Anda di halaman 1dari 2

Dua Sisi Mata Uang Nelayan Rumpon

Rumpon atau sering disebut fish aggregating device (FAD) merupakan salah satu jenis
alat bantu pengumpul ikan dari berbagai bentuk dan jenis pengikat atau atraktor yang
berfungsi sebagai pemikat ikan agar terkumpul pada sekitar rumpon, sehingga ikan
mudah ditangkap. Rumpon telah lama digunakan para nelayan dari ujung barat Indonesia
hingga ujung timur Indonesia.
Berbicara mengenai rumpon, mayoritas nelayan Indonesia menggunakan alat tersebut
sebagai alat bantu menarik gerombolan ikan di laut lepas. Berdasar Permen KP No. 26
Tahun 2014 yang merupakan cikal-bakal lahirnya aturan tentang rumpon di Indonesia,
rumpon terdiri atas dua macam, yakni rumpon hanyut dan rumpon menetap. Rumpon
Hanyut merupakan rumpon yang tidak menetap dan tidak dilengkapi jangkar serta hanyut
mengikuti arus. Rumpon menetap adalah rumpon yang ditempatkan pada suatu tempat
secara menetap menggunakan jangkar atau pemberat.
Rumpon mulai berkembang begitu pesat di Indonesia  sekitar tahun 1985-1990-an,
karena didaulat mampu meningkatkan produktivitas hasil tangkapan nelayan dan mampu
menurunkan biaya operasional. Sejalan dengan hal tersebut lahirlah SK Menteri
Pertanian No. 51/Kpts/IK.250/1/97 tentang sistem penyebaran rumpon. Seketika itulah
mulai bermunculan nelayan yang menggunakan alat bantu rumpon dalam rangka
menjalankan aktivitas menangkap ikan. Masa itu adalah masa jaya merebaknya rumpon,
baik jenis hanyut maupun dangkal. Kedua rumpon itu tampak sama berdasar sistem
pemasangan, tapi berbeda pada bahan yang digunakan. Biasanya nelayan menyesuaikan
dengan kondisi dan karakteristik wilayah masing-masing. Dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir dapat dilihat hasil tangkapan ikan nelayan berangsur-angsur mengalami kenaikan
signifikan berkat alat bantu rumpon tersebut, meskipun di sisi lain ada juga yang
berpendapat bahwa keberadaan rumpon dapat menghambat migrasi ikan.

Kegelisahan Nelayan
Seiring berjalannya waktu dan bergantinya kebijakan Pemerintah, keberadaan rumpon
nelayan hanya tinggal kenangan belaka. Pasalnya, pemerintah melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan regulasi baru tentang rumpon, yakni
Permen KP No. 26 Tahun 2014 yang mengatur lebih spesifik tentang rumpon, Kepmen
KP No. 30 Tahun 2004 tentang penghapusan pembagian jenis rumpon. Peraturan itu telah
menggantikan SK Menteri Pertanian No. 51/Kpts/IK.250/1/97. Kemudian, juga lahir
Permen KP No. 71 Tahun 2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kedua
permen KP tersebut cukup membuat nelayan gelisah. Dahulu mereka dapat memasang
rumpon tanpa perizinan yang begitu rumit dan susah. Rumpon saat ini benar-benar
diawasi keberadaannya. Meskipun demikian, jumlah riil di lapangan masih belum dapat
dipastikan. Izin pemasangan rumpon yang berjarak 2 hingga 4 mil dikeluarkan oleh
bupati/wali kota, jarak 4 hingga 12 mil diterbitkan oleh gubernur, sedangkan pemasangan
rumpon lebih dari 12 mil laut langsung diberikan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI. Penertiban rumpon dinilai sangat merugikan sebagian besar
masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup pada alat bantu rumpon. Terlebih,
dengan diberlakukannya aturan nelayan yang hendak melakukan pemasangan rumpon
harus memiliki Surat Izin Pemasangan Rumpon (SIPR). Izin itu wajib dimiliki setiap
nelayan penangkap ikan untuk memasang atau memanfaatkan rumpon.

Munculnya Masalah Baru


Pemasangan rumpon-rumpon baru di daerah terus menuai polemik, bahkan memanas.
Munculnya kembali gap antara nelayan besar dan subsisten (kecil) pada problem ini tentu
tidak dapat dibiarkan begitu saja. Jika dilihat dari aspek perizinan, tentu nelayan yang
bermodal besar akan dapat dengan leluasa mengurus perizinan rumpon, sedangkan
nelayan subsisten yang notabene di Indonesia kelompok mayoritas akan semakin sulit
mengurus izin pemasangan rumpon. Lagi-lagi isu penertiban rumpon-rumpon liar dan
pelestarian biota laut menjadi isu hangat yang terus digencarkan pemerintah dalam
rangka mengatasi masalah perumponan tersebut. Adanya ketimpangan kebijakan yang
kurang memihak kepada nelayan subsisten menjadi catatan tersendiri ketika suatu
kebijakan yang diambil pemerintah hanya dilihat dari satu aspek, yakni kelestarian biota
laut. Namun, aspek lain seperti kesejahteraan keluarga nelayan subsisten belum menjadi
prioritas utama pemerintah. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah nasib
nelayan subsiten ke depan. Apakah pemerintah telah siap dengan alat bantu alternatif
pengganti rumpon. Bukankah sumber daya alam di Indonesia ini harus dimanfaatkan
semata-mata untuk kesejahteraan rakyat?

Perlunya Sosialisasi
Penting dilakukan sosialisasi kepada masyarakat nelayan terkait implementasi Permen
KP No. 26 Tahun 2014 tentang rumpon. Sosialisasi bisa dilakukan melalui tenaga
fungsional penyuluh di masing-masing daerah.
Yang tidak kalah penting, pemerintah harus mampu menegaskan bahwa alat bantu
penangkapan ikan jenis rumpon sangat ramah lingkungan. Hanya, yang diperlukan adalah
penertiban aturan main saja, bukan keberadaannya dilarang.
Selain itu, diperlukan peran akademisi terkait riset pengembangan dan pelestarian
rumpon di Indonesia, baik berupa pelatihan pembuatan rumpon pada nelayan yang
berbasis bahan baku alam sekitar maupun dengan melibatkan masyarakat dan akademisi.
Juga perlu pelibatan pemerintah dalam rangka penentuan kebijakan tentang pembaruan
alat tangkap yang ramah lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai