunya).
Ada ilustrasi berkaitan dengan perilaku, yakni: “Apabila anda ingin
tahu apa yang ada dalam hati seseorang, perhatikanlah hal-hal yang dilakukan
orang itu. Perhatikan perilaku orang bersangkutan”. Ilustrasi ini memberi
isyarat bahwa antara perilaku dan sikap merupakan dua istilah yang berbeda,
namun memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.
“Perilaku anda sebagai seorang muslim haruslah konsisten dengan sikap anda”.
Islam sangat memerhatikan perilaku yang ditampilkan seseorang
agar tidak bertentangan dengan sikap mentalnya. Jujur dan benar (dapat
dipercaya); ‘Iffâh (selalu menjaga diri dari sesuatu yang merusak kehormatan
dan kesucian); Adil dalam memutuskan sesuatu tanpa membedakan
kedudukan, status sosial ekonomi, maupun hubungan kekerabatan. Jika
terpaksa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam,
maka Islam mengajarkan agar: cepat bertobat dan meminta ampunan Allah
Swt (maghfiroh).
7. Wa tsiyâbaka fa thahhir (Wa-aHlaka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah
keluargamu).
Kata tsiyab dalam makna ketujuh ini diartikan “ahla”. Ahla yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah keluarga. Membersihkan keluarga adalah
menasehati dan mendidik keluarga dengan jalan menyelamatkan keluarga
dari dosa; membersihkan makanannya, membersihkan hati mereka dari
kemusyrikan, membersihkan ibadah mereka dari perbuatan bid’ah. Dengan
Taubat
Penjelasan mengenai Taubat lihat pada Bab Akhlak Kepada Allah
---
PERTANYAAN
1. Apa makna dosa dan maksiat ?
2. Kemukakan tingkatan dosa beserta penjelasannya!
3. Berikan penjelasan tingkatan dan bentuk-bentuk maksiat !
4. Jelaskan makna pembersihan diri yang terkandung dalam Al-Qur’an
surat Al-Muddatsir ayat 4!
5. Jelaskan bagaimana metode Pembersihan diri!
6. Jelaskan makna taubat dan jenis-jenisnya!
7. Bagaimana cara taubat yang benar!
Pendahuluan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, sehingga
Islam menempatkan orang yang memiliki ilmu pada tempat yang istimewa
dan strategis. Sebaliknya Islam memberikan kecaman terhadap kebodohan
dan orang-orang yang enggan untuk menuntut ilmu.
Allah berfirman dalam QS Al-Mujadalah (58): 11
َ ﳞَﺎ ا ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا اذَا ﻗِ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﺗَﻔَﺴﺤُ ﻮا ِﰲ اﻟ ْﻤَ َ ﺎ ِﻟِﺲ ﻓ َﺎﻓ َْﺴﺤُ ﻮا ﯾ َﻔ َْﺴ ِﺢ ا ُ ﻟ ُ َْﲂ وَ اذَا ﻗِ َﻞ
ََﺎت َوا ُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠ ُﻮن
ٍ ا ْ ُ ُوا ﻓ َﺎ ْ ُ ُوا َْﺮﻓ َﻊ ِ ا ُ ا ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا ﻣِ ُ ْْﲂ َوا ِ ﻦَ وﺗ اُﻮ اﻟ ْْﻌِﲅ َ د ََر
. ٌَﺧ ِﲑ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah memuliakan orang yang berilmu
dan tingginya derajat orang yang berilmu. Ilmu menempatkan kedudukan
yang tinggi dan derajat orang yang memilikinya.
Seorang pujangga mengatakan: “Belajar diwaktu kecil bagai
mengukir di atas batu, belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air”
Dalam Agama Islam, tidak ada batasan bagi seseorang dalam menimba
ilmu. Abdul Hamid M. Djamil (2015) mengatakan: “Islam menganjurkan
pemeluknya untuk menyibukkan dirinya dengan ilmu. Dikarenakan hampir
seluruh aktifitas yang dilalui manusia sehari-hari butuh kepada ilmu.”
Ilmu bukan hanya bermanfaat di dunia bagi pemiliknya, melainkan
pahalanya akan terus mengalir meskipun pemiliknya telah meninggal dunia.
Sabda Rasulullah Saw:
23
Bab X – Akhlak Dalam Menuntut ilmu
ﺣَﺴ ﻨ َﺎﺗِﻪِ ﺑ َﻌْ َﺪ ُ ان ﻣِ ﻤﺎ ﯾ َﻠ ِِﰊ ﻫ َُﺮ َْﺮ َة ﻗ َﺎلَ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳ ْﻮلُ ﷲ
َ ْﺤَﻖ اﻟ ْﻤُﺆْﻣِ ﻦَ ﻣِﻦْ َ َﲻ ِ ِ َو
ْﻣ َْﻮﺗِﻪِ ِﻠ ْﻤً ﺎ َﻠ ﻤَ ُﻪ َو ََﴩَﻩُ َوَوَ ً ا َﺻﺎﻟِ ًﺎ َ ﻛََﺮ ُﻪ َوﻣ ُْﺼﺤَ ﻔًﺎ َورﺛ َ ُﻪ وْ ﻣ َْﺴ ِ ﺪً ا ﺑ َﻨ َﺎﻩُ و
ِﺑ َ ْ ًﺎ ِﻻ ْﻦِ اﻟﺴ ِ ْﻞِ ﺑ َﻨ َﺎﻩُ وْ ﳖَ ًْﺮا َﺟْﺮاﻩُ وْ َﺻﺪَ ﻗ َﺔً ﺧ َْﺮ َ َﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﺎ ِ ِ ِ ْﰲ ِﲱﺘِﻪِ َوﺣَ َﺎﺗِﻪ
ِﯾ َﻠ ْﺤَ ُﻘ ُﻪ ﻣِﻦْ ﺑ َﻌْﺪِ ﻣ َْﻮﺗِﻪ
Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amalan
kebajikan yang pahalanya akan mengiringi seorang mukmin setelah
meninggal dunia adalah ilmu yang ia ajarkan kepada orang lain, anak
saleh yang ia tinggalkan, Al-Qur`an yang ia wakafkan, masjid yang ia
dirikan, rumah yang ia bangun untuk sabilillah, sungai yang ia alirkan
airnya, dan sedekah yang ia infaqkan ketika sehat dan sakinya.
Kesemuanya itu mengiringinya ketika meninggal dunia (HR. Ibnu Majah).
Imam Ghazali dalam kitab Ihya `Ulumuddin bab Ilmu mengatakan ,
dunia adalah tanaman bagi akhirat. Orang yang mengamalkan ilmu, dia
menanamkan kebahagiaan abadi bagi dirinya, yaitu dengan memperbaiki
jiwa dan akhlaknya sesuai dengan dengan apa yang diajarkan oleh ilmunya.
Dan dia juga menanamkan kebahagiaan abadi bagi orang lain dengan
mengajarkan ilmunya. Dia memperbaiki akhlak manusia dan menyeru
kepada mereka dengan ilmunya kepada segala sesuatu yang mendekatkan
mereka kepada Allah SWT.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa orang yang berilmu lebih mulia
dibandingkan dengan orang yang bodoh. Dengan ilmu, manusia dapat
mengantarkan dirinya dan diri orang lain untuk mencapai derajat yang
tinggi.
ِاﻟ ْْﻌِﲅ ُ َﺳ ِ ْﻞُ اﻟ ْﺨ َْﺸ ﯿَﺔِ ﻓ َﻤَﻦْ َﻻ ِْﲅ َ َ ُ ِ ِ ﻓ ََﻼ ﺧ َْﺸ ﯿَﺔً َ ُ اﻧﻤَ ﺎ ﳜَ َْﴙ ﷲَ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِ ﻩ
ِاﻟ ْﻌُﻠ َﻤَ ﺎء
Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang
tidak mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-
Nya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama.
Hal tersebut senada dengan firman Allah dalam QS. Fatir (35): 28:
ِاﻟﻨﺎس َوا َو ِ ّاب وَ ا ْ ﻧْﻌَﺎمِ ُﻣ ْﺨﺘ ٌَﻠِﻒ ﻟ َْﻮاﻧ ُ ُﻪ ﻛَﺬَ ِ َ اﻧﻤَ ﺎ ﳜَ َْﴙ ا َ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِ ﻩ ِ ََوﻣِﻦ
. ٌاﻟ ْﻌُﻠ َﻤَ ُﺎء ان ا َ َﻋ ِﺰ ﺰٌ ﻏ َﻔُﻮر
dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.
Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang
mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Menurut Quraish Syihab (1992), jika dikembalikan kepada Al-Qur’an,
maka yang disebut orang ‘alim ialah orang yang pengetahuannya
menimbulkan sifat khasyyah (takut) kepada Allah. Ada korelasi antara ilmu
dengan khasyyah, karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga
dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai
puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada orang berilmu
namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh, berarti ilmunya
tidak bermanfaat. Bahkan, orang yang berilmu namun melepaskan tanggung
jawabnya karena mengikuti hawa nafsu, dalam Al-Qur`an diumpamakan
seperti seekor anjing yang tetap menjulurkan lidahnya, baik dihalau maupun
dibiarkan. Allah berfirman surat Al-A’raf (7): 175-176:
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan
(sampai Dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya
dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar merekaberfikir.”
Menurut Quraish Shihab (1992), Al-Qur`an sebagai kitab petunjuk
yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di
dunia dan di akhirat, dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, adalah
mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya
serta menambah lmu pengetahuannya sebisa mungkin.
Ditinjau dari subjeknya, ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam dua
bagian.
Pertama, ilmu yang diproleh melalui usaha (al-muktasab), seperti ilmu yang
dimiliki manusia. Untuk memperoleh sebuah ilmu, manusia harus berusaha
untuk menggalinya. Usaha dimaksud baik dengan cara berguru, membaca,
ataupun melalui cara lain yang bersifat usaha. Kedua, ilmu yang diperoleh
bukan dari usaha (ghairu al-muktasab), seperti ilmu Allah, ilmu para Rasul,
dan ilmu para Malaikat. Untuk memperoleh ilmu, mereka tidak perlu
belajar, membaca atau menulis, seperti halnya manusia.
Sementara, dilihat dari segi objeknya, ilmu digolongkan ke dalam
dua golongan. Pertama, ilmu nadzari adalah ilmu yang didapatkan
seseorang melalui proses penelitian. Misalnya, penelitian yang dilakukan
oleh Thomas Alva Edison dalam membuat bola lampu pijar. Kedua, ilmu
zhahuri ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melakukan
penelitian. Bahkan, ilmu yang bersifat zhahuri ini akan secara otomatis
diketahui manusia meskipun tidak belajar, seperti mengetahui bahwa api itu
panas, es itu dingin, dan gula itu rasanya manis.
Allah menjelaskan dalam firmanNya pada QS Al-Mujadalaah (58):
11, bahwa sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu.
Rasulullah Saw bersabda :
اﻣﺎ اﻫﻞ اﻟﻌﲅ ﻓﺪﻟﻮا اﻟﻨﺎس,اﻗﺮب اﻟﻨﺎس ﻣﻦ در ﺔ اﻟﻨﺒﻮة اﻫﻞ اﻟﻌﲅ و اﻫﻞ اﳉﻬﺎد
و اﻣﺎ اﻫﻞ اﳉﻬﺎد ﲾﺎﻫﺪوا ﺑ ٔﺳﯿﺎﻓﻬﻢ ﲆ ﻣﺎ ﺎءت ﺑﻪ,ﲆ ﺎءت ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻞ
اﻟﺮﺳﻞ
Manusia yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan
ahli jihad. Ahli ilmu menunjukkan manusia kepada sesuatu yang dibawa
oleh para rasul, sementara ahli jihad dengan pedang mereka berdasarkan
sesuatu (tuntunan) yang dibawa oleh para rasul (HR. Dzahabi).
Ilmu merupakan sarana utama menuju kebahagiaan abadi. Ilmu
merupakan pondasi utama sebelum berkata-kata dan berbuat. Dengan ilmu,
manusia dapat memiliki peradaban dan kebudayaan. Dengan ilmu, manusia
dapat memperoleh kehidupan dunia, dan dengan ilmu pula, manusia
menggapai kehidupan akhirat.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukhtashar Ihya
‘Ulumuddin (2014), Ilmu merupakan kehidupan bagi hati yang mengalami
kebutaan, cahaya bagi penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi tubuh
dari kelemahan. Dari ilmu, seorang hamba akan mencapai kedudukan
orang-orang yang taat dan mencapai derajat yang tinggi. Pahala memikirkan
ilmu setara dengan pahala berpuasa, sedangkan pahala mempelajari ilmu
sepadan dengan pahala qiyamulail.
Untuk memperoleh ilmu manusia harus belajar atau dengan kata lain
menuntut ilmu.
ّ ِ ُ ﻠ» َُﺐ اﻟ ْْﻌِﲅ ِ ﻓ َﺮِﯾﻀَ ﺔٌ ََﲆ:َﻃ ِ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ا: ََِﺲ ْﻦِ ﻣَﺎ ِ ٍ ﻗ َﺎل
… ٍ ﰻ ﻣ ُْﺴ ِﲅ
Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda: Menuntut ilmu itu adalah
wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah).
Menuntut ilmu tidaklah mudah, tetapi juga tidak sulit. Dalam
menuntut ilmu dibutuhkan keyakinan, kesabaran, kesungguhan, dan
pengorbanan. Kita harus meyakini bahwa kita pasti bisa memahami suatu
ilmu/pelajaran. Kita harus bersabar, karena untuk memahami suatu ilmu
sampai tuntas memerlukan waktu yang lama. Kita harus sungguh-sungguh,
karena hanya dengan kesungguhan suatu ilmu dapat kita miliki. Kita harus
mempunyai jiwa berkorban, karena untuk meraih ilmu perlu tenaga dan
biaya. Akan tetapi pengorbanan yang dilakukan untuk menuntut ilmu
jaminannya adalah surga, sebagaimana sabda Rasulullah :
َﺳﻬ َﻞ، َوﻣَﻦْ َﺳ َ َ ﻃَ ﺮِﯾﻘ ًﺎ ﯾ َﻠ ْ ﺘ َُﻤِﺲ ﻓِ ﻪِ ِﻠ ْﻤً ﺎ: ِ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ﷲ: َ ﻗ َﺎل،َِﰊ ﻫ َُﺮ َْﺮة
،ِﷲُ َ ُ ﺑِﻪِ ﻃَ ﺮِﯾﻘ ًﺎ َاﱃ اﻟ ْﺠَﻨﺔ
Abi Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda: Siapa yang berjalan di
suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga. (HR. Muslim)
a. Ikhlas
Ikhlas merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam
upaya seseorang mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat.
Karena hanya dengan dasar ikhlas, segala tindakan kebaikan yang dilakukan
akan menjadi amal shalih yang layak mendapatkan balasan kebaikan dari
Allah, Tuhan semesta alam. Hal tersebut sesuai dengan QS. Al-Bayyinah
ayat 5 yang berbunyi :
َوﻣَﺎ ﻣِ ﺮ ُ وا اﻻ ﻟِﯿَﻌْﺒُﺪُ وا ا َ ُﻣ ْ ﻠِﺼِ ﲔَ َ ُ ا ّ ِ ﻦَ ﺣُ َﻔ ََﺎء َو ﯾ ُﻘِ ﳰ ُﻮا اﻟﺼ َﻼ َة َوﯾ ُﺆْ ﺗُﻮا اﻟﺰﰷَ َة
. َِوذَ ِ َ دِ ﻦُ اﻟ ْ ﻘ َ ِّﻤَﺔ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”
Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda:
اﻟﻨﺎس
ِ َ َوﯾ َْﴫ َِف ﺑِﻪِ وُﺟُﻮﻩ،َ و َُﳚَﺎرِيَ ﺑِﻪِ اﻟﺴ َﻔﻬَﺎء،َﻟِﯿُﺒَﺎﱔ ﺑِﻪِ اﻟ ْﻌُﻠ َﻤَ ﺎء
َ ِ َ »ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﲅ َ اﻟ ْْﻌِﲅ
« ْد َ َ ُ ا ُ َ ََﲌ، ِاﻟ َﯿْﻪ
Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan
para ulama, mempermainkan diri orang-orang bodoh dan dengan itu wajah
orang-orang berpaling kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka Jahannam. (HR. Ibn Majah).
b. Berdo`a
Dalam Islam, seorang penuntut ilmu disamping didorong untuk
berusaha Allah Swt memerintahkan kepada penuntut ilmu untuk berdo’a
dengan do’a. Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Thaha (20):114:
َْﻌَﺎﱃ ا ُ اﻟ ْﻤَ ِ ُ اﻟ ْﺤَﻖ َوَﻻ ﺗَﻌْ َﻞْ ِ ﻟﻘُْﺮ ٓنِ ﻣِﻦْ ﻗ َْﻞِ نْ ﯾ ُﻘ َْﴣ اﻟ َﯿْﻚَ َوﺣْ ُ ُﻪ َوﻗ ُﻞ
َ َﻓ
.ر ِ َّب زِد ِْﱐ ِﻠ ْﻤً ﺎ
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan."
Rasulullah juga mengajarkan sebuah do’a khusus bagi para penuntut
ilmu.
َوﺗَﻌَﻮذُ وا ِ ِ ﻣِﻦْ ِْﲅ ٍ َﻻ، » َﺳﻠ ُﻮا ا َ ِﻠ ْﻤً ﺎ َ ﻓِﻌًﺎ: ِ ﻗ َﺎلَ ر َُﺳﻮلُ ا: ََﺎ ِ ٍﺮ ﻗ َﺎل
« ُﯾ َ ْﻨﻔَﻊ
Jabir Abdillah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Ya Allah sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung kepada
Engkau dari (mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat (HR. Al-Nasa’i).
c. Bersungguh-Sungguh
Termasuk juga kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah
bersungguh-sungguh dan diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut (29): 69,
yang artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”
Seorang penuntut ilmu memerlukan kesungguhan. Tidak layak para
penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan
ilmu yang bermanfaat-dengan izin Allah-apabila kita bersungguh-sungguh
dalam menuntutnya. Sebab, jika seorang penuntut ilmu malas, maka ia tidak
akan mendapatkan ilmu yang dicarinya.
Maka tak heran jika para ulama terdahulu selalu bersungguh-
sungguh dalam menuntut ilmu. Dalam makalahnya, Zamroni mengangkat
sbuah kisah Imam Syafi`i rahimahullah dalam menuntut ilmu. Beliau
berasal dari keluarga yang fakir, namun hal itu tidak dianggap aib oleh
beliau. Justru sebaliknya, itu dijadikan sebagai kekuatan yang dapat
mendorongnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Imam Syafi’i, sebagaimana
yang dikisahkan Humaidi, pernah bercerita
Aku adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengayoman ibu, ia
selalu mendorongku untuk hadir ke majelis ilmu. Guru sangat sayang pada
aku, sampai-sampai aku menempati tempatnya ketika ia berdiri. Tatkala
aku sudah merapikan Al-Qur’an, kemudian aku masuk ke dalam masjid
dan duduk bersama para ulama. Di sana aku mendengarkan hadits beserta
rinciannya kemudian aku hafal semuanya. Ibuku tidak dapat memberikan
kepadaku sesuatu yang dengannya aku dapat belikan kertas. Aku melihat
tulang maka aku ambil, kemudian aku menulisnya, tatkala sudah penuh,
maka aku menghafalnya sekuat tenagaku.
d. Menjauhi Kemaksiatan
Syarat lain bagi penuntut ilmu yang ingin sukses adalah menjauhi
kemaksiatan. Syarat ini merupakan syarat unik yang hanya dimiliki oleh
agama Islam. Pengaruh kemaksiatan terhadap terhalangnya ilmu pernah
terbukti menimpa Imam Syafi’i. Hal ini terlihat dari pengaduan Imam
Syafi’i kepada salah seorang gurunya yang bernama Waki’. Kisah ini
diceritakan Imam Syafi’i dalam sebuah syair berikut:
ﺎﴆ
ْ ِ َﺷَ ﻜ َْﻮ ُت َا ْﱃ َوِ ْﻛ ﻊ ٍ ُﺳ ْ َﻮء ﺣِ ﻔْﻈِ ْﻲ ﻓ َ رْﺷَ ﺪَ ِ ْﱐ َاﱃْ ﺗ َْـﺮكِ اْﳌ َﻌ
ـــــﻮر َوﻓ َﻀْ ﻞُ ﷲِ ﻻَ ﯾ ُﺆْ َﻩُ َﻋ ِﺎص ْ ُ ا َْﲅْ ِﺑ ناﻟ ْْﻌِﲅ َ ﻧ: َوﻗ َﺎل
Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi’, tentang jeleknya hafalanku,
maka ia memberikan petunjuk kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan.
Karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak
akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”
َِﻧِﻌْﻢ اﻟ َِّﺴﺎءُ َِﺴ ُﺎء ا ﻧ َْﺼﺎرِ ﻟ َْﻢ ﯾ َﻤْ ﻨ َ ْﻌﻬُﻦ اﳊ َُﯿَﺎء نْ ﯾ َﺘ َﻔَﻘ ﻬْﻦَ ِﰲ ا ّ ِ ﻦ
اﻟﻨﺎس
ِ ُْﻜِﱪ ﺑ َﻄَ ُﺮ اْ ﳊ ّ َِﻖ و َ َْﲽﻂ
ُ ْ اَﻟ
Sombong itu adalah, menolak kebenaran dan merendahkan manusia. (HR.
Muslim dari sahabat Ibn Mas’ud ra)
ilmu yang sudah diketahui harus diamalkan dan didakwahkan kepada orang
lain. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang
mengamalkan ilmu dan mendakwahkannya. Banyak pula nushûsh yang
berbicara tentang ancaman orang yang tidak mau mengamalkan dan
mendakwahkan ilmunya. Mengenai keutamaan mendakwahkan ilmu,
misalnya dapat disimak dari sabda Nabi Saw berikut ini:
َ ﳞَﺎ ِا ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا اﻧﻤَ ﺎ اﻟ ْْﻤُﴩِﻛُﻮنَ َﳒ ٌَﺲ ﻓ ََﻼ ﯾ َﻘَْﺮﺑ ُﻮا اﻟ ْْﻤَﺴ ِ ﺪَ اﻟ َْﺤَﺮامَ ﺑ َﻌْﺪَ َﺎﻣِ ﻬ ِْﻢ
ٌِﯿﲂ ا ُ ﻣِ ﻦْ ﻓ َﻀْ ِ ِ نْا ﺷَ َﺎء ان ا َ َﻠِﲓ ُ ُ ﻫَﺬَ ا َنْوا ﺧِ ﻔ ُ ْْﱲ ﻋَﯿْ َ ً ﻓ ََﺴ ْﻮ َف ﯾ ُﻐْﻨ
. ٌﺣَﻜِﲓ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam
sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah
nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (QS. Al-Taubah [9]: 28).
Ayat tersebut di atas Allah Swt menjelaskan bahwa najas (najis) tidak
terbatas pada pakaian saja. Najis ialah ungkapan tentang sesuatu yang
harus dijauhi dan dihindari.Sedangkan kotoran sifat lebih penting untuk
dijauhi karena disamping kotor secara langsung juga pada akhirnya
menghancurkan. Selama batin (hati) tidak dibersihkan dari kotoran-
kotoran tersebut, maka ia tidak akan menerima ilmu yang bermanfaat
dalam agama dan tidak akan diterangi dengan cahaya ilmu.
.ﻜُﻮرا
ً ُﺟَﺰَاء َوَﻻ ﺷ
ً ﻌِﻤُﲂ َﻟِﻮ ْﻪِ ا ِ َﻻ ُﺮِﯾﺪُ ﻣِ ُ ْْﲂ
ْ ُ ْاﻧﻤَ ﺎ ﻧ ُﻄ
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari
kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS. Al-Insan [76]: 9).
. َاﺗﺒِﻌُ ﻮا ﻣَﻦْ َﻻ َْﺴ ﻟ ُ ُْﲂ ﺟْ ًﺮا َو ُﱒْ ُﻣﻬْﺘ َﺪُ ون
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Yasin [36]: 21).
Meskipun dia memiliki jasa terhadap para murid, jasa tersebut
sebanding dengan keberadaan mereka sebagai penyebab kedekatannya
kepada Allah swt, yaitu melalui penanaman ilmu dan iman di dalam hati
mereka.
c. Tidak meninggalkan nasehat kepada murid
Guru melarang murid untuk memasuki suatu tingkatan sebelum
waktunya dan menyelami ilmu yang tersembunyi (al-khafi) sebelum
menguasai ilmu yang jelas. Guru juga harus mengingatkan kepada
muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah dalam rangka taqarrub
kepada Allah ta`ala bukan untuk meraih kekuasaan, kedudukan dan
persaingan.
d. Menasehati para murid dan melarang mereka agar tidak memiliki akhlak
yang tercela
Cara menasehati para muridnya dapat dilakukan dengan menggunakan
sindiran tanpa menjatuhkan harga diri mereka. Sebab menasehati para
muridnya dengan secara terang-terangan, maka akan mengurangi
kewibawaan mereka, menimbulkan keberanian untuk membangkang dan
merangsang sikap bersikeras mempertahankan. Guru harus terlebih
dahulu beristiqamah. Setelah itu, dia meminta murid untuk beristiqamah.
Apabila itu tidak dilakukan, maka nasihat tidak akan bermanfaat.
Meneladani dengan perbuatan lebih efektif daripada mentaati perkataan.
e. Guru yang menekuni ilmu tertentu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu
yang tidak ditekuninya
Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas
wawasan murid pada orang lain. Jika ia mnekuni beberapa ilmu, maka ia
harus menjaga pentahapan dalam meningkatkan murid dari satu
tingkatan ke tingkatan yang lain.
f. Membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid
Seorang guru hendaknya tidak menyampaikan kepada muridnya apa
yang tidak terjangkau oleh kemampuan akalnya. Hal tersebut
mengantisipasi agar tidak membuat muridnya enggan atau memberatkan
akalnya. Ibnu Mas`ud berkata :
« ً اﻻ ﰷَ نَ ﻟِﺒ َﻌْﻀِ ﻬ ِْﻢ ﻓِ ْﻨ َﺔ،» ﻣَﺎ ﻧ َْﺖ ﺑِﻤُ َ ّﺪ ٍِث ﻗ َْﻮﻣًﺎ َﺪِ ﯾﺜًﺎ َﻻ ﺗَﺒْﻠ ُ ُﻐ ُﻪ ُﻋ ُﻘﻮﻟ ُ ﻬ ُْﻢ
a. Bertanggung Jawab
Orang yang berilmu harus bertanggung jawab dalam menjaga ilmu
yang sudah dimilikinya sesuai dengan ketentuan syariat. Salah satu
tanggung jawab yang dibebankan syariat ialah menjaga ilmu yng telah
dimiliki agar tidak hilang. Agar ilmu tidak mudah hilang, maka cara yang
dapat ditempuh di antaranya adalah:
1) Sering diulang-ulang
Mengulang-ulang ilmu yang sudah dimiliki adalah bagian bentuk
mensyukuri nikmat Allah. Dengan mengkaji ulang berarti seseorang
telah berusaha menjaga ilmu yang telah dipelajarinya. Ketika nikmat
pengetahuan (ilmu) telah dilupakan, karena tidak pernah dikaji ulang,
maka secara tidak langsung dia sudah mengkufuri nikmat pengetahuan
yang diberikan kepadanya.
2) Beramal dengan ilmu yang ada
Salah satu cara meraih keberkahan ilmu adalah dengan beramal.
Seseorang yang berbuat kebajikan dengan ilmunya, maka Allah akan
mewariskan ilmu lain padanya yang tidak ia pelajari. Beramal dengan
ilmu yang sudah dimiliki ada banyak faedahnya. Beramal dengan ilmu
yang sudah diketahui akan lebih membekas dalam otak sesorang
ketimbang menghapalnya. Para ulama memberikan gambaran tentang
ciri-ciri orang yang beramal dengan ilmunya. Mereka adalah orang yang
menjaga diri dari makanan haram, menjauhkan perbuatan syubhat,
bergaul dengan masyarakat dengan sikap yang santun, tutur katanya
lembut, dan tidak mencerca orang lain ketika terdapat sebuah kesalahan.
b. Tidak menyembunyikan Ilmu
Menyembunyikan ilmu dengan arti tidak mau mentransferkan ilmu
tersebut kepada orang yang membutuhkan. Menyembunyikan sesuatu
dengan menutup-nutupi, menghilangkannya atau meletakkan objek lain
pada sesuatu yang dihilangkan itu. Menyembunyikan suatu ilmu (Kitman al-
ilm) merupakan sifat yang tercela. Sebuah sifat yang sangat dibenci oleh
syariat. Sehingga pelakunya dijanjikan akan dicambuk pada hari kiamat.
Pribadi yang menyembunyikan ilmu tidak ingin orang lain mengetahui apa
yang dia ketahui. Ilmunya merasa berkurang jika diberikan kepada orang
lain. Orang-orang seperti ini adalah bagian dari manusia yang dilaknat
Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 159 :
---
Pertanyaan-Pertanyaan :
5. Mengapa hak guru lebih besar terhadap muridnya daripada hak orang
tua kepada anaknya? Uraikan penjelasan Saudara!
---
Daftar Pustaka :