Anda di halaman 1dari 6

SEBUAH LAPORAN KASUS TENTANG PNEUMOMEDIASTINUM YANG TIDAK

LAZIM SETELAH OPERASI SINUS ENDOSKOPI

ABSTRAK
Pendahuluan: Operasi sinus endoskopi adalah prosedur minimal invasif yang digunakan
untuk mengembalikan fungsi ventilasi dan mukosiliari normal sinus. Prosedur rutin ini
memiliki tingkat keberhasilan mencapai 90% dalam memperbaiki gejala rhinosinusitis kronis
refrakter. Karena dekatnya sinus paranasal dengan otak dan rongga orbita, prosedur ini tidak
dapat dilakukan tanpa adanya potensi risiko komplikasi. Pada kasus kami, tanpa adanya
kecurigaan klinis awal, diagnosis dan tatalaksana yang tepat, kasus pneumomediastinum yang
tidak lazim setelah operasi sinus endoskopi dapat mengarah pada komplikasi besar atau
bahkan kematian.
Laporan kasus: Kami melaporkan kasus mengenai emfisema mediastinal yang tidak lazim
pada laki-laki berusia 53 tahun setelah pengambilan tampon hidung sehari setelah dilakukan
operasi sinus endoskopi.
Diskusi: Sepengetahuan kami, hanya ada 2 laporan kasus emfisema mediastinal setelah
operasi sinus endoskopi. Kasus kami unik karena pasien tidak memiliki riwayat merokok,
penyakit atau infeksi paru, dan hasil CT-scan normal. Kami memeriksa lebih lanjut dengan
CT-scan pasca operasi, bronkoskopi, dan esofagoskopi untuk menyingkirkan kemungkinan
cedera akibat anestesi laringotrakeal. Pada kasus kami, pneumomediastinum dapat
ditatalaksana secara konservatif; namun, dapat berlanjut menjadi mediastinitis, septisemia,
dan kematian apabila tidak dapat didiagnosis dan ditatalaksana secara dini.
Kesimpulan:Cedera pada lamina papyracea dapat terjadi saat operasi sinus endoskopi dan
menyebabkan emfisema periorbital. Perluasan emfisema ke mediastinum tidak dapat
diabaikan begitu saja karena merupakan kemungkinan etiologi penting dalam
pneumomediastinum. Diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat adalah hal yang penting
untuk menghindari kematian.

PENDAHULUAN
Operasi sinus endoskopi merupakan prosedur invasif minimal yang digunakan untuk
mengembalikan fungsi ventilasi dan mukosiliari normal sinus. Prosedur ini merupakan hal
yang rutin dilakukan dengan tingkat keberhasilan mencapati 90% dalam memperbaiki gejala
rhinosinusitis kronis refrakter. Peranan teknik operasi dan patofisiologi kompleks osteomeatal
(OMC) pada etiologi rhinosinusitis telah dideskripsikan oleh Messerklinger. Karena dekatnya
sinus paranasal dengan otak dan rongga orbita, maka operasi tidak dapat dilakukan tanpa
adanya potensi risiko komplikasi. Menurut European Rhinologic Society (ERS), komplikasi
prosedur ini dapat dibagi menjadi komplikasi minor dan mayor (Tabel 1). Insidens
komplikasi mayor sekitar 5%, sedangkan komplikasi mayor adalah antara 0.5% - 1%.
Kami melaporkan kasus yang tidak lazim dan tatalaksana emfisema pada klinik kami.
Emfisema ini melibatkan periorbita, wajah, leher, dan dada atas dan dihubungkan dengan
pneumomediastinum setelah pengambilan tampon hidung sehari setelah operasi sinus
endoskopi. Kami menyimpulkan bahwa cedera pada lamina papyracea dapat terjadi pada saat
operasi dan menyebabkan emfisema periorbital. Perluasan emfisema ke mediastinum tidak
dapat diabaikan begitu saja karena merupakan kemungkinan etiologi penting dalam
pneumomediastinum.
Laporan kasus ini sudah disetujui oleh pasien dan dilaporkan sesuai dengan kriteria
SCARE dan panduannya.

Tabel 1. Komplikasi operasi sinus paranasal berdasarkan European rhinologic society.


Lokasi Komplikasi minor Komplikasi mayor
Orbital Emfisema orbital Hematoma orbital
Ekimosis kelopak mata Kehilangan penglihatan
Intrakranial Kebocoran CSF sederhana Diplopia
Perdarahan Perdarahan jumlah sedikit Enoftalmia
yang dapat berhenti dengan Cedera ductus nasolacrimal
packing dan tidak Kebocoran CSF
dibutuhkan transfuse darah Pneumocefalus
Lain-lain Synechiae Encefalosel
Eksaserbasi asma Abses otak
Infeksi lokal hiposmia Meningitis
(osteitis) Perdarahan intracranial
Infeksi MRSA pasca-FESS Trauma otak langsung
Iritasi sementara saraf Cedera arteri etmoidal
infraorbital anterior
Hiperestesia bibir atau gigi Cedera arteri sfenopalatinus
Cedera arteri carotid interna
Perdarahan yang
membutuhkan transfuse
Sindrom syok toksik
Anosmia
Eksaserbasi asma parah
Bronkospasme
Kematian

Gambar 1. CT-scan sebelum operasi menunjukkan sinusitis bilateral (a). CT-scan dada
sebelum operasi menunjukkan tidak adanya kelainan paru (b).

LAPORAN KASUS
Pasien laki-laki 53 tahun, seorang guru, memiliki riwayat obstruksi hidung kronis,
post nasal drip, mendengkur, dan sakit kepala yang tidak membaik walaupun sudah dirawat.
Pada pemeriksaan sebelum operasi ditemukan deviasi septum nasi ke kanan, dengan
discharge purulen bilateral. CT-scan menunjukkan opasifikasi bilateral pada maksila, sinus
ethmoid anterior dan posterior, dan tidak ditemukan adanya penyakit atau infeksi paru
(Gambar 1). Operasi sinus endoskopi dilakukan di bawah anestesi general oleh seorang
spesialis THT dengan pengalaman lebih dari 10 tahun. Perlekatan anterior dari uncinatus
terlihat dengan depresi semilunar pada dinding lateral hidung dan diinsisi menggunakan
elevator Freer, kemudian diambil menggunakan Forcep Tilley Henckel. Sel ethmoid anterior
dan posterior dibuka dengan microdebrider, dan Tampon hidung Merocel digunakan
bilateral untuk mengontrol perdarahan. Tidak ada komplikasi yang dialami dan diyakini
bahwa lamina papyracea dan periosteum orbital ditinggalkan dalam keadaan intak.
Gambar 2. Hari pertama setelah operasi, terdapat ekimosis pada mata kanan dengan
emfisema (A), pemeriksaan radiograf dada menunjukkan pneumomediastinum (B). CT-scan
sinus menunjukkan defek lamina papyracea kanan dengan emfisema periorbital dan wajah
(C), emfisema operasi pada dinding leher (D), emfisema pada dinding dada dan
pneumomediastinum (E).

Malam setelah operasi, pasien mulai merasakan ekimosis pada kelopak mata bawah
sisi kanan. Pada hari pertama setelah operasi, setelah tampon hidung diambil, ekimosis
bertambah dan pasien mulai mengalami emfisema periorbital dan subkutan yang dimulai dari
orbit kanan, pipi kanan, dan meluas dalam beberapa jam ke sisi wajah sebelah kanan, leher
dan dada, dinding anterior dada dan mediastinum (pneumomediastinum). Segera dilakukan
konsultasi kepada dokter spesialis mata dan tidak ditemukan keterbatasan pergerakan mata
dengan penglihatan yang normal. Tanda-tanda vital pasien stabil dan pasien menyangkal
adanya muntah atau batuk yang parah. Radiograf dada dan CT-scan sinus, leher, dan dada
dilakukan pada hari pertama pasca operasi untuk meyakinkan apabila penyebabnya
berhubungan dengan adanya trauma operasi atau komplikasi terkait anestesi. Radiograf
anteroposterior dada menunjukkan adanya batas radiolusen yang sejajar dengan tepi jantung
dan struktur mediastinal. CT-scan sinus, leher, dan dada menunjukkan adanya defek tulang
pada lamina papyracea kanan dengan emfisema pada periorbita kanan, sisi kanan wajah, dan
semua ruang leher tanpa adanya pneumotoraks atau peradangan paraesofageal (Gambar 2).
Konsul bedah thorak untuk evaluasi dan kemudian diputuskan bahwa tidak diperlukan
adanya intervensi bedah. Bronkoskopi dan esofagoskopi dilakukan untuk mengeksklusi
adanya komplikasi terkait anestesi tanpa adanya bukti cedera trakea atau esophagus. Pasien
ditatalaksana secara konservatif dengan bed rest, suplai oksigen, dan antibiotik dengan
menghindari tekanan atau tiupan dari hidung. Pada hari kedua pasca operasi, emfisema mulai
berkurang dengan emfisema subkutan yang minimal pada sisi kanan wajah. Dua minggu
setelah pasien pulang, pemeriksaan menunjukkan adanya ekimosis ringan pada kelopak mata
bawah tanpa sisa emfisema. Pemeriksaan radiograf dada dan CT-scan 3 minggu setelah
operasi menunjukkan resolusi emfisema seluruhnya, dan pneumomediastinum, dengan
perbaikan gejala pada hidung (Gambar 3).

Gambar 3. Tiga minggu pasca operasi, pemeriksaan radiograf dada dan CT-scan
menunjukkan resolusi seluruhnya dari emfisema dan pneumomediastinum.

DISKUSI
Emfisema periorbital dan subkutan pada regio wajah dan leher setelah operasi sinus
endoskopi sudah pernah dilaporkan sebelumnya. Sepanjang pengetahuan kami, hanya ada 2
laporan kasus emfisema mediastinal setelah operasi sinus endoskopi. Pada satu kasus, penulis
percaya bahwa pneumomediastinum tidak secara langsung berhubungan dengan FESS dan
rupturnya alveoli paru atau cedera saluran nafas dan intubasi endotrakeal-lah yang menjadi
penyebabnya, namun etiologi yang tepat belum dapat ditentukan. Kasus lain dikarenakan
cedera bronkial akibat anesthesia pada saat pasien disadarkan. Kasus kami berbeda dari kasus
sebelumnya karena pasien tidak memiliki riwayat merokok, penyakit atau infeksi paru, dan
CT-scan sebelum operasi yang normal (Gambar 1b). Kami menginvestigasi lebih jauh lagi
dengan CT-scan pasca operasi, bronkoskopi, dan esofagoskopi untuk menyingkirkan
kemungkinan cedera laringotrakeal akibat anestesi. Pasien mengalami ekimosis periorbital
sebelah kiri beberapa jam setelah operasi. Pada hari pertama pasca operasi dan langsung
setelah pengambilan tampon hidung, pasien mengalami emfisema periorbital kiri dan
emfisema wajah. Hal ini, ditambah dengan bronkoskopi dan esofagoskopi yang normal,
mengarah pada kesimpulan bahwa cedera trakeal atau esophageal tidak terjadi.
Pembengkakkan periorbital unilateral setelah pengambilan tampon hidung mengarahkan pada
kemungkinan kebocoran udara yang terjadi melalui defek tulang pada lamina papyracea kiri,
yang dapat disebabkan selama operasi atau pada saat pemasangan tampon hidung. Kebocoran
udara dapat melewati fissura infraorbital dan kemudian melibatkan sisi kiri wajah. Emfisema
wajah unilateral meningkat seiring berjalannya waktu apabila pasien bersin dan kemudian
mengenai leher dan dinding dada dan turun ke mediastinum menunjukkan operasi sinus
endoskopi merupakan kemungkinan penyebab penyakit ini. Pengumpulan udara di wajah
dapat menyebar ke fosa infratemporal atau ruang retrofaringeal dan parafaringeal, dan area
mediastinum memiliki hubungan yang cukup baik dengan ruang sublingual, submandibula,
retrofaringeal, dan parafaringeal, di dalam selubung pembuluh leher, pengumpulan udara di
wajah dapat menyebar ke bidang-bidang tersebut dan sampai ke mediastinum.
Pneumomediastinum dapat diatasi dengan tatalaksana konservatif, namun, hal ini
dapat berkembang menjadi mediastinitis atau septikemia dan bahkan kematian, oleh
karenanya diperlukan diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat.

KESIMPULAN
Karena teknologi yang sudah maju, seperti halnya pelatihan operasi, hasil dan
keamanan operasi sinus endoskopi menjadi modalitas tatalaksana rhinosinusitis kronis;
namun, komplikasi minor dan mayor dari prosedur ini masih terus dilaporkan. Cedera pada
lamina papyracea dapat terjadi saat operasi sinus dan terlihat sebagai emfisema periorbital.
Perluasan emfisema tersebut ke area wajah dan jaringan leher dan kemudian mediastinum
tidak dapat diabaikan begitu saja karena merupakan etiologi pneumomediastinum setelah
operasi sinus endoskopi. Diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat dari komplikasi baru yang
dilaporkan ini sangat penting untuk menghindari mortalitas; namun, etiologi lain
pneumomediastinum harus dipertimbangkan dan disingkirkan.

Anda mungkin juga menyukai