Anda di halaman 1dari 10

WARA’

A. Pengertian Wara’

Dalam tradisi sufi, yang disebut Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
atau belum jelas hukumnya ( syubhat ). Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas
kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Seperti makanan, minuman,
pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain [3] .

Di samping meninggalakn segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi wara’
juga berarti meninggalkan segala hala yang berlebihan, baik berwujud benda maupun
perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau tidak jelas
manfaatnya disebut wara dalam dunia sufi.

Ibrahim bin Adham memberikan penjelasan bhwa wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu
yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan [4] . Selaras
dengan penjelasan tersebut, Ishaq mengatakan wara’ dalam kehidupan lebih sulit daripada
menjauhi emas dan perak, serta zuhud dari kekuasaan lebih sulit dibandingkan dengan
menyerahkan emas dan perk karena anda siap mengorbankan emas dan perak demi
kekuasaan. Sehingga Abu Sulaiman mengatakan bahwa Wara’ adalah titik tolak zuhud,
sebagaimana sikap puas terhadap yang ada adalah bagian dari ridha [5] .

Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut penulis yang dimaksud lebih sulit daripada
menjauhi emas dan perak adalah melakukan sebuah pekerjaan yang lebih sulit daripada yang
sangat sulit. Dalam konteks kehidupan saat ini, emas dan perak merupakan logam mulia yang
sangat berharga dan harganya sangat mahal, sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya.
Begitu juga dengan wara yang dikatakan lebih sulit merupakan sebuah tindakan yang sangat
hati-hati dan cukup sulit untuk dilakukan karena harus meninggalkan atau melakukan sesuatu
yang kelihatannya baik atau sebaliknya namun susah dibedakan atau dipisahkan.

Para ahli tasawuf membagi wara’ pada dua bagian, yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan
wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhai Allah,
sedangkan wara’ batiniyah berarti mengisi atau menempatkan sesuatu di hatinya kecuali
Allah.

Seorang sufi yang wara’ akan senantiasa menjaga kesucian baik jasmani maupun rohaninya
dengan mengendalikan segala perilaku aktifitas kesehariannya. Ia hanya akan melakukan
sesuatu jika sesuatu itu bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dan ia
tidak akan menggunakan sesuatu hal yang belum jelas statusnya. Dengan demikian maka
raga dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak dirdhai Allah swt.

Jika dikaji lebih mendalam, apa yang dilakukan oleh sufi dengan wara’ bahwa sufi tidak
melihat suatu benda atau perilaku seseorang dari wujud kasarnya atau keelokan rupanya.
Namun seorang sufi melihat sesuatu baik benda perilaku, maupun gagasan atau pemikiran
dari nilai yang terkandung di dalamnya tanpa melihat bentuk fisik. Para sufi menjadikan nilai
sebagai hal yang substansial.
Sementara kekayaan, gelar, jabatan, atau status social lainnnya bagi seorang sufi bukanlah hal
yang menentukan kualitas seseorang di mata Allah. Yang menentukan derajat seseorang
adalah sejauh mana segala hal tersebut mengandung nilai-nilai. Nilai yang dapat mensucikan
diri dari kotoran yang telah menjauhkannya dari kodrat asal penciptaannya yang paling
sempurna dibanding makhluk lain [6] .

B. Wara’ Menurut Para Imam

Menurut Qatadah dan Mujahid, artinya bersihkan dirimu dari dosa. Diri ini dikiaskan dengan
pakaian. Ini merupakan pendapat Ibrahim, An-Nakhah’y, Adh-Dhahhak, Asy-Sya’by, Az-
Zuhry dan para mufassir. Menu-rut Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau mengenakan pada
dirimu ke-durhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang Arab biasa mensifati orang yang jujur
dan selalu menepati janji dengan sebutantahiruts-tsiyab (ber-sih pakaiannya), sedangkan
orang yang jahat dan suka berkhianat dise-but danisuts-tsiyab(kotor pakaiannya). Menurut
Adh-Dhahhak, artinya benahilah amalmu.

Menurut As-Suddy, biasa dikatakan kepada orang yang dikenal shalih, “Bersih pakai-annya”.
Sedangkan kepada orang yang jahat akan dikatakan, “Kotor pa-kaiannya”. Menurut Sa’id bin
Jubair, yang dibersihkan adalah hatinya. Menurut Al-Hasan dan Al-Qurazhy, yang
dibersihkan adalah akhlaknya. Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata, “Ini merupakan perintah
untuk membersihkan pakaian dari hal-hal najis, yang tidak bisa dipergunakan untuk shalat,
sebab orang-orang musyrik tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa
membersihkan pakaian.” Menurut Thawus, artinya pendekkanlah pakaianmu, karena dengan
memendekkan pakaian bisa menjaga kebersihannya.

Tapi yang be-nar adalah pendapat yang pertama, seperti yang tertera dalam ayat. Tidak dapat
diragukan bahwa membersihkan pakaian dan memen-dekkannya termasuk cara
membersihkan yang diperintahkan, karena dengan cara ini bisa menunjang pembenahan amal
dan akhlak. Kotoran zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin. Karena itu orang yang berdiri
di hadapan Allah diperintahkan untuk menghilangkan dan menjauhi kotoran itu.
Maksudnya,wara’dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air yang dapat
membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada kesesuaian zhahir
dan batinnya.

Karena itu pakaian seseorang saat tidur menunjukkan keadaan dirinya dan hatinya, yang satu
berpengaruh terhadap yang lain. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian
sutera, emas dan mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, karena yang demikian itu
berpengaruh terhadap hati, yang tidak menggambarkan ubudiyah dan ketundukan.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menghimpun keseluruhan wara’dalam satu kalimat,
“Diantara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
baginya.” Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan,
pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua ge-rakan zhahir dan batin. Pernyataan
beliau ini sudah mencakup semua yang ada dalamwara’.
Ibrahim bin Adham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan setiap syubhat, sedangkan
meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang
berlebih.” Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan secara marfu’ kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, ” Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau
akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah.” Menurut Asy-Syibly,wara’
artinya menjauhi segala sesuatu selain Allah.

Menurut Abu Sulaiman Ad-Darany,wara’merupakan permulaan zuhud, seperti halnya rasa


berkecukupan merupakan permulaan ridha. Menurut Yahya bin Mu’adz,wara’artinya berada
pada batasan ilmu tan-pa melakukan ta’wil.Wara’itu ada dua sisi: Wara’zhahir dan wara’
batin.Wara’ zhahir artinya tidak bertindak kecuali karena Allah semata, sedangkanwara’ batin
ialah tidak memasukkan hal-hal selain ke dalam hati.

Siapa yang tidak melihat detail wara’tidak akan bisa melihat besarnya anugerah.” Sufyan
Ats-Tsaury berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripadawara’,yaitu jika
ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.” Menurut Yunus bin
Ubaid,wara’artinya keluar dari setiap syubhat dan menghisab diri sendiri setiap saat. Menurut
Al-Hasan,wara’seberat dzarrah lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali.

Menurut sebagi-an salaf, seorang hamba tidak mencapai hakikat takwa hingga dia me-
ninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak
diperbolehkan baginya. Pengarang Manazilus-Sa’irinmengatakan,”Wara’ adalah menjaga diri
semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan.” Dengan kata
lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan
semaksimal mungkin untuk dijaga.

Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga
diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati.
Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tapi
karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehor-matan, seperti orang yang
menjaga diri dari hal-hal yang hina dan kebu-rukan, sekalipun dia tidak percaya kepada surga
dan neraka. Sedangkan menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan terhadap orang
yang menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat, bisa karena menghin-dari ancaman atau
karena pengagungan terhadap Allah. Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa karena
dorongan takut atau pun pengagungan. Pengagungan ini cukup disamakan dengan cinta.
Artinya, orang yang mencintai tentu tidak mau mendurhakai kekasihnya. Menurut
pengarangManazilus-Sa’irin, “Waro’ merupakan kesudah-an zuhud orang-orang awam, dan
merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan kepada Allah.

C. Dasar Melakukan Wara’

Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah sabda Nabi saw yang artinya: Sebagian dari
kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi sesuatu yang tidak berarti.
Juga hadis lain yang artinya Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling
taat beribadah.
Apa yang dilakukan sufi dengan wara’ pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari perintah
Allah dalam surah al-Muddastir ayat 1-3.

1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. dan
Tuhanmu agungkanlah[7] .

Al-Qur’an tidak menyebutkan kata wara’ secara eksplisit, namun wara’ yang secara harafiyah
berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak celaka. Ibnu Qayyim dalam
Madarij al Sadikin menyebut bahwa ayat tersebut di atas sebagai bentuk perintah wara’. Dan
pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri seseorang. Bahkan Ibnu Abbas
menafsirkan ayat ini dengan “ janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan
penghianatan” [8] .

D. Tahapan-Tahapan Wara’

Ibnu Qayyim secara rinci membagi wara’ dalam tiga tahapan, yakni tahap meninggalkan
kejelekan, tahap menjauhi hal-hal yang diperbolehkan namun dikhawatrikan akan jatuh pada
hal yang dilarang, dan tahap menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membawanya kepada
selain Allah [9] .

Secara psikologis, seseorang yang banyak melakukan dosa atau pelanggaran etik dan moral
akan menjadikan dirinya dihantui oleh perasaan cemas dan takut, yang dalam istilah
psikoanalisis disebut moral anxiety (kecemasan moral). Selanjutnya hal ini akan berdampak
negative atau menimbulkan penyakit baik fisik maupun psikis. Karena perasaan ini akan
senantiasa terpendam dalam alam bawah sadarnya.

Untuk menjaga diri seorang dari penyakit di atas tidak lain adalah dengan menjauhkan diri
dari perbuatan dosa atau pelanggaran etika. Yakni dengan mengendalikan segala hasrat,
keinginan dan nafsu serta pengaruh lingkungan sekitarnya. Selanjutnya hanya mengikuti apa
yang didorongkan oleh hati nuranyinya.

Dengan kata lain, untuk menghinddarkan diri dari penyakit baik fisik maupun psikis,
seseorang harus mampu mengontrol keinginan dan nafsunya, serta tidak melakukan sesuatu
hanya karena mendatangkan kesenangan dan menghindari kesusahan, atau hanya mengharap
imbalan. Namun melakukan sesuatu tersebut hanya karena sesuatu tersebut memang
“seharusnya” dilakukan.

Banyak hal yang telah dicontohkan Rasul dalam kehidupan dunia ini, dan pada dasarnya
semua orang akan bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan wara’ tersebut, hingga pada
akhirnya akan mengenal Allah dan dirinya. Demikian juga doktrin “man ‘arafa nafsahu,
faqad ‘arafa rabbahu”, barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan dapat mengenal
TuhanNya [10] 

E. Tingkatan Wara’

1. Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga
iman. Menjaga diri artinya memelihara dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mengotori
dan menodainya di sisi Allah, para malaikat, hamba-hamba-Nya yang beriman dan semua
makhluk. Karena siapa yang dirinya mulia di sisi Allah, maka Dia akan menjaga, melindungi,
men-sucikan, meniggikan dan meletakkannya di tempat yang paling ting-gi, berkumpul
bersama orang-orang yang memiliki kesempurnaan. Sedangkan siapa yang dirinya hina di sisi
Allah, maka Dia melempar-kannya ke dalam kehinaan, tidak menjaganya dari keburukan dan
melepaskan dirinya.

Batasan minimal menjauhi keburukan adalah menjaga diri. Memperbanyak kebaikan dapat
dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperbanyak kesempatan dalam melaksanakan
kebaikan. Jika seorang hamba melakukan keburukan, berarti kesempatan yang telah
dipersiapkan untuk kebaikan menjadi berkurang. Kedua, memperbanyak kebaikan yang
dilakukan agar tidak berkurang, sebagaimana telah dikupas dalam masalah taubat, bahwa
keburukan bisa menggu-gurkan kebaikan, entah secara keseluruhan ataukah sekedar terku-
rangi. Minimal akan melemahkan posisi kebaikan itu.

Kaitannya dengan menjaga iman, karena menurut seluruh ulama Ahlus-Sunnah, iman itu bisa
bertambah karena ketaatan dan bisa berkurang karena kedurhakaan. Pendapat ini juga
dikisahkan dari Asy-Syafi’y dan lain-lainnya dari kalangan shahabat dan tabi’in. Peranan
kedurhakaan yang melemahkan iman ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi rasa dan
dibuktikan kenyataan. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits, bahwa jika
hamba melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan satu titik hitam. Jika dia memohon
ampunan, maka hatinya menjadi mengkilap kembali. Jika dia kembali melakukan dosa, maka
di dalam hatinya ditorehkan titik hitam lainnya. Keburukan membuat hati menjadi hitam dan
mema-damkan cahayanya.

2. Menjaga hukum dalam perkara-perkara yang mubah, mengekalkan, melepaskan diri dari
kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melam-paui batasan hukum. Orang yang naik dari
derajat pertama dariwara’lalu beralih ke derajat kedua ini, meninggalkan sekian banyak hal-
hal yang mubah, karena takut hatinya akan terkotori dan cahayanya padam.

Sebab memang banyak hal-hal yang mubah dapat mengotori kebersihan hati, me-ngurangi
gemerlapnya dan memadamkan cahayanya. Suatu kali Syaikhul-Islam berkata kepadaku
sehubungan dengan hal yang mubah, “Ini dapat menghilangkan derajat yang tinggi, sekalipun
meninggalkannya bukan merupakan syarat untuk mendapatkan ke-selamatan.” Orang yang
memiliki ma’rifat lebih banyak meninggalkan hal-hal yang mubah, karena untuk
mengekalkan penjagaan hati, apalagi jika yang mubah itu merupakan sekat antara yang halal
dan yang haram.

3. Menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perceraian, bergan-tung kepada perpisahan
dan yang menghalangi kebersamaan secara total. Perbedaan antara perceraian dan bergantung
kepada perpisahan seperti perbedaan antara sebab dan akibat, penafian dan penetap-an. Siapa
yang bercerai, maka tidak ada kesempatan baginya untuk bergantung kepada selain
tuntutannya.

Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai kehendaknya, berarti dia menghendaki selain-
Nya. Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, maka dia akan
menyembah selain-Nya. Siapa yang amalnya bukan karena Allah, berarti amalnya karena
selain Allah. Perasaan takut membuahkan wara’,permohonan pertolongan dan harapan yang
tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpa-an dengan Allah membuahkanzuhud.
Ma’rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan.

Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma’rifat membuahkan akhlak. Pikiran


membuahkan tekad. Menge-tahui nafsu dan membencinya membuahkan rasa malu kepada
Allah, menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya.
Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar dan disaksikan membuahkan
pengetahuan yang benar. Penopang semua ini ada dua macam: Pertama, memindahkan hati
dari kampung dunia ke kampung akhirat. Kedua, mendalami, menyimak dan memahami
makna-makna Al-Qur’an serta sebab-sebab diturun-kannya, lalu engkau mengambil dari
ayat-ayatnya untuk mengobati penyakit di dalam hati.

F. Sifat-Sifat Wara’

Wara’ merupakan jalan untuk

mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan


dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari
setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah di dunia maupun di akhirat. Maka
wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal
yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan
agamanya.

Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah kehati-hatian mereka
yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju
kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu,
Rasulullah bersabda:

‫ ﻟِ ِﺪ ْﻳﻨِ ِﻪ‬Qَ‫ﺪ ﺍ ْﺳﺘَﺒ َْﺮﺃ‬Qْ َ‫ ﻓَﻘ‬Q‫ﺕ‬


ِ ‫ ﺍﻟ ُّﺸﺒُﻬَﺎ‬Q‫ﻦ ﺍﺗَّﻘَﻰ‬Qِ ‫ ﻓَ َﻤ‬Q, Q‫ﺎﺱ‬ Qٌ َ‫ﺭ ُﻣ ْﺸﺘَﺒِﻬ‬Qٌ ْ‫ ﺃُ ُﻣﻮ‬Q‫ِّﻦ َﻭﺑَ ْﻴﻨَﻬُ َﻤﺎ‬Qٌ ‫ﻡ ﺑَﻴ‬Qَ ‫ﻥ ْﺍﻟ َﺤ َﺮﺍ‬Qَّ ِ‫ِّﻦ َﻭﺇ‬Qٌ ‫ﻝ ﺑَﻴ‬Qَ َ‫ﻥ ْﺍﻟ َﺤﻼ‬Qَّ ِ‫ﺇ‬
ِ َّ‫ﻦ ﺍﻟﻨ‬Qَ ‫ﺮ ِﻣ‬Qٌ ‫ُﻦ َﻛﺜِ ْﻴ‬Qَّ ‫ﺎﺕ ﻻَﻳَ ْﻌﻠَ ُﻤﻬ‬
‫ﺿ ِﻪ‬ ِ ْ‫ َﻭ ِﻋﺮ‬.

Artinya: ” Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya
banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang
menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan
kehormatannya [11] .

Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya


bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: ” Dan sesungguhnya orang
yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan) .

Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid
rahimahullah : yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri
sendiri di setiap kedipan mata.
Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid
rahimahullah : yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri
sendiri di setiap kedipan mata.

Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya
menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-
Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: ‘Yang makruh
adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang
banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah
merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang
memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.

Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan:


‘Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa
menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti
memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat
menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada
penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak
ada waktu untuk beribadah). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan
dengan pandangan mata.

Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan
sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-
Khaththabi rahimahullah : ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’
adalah menjauhinya.’

Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah :
‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang
meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu .”

Rasulullah saw juga bersabda:


ْ َ‫ﺍﻃ َﻤﺄ َ َّﻥ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ْﺍﻟﻘَ ْﻠﺐُ َﻭ ْﺍ ِﻹ ْﺛ ُﻢ َﻣﺎﻟَ ْﻢ ﺗَ ْﺴ ُﻜ ْﻦ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ﺍﻟﻨَّ ْﻔﺲُ َﻭﻟَ ْﻢ ﻳ‬
َ‫ﻄ َﻤﺌِ َّﻦ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ْﺍﻟﻘَ ْﻠﺐُ – َﻭﺇِ ْﻥ ﺃَ ْﻓﺘَﺎﻙَ ْﺍﻟ ُﻤ ْﻔﺘُﻮْ ﻥ‬ ْ ‫َﺖ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ﺍﻟﻨَّ ْﻔﺲُ َﻭ‬
ْ ‫ﺍﻟﺒِﺮُّ َﻣﺎ َﺳ َﻜﻨ‬

Artinya ” Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram
kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak
merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar
kepadamu .”

Hal itu diperkuat lagi oleh atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah secara
mursal:

ُ‫َﻣﺎ ﺃَ ْﻧ َﻜ َﺮﻩُ ﻗَ ْﻠﺒُﻚَ ﻓَ َﺪ ْﻋﻪ‬

“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah .”


Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri
mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada
sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:

ٌ‫ﺱ ﺑِ ِﻪ َﺣ َﺬﺭًﺍ ِﻣ َّﻤﺎ ﺑِ ِﻪ ﺑَﺄْﺱ‬


َ ْ‫ﻻَﻳَ ْﺒﻠُ ُﻎ ْﺍﻟ َﻌ ْﺒ ُﺪ ﺃَ ْﻥ ﻳَ ُﻜﻮْ ﻥَ ِﻣﻦَ ْﺍﻟ ُﻤﺘَّﻘِ ْﻴﻦَ َﺣﺘَّﻰ ﻳَ َﺪ َﻉ َﻣﺎﻻَﺑَﺄ‬

” Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak
dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”

Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:

‫… ﺍﺟْ َﻌﻠُﻮْ ﺍ ﺑَ ْﻴﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻭﺑَ ْﻴﻦَ ْﺍﻟ َﺤ َﺮ ِﺍﻡ ِﺳ ْﺘﺮًﺍ ِﻣﻦَ ْﺍﻟ َﺤﻼَ ِﻝ‬

” Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …”

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu


Taimiyah rahimahullah : Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu
yang mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya
bukanlah syarat dalam keselamatan.”

Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka


sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang
bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi
rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara’) dari
menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalaf
rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam
hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih
utama daripada emas dan perak…

Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah r, dia


menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara’ dalam
satu kata, maka beliau bersabda:

‫ِﻣ ْﻦ ُﺣ ْﺴ ِﻦ ﺇِ ْﺳﻼَ ِﻡ ْﺍﻟ َﻤﺮْ ﺀِ ﺗَﺮْ ُﻛﻪُ َﻣﺎﻻَﻳَ ْﻌﻨِ ْﻴ ِﻪ‬

” Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting
baginya .”

Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari
terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang
melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia
terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti
yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah .

Dan dalam hadits ifki (berita bohong), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Zainab
radhiyallahu ‘anha , di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus
dalam perkara yang ia tidak mengetahui: ‘Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara’
Sebagaimana orang yang wara’ memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:

ِ ْ‫ﺕ ﻓَﻘَ ْﺪ ﺍ ْﺳﺘَﺒ َْﺮﺃَ ﻟِ ِﺪ ْﻳﻨِ ِﻪ َﻭ ِﻋﺮ‬


‫ﺿ ِﻪ‬ ِ ‫ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟ ُّﺸﺒُﻬَﺎ‬

“… Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan
agama dan kehormatannya , …”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang
tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah
menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk
memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.’

Maka apabila wara’ merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:

ِ َّ‫ُﻛ ْﻦ َﻭ ِﺭﻋًﺎ ﺗَ ُﻜ ْﻦ ﺃَ ْﻋﺒَ َﺪ ﺍﻟﻨ‬


‫ﺎﺱ‬

” Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah .”

Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara’:

َ ‫ﺧَ ْﻴ ُﺮ ِﺩ ْﻳﻨِ ُﻜ ْﻢ‬


ُ ‫ﺍﻟﻮ َﺭ‬
‫ﻉ‬

” Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’ ”

Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya
dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya
tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.

Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut
mereka dari sifat nifaq tidak berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu
merupakan sikap wara’ dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu ‘anhum jami’an .

Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan
menimbang amal perbuatan kita sendiri.

G. Ciri-Ciri Wara’

Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan
sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-
Khaththabi

rahimahullah : ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adalah
menjauhinya.’ Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu
Sinan rahimahullah : ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”
Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
ْ َ‫ﺍﻃ َﻤﺄ َ َّﻥ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ْﺍﻟﻘَ ْﻠﺐُ َﻭ ْﺍ ِﻹ ْﺛ ُﻢ َﻣﺎﻟَ ْﻢ ﺗَ ْﺴ ُﻜ ْﻦ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ﺍﻟﻨَّ ْﻔﺲُ َﻭﻟَ ْﻢ ﻳ‬
َ‫ﻄ َﻤﺌِ َّﻦ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ْﺍﻟﻘَ ْﻠﺐُ – َﻭﺇِ ْﻥ ﺃَ ْﻓﺘَﺎﻙَ ْﺍﻟ ُﻤ ْﻔﺘُﻮْ ﻥ‬ ْ ‫َﺖ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ ﺍﻟﻨَّ ْﻔﺲُ َﻭ‬
ْ ‫ﺍﻟﺒِﺮُّ َﻣﺎ َﺳ َﻜﻨ‬
Artinya: ” Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram
kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak
merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar
kepadamu .”

Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah
secara mursal:

ُ‫َﻣﺎ ﺃَ ْﻧ َﻜ َﺮﻩُ ﻗَ ْﻠﺒُﻚَ ﻓَ َﺪ ْﻋﻪ‬

Artinya: “Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah .”

Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri
mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada
sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:

ٌ‫ﺱ ﺑِ ِﻪ َﺣ َﺬﺭًﺍ ِﻣ َّﻤﺎ ﺑِ ِﻪ ﺑَﺄْﺱ‬


َ ْ‫ﻻَﻳَ ْﺒﻠُ ُﻎ ْﺍﻟ َﻌ ْﺒ ُﺪ ﺃَ ْﻥ ﻳَ ُﻜﻮْ ﻥَ ِﻣﻦَ ْﺍﻟ ُﻤﺘَّﻘِ ْﻴﻦَ َﺣﺘَّﻰ ﻳَ َﺪ َﻉ َﻣﺎﻻَﺑَﺄ‬

Artinya: ” Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang
tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”

Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:

‫… ﺍﺟْ َﻌﻠُﻮْ ﺍ ﺑَ ْﻴﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻭﺑَ ْﻴﻦَ ْﺍﻟ َﺤ َﺮ ِﺍﻡ ِﺳ ْﺘﺮًﺍ ِﻣﻦَ ْﺍﻟ َﺤﻼَ ِﻝ‬

Artinya: ” Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …”

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu


Taimiyah rahimahullah : Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu
yang mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya
bukanlah syarat dalam keselamatan [12]

Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka


sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang
bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi
rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara’) dari
menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalaf
rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam
hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih
utama daripada emas dan perak [13] .

Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah, dia


menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu
kata, maka beliau bersabda:

‫ِﻣ ْﻦ ُﺣ ْﺴ ِﻦ ﺇِ ْﺳﻼَ ِﻡ ْﺍﻟ َﻤﺮْ ﺀِ ﺗَﺮْ ُﻛﻪُ َﻣﺎﻻَﻳَ ْﻌﻨِ ْﻴ ِﻪ‬

Artinya: ” Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak
penting baginya .”

Anda mungkin juga menyukai