yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Beliau mengatakan,
ق في ِه؛ فَبَيَّنَ هللاُ هَذا بَيانًا شافِيًا تَ ْفهَ ُمهُ ْال َعوا ُّم ِ ِ َأ َم َر هللاُ بِاالجْ ت:اَألصْ ُل الثَّاني
ِ ُّ َونَهَى عَن التَّفَر،ماع في الدِّي ِن
Artinya apa yang Allah perintahkan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk
dipahami.
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang perintah untuk bersatu adalah ayat-ayat yang
jelas dipahami oleh seorang yang awam, seorang yang cerdas, semuanya
memahami tentang perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla ini.
َق تُقَاتِ ِهۦ َواَل تَ ُموتُ َّن ِإاَّل َوَأنتُم ُّم ۡسلِ ُمون ْ ُٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن
ْ ُوا ٱتَّق
َّ وا ٱهَّلل َ َح
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa dan janganlah kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam
keadaan sebagai seorang yang Muslim (menyerahkan dirinya kepada Allah).”
(QS. Ali Imran: 102)
Jelas ayat ini menunjukkan kepada kita tentang perintah dari Allah Subhānahu wa
Ta’āla supaya kita semuanya bersatu di dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an,
berpegang teguh dengan As Sunnah, berpegang teguh dengan agama ini.
Dan jelas menunjukkan tentang larangan berpecah belah di dalam agama karena
Allah berfirman,
۟ َُواَل تَفَ َّرق
وا
“Dan janganlah kalian saling berpecah belah.”
Orang yang awam pun memahami tentang firman Allah Subhānahu wa Ta’āla ini.
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang saling berpecah belah, saling ber-
ikhtilaf, setelah datang kepada mereka Al Bayyinat (keterangan yang jelas, dalil yang
jelas). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan adzab yang pedih.
(QS. Ali Imran: 105)
Orang yang berpecah belah dan berselisih, padahal sudah mengetahui dalilnya
maka ini mendapatkan ancaman adzab dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.
وا ْ ي َأ ۡو َح ۡينَٓا ِإلَ ۡيكَ َو َما َوص َّۡينَا بِ ِٓۦه ِإ ۡب ٰ َر ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰۖ ٓى َأ ۡن َأقِي ُم
ْ ُوا ٱل ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرق ٓ وحا َوٱلَّ ِذ
ٗ َُش َر َع لَ ُكم ِّمنَ ٱلدِّي ِن َما َوص َّٰى بِ ِهۦ ن
ۚفِي ِه
“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mensyari’atkan bagi kalian dari agama ini,
apa yang Allah wasiatkan kepada Nuh dan telah diwahyukan kepadamu wahai
Muhammad dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,
hendaklah kalian menegakkan agama ini dan janganlah kalian saling berpecah
belah di dalam agama ini.”
(QS. Asy Syura: 13)
Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla dan ini yang diwahyukan oleh Allah kepada
Nuh, kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam supaya kita menjalankan agama ini dan supaya kita tidak saling berselisih
dan berpecah belah diantara kita.
ِ وا ِشيَعٗ ا لَّ ۡستَ ِم ۡنهُمۡ فِي َش ۡي ۚ ٍء ِإنَّ َمٓا َأمۡ ُرهُمۡ ِإلَى ٱهَّلل
ْ ُوا ِدينَهُمۡ َو َكان
ْ ُِإ َّن ٱلَّ ِذينَ فَ َّرق
Ayat yang banyak, yang menunjukkan tentang perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla
kepada kita untuk bersatu di dalam agama Allah, bersatu di dalam hak, bersatu di
dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alayhi
wa sallam dan larangan untuk berpecah belah di dalam agama ini.
Orang yang awam sekalipun mereka memahami tentang perkara ini.
Oleh karena itu beliau mengatakan,
“Ayat-ayat ini dipahami oleh orang-orang awam sekalipun apalagi oleh para ulama
dan para penuntut ilmu.”
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita menjadi orang-orang sebelum
kita yang berselisih (berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita, yaitu orang-
orang Yahudi dan Nashrani, yang mereka berpecah belah, berselisih di dalam
agama mereka, maka akhirnya mereka hancur dan dihancurkan oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla karena sebab perselisihan mereka.
Orang-orang Yahudi dan Nashrani berpecah belah di dalam agamanya dan kita
dilarang untuk mengikuti kesesatan mereka di dalam berpecah belah ini.
Halaqah yang ke tujuh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah
yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Beliau mengatakan,
Dan kejelasan ini menjadi lebih jelas dengan apa yang ada dan datang di dalam
sunnah Rasulullah Shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang semakin menambah
keheranan kita kepada orang-orang yang berpecah belah di dalam agamanya.
َاصحُوا ِ ص ُموا بِ َحب ِْل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا َوَأ ْن تَن
ِ َ َوَأ ْن تَ ْعت،ضى لَ ُك ْم َأ ْن تَ ْعبُدُوهُ َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيًئا
َ ْضى لَ ُك ْم ثَاَل ثًا يَر
َ ِْإ َّن هللا يَر
َم ْن َوالَّهُ ُم هَّللا ُ َأ ْم َر ُك ْم
“Sesungguhnya Allah telah meridhai untuk kalian tiga perkara, Allah meridhai untuk
kalian supaya kalian menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah
dengan apapun.
Kemudian yang ke dua, hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah
(dengan Al Qur’an) dan supaya kalian jangan berpecah belah.”
Allah Subhānahu wa Ta’āla ridha apabila kita saling bersatu di atas hak (di atas Al
Qur’an).
َو ُكونُوا ِعبَا َد هَّللا ِ ِإ ْخ َوانًا، َواَل تَبَا َغضُوا َوالَ تَدَابَرُوا،الَ تَ َحا َسدُوا
Jelas, dijelaskan Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, perintah untuk menjadi hamba-
hamba Allah yang bersaudara, tidak saling hasad, tidak saling memutus.
ُ َوال يَ ْخ ُذلُه،ُ َوال يَحْ قِ ُره، ال يَظلِ ُمه:ال ُم ْسلِ ُم َأ ُخو ْال ُم ْسلِم
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak mendholiminya, tidak
menghinanya, tidak meninggalkanya ketika dia butuh pertolongan.”
Ini adalah perintah-perintah dari Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita
saling bersatu dan tidak berpecah belah.
Oleh karena itu di dalam Islam, Allah Subhānahu wa Ta’āla melarang perkara-
perkara yang kira-kira menjadikan permusuhan diantara kita.
َ ِإنَّ َما ي ُِري ُد ٱل َّش ْيطَ ٰـنُ َأن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْٱل َع ٰ َد َوةَ َو ْٱلبَ ْغ
ضٓا َء فِى ْٱلخَ ْم ِر َو ْٱل َمي ِْسر
Ini adalah dalil-dalil dari As Sunnah yang semakin memperjelas bagi kita tentang
pentingnya bersatu di dalam agama dan juga larangan di dalam berpecah belah.
Dan yang dimaksud dengan bersatu di sini adalah bersatu di atas hak (bersatu di
atas kebenaran) dan larangan berpecah belah, apabila seseorang sudah jelas
datang baginya dalil yang benar dari Al Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dan ini bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar
(memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran).
Bersatu bukan berarti kita tidak beramar ma’ruf nahi munkar.
Kita diperintahkan untuk bersatu, satu di dalam akidah, satu di dalam ibadah, satu di
dalam bermuamalah, dan dilarang kita saling berpecah belah, akan tetapi kita juga
diperintahkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla untuk saling beramar ma’ruf nahi
munkar.
Jadi bersatu bukan berarti tidak boleh saling menasehati antara satu dengan yang
lain, bukan berarti tidak boleh kita saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan persatuan umat Islam diantara wasilahnya adalah dengan ber’amar ma’ruf
nahi munkar.
Oleh karena itu ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam ayat menyebutkan
tentang perintah bersatu,
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan hablullah (Al Qur’an) dan jangan saling
berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)
Di dalam ayat setelahnya, Allah Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk
beramar ma’ruf nahi mungkar.
Allah mengatakan,
ِ َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم ُأ َّم ۭةٌ يَ ْد ُعونَ ِإلَى ْٱل َخي ِْر َويَْأ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر
َ ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْٱل ُمن َك ِر ۚ َوُأ ۟ولَ ٰـِٓئ
َك هُ ُم ْٱل ُم ْفلِحُون
“Dan hendaklah ada diantara kalian golongan yang dia mengajak kepada kebaikan
dan beramar ma’ruf nahi munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)
Halaqah yang ke delapan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
“Dan orang-orang yang beriman, yang laki-laki dan juga yang wanita, sebagian
mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Mereka saling ber-amar ma’ruf nahi
munkar.”
(QS. At Tawbah: 71)
Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita berpecah belah di
dalam agama.
Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar di sini adalah amar
ma’ruf nahi munkar yang mengikuti batasan-batasan syar’iat, adab-adab yang telah
ditentukan oleh syar’iat.
Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan
tetapi tidak beraturan.
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla dan
Rasul-Nya. Dan caranya, adab-adabnya, dan hukum-hukumnya telah ditentukan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran di dalam masalah ijtihadiyah (yaitu)
masalah yang masih menerima ijtihad di dalamnya karena tidak ada naskh di dalam
perkara tersebut.
Atau dalam masalah yang lain, makan daging unta membatalkan wudhu, sebagian
yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhu.
Maka ini adalah termasuk masalah-masalah ijtihadiyah yang menerima ijtihad di
dalamnya, karena tidak ada naskh yang sharih.
Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran.
Namun di dalam perkara yang jelas di sana ada naskh yang sharih, dan perkara ini
tidak ada diantara sahabat yang berselisih di dalamnya, maka tidak sepantasnya
seorang muslim dan juga muslimah berselisih di dalam perkara tersebut.
Seperti misalnya, ada sebagian yang meyakini adanya nabi setelah nabi
Muhammad. Dan ada sebagian yang mengatakan tidak ada nabi setelah nabi
Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Di dalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita saling berselisih karena jelas di
dalam Al Qur’an, Allah mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad Shallallāhu
‘alayhi wa sallam adalah penutup para nabi ()خاتم النبينـ
Demikian pula di dalam hadits,
“Dan aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.”
Dan tidak ada diantara sahabat Radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, para tabiut tabi’in
yang mereka meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad Shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.
Bahkan setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah
seorang pendusta yang harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islam yang
meyakini bahwasanya ada nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.
Perkara yang seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihadiyah.
Demikian pula orang yang meyakini bahwasanya Al Qur’an ini telah ditambah atau
telah dikurang, atau orang-orang yang mencela para sahbat Rasulullah Shallallāhu
‘alayhi wa sallam maka ini adalah perpecahan yang tercela.
Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah dirubah, telah
ditambah, telah dikurangi, dan tidak boleh mengatakan bahwsanyaa para sahabat,
mereka adalah orang-orang yang tercela atau orang-orang yang murtad.
Karena Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan di dalam Al Qur’an
bahwasanya Allah telah menjaga Al Qur’an.
“Tidak akan datang ke dalam Al Qur’an sebuah kebathilan, baik dari depannya
maupun dari belakangnya.”
(QS. Fussillat: 42)
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’an. Tidak boleh ada
seorang yang mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah
ditambah atau dikurangi.
Seandainya ada seseorang di atas gunung dan dia di dalam gua berusaha untuk
menambah satu huruf pun di dalam Al Qur’an, niscaya Allah Subhānahu wa Ta’āla
akan menampakkan itu di tengah-tengah manusia.
Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim mencela para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum, mencela mereka, atau bahkan mengkafirkan mereka, karena
di dalam Al Qur’an Allah Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas memuji para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum dalam ayat yang banyak.
ُح َمٓا ُء بَ ْينَهُ ْم ۖ ت ََر ٰىهُ ْم ُر َّك ۭ ًعا ُس َّج ۭ ًدا ِ َُّّم َح َّم ۭ ٌد َّرسُو ُل ٱهَّلل ِ ۚ َوٱلَّ ِذينَ َم َع ٓۥهُ َأ ِش َّدٓا ُء َعلَى ْٱل ُكف
َ ار ر
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka.
Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
(QS. Al Fath: 29)
ُُوا ع َۡنه
ْ ض َي ٱهَّلل ُ ع َۡنهُمۡ َو َرض
ِ ار َوٱلَّ ِذينَ ٱتَّبَعُوهُم بِِإ ۡح ٰ َس ٖن َّر
ِ صَ َوٱل ٰ َّسبِقُونَ ٱَأۡل َّولُونَ ِمنَ ۡٱل ُم ٰهَ ِج ِرينَ َوٱَأۡلن
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.”
(QS. At Tawbah: 100)
Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan pendapat yang tercela, harus
diingkari dan dijelaskan kepada umat.
Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalil, sebagian Imam mengatakan
pendapat A dan Imam yang lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing
memiliki dalil dan berusaha untuk mengikuti Al Qur’an, berusaha untuk mengikuti
sunnah, berusaha untuk mengikuti ijma’, akan tetapi akhirnya memiliki pendapat
yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti Al Qur’an dan Sunnah,
maka perselisihan pendapat yang seperti ini diperbolehkan.
Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran
dengan melihat dalil. Dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka
hendaklah dia bertoleransi di dalam masalah ini dan tidak memaksakan
kehendaknya kepada yang lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد،إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران
“Apabila seorang hakim, seorang ulama, berijtihad kemudian dia benar maka dia
mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala, yaitu:
1. Pahala berijtihad, bersungguh-sungguh dengan melihat dalil.
2. Pahala ishabatul Haq, yaitu bisa mendapatkan kebenaran tersebut.
Akan tetapi apabila dia berijtihad kemudian dia salah di dalam ijtihadnya, maka dia
mendapatkan satu pahala, yaitu pahala berijtihad, pahala bersungguh-sungguh di
dalam mencari kebenaran. Ini di dalam masailu al ijtihadiyah.
Halaqah yang ke sembilan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
ق فِي ُأصُوْ ِل ال ِّد ْي ِن َوفُرُوْ ِع ِه هُ َو ْال ِع ْل ُم َو ْالفِ ْقهُ فِي ال ِّد ْي ِن
َ صا َر اَأْل ْم ُر ِإلَى َأ َّن اال ْفتِ َرا
َ ثُ َّم
Orang yang paham terhadap agama, maka dia akan membebaskan manusia untuk
berakidah, untuk memiliki kepercayaan masing-masing.
Tidak mungkin kita semua bersatu, tidak boleh kita mengajak orang lain untuk
mengikuti kebenaran.
Mereka berkata, “Biarkan masing-masing memiliki kepercayaan masing-masing,
tidak boleh saling menganggu satu dengan yang lain.”
Apabila ada sebagian yang mengajak untuk bersatu di dalam kebenaran,
meninggalkan akidah yang bathil, meninggalkan kepercayaan yang tidak benar,
dianggapnya orang yang seperti ini adalah orang gila atau orang zindiq.
Dan ini yang terjadi di zaman beliau, demikian pula di zaman kita.
Orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang lain untuk memiliki
akidah yang benar, memiliki tauhid yang benar, melarang mereka untuk memiliki
akidah yang salah, kepercayaan yang salah, dianggapnya ini adalah orang yang
majnun (orang gila) atau orang yang zindiq.
Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allah jelaskan di dalam Al Qur’an
dan telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits-
hadits yang shahih.
Ini adalah pokok yang ke dua yang ingin dijelaskan oleh pengarang di dalam kitab
ini, yaitu kesimpulannya:
• Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla pada kita semua kaum muslimin untuk
saling bersatu di dalam al haq (kebenaran)
• Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah di dalam agama kita.
Dan apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara kaum muslimin baik dalam
masalah akidah, baik dalam masalah ibadah, baik masalah halal dan juga haram,
maka Allah dan Rasul-Nya telah memberikan jalan keluar.
ِ ُوا ٱل َّرسُو َل َوُأوْ لِي ٱَأۡلمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَِإن تَ ٰنَز َۡعتُمۡ فِي َش ۡي ٖء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّرس
ُۡول ِإن ُكنتُم ْ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطيع
ْ ُوا ٱهَّلل َ َوَأ ِطيع
ٓ أۡل ۡ
تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱليَ ۡو ِم ٱ ِخ ۚ ِر
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allah, dan
hendaklah kalian taat kepada Rasul, dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian).
Maka apabila kalian saling berselisih di dalam satu perkara, baik dalam masalah
akidah, masalah ibadah, masalah yang lain, maka hendaklah kalian kembalikan
kepada Allah, dan juga kepada Rasul-Nya.”
(QS. An-Nisa: 59)
Apabila diantara dua orang saling berselisih, satunya mengatakan sunnah, satunya
mengatakan tidak disunnahkan, maka masing-masing harus mengembalikan kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Kalau Allah dan Rasul-Nya mengatakan Sunnah, maka semuanya harus sami’na wa
atha’na (mendengar dan taat) tidak boleh ada diantara kita yang memiliki pilihan
yang lain di dalam perpecahan ini.
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan
Sunnah-ku dan Sunnah para khulafaur rasyidin.”
(Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Ketika melihat perselisihan yang banyak, perpecahan yang banyak diantara umat,
maka petunjuk Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada
sunnah beliau dan juga kepada sunnah para khulafaur rasyidin.
Ini adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan.
Halaqah yang ke sepuluh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah
yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Beliau mengatakan,
Beliau mengatakan,
“Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan.”
Tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu, kecuali apabila di sana ada penguasa,
ada pemerintah yang dia akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi
orang yang terdholimi, ber-amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan syar’iat dan
melakukan perkara-perkara yang lain, baik yang berhubungan dengan dunia
maupun yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin dilakukan kecuali
apabila di sana ada penguasa.
Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah kecuali apabila
rakyatnya, mereka mau mendengar dan taat kepada penguasa.
Seandainya di sana ada seorang penguasa, pemerintah di sebuah negara, akan
tetapi rakyatnya tidak mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang
darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka keberadaan penguasa
tersebut sama dengan tidak adanya.
Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah, tidak
akan bersatu umat Islam kecuali dengan adanya penguasa, baik penguasa tersebut
adalah penguasa yang shalih maupun penguasa yang tidak shalih.
Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau pemerintah kecuali
kita mau mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Oleh karena itu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan dari beliau).
Bahwasanya beliau mengatakan,
“Tidak ada Islam kecuali dengan berjam’ah, kecuali dengan bersatu. Dan tidak ada
persatuan kecuali apabila di sana ada penguasa. Dan tidak ada kekuasaan kecuali
dengan ketaatan.”
Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin.
Karena banyak ibadah atau syar’iat di dalam agama Islam yang tidak mungkin
ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum muslimin (persatuan antara
rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin).
Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali apabila di sana ada pemimpinnya.
Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun, seandainya tidak ada pemimpin
maka masing-masing merasa tidak dikuasai oleh orang lain, sehingga melakukan
apa yang dia inginkan.
Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk
melarang dia, membuat peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil
apapun bisa bersatu kecuali apabila di sana ada pemimpinnya.
Oleh karena itu di dalam Islam, ketika seseorang safar bersama yang lain, ketika
dalam bepergian, maka diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin.
Apalagi di dalam keadaan seseorang dalam keadaan muqim.
Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila
memiliki pemimpin.
Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallahu ‘anhu),
“Tidak ada persatuan kecuali apabila di sana ada imarah, ada kekuasaan. Dan tidak
ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan.”
Hubungan antara Islam dengan ketaatan kepada pemerintah adalah sangat erat,
dan ini diucapkan oleh seorang khulafa’ur rasyidin yang kita diperintahkan untuk
mengikuti sunnahnya.
Menunjukkan tentang pentingnya di dalam Islam, taat kepada penguasa dan juga
pemerintah kita.
Bagi orang yang telah Allah takdirkan untuk menjadi penguasa bagi kita, baik dia
adalah orang yang shalih, baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat)
apabila Allah telah menjadikan dia sebagai seorang penguasa, maka kewajiban kita
adalah mendengar dan taat.
Kemudian beliau mengatakan,
َولَوْ َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا
Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita
adalah mendengar dan taat.
Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah orang yang merdeka, dan
seandainya qadarullah yang terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan
seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan mendengar dan taat kepada
pemerintah tersebut.
Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah, ini dikenal oleh orang-
orang Arab sebagai budak yang di mata manusia adalah seorang yang rendah
(kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia menjadi seorang penguasa maka
kewajiban kita, meskipun kita adalah seorang yang merdeka, bukan seorang budak,
maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut.
Dan ucapan beliau ini diambil dari hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika
Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan nasehat kepada para sahabat di
akhir hayat Beliau.
Suatu hari setelah shubuh Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan
nasehat kepada para sahabat dengan nasehat yang sangat dalam.
Kemudian salah seorang sahabat berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam,
“Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah.
(Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat gemetar
hati para sahabat dan membuat mata mereka menangis).
Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami.”
Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih
nasehat yang luas maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan
ditinggalkan.
Apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?
ِ ُأ
ِ وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا
وال َّس ْم ِع َوالطَّا َعةَ لِ َم ْن تََأ َّم َر َعلَيكم ولو َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا
“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadi amir
(menjadi penguasa) bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.”
Ini adalah nasehat Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada para sahabat.
Setelah beliau berwasiat untuk bertaqwa kepada Allah, maka wasiat beliau yang ke
dua adalah mendengar dan taat kepada pemerintah kita (kepada penguasa kita)
meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.
Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat. Bahkan Beliau (shallallāhu
‘alayhi wa sallam) menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua
setelah Beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.