Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cedera kepala di seluruh dunia diperkirakan terjadi sebanyak 10 juta kasus
dalam setahun, dikategorikan sebagai salah satu penyebab utama kematian yang
diakibatkan kecelakaan. Cedera kepala diperkirakan mencapai 30% sebagai
penyebab utama kematian pada kasus-kasus kecelakaan.1

Di Amerika Serikat, angka kejadian EDH dalam satu tahun didapatkan 2%


dari 40.000 kasus cedera kepala. Di Hongkong pada tahun 2001 – 2004
didapatkan 2208 kasus kecelakaan, dengan total 1080 mengalami cedera kepala,
dan 89 pasien didiagnosis EDH. Di Enugu Nigeria, dari tahun 2003 sampai
dengan 2009 didapatkan 817 cedera kepala, dengan 69 kasus EDH (8.4%). Di
Inggris diperkirakan selama setahun ditemukan satu juta pasien cedera kepala
yang datang ke unit-unit gawat darurat. Yang terbanyak adalah akibat kecelakaan
lalu lintas dengan menggunakan sepeda motor (48-53 persen). Di Indonesia angka
kejadian EDH belum didapatkan data yang valid, suatu penelitian oleh Istiadjid di
Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang pada tahun 2012, dari 30 orang pasien EDH
yang menjadi sampel pada penelitiannya, didapatkan 16 orang (53,3%) meninggal
dunia dan 14 orang (46,7%) hidup. Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa
pasien dengan keluaran hidup mempunyai rerata delta waktu onset trepanasi
sebesar 10,45 jam sedangkan pasien dengan keluaran meninggal mempunyai
rerata delta waktu onset trepanasi sebesar 24,85 jam.5,6,7

Di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Provinsi


Nangroe Aceh Darussalam, pada tahun 2013 didapatkan kasus cedera kepala
sebanyak 189, dengan angka kejadian EDH sebanyak 67 kasus.

EDH terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan fraktur


pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. EDH juga bisa akibat pemakaian
obat-obatan antikoagulan, hemophilia, penyakit hepar, penggunaan aspirin,
sistemik lupus erimatosus, dan pungsi lumbal.2

1
Akibat dari trauma kepala yang terbanyak adalah EDH yang berupa
akumulasi atau penumpukan darah yang berada diantara tulang tengkorak bagian
dalam dan lapisan membran duramater. EDH biasanya terjadi akibat tekanan yang
keras terhadap pembuluh darah yang terletak di luar duramater, apakah itu terjadi
pada tulang tengkorak atau pada kolumna spinalis. Pada tulang tengkorak, tekanan
yang berlebihan pada arteri meningeal akan menyebabkan EDH.3

Sekitar 70-80% EDH berlokasi di daerah temporoparietal, biasanya terjadi


oleh fraktur calvaria yang berakibat robeknya arteri meningea media atau cabang-
cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital. EDH
dapat mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi
pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan pada 24 jam pertama.4

Berdasarkan Congress Of Neurosurgical pada tahun 2006, rekomendasi


penatalaksanaan operatif untuk evakuasi EDH harus dilakukan sedini mungkin,
terutama pada pasien EDH akut dan dalam stasus koma atau GCS kurang dari 9.
Penelitian yang dilakukan Lee et all yang dipaparkan dalam Congress Of
Neurosurgical pada tahun 2006 tersebut, dalam penelitiannya dengan
menggunakan analisis multivariat terhadap 200 pasien yang dilakukan operasi
evakuasi EDH menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada penilaian keluaran terhadap pasien yang dioperasi 2 jam setelah trauma
dibandingkan yang dioperasi 4 jam setelah trauma.8

Menurut Pedoman Pengelolaan Trauma Cedera Otak, EDH dengan


volume yang lebih besar dari 30 ml harus dieavakuasi dengan menjalani prosedur
bedah, kriteria ini menjadi sangat penting ketika didapatkan ketebalan EDH 15
mm atau lebih, dan pergeseran midline shift lebih 5 mm. Lokasi dari EDH juga
merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan bedah. Hematom di
temporal yang luas dapat menyebabkan herniasi dan kerusakan yang lebih cepat.
EDH di fossa posterior, sering berhubungan dengan gangguan sinus vena lateral
yang juga memerlukan tindakan operasi evakuasi EDH segera.2

2
Komplikasi dari EDH terjadi ketika adanya pergeseran otak yang
signifikan, sehingga mengakibatkan infark serebral. Jika terjadi perdarahan dalam
batang otak akan menyebabkan herniasi. Contohnya herniasi transtentorial yang
dapat mengakibatkan ipsilateral saraf kranial III. Palsy dari Saraf kranial III
menyebabkan ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan untuk memindahkan
mata ke arah medial, atas, dan bawah.5

Hasil dari penatalaksanaan secara bedah pada EDH akan memberikan hasil
yang baik jika dilakukan secara dini. Berdasarkan teori biomolekular, golden
period tindakan terapi definitif harus dilakukan kurang dari 6 jam setelah trauma,
hal ini dikarenakan cedera otak sekunder dan iskemik otak dapat terjadi 6 jam
setelah kejadian. Penilaian Glasgow Come Scale (GCS) menunjukan korelasi
yang signifikan terhadap penilaian keluaran terhadap cedera kepala.9,10

Keluaran juga dipengaruhi terjadinya cedera otak sekunder yang terjadi


akibat proses sistemik (systemic secondary insult) seperti hipotensi, hipoksia,
hiperkapnia, hipokapnia, dan gangguan keseimbangan. Kedua proses tersebut jika
tidak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan metabolisme otak, gangguan
transport substrat ke jaringan otak, dan penurunan aliran darah otak sehingga
dapat mengakibatkan iskemik otak.11

Dari uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk


menilai faktor-faktor yang mempegaruhi tingkat kesadaran pasca operasi EDH di
RSUZA Banda Aceh.

3
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan
masalah pada penelitian ini adalah:
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran 24 jam pasca operasi
EDH di RSUZA Banda Aceh.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran pasca
operasi EDH di RSUZA Banda Aceh.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui pengaruh waktu penatalaksanaan operasi EDH terhadap
tingkat kesadaran pasca oprasi di RSUZA Banda Aceh.
2. Mengetahui pengaruh midline shift kurang dari 5 mm dan lebih dari
5 mm terhadap tingkat kesadaran pasca operasi EDH di RSUZA
Banda Aceh.
3. Mengetahui pengaruh pupil isokor dan anisokor terhadap tingkat
kesadaran pasca operasi EDH di RSUZA Banda Aceh.
4. Mengetahui pengaruh volume EDH terhadap tingkat kesadaran pasca
operasi di RSUZA Banda Aceh.
5. Mengetahui pengaruh lokasi EDH terhadap tingkat kesadaran pasca
operasi di RSUZA Banda Aceh.
6. Mengetahui pengaruh tingkat kesadaran pre operasi terhadap tingkat
kesadaran pasca operasi di RSUZA Banda Aceh.

4
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat ilmiah.
1.4.1.1. Menambah pengetahuan peneliti mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kesadaran pasien pasca operasi EDH di
RSUZA Banda Aceh.
1.4.1.2. Sebagai sumber acuan dan bahan perbandingan bagi penelitian
selanjutnya terutama penelitian yang berhubungan dengan EDH.
1.4.2. Manfaat bagi praktisi.
1.4.2.1. Sebagai bahan masukan khususnya bagi para instansi terkait untuk
melakukan berbagai upaya dalam penanganan penderita EDH.
1.4.2.2. Dapat memberikan kontribusi terhadap beberapa studi mengenai
EDH.
1.5. Hipotesis Penelitian
H1 : Terdapat perubahan tingkat kesadaran pasca operasi
EDH di RSUZA Banda Aceh.
H2 : Terdapat pengaruh waktu penatalaksanaan
kraniotomi EDH terhadap tingkat kesadaran pasca
operasi EDH di RSUZA Banda Aceh.
H3 : Terdapat pengaruh pupil isokor dan
anisokor terhadap tingkat kesadaran pasca operasi
EDH di RSUZA Banda Aceh.
H4 : Terdapat pengaruh pergeseran midline shift
lebih dari 5 mm terhadap tingkat kesadaran pasca
operasi EDH di RSUZA Banda Aceh.
H5 : Terdapat pengaruh volume EDH terhadap
tingkat kesadaran pasca operasi di RSUZA
Banda Aceh.
H6 : Terdapat pengaruh lokasi EDH terhadap
tingkat kesadaran pasca operasi di RSUZA
Banda Aceh.

5
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1. Otak dan Jaringan Sekelilingnya10,12


Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Otak manusia adalah struktur pusat pengaturan sistem
tubuh yang memiliki volume sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100
juta sel saraf atau neuron. Otak mengatur dan mengkoordinir sebagian
besar gerakan, perilaku, dan fungsi tubuh (homeostasis) seperti detak
jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh, dan suhu tubuh.
2.1.1. SCALP
Otak dilindungi oleh SCALP, yaitu Skin, Connective tissue,
Aponeurosis, Loose areolar tissue, Periosteum, serta tulang tengkorak dan
meningen.
2.1.1.1. Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar
sebacea.
2.1.1.2. Connective tissue
Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit
dengan aponeurosis M. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak
mengandung pembuluh darah besar terutama cabang dari supratrokhlear
dan supraorbital dari arteri oftalmik disebelah depan, dan tiga cabang dari
carotid eksternal-temporalsuperfisial, aurikuler posterior, dan oksipital di
sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat erat pada fibrosa
jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut.
2.1.1.3. Aponeurosis atau galea aponeurotika
Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat dan dapat digerakkan
dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal,
menghubungkan otot oksipitalis. Spatium subponeuroticum adalah ruang
potensial dibawah aponeurosis epikranial. Dibatasi didepan dan
dibelakang oleh origo M.occipitalis frontalis, dan meluas kelateral sampai
ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis.

6
2.1.1.4. Loose areolar tissue
Merupakan jaringan penunjang longgar, menghubungkan
aponeurosis galea dengan periostium kranium (perikranium). Mengandung
beberapa arteri kecil dan beberapa v. emmisaria yang menghubungkan
v. diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intrakranial.
2.1.1.5. Perikranium
Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak. Sutura diantara tulang-tulang dan periostium pada permukaan
luar tulang berlanjut dengan periostium pada permukaan dalam tulang-
tulang tengkorak.
2.1.2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis kranii
(bagian terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, daerah ini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii terbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselarasi. Pada orang dewasa tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan,
yaitu :
2.1.2.1. Tabula interna
Mengandung alur-alur yang berisikan arteria menigea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur menyebabkan terkoyaknya salah satu
dari arteri tersebut, perdarahan arterial yang diakibatkannya, akan
tertimbun di ruang epidural.
2.1.2.2. Diploe
Merupakan rongga yang berada diantara tabula interna dengan
tabula eksterna.
2.1.2.3. Tabula
Merupakan lapisan tengkorak bagian luar.

7
2.1.3. Meningens (pembungkus otak)
Meningens merupakan selaput yang menutupi seluruh permukaan
otak, terdiri dari 3 lapis :
1. Duramater adalah lapisan luar yang tebal & kuat.
2. Arachnoidea adalah lapisan yang menyerupai jaring laba-laba.
3. Piamater adalah lapisan terdalam yang mengandung banyak
pembuluh darah.
2.1.3.1. Duramater
Duramater terdiri dari 2 lapisan :
1. Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh
periosteum yg membungkus permukaan dalam calvaria;
2. Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa
berlanjut terus di foramen magnum dengan duramater spinalis
yg membungkus medulla spinalis.
Lipatan pada duramater :
1. Falx cerebri merupakan sekat pemisah cerebrum kanan dan kiri
berbentuk bulan sabit, dengan batas atas pinggir atas sinus
sagitalis superior, dan batas bawah sinus sagitalis inferior;
2. Tentorium cerebelli merupakan sekat pemisah antara
cerebrum & cerebellum berbentuk seperti atap kemah;
3. Falx cerebelli adalah suatu sekat pemisah antara cerebellum
kiri dan kanan;
4. Diaphragma sellae merupakan pembungkus yg menutupi sella
turcica.
Antara duramater dan tulang tengkorak terdapat cabang
arteri meningea media yg yg terletak di sulcus arteriosus.

8
2.1.3.2. Arachnoid
Terdiri atas 2 lapisan, yaitu lapisan parietal dan lapisan visceral.
Terkadang menonjol butiran halus menembus duramater yg berhubungan
dengan sinus duramatris disebut villus arachnoid. Jika banyak disebut
Granulationes arachnoidea Facchioni, akibatnya tengkorak juga ikut
berlubang yang disebut Faveollae Granulatio Facchioni.
2.1.1.3. Piamater
Merupakan selaput tipis yg mengandung banyak pembuluh darah
dan melekat erat pada jaringan otak, dapat juga ditemui ruang
subarachnoidnya membesar yang disebut Cisterna.

Gambar 2.1. Anatomi Kepala

2.2. Hematom Epidural

2.2.1. Definisi

EDH merupakan kumpulan darah di antara duramater dan tabula


interna karena trauma. Pada penderita traumatik 85 – 96% hematom
epidural disertai dengan fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan berasal
dari pembuluh darah di dekat lokasi fraktur.2

2.2.2. Lokasi

9
Sebagian besar EDH (70-80%) berlokasi di daerah
temporoparietal. Biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat robeknya
arteri meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH
berlokasi di frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil,
mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi
pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam
pertama.2,11

2.2.3. Diagnosis

2.2.3.1. Klinis

EDH tanpa cedera lain biasanya oleh karena robeknya arteri


meningia media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukan gejala atau
tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah yang sering diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologis yang terpenting adalah
ditemuinya lucid interval, pupil mata anisokor yaitu ipsilateral melebar,
dan hemiparese kontralateral yang dikenal dengan tanda-tanda dari EDH
klasik.1

2.2.3.2. Radiologis

Pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan yang akurat untuk


menentukan EDH. Pemeriksaan CT-Scan dapat menentukan lokasi suatu
EDH, lesi lain, mengukur volume, dan efek desak massa. Kelainan lain
seperti hematom subdural, perdarahan intraserebral, perdarahan
intraventrikel, hidrosefalus, edema serebri, dan tumor yang dapat
mengakibatkan peningkatan TIK juga dapat dilihat dari CT-Scan.
Gambaran EDH pada CT adalah lesi hiperdens berbentuk lentikuler
bikonveks.1,3

10
Gambar 2.2 Gambaran CT Scan EDH di Lobus Frontal Kanan

2.2.4. Akibat Hematom Epidural

2.2.4.1. Terhadap Tekanan Intra Kranial

Pada autopsi pasien cedera kepala berat yang meninggal


didapatkan 80% mengalami iskemia otak. Penyebab iskemia bisa akibat
oklusi vaskuler, hipotensi, dan pengaruh tekanan intrakranial. Tekanan
intrakranial (TIK) adalah tekanan yang timbul karena adanya volume
massa otak, cairan cerebrospinal (LCS), dan darah yang mensuplai otak
dalam suatu ruang intrakranial yang tertutup. Kenaikan TIK ini bisa
disebabkan oleh perdarahan intrakranial (EDH, hematom subdural,
kontusio otak, perdarahan subaraknoid, hematom intraserebral, hematom
intraventrikel), edema otak, tumor otak, dan hidrosefalus yang bisa
diperiksa dengan pemeriksaan CT Scan. TIK dapat diukur dengan satuan
cmH2O atau mmHg, dan memiliki nilai normal kurang dari 20 mmHg pada
orang dewasa dan 5-20 mmHg pada anak-anak.3,12

11
Cedera yang terjadi pada otak dapat merupakan cedera primer yang
diikuti oleh iskemia otak yang merupakan cedera sekunder. Sesuai Doktrin
'Monroe-Kelly', kompartemen intrakranial pada orang dewasa adalah
incompressible sehingga volume intrakranialnya tetap. Hal ini
mengakibatkan suatu keadaan ekuilibrium, di mana bila terjadi kenaikan
tekanan atau volume salah satu komponen (seperti darah, LCS, dan
jaringan otak), akan terjadi kompensasi penurunan volume komponen lain.
Seperti diketahui bahwa parenkim otak merupakan sub komponen terbesar
dengan berat 1100-1200 gram, kemudian vaskuler dengan volume 150 ml
dan LCS yang memiliki volume 150 ml. Parenkim otak bisa menyebabkan
tekanan intrakranial meningkat karena mengalami edema.3,8

Edema serebri dibagi 3 tipe yaitu tipe 1, vasogenik pada kasus


trauma, tumor dan abses, tipe 2, sitotoksik akibat hipoksia yang
mengakibatkan gangguan Na-K ATPase terganggu, tipe 3, interstitial
karena transudasi cairan LCS ke ruang interstitial. Pemeriksaan CT Scan
pada edema serebri didapatkan sulcus dan gyrus yang menghilang. Dengan
adanya komponen darah dan LCS yang meskipun jumlah volume
keduanya hanya sekitar 200-300 ml, namun karena memiliki kemampuan
fluktuasi yang cukup besar dibandingkan parenkim otak, maka peranan
kedua komponen tersebut dalam menjaga tekanan intra kranial sangat
penting.3

12
Compliance adalah ukuran yang dikaitkan kemampuan ruang
intrakranial untuk mengembang dan diterjemahkan sebagai perubahan
volume intracranial (dV) dibagi tekanan intra kranial (dP). Bila tekanan
intra kranial atau volume salah satu komponen bertambah, maka berarti
compliance menurun. Sistem compliance dibagi menjadi 2, yaitu physical
compliance dan physiological compliance. Physical compliance
digambarkan sebagai perluasan dari duramater spinal dan pembesaran
tulang tengkorak. Physiological compliance berhubungan dengan
perubahan serebrovaskuler khususnya resistensi sistem vena. Salah satu
aspek yang berhubungan langsung dengan keluaran yang jelek dan
keadaan yang paling merugikan pada cedera otak atau keadaan lain adalah
kenaikan TIK. TIK tidak boleh lebih dari 40 mmHg pada dewasa, karena
akan menyebabkan ancaman bahaya yang serius.13

Pada penelitian lain, kenaikan TIK lebih dari 35 mmHg berkaitan


dengan kerusakan otak dan mortalitas. Kadangkala TIK antara 25 dan 30
mmHg biasanya fatal bila dibiarkan berkepanjangan, kecuali pada anak, di
mana masih mempunyai toleransi pada peningkatan TIK dalam waktu
yang lama. Peningkatan TIK yang cukup tinggi dan sangat merusak otak
paling sering terjadi pada hematom intrakranial dan edema otak akibat
trauma. Hal ini mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya
penurunan suplai darah ke otak yang akan diikuti oleh iskemia otak.2,3,8

2.2.4.2. Terhadap perfusi otak

Tekanan perfusi otak atau Cerebral Perfusion Pressure (CPP)


minimal pada keadaan normal tidak boleh kurang dari 50 mmHg, ada juga
yang menyebutkan tidak boleh kurang dari 60 mmHg. Pada jaringan otak
yang mengalami trauma, sangat sensitif pada keadaan hipoksia moderat
yaitu CPP <90 mmHg. Seperti diketahui bahwa CPP itu didapatkan dari
tekanan arteri rata-rata (MAP=Mean Arterial Pressure) dikurangi Intra
Cranial Pressure (ICP), CPP = MAP – ICP.9

13
Dalam keadaan perdarahan intrakranial misalnya EDH, bila
diperkirakan ICP naik sampai 35 mmHg, maka untuk mempertahankan
CPP minimal 60 mmHg, diperlukan MAP minimal 60 + 35 = 95mmHg.
Otak memiliki kemampuan mengubah CPP secara autoregulasi. Untuk
menurunkan tekanan, pembuluh darah arteriol akan melebar sedangkan
untuk menaikkan tekanan pembuluh darah akan menyempit. Pada saat
pembuluh darah menyempit akan menghasilkan tekanan perfusi 150
mmHg, sedangkan pada saat melebar akan menghasilkan tekanan perfusi
60 mmHg. Pada saat tekanan perfusi di luar 50-150 mmHg kemampuan
pembuluh darah untuk autoregulasi hilang dan tekanan perfusi otak hanya
dipengaruhi tekanan darah saja, situasi ini disebut pressure-passive flow.3

Faktor lain yang menyebabkan autoregulasi hilang yaitu


kandungan gas darah. PaO2 dan PaCO2 mempengaruhi pelebaran dan
penyempitan pembuluh darah. Peningkatan PaCO2 bisa melebarkan
pembuluh darah 3,5 kali normal, sehingga bisa menurunkan CPP,
sementara PaO2 yang meningkat bisa menyempitkan pembuluh darah
sehingga menaikkan CPP. Secara laboratoris nilai homeostasis analisa gas
darah untuk menjaga perfusi otak adalah PaO2 sekitar 90-100 mmHg dan
PaCO2 30-35 mmHg. Selain CPP faktor lain yang mempengaruhi
oksigenasi jaringan otak adalah tekanan parsial jaringan otak atau PtiO 2
(Brain Tissue Oxygen Perfusion). PtiO2 tidak menunjukkan iskemia bila
PO2 sekitar 100 mmHg, Hematokrit lebih dari 30%, dan suhu tubuh 36° -
38°C.3,5

14
2.2.5. Monitoring iskemia otak

Di Amerika, tiap tahun dari 500.000 kejadian cedera kepala 50.000


meninggal akibat cederanya. Penyebab utamanya adalah adanya iskemia
serebral yang mengikuti cedera kepala beberapa jam setelah trauma, yang
sering disebut sebagai cedera kepala sekunder. Seharusnya cedera kepala
sekunder bisa dicegah apabila reaksi-reaksi metabolik dan hemodinamik
bisa dikenali sejak awal. Selama ini ada 2 macam proses trauma sekunder
yang bisa dimonitor dan diantisipasi yaitu hipertensi intrakranial dan
iskemia serebral. Dalam prakteknya selama ini ICP dan CPP menjadi
standar dalam pengawasan ketat pasien-pasien cedera kepala. Sebagai
tambahan parameter sistemik biasanya diperiksa ECG, heart rate, tekanan
darah, suhu, dan diuresis.4

Pengukuran tekanan intrakranial yang menjadi gold standard


adalah dari C-amino dengan menggunakan sebuah kateter intra ventrikel
dan external tranducer. Akan tetapi prosedur ini selain invasif dan mahal
juga tidak boleh dilakukan bila tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
Monitoring iskemia serebral yang ideal belum ditemukan sampai saat ini.
Monitoring iskemia yang paling sederhana adalah menghitung CPP
dengan mengurangi faktor MAP dengan ICP. Iskemia terjadi bila
CPP < 60 mmHg. Akan tetapi teknik ini juga sangat rumit dan tidak
efisien.3,13

Teknik yang lain adalah laser doppler methode yang secara


komersial sudah tersedia; kelemahan prosedur ini karena terbatas pada
sebagian kecil serebral dan tidak mewakili keadaan seluruh otak.
Transcranial cerebral oxymetri mengukur saturasi oksigen serebral
dihubungkan dengan CPP, dimana nilai lebih dari 75 menunjukkan CPP
yang adekuat sedangkan nilai kurang dari 55 menunjukkan CPP yang tidak
adekuat. Semua pemeriksaan di atas selain mahal, akurasinya juga masih
meragukan, dan juga dapat menimbulkan trauma fisik pada penderita.3,13

15
Saat ini penelitian dengan marker lain yang tidak invasif dan
akurasi tinggi lebih berkembang pada pemeriksaan plasma darah yaitu
pemeriksaan Neuron Spesific Enolase, protein S-100 B, dan GFAP. NSE
ditemukan di sitoplasma neuron, platelet, eritrosit juga tumor melanoma
dan neuroblastoma. NSE ini meningkat selain trauma pada kepala juga
meningkat pada trauma femur, syok hemoragik, ruptur hepar, usus dan
ginjal. Protein S-100 B ditemukan di astrosit, sel Schwan, jaringan
adiposa, kondrosit, dan sel melanoma.15

2.2.6. Prognosis

Prognosis EDH ini sangat baik bila ditangani dengan segera. Suatu
keadaan Lucid Interval ditemukan pada 20-50% pasien dengan EDH. Hal
ini berarti bahwa kondisi otak sebelumnya baik dan bila terjadi EDH
berlanjut akan mengakibatkan peningkatan TIK, penurunan kesadaran,
kerusakan otak menetap sampai herniasi otak. Penelitian prospektif yang
dilakukan Servadei dkk yang dipaparkan pada British Journal of
Anaesthesia, pada 158 pasien EDH dengan GCS 14-15 yang dianalisa
dengan Mancova bahwa koovariat tebal dan midline shift merupakan
faktor yang sangat bermakna dihubungkan dengan timbulnya indikasi
untuk tindakan operasi yaitu penurunan kesadaran atau nyeri kepala yang
menetap, tetapi lokasi dan adanya kelainan lain tidak mencapai nilai yang
signifikan.11,12

Pada kasus tekanan intrakranial yang meningkat yang disebabkan


oleh EDH, besarnya volume sangat mempengaruhi keluaran dari
pasien-pasien EDH setelah dilakukan evakuasi hematom. Dengan volume
hematom 30 ml mempunyai prognosis keluaran yang baik. Dari Brain
Trauma Foundation New York mengeluarkan guideline yang
menggolongkan volume EDH dalam dua kategori yaitu Low Volume
Lession yaitu kurang dari 25 mL, dan High Volume Lession yaitu lebih
dari 50 ml.6,8

16
Pada suatu penelitian oleh Lobato dkk yang dipaparkan didalam
Medscape Journal, pada 54 pasien EDH yang mengalami koma,
didapatkan 67 % subyek penelitian menunjukkan meningkatnya tekanan
intrakranial > 15 mmHg dan sisanya meningkat > 35 mmHg, semuanya
dilakukan operasi evakuasi hematom. Dibandingkan keluaran 6 bulan
sejak trauma, disimpulkan bahwa pasien dengan kenaikan > 35 mmHg
mempunyai korelasi yang kuat terhadap mortalitas.3

Sesuai Doktrin 'Monroe-Kelly', kompartemen intrakranial pada


orang dewasa adalah incompressible sehingga volume intrakranialnya
tetap. Hal ini mengakibatkan suatu keadaan ekuilibrium, di mana bila
terjadi kenaikan tekanan/volume salah satu komponen (seperti darah, LCS,
dan jaringan otak), akan terjadi kompensasi penurunan volume komponen
lain. Seperti diketahui bahwa parenkim otak merupakan sub komponen
terbesar dengan berat 1100-1200 gram, kemudian vaskuler dengan volume
150 ml dan LCS yang memiliki volume 150 ml. Parenkim otak bisa
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat karena mengalami edema.3,15

17
2.3. Keluaran dari EDH

2.3.1. Skala penilaian keluaran

Suatu keluaran dari EDH sangat bergantung dari berat ringannya


cedera yang didapat yang dihubungkan dengan skala penilaian Glasgow
Coma Scale (GCS). GCS digunakan untuk menilai kelainan neurologis
dan dipakai secara umum dalam deskripsi berat atau ringannya suatu
cedera kepala. Beberapa skala lain yang digunakan untuk menilai keluaran
diantaranya adalah:

1. Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT).


GOAT adalah instrument yang dipakai secara serial untuk
menilai durasi amnesia setelah trauma, terdiri dari orientasi
terhadap orang, tempat dan waktu, mengingat kembali keadaan
pada saat dirawat, dan memori pertama setelah trauma dan terakhir
sebelum trauma. Tes ini diberikan setiap hari selama 7 hari
pertama setelah sadar kembali, dan kira-kira 2 sampai 3 kali
perminggu. Yang dinilai adalah orientasi dan tingkat amnesia
pasien. Paced Auditory Serial Addition Test (PASAT), yang dinilai
adalah proses mental secara berulang.

2. Disability Rating Scale, melihat tingkat kecacatan setelah


trauma.

3. Rancho Los Amigos Cognitive Functioning Scale, menilai


tingkat kognitif pasien.

4. Glasgow Outcome Scale (GOS)


Skala tertua yang digunakan untuk mengukur keluaran
setelah trauma kapitis adalah GOS dari Jannet dan Bond yang
terdiri dari good recovey, moderate disability, severe disability,
persistent vegetative state, or death.

18
2.3.2. Berdasarkan volume EDH

Mongard dalam Congress Of Neurosurgery melaporkan hasil


penelitiannya dari 77 kasus EDH dengan 26 kasus yang volume EDH
kurang dari 30 ml, dan 51 kasus memiliki volume EDH lebih dari 30ml.
Pada pasien dengan volume EDH lebih dari 30 ml, 49 diantaranya
dilakukan tindakan operasi, dan memberikan hasil yang memuaskan pada
keluaran pasien. Menerutnya Volume EDH merupakan faktor yang sangat
menentukan prognosis dari pasien. Mulai volume dari 10 ml kemudian
untuk setiap penambahan 5 ml sampai diatas 30 ml, terdapat perbedaan
yang signifikan pada hasil keluaran pada pasien dengan volume EDH
diatas 30 ml.18

2.3.3 Berdasarkan lokasi lesi

EDH terbanyak ditemukan pada regio temporal dan


temporoparietal. Pada regio temporal tulangnya relatif tipis dan arteri
meningea media dekat dengan bagian dalam kranium. Insiden perdarahan
pada region frontal, oksipital, dan region fossa posterior diperkirakan
memiliki frekuensi yang sama. Perdarahan EDH sangat jarang terjadi pada
vertex atau daerah para-sagital. 19

2.3.4. Berdasarkan ukuran pupil

Ukuran pupil yang tidak normal secara signifikan akan


memberikan suatu gambaran suatu hasil keluaran yang tidak
menguntungkan. Namun, suatu penelitian yang dilakukan Bricollo dan
Pasut yang memaparkan bahwa pasien dengan pupil anisokor dan dengan
adanya hemiparesis menunjukan hampir 100% memberikan hasil yang
baik, dan hanya satu pasien yang meninggal dengan pupil midriasis
bilateral.20

19
2.3.5. Berdasarkan midline shift

Derajat pergeseran garis tengah setelah cedera otak traumatis


secara luas diakui sebagai penanda penting dari keparahan cedera.
Korelasi yang signifikan diamati antara temuan CT Scan dari lesi, EDH,
SDH dengan garis tengah bergeser dengan skor GCS. EDH dikaitkan
dengan pergeseran garis tengah (17,39%) dibandingkan tanpa pergeseran
garis tengah (7,69%). 24 (92,3%) dari 26 pasien dengan perdarahan
memar memiliki hasil yang baik, yang sangat mirip dengan analisis oleh
Kunishio di mana 66,7% dari pasien dengan luka memar memiliki hasil
yang baik. Penelitian ini menunjukkan hasil yang serupa dengan sebuah
studi oleh Narayan, yang menunjukkan tingkat pergeseran garis tengah
tidak menambahkan secara signifikan terhadap kemampuan prognostik.
Dari semua pasien dengan pergeseran garis tengah, didapatkan 29 pasien
(30,2%) memiliki skor GCS 12-15 sedangkan 68 pasien (70,8%) memiliki
skor GCS kurang dari 12.18

2.4. Waktu penatalaksaan EDH

Cedera otak sekunder dapat terjadi akibat proses intakranial


(intracranial secondary insult) karena perdarahan intrakranial seperti
EDH, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial. Keterlambatan
tindakan evakuasi EDH akan mengakibatkan edema serebri dan
peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder sehingga akan memperburuk keluaran. Cedera otak sekunder
dapat juga terjadi akibat proses sistemik (systemic secondary insult) seperti
hipotensi, hipoksia, hiperkapnia, hipokapnia, dan gangguan keseimbangan.
Kedua proses tersebut jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan
gangguan metabolisme otak, gangguan transport substrat ke jaringan otak,
dan penurunan aliran darah otak sehingga dapat mengakibatkan iskemik
otak. Berdasarkan teori biomolekular golden periode tindakan terapi
definitif harus dilakukan kurang dari 6 jam setelah kejadian; hal ini
dikarenakan cedera otak sekunder dan iskemik otak dapat terjadi 6 jam
setelah kejadian.9
20
Rentang waktu penurunan keadaan neurologis pada pasien, seperti
ditemukannya keadaan koma, pupil yang abnormal serta kemerosotan
status neurologis jauh lebih penting dan bermakna dibandingkan waktu
antara terjadinya trauma dan tindakan operatif. Pada pasien dengan
keadaan tersebut harus sesegera mungkin dilakukan tindakan operasi
evakuasi EDH, karena setiap jam penundaan tindakan operatif akan
berhubungan dengan penurunan keluaran yang progresif.9

Dalam penelitian Cohen et all yang dipaparkan dalam Congress of


Neurosurgical Surgeons tahun 2006, terhadap 21 pasien dengan EDH dan
GCS dibawah 9 yang dilakukan operasi, 10 dari pasien didapatkan pupil
yang anisokor. 5 dari pasien dengan pupil anisokor lebih dari 70 menit
yang belum dievakuasi EDH meninggal. Pasien dengan pupil yang isokor
dan dilakukan operasi evakuasi EDH kurang dari 70 menit menunjukan
keluaran yang baik.9,13
Pada penelitian, Heselsberger et al yang dipaparkan dalam Internet
Journal of Neurosurgery, meneliti 60 pasien dengan EDH, 34 pasien koma
sebelum dilakukan tindakan operatif. Mereka menemukan bahwa pada
pasien yang ditangani dalam waktu 2 jam setelah mengalami penurunan
kesadaran didapatkan angka mortalitas 17% dan 67% menunjukan
keluaran yang baik, dibandingkan dengan pasien yang dilakukan operasi
evakuasi pada waktu lebih dari 2 jam tersebut, didapatkan angka mortalitas
56% dan hanya 13% yang menunjukkan keluaran yang baik.9,14

21
2.5. GCS
GCS merupakan suatu deskripsi dari fungsi sistem saraf pusat.
Terdiri dari tiga komponen yaitu membuka mata untuk menilai batang
otak, respon motorik untuk menilai fungsi dari sistem saraf pusat, dan
respon verbal untuk menilai integrasi dari sistem saraf pusat.15

Spontaneous (open with blinking at


4 points
baseline)
Eye Opens to verbal command, speech, or
Opening 3 points
shout
Response
Opens to pain, not applied to face 2 points
None 1 point
Oriented 5 points
Confused conversation, but able to
4 points
answer questions
Verbal
Inappropriate responses, words
Response 3 points
discernible
Incomprehensible speech 2 points
None 1 point
Obeys commands for movement 6 points
Purposeful movement to painful
5 points
stimulus
Withdraws from pain 4 points
Motor
Response Abnormal (spastic) flexion, decorticate
3 points
posture
Extensor (rigid) response, decerebrate
2 points
posture
None 1 point

Tabel 2.1. Penilaian GCS

2.6. Komplikasi

22
Komplikasi dari suatu EDH sering terjadi karena adanya tekanan
intraserebral yang mengkibatkan terjadinya pergeseran midline shift yang
signifikan. Ketika terjadinya herniasi, arteri serebral anterior dan posterior
tidak berfungsi dengan baik sehingga menyebabkan infark sereberal. Jika
herniasi terjadinya hingga ke bawah batang otak, akan mengakibatkan
perdarahan dura dalam batang otak, terutama pada pons. Jika terjadi
herniasi transtentorial dapat mengakibatkan lesi ipsilateral dari saraf
kranial III, yang manifestasinya berupa ptosis, dilatasi pupil, dan
ketidakmampuan untuk menggerakan mata ke arah medial, atas dan ke
arah bawah.3
Postoperative Central Nervous System Infection (PCNSI)
merupakan salah satu masalah serius dalam suatu prosedur neurosurgery
yang harus mendapat perhatian khusus secara segera. PCNSI yang sering
ditemukan diantaranya meningitis, empiema subdural dan abses otak.
Penelitian McClelland dan Hall AW dari 1587 kasus operasi cranial, 14
kasus (0.8%) didapatkan PCNSI, dengan 0.3% meningitis serta 0.2% abses
otak.17

2.7. Kerangka Pemikiran

23
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian
yang diakibatkan kecelakaan. Akibat dari trauma kepala yang terbanyak
adalah EDH yang berupa akumulasi atau penumpukan darah yang berada
diantara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan membran duramater,
biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap pembuluh darah yang
terletak di luar duramater.1,3

Rekomendasi Congress Of Neurosurgical, penatalaksanaan operatif


untuk evakuasi EDH harus dilakukan sedini mungkin, terutama pada
pasien EDH akut dan dalam stasus koma atau GCS kurang dari 9. Menurut
Pedoman Pengelolaan Trauma Cedera Otak, EDH dengan volume yang
lebih besar dari 30 ml harus di eavakuasi dengan menjalani prosedur
bedah serta lokasi dari EDH yang juga merupakan faktor penting dalam
pengambilan keputusan bedah. Hematom di temporal yang luas dapat
menyebabkan herniasi dan kerusakan yang lebih cepat. EDH di fossa
posterior, sering berhubungan dengan gangguan sinus vena lateral.2,8

EDH merupakan kumpulan darah di antara duramater dan tabula


interna karena trauma. Perdarahan berasal dari pembuluh darah di dekat
lokasi fraktur.2 Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah
yang sering diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologis yang
terpenting adalah ditemuinya lucid interval, pupil mata anisokor yaitu
ipsilateral melebar, dan hemiparese kontralateral yang dikenal dengan
tanda-tanda dari EDH klasik.1

Pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan yang akurat untuk


menentukan EDH. CT-Scan dapat menentukan lokasi suatu EDH, lesi lain,
mengukur volume, dan efek desak massa. Gambaran EDH pada CT adalah
lesi hiperdens berbentuk lentikuler bikonveks.1,3

24
Prognosis EDH ini sangat baik bila ditangani dengan segera. Suatu
keluaran dari EDH sangat bergantung dari berat ringannya cedera yang
didapat yang dihubungkan dengan skala penilaian Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan suatu deskripsi dari fungsi sistem saraf
pusat.digunakan untuk menilai kelainan neurologis dan dipakai secara
umum dalam deskripsi berat atau ringannya suatu cedera kepala. Keluaran
EDH juga dipengaruhi volume, lokasi, pergeseran midline shift dan ukuran
pupil sebelum dilakukan operasi. 15

Komplikasi dari EDH terjadinya pergeseran midline shift


menyebabkan terjadinya herniasi sehingga bisa menyebabkan infark
sereberal. Jika terjadi herniasi transtentorial dapat mengakibatkan lesi
ipsilateral dari saraf kranial III, yang manifestasinya berupa ptosis, dilatasi
pupil, dan ketidakmampuan untuk menggerakan mata ke arah medial, atas
dan ke arah bawah.17

25
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang
dilakukan terhadap sejumlah subyek menurut keadaan sebenarnya, tanpa
ada intervensi dari peneliti. Rancangan penelitian ini adalah rancangan pre
dan post kontrol.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUZA Banda Aceh. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan bulan Oktober 2014.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi penelitian
Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang berada pada
wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Populasi penelitian ini adalah
seluruh pasien yang didiagnosis cedera kepala di RSUZA Banda Aceh.
3.3.2. Sampel penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling.
Sampel pada penelitian ini adalah penderita yang didiagnosis EDH yang
dioperasi di RSUZA Banda Aceh.

26
Rumus besar sampel:

N= Z2xP(1-P) x n
Z2xP(1-P)+(n-1) x d2

Keterangan:
N : jumlah sampel
n : jumlah populasi
P : (1-P) proporsi pasien EDH (0,1)
Z value : 1,96
d : deviasi maksimum (0,10)

N = 1,962 x 0,1 x 0,9 x 189


(1,962 x 0,1 x 0,9) + (189-1) x (0,1)2
N = 63,35
1,89
= 33,52
= 34.

3.3.3. Kriteria inklusi


Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah (1) Penderita cedera
kepala dengan lesi intrakranial berupa EDH yang dibuktikan dengan CT
Scan, (2). Penderita cedera kepala dengan EDH usia produktif berdasarkan
kriteria usia dari WHO (19-56 tahun), (3) Penderita cedera kepala dengan
EDH yang tidak mengalami multitrauma.

3.3.4. Kriteria eksklusi


Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah (1) Penderita
cedera kepala dengan EDH yang disertai lesi intrakranial yang lain
(ICH,SDH,IVH), (2) Penderita EDH yang masih terintubasi 24 jam pasca
operasi, (3) Penderita cedera kepala dengan EDH yang telah mendapatkan
tindakan operatif terhadap EDH yang dialaminya (burrhole explorasi).

27
3.4. Variabel penelitian dan definisi operasional
Variabel dan definisi operasional variabel pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. EDH adalah suatu kumpulan darah di antara duramater dan
tabula interna, yang dapat berasal dari pembuluh darah-
pembuluh darah di dekat lokasi fraktur yang diukur dalam
satuan milliliter kubik (ml3)
2. GCS adalah Suatu skala untuk menilai sistem saraf pusat secara
semi kuantitatif dari tingkat kesadaran berdasarkan keadaan
buka mata, respon verbal, dan motorik yang dinilai dalam
interval 3-15.
3. Indikasi operasi adalah pasien cedera kepala dengan EDH
memenuhi syarat-syarat untuk dilakukan atau tidaknya suatu
tindakan operasi (secara klinis dan radiologis).
4. Midline shift adalah suatu garis interventrikel (septum
velocidum) dari garis khayal antara krista gali ke protuberensia
occipital inferior yang diukur bergeser atau tidaknya dari
khayal tersebut yang diukur dalam skala milimiter (mm).
5. Pupil Isokor adalah ukuran pupil yang diukur dengan skala
milimeter (mm).
6. Usia produktif adalah usia atau umur yang merupakan saat
seseorang mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu secara
optimal. Rentang usia produktif ditentukan berdasarkan kriteria
usia produktif dari WHO yaitu 19 – 56 tahun diukur dalam
skala tahun.
7. Multitrauma adalah Trauma yang terjadi pada seseorang yang
lebih dari satu jenis trauma (adanya beberapa trauma pada
seorang pasien).
8. Pasca operasi adalah keadaan pasien setelah dioperasi yang
ukur dengan skala tingkat kesadaran (GCS).

28
Independent Dependent

GCS awal

Lokasi EDH

GCS pasca operasi

Volume EDH

Waktu operasi

Tabel 3.1 Kerangka konsep Penelitian

3.5. Alat Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana
tercantum dalam Tabel 3.2.
No. Alat
1. Craniotomi Set II
2. CT Scan Machine
3. Senter
4. Bolpen
5. Mistar / penggaris

Tabel 3.2. Alat dan bahan penelitian

29
3.6. Tehnik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu usaha untuk memperoleh
data dengan metode yang ditentukan oleh peneliti. Pengumpulan data pada
penelitian ini dilakukan di RSUZA Banda Aceh pada setiap pasien yang
telah didiagnosis secara klinis dan radiologis suatu EDH. Data dimasukkan
kedalam form penelitian yang berisikan hal-hal yang akan menentukan
pasien masuk kedalam kriteria inklusi atau ekslusi. (form terlampir).
Pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dilakukan inform concern untuk
menjadi sampel pada penelitian. Penilaian akan dilakukan secara langsung
oleh peneliti dalam waktu 24 jam setelah operasi dengan menilai kriteria
yang telah ditentukan.

3.7. Prosedur Penelitian


Adapun prosedur penelitian ini yaitu (1) peyusunan proposal
penelitian dan konsultasi proposal penelitian dengan dosen pembimbing,
(2) mengurus perizinan survei data awal di RSUZA Banda Aceh, (3)
melakukan survei data awal di RSUZA Banda Aceh, (4) melengkapi
proposal penelitian dan konsultasi proposal penelitian dengan dosen
pembimbing, (5) seminar proposal penelitian, (6) mengurus perizinan
penelitian di RSUZA Banda Aceh serta mengurus surat persetujuan
penelitian, (7) melakukan pencatatan data di RSUZA Banda Aceh, (8)
melakukan penilaian factor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran
pasca operasi EDH (9) melengkapi data sesuai dengan variabel penelitian,
(10) penyusunan laporan penelitian dan konsultasi laporan penelitian
dengan dosen pembimbing, dan (11) ujian sidang laporan penelitian.

30
3.8. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis univariat
Data pasien cedera kepala di RSUZA Banda Aceh dianalisis
menggunakan analisis univariat.
2. Analisis bivariat
Data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kesadaran 24 jam pasca operasi EDH akan diuji normalitas dan
uji homogenitas, kemudian dianalisis menggunakan analisis
multivariat. Analisis multivariat yang digunakan untuk menilai
variabel ini adalah ANOVA dengan menggunakan software
SPSS. Kemudian akan dilakukan Tukey post hoc test untuk
menganalisis kelompok hasil yang lebih signifikan. Data
dianggap signifikan jika nilai p < 0,05.

31
3.9. Alur Penelitian

Sampel Penelitian
(Pasien EDH)

Dilakukan penilaian GCS awal dan


pupil

Dilakukan pemeriksaan CT-Scan dan penilaian


volume, midline shift, dan lokasi EDH

Operasi

Dilakukan Dilakukan Dilakukan penilaian Dilakukan Dilakukan Dilakukan


penilaian GCS 24 penilaian GCS 24 GCS 24 jam pasca penilaian GCS penilaian GCS penilaian GCS
jam pasca opearasi jam pasca opearasi opearasi 24 jam pasca 24 jam pasca 24 jam pasca
berdasarkan waktu dibandingkan GCS berdasarkan ukuran opearasi operasi opearasi
operasi awal pupil berdasarkan berdasarkan berdasarkan
midline shift lokasi lesi volume EDH

Hasil dan Analisis Hasil dan Analisis Hasil dan Analisis Hasil dan Analisis Hasil dan Analisis Hasil dan Analisis
data data data data data data

Dilakukan pengujian dan analisis


data menetukan hasil yang lebih
siginifikan

Gambar 3.2. Alur Penelitian

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC et al. Trauma. Scwart’z Principles Of Surgery. Eight


Edition. McGraw Hill Companies. 2007.
2. Sriyanto. Hubungan Antara Peningkatan Volume EDH (EDH) Dengan
Peningkatan Kadar Glial Fibrilary Acidic Protein (GFAP) Plasma (The
Correlation Between Epidural Hematoma (EDH) Volume And GFAP’s
Plasma Consentration). Semarang. 2007.
3. Ullman JS. Epidural Hemorrhage Treatment & Management. Medscape.
2012.
4. Daniel DD. Epidural Hematom In Emergency Medicine. Medscape. 2012.
5. Cheung PS, Lam JM, Yeung JH, Graham CA, Rainer TH. Outcome of
traumatic extradural haematoma in Hong Kong. 2012
6. Mezue WC, Ndubuisi A, Chikani MC, Achebe DS, Ohaegbulam SC.
Traumatic Extraural Hematoma In Enugu, Nigeria. Nigerian Journal Of
Surgery. 2012;18:80-4.
7. Roka YB. Post Traumatic Epidural Hematoma: Keluaran Analysis in 68
Consecutive Unselected Cases. Nepal Journal Of Neuroscience. 2010;1:6-
9.
8. Istiadjid M, Rahayu M, Balafif F. Hubungan Respond Time Trepanasi
EDH Pada Cedera Kepala Berat Dengan Outcome. 2011.
9. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl L. Surgical
Management Of Acute Epidural Hematoms. Congress Of Neurogical
Surgeons. 2006. DOI:10.1227/01.NEU.0000210363.91172.AB
10. Mayer SA, Rowland LP. Head Injury. Trauma. Merritt’s Neurology.
USA;2000. 63:68.
11. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Oxford Textbook Of Surgery. 2 nd
Edition. 2000;44.2
12. Standrin S, Crossman AR, Collins P. Neuroanatomy. GRAY’S Anatomy
The Anatomical Basis of Clinical Practice. Thirty-Ninth Edition. Spain
Elseiver Inc. 2008:2:224-306
13. Chesnut RM, Ghajar J, Maas AIR, Marion DW, Servadei F, Teadale GM
et all. Early Indcators of Prognosis In Severe Traumatic Brain Injury.
2010; 157-207.
14. Wani A, Ramzan A, Kirmani A, Sherwani A, Malik N, Bhatt A et all.
Functional Outcome Following Severe Head Injury In Decerebrating
Patiens. Internet Journal Of Neurosurgey. 2013.
15. Moppet IK. Traumatic Brain Injury : Assessment, resuscitation and early
management. British Journal Of Anaesthesia. 2007;99(1):18-31.
doi: 10.1093/bja/aem128.

33
16. Taussky P, Widmer HR, Takala F, Fandino J. Outcome After Acute
Traumatic Subdural And Epidural Haematoma In Switzerland: A Single-
Centre Experience. Swiss Medical Weekly. 2008;138(19-20):281-85.
17. Hoyt DB, Coimbra R, Potenza BM. Trauma Systems, Triage and
Transport. Trauma. Sixth Edition. McGraw Hill Companies.2008. 4: 64.
18. Chen H, Guo Y, Chen SW, Wang G, Cao HL, Chen J et all. Progressive
Epidural Hematoma In Patients With Head Trauma: Incidence, Outcome
and Risk Factors. Emergency Medicine International. 2010;1-8. DOI:
10.1155/2012/134905.
19. McClelland S, Hall WA. Postoperative Central Nervous System Infection:
Incidence and Associated Factors in 2011 Neurosurgical Procedures.
Infection Diseases Society of America. 2007;45:55-9. DOI:
10.1086/518580.
20. Marion DW. Head Injury. The Trauma Manual 2nd Edition. 2000;19:27.

34
Lampiran 1. Form penelitian
I. Identitas Pasien
Nama :
Umur :
Alamat :
Jenis Kelamin :
No Rekam Medis :
Waktu Pengambilan Data :

II. Data Medis Pasien Awal Masuk UGD

No Kategori Penilaian Normal Abnormal

1. GCS

2. Pupil Isokor Anisokor

3. Midline Shift Normal Bergeser lebih dari


5mm

4. Waktu Penanganan Post Golden period Diluar golden period


Trauma

5. Lesi Intrakranial EDH tunggal EDH dengan lesi


inrakranial lain

6. Trauma Tunggal Multiple trauma

III. Penilaian keluaran


A. 24 jam setelah operasi kraniotomi evakuasi EDH

No Kategori Penilaian Nilai GCS (3 – 15)

1. GCS

35

Anda mungkin juga menyukai