Anda di halaman 1dari 15

Halaqah yang ke enam dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah

yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

‫ق في ِه؛ فَبَيَّنَ هللاُ هَذا بَيانًا شافِيًا تَ ْفهَ ُمهُ ْال َعوا ُّم‬ ِ ِ‫ َأ َم َر هللاُ بِاالجْ ت‬:‫اَألصْ ُل الثَّاني‬
ِ ُّ‫ َونَهَى عَن التَّفَر‬،‫ماع في الدِّي ِن‬

Pokok yang ke dua:


Bahwasanya Allah Subhānahu wa Ta’āla telah memerintahkan kita untuk bersatu,
berkumpul di dalam agama, dan melarang kita untuk saling berpecah belah.
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini, yaitu perintah untuk
bersatu, berkumpul, dan larangan berpecah belah di dalam Al Qur’an dengan
penjelasan yang sudah cukup, yang sangat jelas dipahami oleh orang awam
sekalipun.

Artinya apa yang Allah perintahkan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk
dipahami.
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang perintah untuk bersatu adalah ayat-ayat yang
jelas dipahami oleh seorang yang awam, seorang yang cerdas, semuanya
memahami tentang perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla ini.

Diantaranya adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla:


1. Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

َ‫ق تُقَاتِ ِهۦ َواَل تَ ُموتُ َّن ِإاَّل َوَأنتُم ُّم ۡسلِ ُمون‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫وا ٱتَّق‬
َّ ‫وا ٱهَّلل َ َح‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa dan janganlah kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam
keadaan sebagai seorang yang Muslim (menyerahkan dirinya kepada Allah).”
(QS. Ali Imran: 102)

2. Kemudian Allah berfirman,

ْ ۚ ُ‫وا بِ َح ۡب ِل ٱهَّلل ِ َج ِميعٗ ا َواَل تَفَ َّرق‬


‫وا‬ ْ ‫ص ُم‬ ۡ ‫……و‬
ِ َ‫ٱعت‬ َ

“Dan hendaklah kalian semua berpegang teguh dengan hablullah (dengan Al


Qur’an, berpegang teguh dengan As Sunnah), kalian semuanya (baik laki-laki
maupun wanita) dan janganlah kalian saling berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)

Jelas ayat ini menunjukkan kepada kita tentang perintah dari Allah Subhānahu wa
Ta’āla supaya kita semuanya bersatu di dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an,
berpegang teguh dengan As Sunnah, berpegang teguh dengan agama ini.
Dan jelas menunjukkan tentang larangan berpecah belah di dalam agama karena
Allah berfirman,
۟ ُ‫َواَل تَفَ َّرق‬
‫وا‬
“Dan janganlah kalian saling berpecah belah.”
Orang yang awam pun memahami tentang firman Allah Subhānahu wa Ta’āla ini.

3. Dan di dalam ayat lain Allah mengatakan,

َ ‫ت ۚ َوُأ ۟ولَ ٰـِٓئ‬


ِ ‫ك لَهُ ْم َع َذابٌ ع‬
‫َظي ۭ ٌم‬ ۟ ُ‫ٱختَلَف‬
ُ ‫وا ِم ۢن بَ ْع ِد َما َجٓا َءهُ ُم ْٱلبَيِّنَ ٰـ‬ ۟ ُ‫وا َكٱلَّ ِذينَ تَفَ َّرق‬
ْ ‫وا َو‬ ۟ ُ‫َواَل تَ ُكون‬

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang saling berpecah belah, saling ber-
ikhtilaf, setelah datang kepada mereka Al Bayyinat (keterangan yang jelas, dalil yang
jelas). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan adzab yang pedih.
(QS. Ali Imran: 105)

Orang yang berpecah belah dan berselisih, padahal sudah mengetahui dalilnya
maka ini mendapatkan ancaman adzab dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.

4. Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

‫وا‬ ْ ‫ي َأ ۡو َح ۡينَٓا ِإلَ ۡيكَ َو َما َوص َّۡينَا بِ ِٓۦه ِإ ۡب ٰ َر ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰۖ ٓى َأ ۡن َأقِي ُم‬
ْ ُ‫وا ٱل ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرق‬ ٓ ‫وحا َوٱلَّ ِذ‬
ٗ ُ‫َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ ٱلدِّي ِن َما َوص َّٰى بِ ِهۦ ن‬
ۚ‫فِي ِه‬

“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mensyari’atkan bagi kalian dari agama ini,
apa yang Allah wasiatkan kepada Nuh dan telah diwahyukan kepadamu wahai
Muhammad dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,
hendaklah kalian menegakkan agama ini dan janganlah kalian saling berpecah
belah di dalam agama ini.”
(QS. Asy Syura: 13)

Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla dan ini yang diwahyukan oleh Allah kepada
Nuh, kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam supaya kita menjalankan agama ini dan supaya kita tidak saling berselisih
dan berpecah belah diantara kita.

5. Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

ِ ‫وا ِشيَعٗ ا لَّ ۡستَ ِم ۡنهُمۡ فِي َش ۡي ۚ ٍء ِإنَّ َمٓا َأمۡ ُرهُمۡ ِإلَى ٱهَّلل‬
ْ ُ‫وا ِدينَهُمۡ َو َكان‬
ْ ُ‫ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ فَ َّرق‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka saling


berkelompok kelompok dalam golongan-golongan, Engkau wahai Muhammad tidak
termasuk golongan mereka. Dan urusan mereka (perkara mereka) dikembalikan
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.”
(QS. Al An’ām: 159)

Ayat yang banyak, yang menunjukkan tentang perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla
kepada kita untuk bersatu di dalam agama Allah, bersatu di dalam hak, bersatu di
dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alayhi
wa sallam dan larangan untuk berpecah belah di dalam agama ini.
Orang yang awam sekalipun mereka memahami tentang perkara ini.
Oleh karena itu beliau mengatakan,
“Ayat-ayat ini dipahami oleh orang-orang awam sekalipun apalagi oleh para ulama
dan para penuntut ilmu.”

Kemudian beliau mengatakan,

ْ ‫َونَهَانَا َأ ْن نَ ُكوْ نَ َكال ِذ ْينَ تَفَ َّرقُوْ ا َو‬


‫اختَلَفُوْ ا قَ ْبلَنَا فَهَلَ ُكوْ ا‬

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita menjadi orang-orang sebelum
kita yang berselisih (berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita, yaitu orang-
orang Yahudi dan Nashrani, yang mereka berpecah belah, berselisih di dalam
agama mereka, maka akhirnya mereka hancur dan dihancurkan oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla karena sebab perselisihan mereka.

Dan di dalam hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan


bahwasanya, “Orang-orang Yahudi telah berselisih dan berpecah belah menjadi 70
golongan, dan orang-orang Nashrani telah berpecah belah menjadi 72 golongan,
dan ummatku (kata beliau) akan berpecah belah menjadi 73 golongan.”
Dan kita dilarang untuk mengikuti jalan-jalan orang-orang Yahudi dan Nashrani.

Tidaklah beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan dan mengabarkan


kepada kita tentang perpecahan orang-orang Yahudi dan Nashrani kecuali
diantaranya adalah untuk mengingatkan kita, jangan sampai kita terperosok di dalam
apa yang mereka sesat di dalamnya.

Orang-orang Yahudi dan Nashrani berpecah belah di dalam agamanya dan kita
dilarang untuk mengikuti kesesatan mereka di dalam berpecah belah ini.

Halaqah yang ke tujuh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah
yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

ِ ‫َو َذ َك َر َأنَّهُ َأ َم َر ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ بِاالجْ تِ َم‬


ِ ُّ‫اع فِي ال ِّدي ِْن َونَهَاهُ ْم ع َِن التَّفَر‬
‫ق فِ ْي ِه‬

Dan Allah menyebutkan bahwasanya Allah memerintahkan orang-orang muslimin


untuk bersatu di dalam agama dan melarang mereka untuk berpecah belah di
dalamnya.
ِ ‫ب ْالع َُجا‬
َ‫ب فِي َذلِك‬ ِ ‫َت بِ ِه ال ُّسنَّةُ ِمنَ ْال َع َج‬
ْ ‫َويَ ِز ْي ُدهُ ُوضُوْ حًا َما َو َرد‬

Dan kejelasan ini menjadi lebih jelas dengan apa yang ada dan datang di dalam
sunnah Rasulullah Shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang semakin menambah
keheranan kita kepada orang-orang yang berpecah belah di dalam agamanya.

Di dalam hadits-hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam juga


menerangkan tentang perintah bersatu di dalam agama dan larangan untuk
berpecah belah di dalam agama.

Sebagaimana sabda Beliau Shallallāhu shallallāhu ‘alayhi wa sallam,

‫َاصحُوا‬ ِ ‫ص ُموا بِ َحب ِْل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا َوَأ ْن تَن‬
ِ َ‫ َوَأ ْن تَ ْعت‬،‫ضى لَ ُك ْم َأ ْن تَ ْعبُدُوهُ َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيًئا‬
َ ْ‫ضى لَ ُك ْم ثَاَل ثًا يَر‬
َ ْ‫ِإ َّن هللا يَر‬
‫َم ْن َوالَّهُ ُم هَّللا ُ َأ ْم َر ُك ْم‬

“Sesungguhnya Allah telah meridhai untuk kalian tiga perkara, Allah meridhai untuk
kalian supaya kalian menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah
dengan apapun.

Kemudian yang ke dua, hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah
(dengan Al Qur’an) dan supaya kalian jangan berpecah belah.”

Allah Subhānahu wa Ta’āla ridha apabila kita saling bersatu di atas hak (di atas Al
Qur’an).

Di dalam hadits qudsi disebutkan bahwasanya Allah mengatakan,

‫ َو ُكونُوا ِعبَا َد هَّللا ِ ِإ ْخ َوانًا‬،‫ َواَل تَبَا َغضُوا َوالَ تَدَابَرُوا‬،‫الَ تَ َحا َسدُوا‬

“Janganlah kalian saling berhasad, janganlah kalian saling memutus, janganlah


kalian saling membelakangi, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang
saling bersaudara.”

Jelas, dijelaskan Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, perintah untuk menjadi hamba-
hamba Allah yang bersaudara, tidak saling hasad, tidak saling memutus.

Dan beliau mengatakan,

ُ‫ َوال يَ ْخ ُذلُه‬،ُ‫ َوال يَحْ قِ ُره‬،‫ ال يَظلِ ُمه‬:‫ال ُم ْسلِ ُم َأ ُخو ْال ُم ْسلِم‬

“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak mendholiminya, tidak
menghinanya, tidak meninggalkanya ketika dia butuh pertolongan.”

Ini adalah perintah-perintah dari Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita
saling bersatu dan tidak berpecah belah.
Oleh karena itu di dalam Islam, Allah Subhānahu wa Ta’āla melarang perkara-
perkara yang kira-kira menjadikan permusuhan diantara kita.

Kita dilarang ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), dilarang mengadu


domba, bahkan dilarang minuman keras demikian pula perjudian, diantara
hikmahnya adalah untuk ini.
Karena dua perkara ini menjadi wasilah (perantara) bagi syaithan untuk memecah
belah diantara kaum muslimin dengan sebab khamr dan juga dengan sebab
perjudian.

َ ‫ِإنَّ َما ي ُِري ُد ٱل َّش ْيطَ ٰـنُ َأن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْٱل َع ٰ َد َوةَ َو ْٱلبَ ْغ‬
‫ضٓا َء فِى ْٱلخَ ْم ِر َو ْٱل َمي ِْسر‬

“Sesungguhnya syaithan menginginkan untuk menimbulkan permusuhan diantara


kalian di dalam minuman keras, demikian pula di dalam perjudian.”
(QS. Al Maidah: 91)

Ini adalah dalil-dalil dari As Sunnah yang semakin memperjelas bagi kita tentang
pentingnya bersatu di dalam agama dan juga larangan di dalam berpecah belah.

Dan yang dimaksud dengan bersatu di sini adalah bersatu di atas hak (bersatu di
atas kebenaran) dan larangan berpecah belah, apabila seseorang sudah jelas
datang baginya dalil yang benar dari Al Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Dan ini bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar
(memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran).
Bersatu bukan berarti kita tidak beramar ma’ruf nahi munkar.
Kita diperintahkan untuk bersatu, satu di dalam akidah, satu di dalam ibadah, satu di
dalam bermuamalah, dan dilarang kita saling berpecah belah, akan tetapi kita juga
diperintahkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla untuk saling beramar ma’ruf nahi
munkar.

Jadi bersatu bukan berarti tidak boleh saling menasehati antara satu dengan yang
lain, bukan berarti tidak boleh kita saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan persatuan umat Islam diantara wasilahnya adalah dengan ber’amar ma’ruf
nahi munkar.

Oleh karena itu ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam ayat menyebutkan
tentang perintah bersatu,

ْ ۚ ُ‫وا بِ َح ۡب ِل ٱهَّلل ِ َج ِميعٗ ا َواَل تَفَ َّرق‬


‫وا‬ ْ ‫ص ُم‬ ۡ ‫َو‬
ِ َ‫ٱعت‬

“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan hablullah (Al Qur’an) dan jangan saling
berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)
Di dalam ayat setelahnya, Allah Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk
beramar ma’ruf nahi mungkar.
Allah mengatakan,

ِ ‫َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم ُأ َّم ۭةٌ يَ ْد ُعونَ ِإلَى ْٱل َخي ِْر َويَْأ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر‬
َ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْٱل ُمن َك ِر ۚ َوُأ ۟ولَ ٰـِٓئ‬
َ‫ك هُ ُم ْٱل ُم ْفلِحُون‬

“Dan hendaklah ada diantara kalian golongan yang dia mengajak kepada kebaikan
dan beramar ma’ruf nahi munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)

Halaqah yang ke delapan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.


Ber-amar ma’ruf nahi munkar adalah sifat orang yang beriman.

ِ ‫ض يَ ۡأ ُمرُونَ بِ ۡٱل َم ۡعر‬


‫ُوف َويَ ۡنهَ ۡونَ َع ِن ۡٱل ُمن َك ِر‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ َو ۡٱل ُم ۡؤ ِم ٰن‬
‫ت بَ ۡع ُ َأ‬
ٖ ۚ ‫ضهُمۡ ۡولِيَٓا ُء بَ ۡع‬

“Dan orang-orang yang beriman, yang laki-laki dan juga yang wanita, sebagian
mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Mereka saling ber-amar ma’ruf nahi
munkar.”
(QS. At Tawbah: 71)

Menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang beriman adalah ber-amar


ma’ruf nahi munkar.

Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita berpecah belah di
dalam agama.

Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar di sini adalah amar
ma’ruf nahi munkar yang mengikuti batasan-batasan syar’iat, adab-adab yang telah
ditentukan oleh syar’iat.
Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan
tetapi tidak beraturan.
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla dan
Rasul-Nya. Dan caranya, adab-adabnya, dan hukum-hukumnya telah ditentukan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran di dalam masalah ijtihadiyah (yaitu)
masalah yang masih menerima ijtihad di dalamnya karena tidak ada naskh di dalam
perkara tersebut.

Sebagian ulama (sebagian imam yang empat) mengatakan demikian, sebagian


imam yang lain mengatakan demikian, maka di dalam perkara ini tidak ada
pengingkaran.

Seperti misalnya, sebagian menganggap bahwasanya menyentuh lawan jenis


adalah membatalkan wudhu, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan
wudhu.

Atau dalam masalah yang lain, makan daging unta membatalkan wudhu, sebagian
yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhu.
Maka ini adalah termasuk masalah-masalah ijtihadiyah yang menerima ijtihad di
dalamnya, karena tidak ada naskh yang sharih.
Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran.

Namun di dalam perkara yang jelas di sana ada naskh yang sharih, dan perkara ini
tidak ada diantara sahabat yang berselisih di dalamnya, maka tidak sepantasnya
seorang muslim dan juga muslimah berselisih di dalam perkara tersebut.
Seperti misalnya, ada sebagian yang meyakini adanya nabi setelah nabi
Muhammad. Dan ada sebagian yang mengatakan tidak ada nabi setelah nabi
Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Di dalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita saling berselisih karena jelas di
dalam Al Qur’an, Allah mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad Shallallāhu
‘alayhi wa sallam adalah penutup para nabi (‫)خاتم النبينـ‬
Demikian pula di dalam hadits,

‫وَأنَا خَ اتَ ُم النَّبِي َـ‬


َّ ِ‫ اَل نَب‬، ‫ِّين‬
‫ي بَ ْع ِدي‬

“Dan aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.”

Dan tidak ada diantara sahabat Radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, para tabiut tabi’in
yang mereka meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad Shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.

Bahkan setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah
seorang pendusta yang harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islam yang
meyakini bahwasanya ada nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.
Perkara yang seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihadiyah.

Demikian pula orang yang meyakini bahwasanya Al Qur’an ini telah ditambah atau
telah dikurang, atau orang-orang yang mencela para sahbat Rasulullah Shallallāhu
‘alayhi wa sallam maka ini adalah perpecahan yang tercela.
Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah dirubah, telah
ditambah, telah dikurangi, dan tidak boleh mengatakan bahwsanyaa para sahabat,
mereka adalah orang-orang yang tercela atau orang-orang yang murtad.
Karena Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan di dalam Al Qur’an
bahwasanya Allah telah menjaga Al Qur’an.

َ‫ِإنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ٱل ِّذ ْك َر وَِإنَّا لَهۥُ لَ َح ٰـفِظُون‬

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya kami akan


menjaganya.”
(QS. Al Hijr: 9)

Menjaga Al Qur’an baik dari lafadznya maupun dari maknanya.

‫اَّل يَْأتِي ِه ْٱلبَ ٰـ ِط ُل ِم ۢن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن خَ ْلفِ ِه‬

“Tidak akan datang ke dalam Al Qur’an sebuah kebathilan, baik dari depannya
maupun dari belakangnya.”
(QS. Fussillat: 42)

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’an. Tidak boleh ada
seorang yang mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah
ditambah atau dikurangi.
Seandainya ada seseorang di atas gunung dan dia di dalam gua berusaha untuk
menambah satu huruf pun di dalam Al Qur’an, niscaya Allah Subhānahu wa Ta’āla
akan menampakkan itu di tengah-tengah manusia.

Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim mencela para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum, mencela mereka, atau bahkan mengkafirkan mereka, karena
di dalam Al Qur’an Allah Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas memuji para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum dalam ayat yang banyak.

‫ُح َمٓا ُء بَ ْينَهُ ْم ۖ ت ََر ٰىهُ ْم ُر َّك ۭ ًعا ُس َّج ۭ ًدا‬ ِ َّ‫ُّم َح َّم ۭ ٌد َّرسُو ُل ٱهَّلل ِ ۚ َوٱلَّ ِذينَ َم َع ٓۥهُ َأ ِش َّدٓا ُء َعلَى ْٱل ُكف‬
َ ‫ار ر‬

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka.
Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
(QS. Al Fath: 29)

Di dalam ayat yang lain, Allah mengatakan,

ُ‫ُوا ع َۡنه‬
ْ ‫ض َي ٱهَّلل ُ ع َۡنهُمۡ َو َرض‬
ِ ‫ار َوٱلَّ ِذينَ ٱتَّبَعُوهُم بِِإ ۡح ٰ َس ٖن َّر‬
ِ ‫ص‬َ ‫َوٱل ٰ َّسبِقُونَ ٱَأۡل َّولُونَ ِمنَ ۡٱل ُم ٰهَ ِج ِرينَ َوٱَأۡلن‬

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.”
(QS. At Tawbah: 100)

Allah meridhai para sahabat Radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Bagaimana seseorang


mengatakan bahwasanya para sahabat kafir padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla
telah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan pendapat yang tercela, harus
diingkari dan dijelaskan kepada umat.
Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalil, sebagian Imam mengatakan
pendapat A dan Imam yang lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing
memiliki dalil dan berusaha untuk mengikuti Al Qur’an, berusaha untuk mengikuti
sunnah, berusaha untuk mengikuti ijma’, akan tetapi akhirnya memiliki pendapat
yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti Al Qur’an dan Sunnah,
maka perselisihan pendapat yang seperti ini diperbolehkan.
Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran
dengan melihat dalil. Dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka
hendaklah dia bertoleransi di dalam masalah ini dan tidak memaksakan
kehendaknya kepada yang lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam
Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Saling berguru antara satu dengan yang lain.


• Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik bin Anas
• Imam Ahmad bin Hambal adalah murid dari Imam Syafi’i rahimahullah
(atau dengan kata lain)
• Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i
• Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik bin Anas.
Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka saling mencela satu dengan
yang lain, bahkan sebagian berimam kepada imam yang lain, menjadi makmum
kepada yang lain.
Karena mereka memiliki manhaj yang satu, jalan yang satu, yaitu berusaha di dalam
ibadahnya sesuai dengan Al Qur’an, sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallāhu
‘alayhi wa sallam dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhu.
Apabila setelah itu terjadi perselisihan, maka sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alayhi wa sallam,

‫ وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد‬،‫إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران‬

“Apabila seorang hakim, seorang ulama, berijtihad kemudian dia benar maka dia
mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala, yaitu:
1. Pahala berijtihad, bersungguh-sungguh dengan melihat dalil.
2. Pahala ishabatul Haq, yaitu bisa mendapatkan kebenaran tersebut.
Akan tetapi apabila dia berijtihad kemudian dia salah di dalam ijtihadnya, maka dia
mendapatkan satu pahala, yaitu pahala berijtihad, pahala bersungguh-sungguh di
dalam mencari kebenaran. Ini di dalam masailu al ijtihadiyah.

Halaqah yang ke sembilan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-
Sittah yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ق فِي ُأصُوْ ِل ال ِّد ْي ِن َوفُرُوْ ِع ِه هُ َو ْال ِع ْل ُم َو ْالفِ ْقهُ فِي ال ِّد ْي ِن‬
َ ‫صا َر اَأْل ْم ُر ِإلَى َأ َّن اال ْفتِ َرا‬
َ ‫ثُ َّم‬

Kemudian setelah itu di zaman beliau di zaman sekarang jadilah bahwasanya


berpecah belah di dalam agama, baik di dalam ushul agama (pokok-pokok) agama
maupun di dalam cabang-cabangnya dinamakan dengan ilmu dan fiqih di dalam
agama.
Di zaman sekarang kata beliau,
Sebagian mengatakan bahwasanya berpecah belah di dalam agama adalah
termasuk pemahaman (fiqih).
Artinya orang yang mengatakan, “Boleh kita berpecah belah, kita memiliki
kebebasan untuk berakidah, kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk
menganut kepercayaannya masing-masing.” Dianggap ucapan ini sebagai bentuk
pemahaman terhadap agama.

Orang yang paham terhadap agama, maka dia akan membebaskan manusia untuk
berakidah, untuk memiliki kepercayaan masing-masing.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ق َأوْ َمجْ نُوْ ٌن‬ ِ ‫صا َر اَأْل ْم ُر بِاالجْ تِ َم‬


ٌ ‫اع فٍي دين اَل يَقُوْ لُهُ ِإاَّل ِز ْن ِد ْي‬ َ ‫َو‬

Perintah untuk berkumpul dan bersatu di dalam agama, sebagian mengatakan


bahwasanya ini adalah tidak diucapkan kecuali oleh seorang yang zindiq, seorang
pendusta, atau orang yang gila.
Jadi dianggapnya, orang yang mengajak manusia untuk bersatu padu di dalam hak,
di dalam kebenaran, dianggap orang yang zindiq atau orang yang gila.

Tidak mungkin kita semua bersatu, tidak boleh kita mengajak orang lain untuk
mengikuti kebenaran.
Mereka berkata, “Biarkan masing-masing memiliki kepercayaan masing-masing,
tidak boleh saling menganggu satu dengan yang lain.”
Apabila ada sebagian yang mengajak untuk bersatu di dalam kebenaran,
meninggalkan akidah yang bathil, meninggalkan kepercayaan yang tidak benar,
dianggapnya orang yang seperti ini adalah orang gila atau orang zindiq.
Dan ini yang terjadi di zaman beliau, demikian pula di zaman kita.
Orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang lain untuk memiliki
akidah yang benar, memiliki tauhid yang benar, melarang mereka untuk memiliki
akidah yang salah, kepercayaan yang salah, dianggapnya ini adalah orang yang
majnun (orang gila) atau orang yang zindiq.

Adapun orang yang membiarkan kepercayaan-kepercayaan tersebut, membiarkan


akidah-aqidah tersebut tersebar diantara masyarakat, maka ini dianggap sebagai
orang yang paham tentang agamanya.

Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allah jelaskan di dalam Al Qur’an
dan telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits-
hadits yang shahih.

Ini adalah pokok yang ke dua yang ingin dijelaskan oleh pengarang di dalam kitab
ini, yaitu kesimpulannya:
• Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla pada kita semua kaum muslimin untuk
saling bersatu di dalam al haq (kebenaran)
• Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah di dalam agama kita.

Dan apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara kaum muslimin baik dalam
masalah akidah, baik dalam masalah ibadah, baik masalah halal dan juga haram,
maka Allah dan Rasul-Nya telah memberikan jalan keluar.

Di dalam Al Qur’an, Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,

ِ ‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوُأوْ لِي ٱَأۡلمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَِإن تَ ٰنَز َۡعتُمۡ فِي َش ۡي ٖء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّرس‬
ۡ‫ُول ِإن ُكنتُم‬ ْ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطيع‬
ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوَأ ِطيع‬
ٓ ‫أۡل‬ ۡ
‫تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱليَ ۡو ِم ٱ ِخ ۚ ِر‬

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allah, dan
hendaklah kalian taat kepada Rasul, dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian).
Maka apabila kalian saling berselisih di dalam satu perkara, baik dalam masalah
akidah, masalah ibadah, masalah yang lain, maka hendaklah kalian kembalikan
kepada Allah, dan juga kepada Rasul-Nya.”
(QS. An-Nisa: 59)

Dikembalikan kepada Allah, dikembalikan kepada Al Qur’an, dilihat apakah sesuai


dengan Al Qur’an atau tidak pendapat kita.
Kembalikanlah kepada Rasul, kembalikan kepada hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa
sallam, apakah pendapat kita sesuai dengan hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam atau tidak.
Kalau sesuai, maka kita amalkan dan kalau tidak sesuai maka harus kita tinggalkan.
Dan ini kata Allah,
“Apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir
hendaklah kalian mengembalikan perselisihan kita kepada Allah dan juga Rasul-
Nya.”

Apabila diantara dua orang saling berselisih, satunya mengatakan sunnah, satunya
mengatakan tidak disunnahkan, maka masing-masing harus mengembalikan kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Kalau Allah dan Rasul-Nya mengatakan Sunnah, maka semuanya harus sami’na wa
atha’na (mendengar dan taat) tidak boleh ada diantara kita yang memiliki pilihan
yang lain di dalam perpecahan ini.

Apabila Allah mengatakan A, dan Rasul-Nya mengatakan A, maka semuanya harus


mengatakan A tersebut.

Di dalam hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

ِ ‫ فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِء الر‬،‫اختِالَ فًا َكثِ ْيرًا‬


َ‫َّاش ِد ْين‬ ْ ‫فَِإنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َرى‬

“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan
Sunnah-ku dan Sunnah para khulafaur rasyidin.”
(Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Ketika melihat perselisihan yang banyak, perpecahan yang banyak diantara umat,
maka petunjuk Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada
sunnah beliau dan juga kepada sunnah para khulafaur rasyidin.
Ini adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan.

Halaqah yang ke sepuluh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah
yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

‫ث‬ُ ِ‫ اََأْلصْ ُل الثَّال‬:


‫اع ال َّس ْم َع َوالطَّا َعةَ لِ َم ْن تََأ َّم َر َعلَ ْينَا َولَوْ َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا‬
ِ ‫َأ َّن ِم ْن تَ َم ِام االجْ تِ َم‬

Perkara pokok yang ke tiga:


Sesungguhnya termasuk diantara kesempurnaan bersatu adalah mendengar dan
taat kepada orang yang telah berkuasa atas kita (pemerintah atau para penguasa
kita).
Beliau mengatakan ini adalah termasuk kesempurnaan persatuan, setelah beliau
membahas tentang masalah bersatu di atas hak (diatas Al Qur’an, di atas hadits )
dengan pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum, maka beliau menyebutkan
pada perkara yang ke tiga ini bahwasanya diantara yang menyempurnakan
persatuan diantara kaum muslimin adalah apabila mereka mau mendengar dan taat
kepada penguasanya.
Dan ucapan ini adalah ucapan yang hak.

Beliau mengatakan,
“Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan.”
Tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu, kecuali apabila di sana ada penguasa,
ada pemerintah yang dia akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi
orang yang terdholimi, ber-amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan syar’iat dan
melakukan perkara-perkara yang lain, baik yang berhubungan dengan dunia
maupun yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin dilakukan kecuali
apabila di sana ada penguasa.

Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah kecuali apabila
rakyatnya, mereka mau mendengar dan taat kepada penguasa.
Seandainya di sana ada seorang penguasa, pemerintah di sebuah negara, akan
tetapi rakyatnya tidak mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang
darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka keberadaan penguasa
tersebut sama dengan tidak adanya.
Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah, tidak
akan bersatu umat Islam kecuali dengan adanya penguasa, baik penguasa tersebut
adalah penguasa yang shalih maupun penguasa yang tidak shalih.
Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau pemerintah kecuali
kita mau mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.

Oleh karena itu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan dari beliau).
Bahwasanya beliau mengatakan,

‫ارةَ ِإاَّل بِطَا َع ٍة‬


َ ‫ َواَل ِإ َم‬، ‫ َواَل َج َما َعةَ ِإاَّل بِِإ َما َر ٍة‬، ‫ال ِإ ْساَل َم ِإاَّل بِ َج َما َع ٍة‬

“Tidak ada Islam kecuali dengan berjam’ah, kecuali dengan bersatu. Dan tidak ada
persatuan kecuali apabila di sana ada penguasa. Dan tidak ada kekuasaan kecuali
dengan ketaatan.”

Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin.
Karena banyak ibadah atau syar’iat di dalam agama Islam yang tidak mungkin
ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum muslimin (persatuan antara
rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin).
Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali apabila di sana ada pemimpinnya.
Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun, seandainya tidak ada pemimpin
maka masing-masing merasa tidak dikuasai oleh orang lain, sehingga melakukan
apa yang dia inginkan.
Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk
melarang dia, membuat peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil
apapun bisa bersatu kecuali apabila di sana ada pemimpinnya.
Oleh karena itu di dalam Islam, ketika seseorang safar bersama yang lain, ketika
dalam bepergian, maka diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin.
Apalagi di dalam keadaan seseorang dalam keadaan muqim.
Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila
memiliki pemimpin.
Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallahu ‘anhu),
“Tidak ada persatuan kecuali apabila di sana ada imarah, ada kekuasaan. Dan tidak
ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan.”

Tidak bermanfaat (tidak berfaedah) yang dinamakan dengan kekuasaan kecuali


apabila anggotanya, rakyatnya mentaati penguasa tersebut.
Di sini kita memahami hubungan yang erat antara Islam dan ketaatan kepada
pemerintah.

Hubungan antara Islam dengan ketaatan kepada pemerintah adalah sangat erat,
dan ini diucapkan oleh seorang khulafa’ur rasyidin yang kita diperintahkan untuk
mengikuti sunnahnya.

ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِء الر‬


َ‫َّاش ِدين‬

Menunjukkan tentang pentingnya di dalam Islam, taat kepada penguasa dan juga
pemerintah kita.

Oleh karena itu beliau mengatakan,

‫اع ال َّس ْم َع َوالطَّا َعةَ لِ َم ْن تََأ َّم َر َعلَ ْينَا‬


ِ ‫َأ َّن ِم ْن تَ َم ِام االجْ تِ َم‬

Bagi orang yang telah Allah takdirkan untuk menjadi penguasa bagi kita, baik dia
adalah orang yang shalih, baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat)
apabila Allah telah menjadikan dia sebagai seorang penguasa, maka kewajiban kita
adalah mendengar dan taat.
Kemudian beliau mengatakan,
‫َولَوْ َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا‬

“Meskipun yang berkuasa tersebut adalah seorang budak dari Habasyah.”

Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita
adalah mendengar dan taat.
Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah orang yang merdeka, dan
seandainya qadarullah yang terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan
seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan mendengar dan taat kepada
pemerintah tersebut.

Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah, ini dikenal oleh orang-
orang Arab sebagai budak yang di mata manusia adalah seorang yang rendah
(kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia menjadi seorang penguasa maka
kewajiban kita, meskipun kita adalah seorang yang merdeka, bukan seorang budak,
maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut.

Dan ucapan beliau ini diambil dari hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika
Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan nasehat kepada para sahabat di
akhir hayat Beliau.
Suatu hari setelah shubuh Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan
nasehat kepada para sahabat dengan nasehat yang sangat dalam.
Kemudian salah seorang sahabat berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam,

ٍ ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ! َكَأنَّهَا َموْ ِعظَةُ ُم َود‬


‫ِّع‬

“Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah.
(Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat gemetar
hati para sahabat dan membuat mata mereka menangis).
Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami.”
Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih
nasehat yang luas maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan
ditinggalkan.
Apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?
ِ ‫ُأ‬
ِ ‫وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا‬

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah.”


Nasehat pertama yang Beliau ucapkan kepada para sahabat adalah nasehat untuk
bertaqwa kepada Allah.

Kemudian apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?

‫وال َّس ْم ِع َوالطَّا َعةَ لِ َم ْن تََأ َّم َر َعلَيكم ولو َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا‬

“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadi amir
(menjadi penguasa) bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.”

Ini adalah nasehat Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada para sahabat.
Setelah beliau berwasiat untuk bertaqwa kepada Allah, maka wasiat beliau yang ke
dua adalah mendengar dan taat kepada pemerintah kita (kepada penguasa kita)
meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.

Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat. Bahkan Beliau (shallallāhu
‘alayhi wa sallam) menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua
setelah Beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Anda mungkin juga menyukai