Anda di halaman 1dari 15

PEMBERIAN INTERVENSI SUPPORT GROUP DALAM MENURUNKAN

KECEMASAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD DR,


ADHYATMA, MPH TUGUREJO SEMARANG
Rani1, Eni Hidayati2
1
Mahasiswa Program Studi Profesi Ners, Universitas Muhammadiyah Semarang
2
Dosen Program Studi Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Semarang
Email : ners@unimus.ac.id

Abstrak
Penyakit gagal ginjal Kronik setiap tahun mengalami peningkatan yang cukup
tinggi dan penderita harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah atau
Hemodialisa. Proses Hemodialisa menimbulkan efek psikologis seperti kecemasan.
Oleh karena itu, Pasien yang menjalani hemodialisa memerlukan dukungan. Adapun
dukungan yang diberikan salah satunya adalah dukungan (support group). Tujuan:
mengetahui pengaruh terapi Support Group dalam menurunkan Tingkat Kecemasan
Pasien Hemodialisa. Metode: Deskriptif dengan pendekatan studi kasus proses asuhan
keperawatan. Studi kasus ini meliputi Pengkajian, Diagnosa keperawatan, Rencana
atau Intervensi keperawatan, Implementasi serta Evaluasi. Subjek terdiri dari 2 orang
yang memenuhi kriteria pasien yang melakukan hemodialisa kurang dari tiga bulan.
Alat ukur HADS (Hospital Anxiety and Depression Scale). Pengukuran dilakukan
dengan cara pre-post test. Hasil Studi menunjukkan nilai tingkat kecemasan sebelum
dilakukan pemberian terapi Support Group kedua pasien mengalami
Kecemasan/Depresi Berat Pasien satu dengan skor 18 dan pasien dua skor 12.
Sedangkan nilai setelah dilakukan pemberian terapi Support Group Pasien satu
dengan skor 10 dan Pasien dua skor 8 dengan kategori Kecemasan Ringan. Artinya
terjadi penurunan tingkat kecemasan pada kedua pasien yang menjalani hemodialisa
setelah diberikan intervensi support group. Maka dapat disimpulkan Ada pengaruh
pemberian terapi Support Group terhadap tingkat kecemasan pasien.

Kata Kunci : Ansietas, Hemodialisa, Support Group


PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronik merupakan kelainan ginjal yang bersifat reversibel dengan
kelainan struktur maupun fungsi ginjal itu sendiri, yang membuat tubuh tidak dapat lagi
menjaga metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan
terjadinya uremia. Kegagalan dari fungsi ginjal berupa penurunan sekresi dan ekskresi
sehingga terjadinya penumpukan toksik dalam tubuh yang kemudian berlangsung
mengakibatkan sindroma uremia. Keadaan ini kemudian dapat mengganggu sistem
organ tubuh lain seperti kardiovaskular, sistem neurologis, sistem gastrointestinal serta
sistem tubuh lainnya (Prajayanti & Sari, 2020).
Berdasarkan data WHO (2013), jumlah pasien gagal ginjal kronis dengan
intervensi Hemodialisa diperkirakan lebih dari 1,4 juta orang dan berkembang sekitar
8% pertahun (Ipo, 2016). Angka morbiditas gala ginjal kronik seluruh dunia sekitar 500
juta orang dan harus diitervensi hemodialisa sekitar 1,5 juta orang (Yuliana, 2015). Di
Indonesia penderita gagal ginjal dengan intervensi hemodialisa bertambah pada tahun
2011 sebesar 32.612 kasus, tahun 2015 naik sebesar 51.604. Tahun 2018 berjumlah
sebanyak 198.575 dengan 66433 pasien baru dan 132142 pasien aktif menjalani HD. Di
Jawa Barat penderita gagal ginjal jumlahnya mencapai 48.599 dengan 14771 pasien
baru dan 33828 pasien aktif (IRR, 2018). Pravalensi penyakit ginjal di indonesia 3,8%,
dengan prevalensi terendah 1.8% dan Prevalensi tertinggi 6.4%. Di Jawa Barat
prevalensi 5.5%. (Riskesdas, 2018). Data ini menunjukkan bahwa kasus Gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa setiap tahun mengalami peningkatan yang cukup
tinggi dan penderita harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah atau
Hemodialisa.
Hemodialisa merupakan suatu bentuk terapi pengganti pada pasien
dengankegagalan fungsi ginjal baik yang bersifat akut maupun kronik dengan
bantuan mesin hemodialisa yang mengambil alih fungsi ginjal. Pasien gagal ginjal
yang menjalani terapi hemodialisa membutuhkan waktu 12-15 jam untuk
hemodialisa setiap minggunya atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi
(Smeltzer & Bare, 2002). Selama menjalani terapi hemodialisa terjadi berbagai
perubahan respon tubuh baik fisiologis maupun psikologis. Pada umumnya, proses
hemodialisa di Rumah Sakit dapat menimbulkan stress fisiologis fisik yang
mengganggu system neurologi seperti kelemahan, (fatigue), penurunan kosentrasi,
tremor, kelemahan pada lengan, nyeri pada telapak kaki dan perubahan tingkah
laku sedangkan psikologis akan mengalami kecemasan (Smeltzer & Bare, 2008,
Dalam Musniati, 2017).
Kecemasan yang sering dijumpai pada pasien hemodialisa. 57,30% dari pasien
End Stage Renal Disease (ESRD) mengalami depresi. Dari 39,2% pasien dialisis
terdapat pasien yang mengalami depresi ringan, 24,49% mengalami depresi sedang dan
13,72% memiliki depresi berat dan 42,69% yang mengalami gangguan kecemasan dari
47,36% pasien yang mengalami kecemasan ringan, 28,94% mengalami kecemasan
sedang dan 23,68% mengalami kecemasan yang parah (Tavir,2013)
Kecemasan yang dialami pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa dapat disebabkan oleh berbagai stressor, diantaranya pengalaman nyeri
pada daerah penusukan fistula pada saat memulai hemodialisa, ketergantungan pada
orang lain, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, finansial, ancaman
kematian perubahan konsep diri, perubahan peran serta perubahan interaksisosial
(Finnegan, Jennifer & Veronica, 2013). Pada pasien gagal ginjal kronis yang sudah
sering melakukan hemodialisa tingkat kecemasannya lebih ringan, berbeda dengan
pasien gagal ginjal yang baru pertama kali melakukan hemodialisa akan mengalami
kecemasan yang lebih tinggi (Kandpu, 2015)
Selain itu, kecemasan pada pasien hemodialisis dapat terjadi akibat terapi yang
berlangsung seumur hidup dan pasien membutuhkan ketergantungan pada mesin yang
pelaksanaanya rumit dan membutuhkan waktu yang lama serta memerlukan biaya yang
relatif besar (Amalia & Apriliani, 2021). Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang
efektif dan efisien yang mudah untuk dilakukan dalam mengurangi kecemasan,
sehingga pasien mampu beradaptasi terhadap stressor yang ada. Dukungan yang
diperlukan pasien yang memiliki penyakit terminal maupun sedang menjalani
hemodialisa dukungan orang tua, teman- teman, kerabat dan keluarga bahkan orang-
orang memiliki permasalah yang sama bisa memberikan dukungan (support grup)
(Perangin-angin & Silaban, 2020).
Support group merupakan suatu dukungan kelompok yang memiliki masalah
yang sama agar dapat membantu mengenal stressor, mengetahui sumber koping dan
membentuk mekanisme koping dalam mengatasi masalah dengan cara sharing
informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan
sekaligus proses saling belajar dan menguatkan satu sama yang lain (Prajayanti & Sari,
2020). Oleh karena itu, tujuan dari intervensi Support Group adalah untuk menurunkan
tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa.
METODE
Metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Berfokus pada suatu
kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat sampai tuntas dengan
menerapkan asuhan keperawatan yang dimulai dari pengkajian, diagnosa,
intervensi, implementasi dan evaluasi (Saputra et al., 2020). Penerapan ini
dilakukan pada bulan Januari 2023 di RSUD Tugurejo Semarang. Subjek pada
studi kasus ini adalah dua orang laki-laki dengan diagnosa medis Gagal Ginjal
Kronik yang sedang melakukan Hemodialisa. Kriteria inklusi yaitu bersedia
menjadi subjek penerapan, menjalani hemodialisa kurang dari 3 Bulan, berusia
lebih dari 20 Tahun.
Instrumen yang digunakan dalam penerapan antara lain alat tulis, lembar
observasi Hospital Anxiety and Depression Scale dengan (HADS), dengan
mengukur tingkat Kecemasan subjek 1 dan 2 dengan menggunakan skala HADS
skor skala 0-7 : Normal, skor skala 8-10: Kecemasan/Depresi sedang, skor skala
11-21 : Kecemasan/Depresi Berat (Friedman, dkk 2008). Pengukuran skala
tingkat kecemasan ini dilakukan secara pre-post test .
Prosedur Pelaksanaan EBN sesuai dengan artikel penelitian yang
dilakukan dimaulai dengan membentuk kelompok antara 5-8 anggota, membuat
kontrak dengan anggota kelompok, menyiapkan instrument untuk menggukur
tingkat, kecemasan pasien hemodialisa menggunakan Hospital Anxiety and
Depression Scale (HADS), mempersiapan kursi dan Alat Tulis. Terapi ini
diberikan sebanyak 2 kali dalam 1 minggu yaitu pada hari Selasa dan Jumat,
terdiri dari dua sesi. Setiap sesinya memiliki tema sendiri-sendiri. Sesi pertama
melakukan perkenalan dengan anggota kelompok, menceritakan pengalaman
selama melakukan hemodialisa, mengkaji pengalaman pasien tentang
kecemasan/stress saat melakukan hemodialisa. Sesi kedua yaitu mengkaji sumber
pendukung yang terdapat di dalam diri pasien. Mengkaji sumber pendukung yang
terdapat diluar pasien. Kedua sesi ini menekankan pada sikap saling terbuka,
kenyamanan sehingga pasien menjadi lebih satau atau rileks, serta memberi
dukung satu dengan lain (Rahmawati, Muharyani & Tarigan 2019).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 02 Januari 2023 didapatkan
data, pasien 1 berusia 65 tahun jenis kelamin laki-laki, menderita penyakit Gagal
ginjal kronik sudah 3 bulan dan sedang menjalani Hemodialisa 23 kali. Pasien
merasa takut dan cemas dengan kondisinya saat ini. Kesadaran pasien : compos
mentis, pasien tampak tegang, pasien tampak gelisah, suara pasien bergetar saat
berbicara, muka pasien tampak pucat, kontak mata kurang, tanda-tanda vital,
tekanan darah: 197/125 mmHg, N: 101 x/menit, RR: 21x/menit. Pasien memiliki
riwayat penyakit hipertensi dan jantung. Didapatkan perhitungan skor skala
HADS (Hospital Anxiety and Depression Scale) pada pasien sebelum diberikan
intervensi keperawatan Reduksi Ansietas dan Support Group yaitu skala ansietas
18 (Kecemasan/Depresi Berat).
Pasien 2 berusia 59 tahun jenis kelamin laki-laki, menderita penyakit Gagal
ginjal kronik sudah 1 bulan dan sedang menjalani Hemodialisa 4 kali. Pasien
merasa takut dan cemas dengan kondisinya saat ini. Kesadaran pasien : compos
mentis, pasien tampak tegang, Pasien tampak gelisah, konsentrasi kurang, kontak
mata kurang, tanda-tanda vital, tekanan darah: 173/115 mmHg, N: 97 x/menit,
RR: 20x/menit. pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi. Didapatkan
perhitungan skala HADS (Hospital Anxiety and Depression Scale) pada pasien
sebelum diberikan intervensi keperawatan reduksi ansietas dan support group
yaitu skala ansietas 18 (Kecemasan/Depresi Berat).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada kedua pasien adalah ansietas
berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan pasien mengeluh takut dan
cemas dengan kondisinya, wajah tampak tegang, gelisah, merasa khawatir dengan
kondisinya, nadi diatas batas normal, tekanan darah meningkat (D.0080) (PPNI,
2016). Intervensi keperawatan yang diberikan Reduksi Ansietas dengan
intervensi pendukung Support Group. Tahapan pemberian antara lain Identifikasi
Tingkat Ansietas, Monitor tanda Ansietas, Identifikasi kelompok memiliki
masalah yang sama, Identifikasi masalah yang sebenarnya dialami kelompok,
Identifikasi hambatan menghadiri sesi kelompok (Misalnya, Cemas, stigma &
tidak aman) berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri seperti
: Dukungan Emosi, Terapi relaksasi, teraoi hypnosis, terapi music, Teknik
imajinasi terbimbing, teknik menenagkan, terapi kelompok dan lain-lain (SIKI
PPNI, 2018).
Implementasi dilakukan sebanyak 2 kali dalam 1 minggu dengan durasi
pemberian 20-30 menit, setelah itu tingkat kecemasan kedua pasien diukur
dengan menggunakan pengkajian skala Hospital Anxiety and Depression Scale
(HADS). Setelah diukur dan diberikan pemberian terapi Support Group untuk
mengurangi Kecemasan.
Hasil evaluasi dari penerapan terapi yang diberikan menunjukkan adanya
perubahan penurunan tingkat kecemasan pasien rata – rata sebelum dan sesudah
diberikan intervensi keperawatan terapi support group, pada kedua pasien
didapatkan data post-test skor skala tingkat kecemasan pasien sebagai berikut :
Pengaruh pemberian terapi Support Group terhadap tingkat kecemasan
pasien Hemodialisa.

Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa


20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Pasien 1 Pasien 2

Pre Post

Gambar 1
Evaluasi Gambar 1 Distribusi Data Perbandingan skor Tingkat Kecemasan Pre
dan Post intervensi terapi support group pada kedua pasien

Berdasarkan Data diatas dengan menggunakan skala Hospital Anxiety and


Depression Scale (HADS) pada kedua pasien yang menjalani Hemodialisa
didapatkan nilai tingkat kecemasan sebelum dilakukan pemberian terapi Support
Group kedua pasien mengalami Kecemasan/Depresi Berat Pasien satu dengan
skor 18 dan pasien dua skor 12. Sedangkan nilai setelah dilakukan pemberian
terapi Support Group Pasien satu dengan skor 10 dan Pasien dua skor 8 dengan
kategori Kecemasan Ringan. Artinya ada perbedaan tingkat kecemasan pada
kedua pasien sebelum pemberian Support Group dan sesudah terapi. Maka dapat
disimpulkan Ada Pengaruh Pemberian terapi Support Group Terhadap tingkat
kecemasan pasien.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil studi kasus yang didapatkan pada kedua pasien yang
menjalani hemodialisa kurang dari 3 Bulan di Rumah sakit Tugurejo Semarang,
diketahui tingkat kecemasan pasien sebelum diberikan intervensi support Group
adalah kecemasan berat yaitu Tn.S dengan skor sebesar 18 dan Tn.P sebesar 12.
Menurut Siti, Yustina & Dedy, (2021) pasien yang menjalani hemodialisa di
RSUD Dr. Pirngadi Medan mengalami kecemasan dalam kategori Berat sebesar
(40.7%). Selanjutnya di RS PKU Boyolali tingkat kecemasan pasien hemodialisa
sebesar (30,2%) dalam kategori Berat (Ary, Dian & Arif, 2020). Data ini
menunjukan bahwa tingginya angka kecemasan pasien yang menjalani
hemodialisa yaitu rata-rata pasien banyak mengalami kecemasan berat hal itu
disebabkan karena pasien belum bias menerima kenyataan bahwa terapi
hemodialisa yang dilakukan akan dijalani seumur hidup, selain itu pasien juga
takut dengan proses hemodialisa, sehingga ini yang membuat pasien cemas dan
memikirkan penyakitnya yang tak kunjung bisa disembuhkan.
Kecemasan merupakan hal yang biasa sering terjadi dalam kehidupan
manusia terutama pada pasien yang memiliki penyakit kronis. Hal ini
menyebabkan pasien menjadi tertekan dan mengalami masalah psikologis.
Masalah psikologi yang muncul adalah kekhawatiran yang tidak jelas, perasaan
yang tidak pasti, cemas, depresi, marah bahkan merasa tidak berdaya. Keadaan
tersebut membuat pasien selalu terbayang-bayang kecemasan dan menganggap
rasa cemas itu sebagai suatu ketegangan mental (Damanik,2020). Kecemasan
berkaitan dengan stress psikologis maupun fisiologi, yang berarti cemas terjadi
saat seseorang merasa terancam secara fisik ataupun psikologis. Secara fisik
pasien tampak terlihat gugup, gelisah, sulit berkonsentrasi, tidak bisa beristirahat
dengan tenang (Hawari, 2011)
Pasien yang baru melakukan hemodialisa rata-rata mengalami tingkat
kecemasan berat, hal itu disebabkan karena pada awal-awal periode menjalani
hemodialisa pasien merasa putus asa, tidak berdaya, tidak dapat sembuh serta
belum bisa menerima kondisi yang dialami saat ini. Kemudian pada pasien yang
sudah lama melakukan hemodialisa cenderung memiliki tingkat kecemasan yang
lebih ringan, semua itu dikarenakan lamanya waktu pasien menjalani hemodialisa
maka pasien akan lebih adaptif dengan alat yang digunakan saat hemodialisa
maupun unit Hemodialisa itu sendiri (Musa, dkk 2015).
Data fokus yang ditemukan pada kedua pasien diantaranya: Pasien
mengalami Cemas dan Takut dengan kondisinya. Pada saat dikaji ke dua pasien
tampak tegang, Pasien tampak gelisah, kontak mata kurang, sulit berkonsentrasi,
tekanan darah meningkat, wajah tampak pucat. Hasil studi ini sejalan dengan
(Rikayoni, 2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang mengalami
kecemasan berat memiliki gejala seperti: muka merah, wajah tampak pucat
denyut jantung cepat, tekanan darah meningkat, lemas, sulit berkonsentrasi, sesak
nafas. Selain itu (Damik, 2020) juga menyatakan dalam penelitiannya pasien
yang cemas akan mengalami gejala secara fisik terlihat gugup, gelisah, tidak
tenang dan sulit beristirahat.
Rencana tindakan keperawatan yang diberikan pada kedua pasien
berdasarkan diagnosa keperawatan yaitu Reduksi Ansietas dengan intervensi
pendukung Support Group. Tahapan pemberian antara lain Identifikasi Tingkat
Ansietas, Monitor tanda Ansietas, Identifikasi kelompok memiliki masalah yang
sama, Identifikasi hambatan menghadiri sesi kelompok, Identifikasi masalah yang
sebenarnya dialami kelompok (Mis, Cemas, tidak aman & stigma) berikan teknik
non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri seperti : Dukungan Emosi, Terapi
relaksasi, teraoi hypnosis, terapi music, Teknik imajinasi terbimbing, teknink
menenangkan, terapi kelompok dan lain-lain (SIKI PPNI, 2018).
Studi kasus ini peneliti menggunakan intervensi Non-farmakologi yaitu
Reduksi Ansietas dan intervensi pendukung terapi Support Group untuk
menurunkan kecemasan. Melalui dukungan setiap anggota kelompok, pasien
dapat belajar mengatasi mekanisme koping yang baik serta mampu mengontrol
emosional dalam hidupnya sehingga kecemasan pasien menjadi menurun
(Rahmawati, Muharyani & Tarigan 2019). Selain itu, support group juga dapat
menolong seseorang merasa nyaman, terbuka mengenai masalah yang sedang
dirasakan, berbicara kepada anggota lain dalam mengurangi kecemasan,
ketakutan, rasa saling peduli, meningkatkan harga diri dan berpikir bahwa dirinya
tidak sendiri, ada orang lain yang juga mengalami atau menjalani proses yang
sama dengan dirinya sehingga ini membantu perasaan pasien menjadi tenang dan
mau menerima apa yang terjadi pada dirinya (Prajayanti & Sari, 2020).
Implementasi pada studi kasus ini diberikan sebanyak 2 kali dalam 1
minggu yaitu pada hari Selasa dan Jumat dengan durasi 20-30 menit, disi dengan
2 sesi yang setiap sesinya terdiri dari tema masing-masing. Setelah terapi support
group pada kedua pasien didapatkan hasil pasien 1 sebelum diberikan terapi
support group tingkat kecemasan sebesar 18 dalam kategori Kecemasan/Depresi
Berat dan setelah diberikan terapi tingkat kecemasan pasien sebesar 10 dengan
kategori Kecemasan Ringan. Sedangkan pada pasien 2 sebelum diberikan terapi
tingkat kecemasan sebesar 12 dalam kategori Kecemasan/Depresi Berat, dan
setelah diberikan terapi tingkat kecemasan pasien sebesar 8 dengan kategori
Kecemasan Ringan.
Hasil studi pada kedua pasien dengan menggunakan skala HADS
(Hospital Anxiety and Depression Scale) diatas menunjukan bahwa adanya
perbedaan skor tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemeberian intervensi
support group. Pada pasien 1 tingkat kecemasan menurun sebanyak 8
dibandingkan dengan pasien 2 penurunan tingkat kecemasan pasien hanya
sebenyak 2. Hal ini disebakan karena berdasarkan lamanya menjalani hemodialisa
pasien 1 lebih lama menjalani hemodialis dibandingkan pasien 2, selain itu pasien
ke 2 juga masih takut dengan suntikan dan proses hemodialisa. Dari hasil
tersebut terlihat bahwa pasien yang menjalani hemodialisis lebih lama
memiliki tingkat kecemasan yang ringan dibandingkan dengan pasien yang
baru menjalani hemodialisa. Semakin lama seseorang menjalani proses
hemodialis maka dengan sendirinya responden akan terbiasa menggunakan
semua alat dan proses yang digunakan bahkan dilakukan saat melakukan
proses hemodialisis, sementara responden yang pertama menjalani proses
hemodialisis merasa bahwa ini suatu masalah yang sedang
mengancam pada dirinya dan merasa bahwa hal yang dilakukan ini
sangat menyiksakan dirinya (Jangkup, Elim & Kandou, 2015).
Selain factor lamanya pasien menjalani hemodialisa,factor lain yang
mempengaruhi tingkat kecemasan kedua pasien adalah usia. Hasil pengkajian
yang dilakukan pasien 1 berusia 65 tahun tingkat kecemasan pasien sebelum
diberikan terapi dengan skor 18 dan setelah pemberian terapi tingkat kecemasan
pasien menurun menjadi 10 sedangkan dan pasien ke 2 berusia 59 tahun, tingkat
kecemasan pasien sebelum intervensi dengan skor 12 dan setelah mendapat
intervensi support grup menurun dengan skor 8. Data ini menunjukan bahwa usia
mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Menurut Hamilton dkk (2018)
seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih mudah mengalami
gangguan kecemasan daripada seseorang yang lebih tua. Pada usia dewasa
seseorang sudah memiliki kematangan baik fisik maupun mental dan
pengalaman yang lebih dalam memecahkan masalah sehingga mampu
menekan kecemasan yang dirasakan. Semakin tua umur seseorang akan terjadi
proses penurunan kemampuan fungsi organ tubuh, hal ini akan mempengaruhi
dalam mengambil keputusan terutama dalam menangani penyakit gagal ginjal
kronik dengan terapi hemodialisis. Pada usia tua seseorang dapat menerima
segala penyakitnya dengan mudah karena di usia tua seseorang cenderung
berfikir bahwa secara spiritual tua harus dijalani dan dihadapi sebagai salah
satu hilangnya nikmat sehat secara perlahan. Hal ini didukung Wakhid &
Suwanti, (2019). pada responden usia 21- 60 tahun yang menjalani
hemodialisis kecemasan ringan didapatkan pada 47,30% dan pasien dengan
usia lebih dari 60 memiliki kecemasan sedang sebesar 23,68%.
KESIMPULAN
Pemberian intervensi Support Group pada kedua pasien yang menjalani
hemodialisa didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan tingkat kecemasan pada kedua
pasien yang menjalani hemodialisa setelah diberikan intervensi support group.
Support Group dapat menjadi salah satu terapi non farmakologi yang dapat diberikan
kepada pasien yang yang mengalami kecemasan, guna pendampingan selama proses
pengobatan pasien yang menjalani hemodialisa, dengan begitu pasien yang
mengalami kecemasan menemukan serta meningkatkan kebermaknaan hidupnya
sehingga Pasien dengan mudah mampu beradaptasi dengan penyakit yang sedang
diderita serta mumcul koping positif terhadap pengobatan yang di jalani, terjadi
penurunan tingkat kecemasan pada kedua pasien yang menjalani hemodialisa setelah
diberikan intervensi support group.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan untuk semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaiakan karya ilmiah akhir ners terkhusus untuk
pembimbing, penguji dan rekan-rekan satu profesi yang sudah memberikan kesempatan
untuk belajar dan terus belajar sehingga penyusunan karya ilmiah ini berhasil sesuai
dengan target yang ditetapkan.
Daftar Pustaka

American Psychological Association. (2019, August 10). Why Stress and Anxiety
Aren’t Always Bad. https://www.apa.org/news/press/release s/2019/08/stress-
anxiety

Armiyati, Y., Hadisaputro, S., Chasani, S., & Sujianto, U. (2021). Improving Quality
of Life in Hemodialysis Patients with Intradialysis Hypertension Using
“SEHAT” Nursing Interventions. Media Keperawatan Indonesia, 4(3), 208.
https://doi.org/10.26714/mki.4.3.2021.208-217

Amalia, A., & Apriliani, N. M. (2021). Analisis Efektivitas Single Use dan Reuse
Dialyzer pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Mardi Waluyo Kota
Blitar: Analysis of the Effectiveness of Single Use and Reuse Dialyzers in
Patients with Chronic Kidney Failure at Mardi Waluyo Hospital, Blitar
City. Jurnal Sains dan Kesehatan, 3(5), 679-686.

Amgen Foundation. Benefits Of Peer Support In Chronik Kidney Disease. National


Kidney Foundation, Inc. New York. 2009.

Black, J. M., & Hawks Jane Hokanson. (2014). Keperawatan medikal bedah (8th ed.).
Elsevier.

br Perangin-angin, M. A., & Silaban, C. P. (2020). DUKUNGAN KELUARGA DAN


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECEMASAN PASIEN
HEMODIALISA. Jurnal Online Keperawatan Indonesia, 3(2), 65-72.

Cukor, D., Coplan, J., Brown, C., & Friedman, S. (2008). Anxiety disorders in adults
treated by hemodialysis. Clinical Journal of the American Society of
Nephrology : CJASN: 52(1), 128–136. doi:10.1053/j. ajkd.2008.02.300

Damanik, H. (2020). Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam


Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Imelda Pekerja Indonesia. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Imelda, 6(1), 80-85.
Fitria, L., & Ifdil, I. (2020). Kecemasan remaja pada masa pandemi Covid -19. Jurnal
EDUCATIO (Jurnal Pendidikan Indonesia), 6(1), 1–4.

Hrp, S. A. J., Yustina, I., & Ardinata, D. (2021). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisis di rsud dr. pirngadi
medan. Idea Nursing Journal, 6(3), 1-9.

Intan, V. A., Putri, R. M., & Nisa, H. (2022). Sosiodemografi dan tingkat kecemasan
mahasiswa pada masa pandemi COVID-19. Jurnal Psikologi Sosial, 20(1), 16-
24.

Jamil, J. (2018). Sebab dan akibat stres, depresi dan kecemasan serta
penanggulangannya. Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 1(1),
123-138.

Jangkup, J. Y., Elim, C., & Kandou, L. F. (2015). Tingkat kecemasan pada pasien
penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis di BLU RSUP
Prof. DR. RD Kandou Manado. e-CliniC, 3(1).

Kementerian Kesehatan republik Indonesia. Riset Kesehatan dasar (Riskesdas).


Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Kementerian Kesehatan RI.2017

Lazuardi, N., KUSUMA, H., & Purnomo, H. D. (2016). Pengaruh Intervensi Support


Group Terhadap Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang
Menjalani Hemodialisa (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Lestari, W., & Safaria, T. (2021). Support Group Therapy untuk Menurunkan
Kecemasan pada Care Giver Odgj di Desa Srigading. Psyche 165 Journal,
139-147.

Marianna, S., & Astutik, S. (2019). Hubungan Dampak Terapi Hemodialisa Terhadap
Kualitas Hidup Pasien Dengan Gagal Ginjal. Indonesian Journal of Nursing
Sciences and Practice, 1(2), 41-52.

Maija Reblin M, Bert N. Uchino P. Social And Emotional Support And Its
Implication For Health. Nih Public Access. 2009;21(2):201–5.

Mukholil, M. (2018). Kecemasan dalam Proses Belajar. Eksponen, 8(1), 1-8.


Mait, G., Nurmansyah, M., & Bidjuni, H. (2021). GAMBARAN ADAPTASI
FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL
KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI KOTA
MANADO. Jurnal Keperawatan, 9(2), 1-6.

Prajayanti, E. D., & Sari, I. M. (2020). Pemberian Intervensi Support Group


Menurunkan Kecemasan Pada Pasien Yang Menjalani
Hemodialisis. Gaster, 18(1), 76-88.

Rikayoni, (2018). GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN GAGAL


GINJAL MENJALANI TERAPI HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT
ISLAM SITI RAHMAH PADANG TAHUN 2018. Vol. XII No.5 April 2018

Rahmawati, F., Muharyani, P. W., & Tarigan, A. (2019). PENGARUH SUPPORT


GROUP DENGAN MODEL KEPERAWATAN KOLCABA TERHADAP
TINGKAT KECEMASAN PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE
2. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 6(1), 64-69.

Rangga, Y. P. P., Irman, O., & Wijayanti, A. R. (2022). Peer Support Group terhadap
Well-Being Pasien Hipertensi Usia Dewasa Muda. JI-KES (Jurnal Ilmu
Kesehatan), 5(2), 221-228.

Saran, R., Robinson, B., Abbott, K. C., Agodoa, L. Y., Bhave, N., Bragg-Gresham, J.,
... & Shahinian, V. (2018). US renal data system 2017 annual data report:
epidemiology of kidney disease in the United States. American Journal of
Kidney Diseases, 71(3), A7.

Syahrizal, T., Kharisna, D., & Putri, V. D. (2020). Analisis Tingkat Stres Pada Pasien
Hemodialisa Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Di Masa Pandemi
COVID-19. HEALTH CARE: JURNAL KESEHATAN, 9(2), 61-67.

Sonjaya T. Hubungan Dukungan Sosial Dan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis


Rutin Dengan Jaminan Dan Tanpa Jaminan Kesehatan Di Kota Bandung.
Universitas Indonesia. Depok.2013;

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Wahyuni, P., Miro, S., & Kurniawan, E. (2018). Hubungan Lama Menjalani
Hemodialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan
Diabetes Melitus di RSUP Dr. M Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7(4), 480-485.

Wulandari, B. (2020). Gambaran Self Efficacy Gagal Ginjal Kronik Dalam


Menjalani Perawatan Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar [UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR].
http://repository.unhas.ac.id/

Wakhid, A., & Suwanti, S. (2019). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Yang
Menjalani Hemodialisa. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES
Kendal, 9(2), 95-102.

Widyastuti, R. H., Andriany, M., Ulliya, S., Rachma, N., & Hartati, E. (2020).
SUPPORTIVE GROUP THERAPY: ALTERNATIF INTERVENSI
PENATALAKSANAAN MASALAH PSIKOGERIATRI PADA LANSIA
DENGAN PENYAKIT TIDAK MENULAR. Jurnal Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, 7(3), 232-237.

Anda mungkin juga menyukai