Anda di halaman 1dari 4

Nama: Alfandy Oliver Rumengan

NIM: 2010521016

Media dalam Hubungan Internasional

1) Apakah hubungan antara MEDIA dengan HUBUNGAN INTERNASIONAL dalam


Perspektif tradisional dan post positivist

2) Berikut ini akan diuraikan studi kasus dan anda diminta untuk memberikan analisis
berdasarkan : a. peran media massa b. peran media sosial, c. bagaimana penyelesaian
kasus dalam konteks Resolusi Konflik.

Jawaban

1. Dalam perspektif tradisional, hubungan antara media dan hubungan internasional dapat
kita lihat cenderung lebih terbatas karena keterlibatan yang masif dari elit dan policymakers.
Dalam pandangan ini, media dianggap sebagai saluran yang memfasilitasi transmisi
informasi tentang kejadian-kejadian internasional, tetapi tidak memiliki peran yang signifikan
dalam membentuk atau mengubah dinamika hubungan internasional. Media hanya dianggap
sebagai pemberi informasi yang netral, bertindak sebagai pengamat atau pelapor tanpa
mempengaruhi substansi atau arah kebijakan luar negeri.

Namun, lain halnya dalam perspektif post-positivist, terdapat pemahaman yang lebih luas
tentang peran media dalam hubungan internasional. Dimana dalam pandangan ini, media
dianggap sebagai aktor yang berdampak dan mempengaruhi dinamika hubungan
internasional melalui proses konstruksi sosial. Media bukan hanya meneruskan informasi,
tetapi juga berperan dalam membentuk persepsi pandangan, pembentukan opini publik, dan
konstruksi narasi tentang kejadian internasional yang terjadi. Media dianggap memiliki
kekuatan untuk membentuk identitas nasional, mempengaruhi kebijakan luar negeri, dan
mempengaruhi interaksi antar negara.

Dalam perspektif post-positivist, media dipandang sebagai aktor yang dapat membentuk
agenda politik, mempengaruhi persepsi dan tindakan pemerintah, serta memainkan peran
dalam proses diplomasi publik. Media dianggap memiliki kebebasan dan tanggung jawab
dalam memberikan liputan dan interpretasi tentang isu-isu internasional yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi dinamika hubungan internasional dan opini publik di berbagai negara.
Perspektif ini juga menyoroti pentingnya menganalisis kepentingan, bias, dan konstruksi
narasi dalam liputan media terhadap isu-isu internasional sehingga terdapat framework
seperti critical theory dalam pandangan post-positivist. Hal ini menekankan perlunya
pemahaman kritis terhadap media serta perlunya mempertimbangkan berbagai perspektif dan
sumber informasi yang berbeda dalam membentuk pemahaman tentang hubungan
internasional yang holistik.

Kesimpulannya adalah secara keseluruhan, perspektif tradisional melihat peran media dalam
hubungan internasional sebagai sarana sederhana sementara perspektif post-positivist
mengakui peran yang lebih kompleks dan signifikan yang membantu masyarakat
internasional terhubung, bertumbuh, memengaruhi, dan memahami dinamika hubungan
internasional.

2. Peran media massa dan media sosial dalam kasus konflik Rusia-Ukraina dapat memiliki
dampak yang signifikan dari segi persepsi publik, diplomasi publik, dan penyebaran
informasi.

Media massa dan media sosial memainkan peran penting dalam menyampaikan berita dan
informasi tentang konflik Rusia-Ukraina kepada khalayak global. Mereka menjadi sumber
utama informasi bagi banyak orang untuk memungkinkan akses yang lebih cepat dan luas
terhadap perkembangan terkini dalam konflik tersebut, inilah yang menjadi kekuatan media
di era saat ini. Media massa dan media sosial memiliki pengaruh yang kuat dalam
membentuk opini publik tentang konflik Rusia-Ukraina. Cara berita disajikan, editorial, dan
pandangan yang diberikan oleh media dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, serta mempengaruhi sikap dan dukungan masyarakat
internasional terhadap salah satu pihak. Media massa dan media sosial dapat digunakan
sebagai alat propaganda oleh pihak yang terlibat dalam konflik. Informasi yang disebarkan
dapat diputarbalikkan, diedit, atau direkayasa untuk memengaruhi opini publik atau merubah
narasi konflik. Hal ini dapat menyulitkan publik dalam membedakan kebenaran dan
memahami situasi yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari bagaimana pemberitaan serangan
Rusia terhadap Ukraina dipandang sebagai "Agresi tak bermoral" oleh negara-negara eropa
dan diberitakan secara luas pula oleh media mereka yang pada akhirnya cenderung
membentuk opini publik tersebut mengenai Rusia. Disisi lain, Rusia pun melakukan
penyebaran informasi atau citra yang mana memandang dirinya sedang melakukan aksi
pertahanan diri dari ancaman yang membuat mereka tak nyaman dengan adanya statement
mengenai kedekatan Ukraina dan Eropa Barat. Media Rusia seperti RT News melakukan
penggambaran citra untuk Rusia yang mana membuat Rusia tak datang dengan gambar/citra
yang sama dengan negara Eropa lainnya.

Disamping hal-hal diatas, Media sosial memberikan platform bagi individu, kelompok, dan
jaringan untuk menyampaikan sudut pandang alternatif dan melawan narasi resmi yang
disebarkan oleh media massa. Apalagi dalam hal peran media sosial yang lebih fleksibel dan
berdaya tinggi dimana setiap orang memegang kekuasaan akan informasi yang dimilikinya.
Hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan beragam perspektif, informasi yang
lebih terdiversifikasi, dan memicu diskusi yang lebih luas tentang konflik.

Mengenai penyelesaian konflik Rusia-Ukraina saat ini merupakan tugas yang kompleks dan
sangat sulit untuk dilakukan dalam waktu dekat sebab membutuhkan upaya bersama dari
berbagai pihak. Tentu saja beberapa usaha yang harus dilakukan meliputi yaitu:

1. Diplomasi dan Negosiasi: Upaya diplomasi dan negosiasi harus menjadi prioritas dalam
mencari solusi untuk konflik. Sebab bentrokan militer yang terjadi pada akhirnya mencederai
kedua negara dan menghasilkan zero sum game yang selalu di teorikan oleh paradigma
realisme. Negosiasi langsung antara pemerintah Rusia dan pemerintah Ukraina dengan
dukungan komunitas internasional perlu untuk terus dicoba dan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.

2. Gencatan senjata dan Penghentian Kekerasan: Penting untuk mencapai gencatan senjata
yang tahan lama dan penghentian kekerasan segera. Kedua negara harus membangun koridor
kemanusiaan yang steril dari konflik keduanya untuk mengakomodasi mereka yang
terdampak. Hal ini akan memberikan ruang untuk dialog dan negosiasi yang lebih lanjut serta
meminimalkan penderitaan masyarakat yang terkena dampak konflik.
3. Perlindungan HAM dan Bantuan Kemanusiaan: Selama konflik, perlindungan hak asasi
manusia harus menjadi prioritas utama sesuai pula dengan hukum internasional. Dengan
begitu, terdapat payung hukum yang akan menjadi jangkar penahan eskalasi konflik kedua
pihak sebab masih memegang teguh hukum internasional. Upaya perlindungan bagi warga
sipil yang terdampak harus ditingkatkan. Bantuan kemanusiaan yang memadai dan akses ke
fasilitas dasar seperti makanan, air bersih, dan perawatan medis harus disediakan kepada
mereka yang membutuhkan.

4. Pengawasan Internasional: Keberadaan pengawasan internasional yang kuat dan


independen dapat membantu memantau dan melaporkan pelanggaran gencatan senjata serta
hak asasi manusia. Pengawasan ini juga dapat membangun kepercayaan antara pihak-pihak
yang terlibat dan memfasilitasi implementasi kesepakatan yang dicapai.

5. Pendekatan Pembangunan dan Rekonsiliasi: Setelah mencapai gencatan senjata dan


kesepakatan politik, upaya rekonsiliasi dan pembangunan pasca-konflik harus dilakukan.
Pembangunan ekonomi, restorasi infrastruktur, dan reintegrasi sosial di wilayah yang
terdampak konflik harus menjadi fokus untuk memastikan stabilitas jangka panjang.

6. Peran Komunitas Internasional: Komunitas internasional harus tetap terlibat dan


memberikan dukungan dalam upaya penyelesaian konflik. Ini termasuk melalui diplomasi,
bantuan kemanusiaan, dan bantuan pembangunan pasca-konflik.

Anda mungkin juga menyukai