Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-BKL LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENANGANAN ATRESIA KOANA UNILATERAL

oleh:
dr. Emil Kardani Murdiyanto

Pembimbing:
Dr. dr. Muh. Fadjar Perkasa, Sp.THT-BKL (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4

A. DEFINISI................................................................................................. 4

B. EMBRIOLOGI ....................................................................................... 4

C. ANATOMI............................................................................................... 5

D. EPIDEMIOLOGI ................................................................................... 6

E. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI...................................... 6

F. DIAGNOSIS ............................................................................................ 6

G. PENATALAKSANAAN ........................................................................ 10

H. KOMPLIKASI ........................................................................................ 11

BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................... 12

BAB IV DISKUSI ................................................................................................. 21

BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 23

REFERENSI ......................................................................................................... 24

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kasus atresia koana bilateral merupakan kasus kegawatdaruratan dalam bidang


THT dan sering tidak terdeteksi. Obstruksi koana unilateral kadang-kadang tanpa gejala
saat lahir tetapi selanjutnya akan menyebabkan obstruksi drainase hidung kronis unilateral
pada masa kanak-kanak sedangkan atresia koana bilateral menyebabkan keadaan darurat
saat kelahiran. 1,2
Insiden atresia koana adalah 1 kasus per 5000-8000 kelahiran. Atresia koana
unilateral jauh lebih sering (75%) daripada atresia koana bilateral. Ada tipe tulang dan tipe
membran. Insidensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pria. Atresia koana lebih sering
dikaitkan dengan kelainan CHARGE (C= Coloboma, H= Heart Disease (Penyakit
Jantung), A= Atresia koana, R= Retarded growth and development (gangguan tumbuh
kembang anak) G= Genital hypoplasia (hipoplasia genital), E= Ear deformity or deafness
(deformitas telinga atau tuli). Atresia koana unilateral muncul biasanya antara 5 dan 24
bulan, dengan tangisan mendengkur, rinore unilateral, pernapasan melalui mulut karena
obstruksi nasi, kegagalan pernapasan, dan mungkin tidak diketahui.2,3
Kelainan kongenital lainnya adalah Crouzon syndrome, Pfeiffer syndrome dan
Antley-Bixler syndrome.1 Angka kejadian atresia koana adalah 1 kasus per 5000–8000
kelahiran. Frekuensi atresia koana unilateral jauh lebih banyak (75%) daripada atresia
koana bilateral. Kejadian pada perempuan dua kali lebih banyak daripada laki-laki.
Risiko meningkat pada kelahiran kembar. Kelainan kromosom terdapat 6% dari anak
dengan atresia koana.1,2
Gejala yang paling khas pada atresia koana adalah tidak adanya atau tidak
adekuatnya jalan napas hidung. Pada bayi baru lahir yang hanya bisa bernapas melalui
hidung, kondisi ini merupakan keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan yang
cepat pada jalan napas atas untuk menyelamatkan hidupnya. Obstruksi koana
unilateral kadang-kadang tidak menimbulkan gejala pada saat lahir tapi kemudian akan
menyebabkan gangguan drainase nasal kronis unilateral pada masa anak-anak sedangkan
atresia koana bilateral menyebabkan keadaan darurat pada saat kelahiran.1,3,4
Dalam laporan kasus ini, kami melaporkan kasus anak yang menderita atresia
koana dan dilakukan koanoplasti lalu dipasang stent untuk mencegah restenosis
pascaoperasi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Atresia koana adalah oklusi membran atau tulang kongenital dari satu atau dua koana
akibat gagalnya membran bukonasalis untuk membelah sejak masa embrional.1

B. EMBRIOLOGI

Terdapat empat teori dasar terjadinya atresia koana, yang pertama adalah membran
bukofaringeal yang persisten dari pembentukan saluran pencernaan atas (foregut), teori kedua
menyatakan terdapat adhesi abnormal saat pembentukan mesoderm pada lokasi terbentuknya
koana, teori ketiga terdapat abnormal persisten membran nasobukal Hochstetter dan yang
keempat adalah terdapat kegagalan embriogenesis pada saat migrasi krista sel neural dalam
pembetukan koana.2
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari
pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian
kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda; kedua adalah bagian
dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat yang dikenal
dengan konka (turbinate) dan membentuk rongga-rongga yang disebut sebagai sinus. Sejak
kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional anatomi hidung
mulai terbentuk rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan
bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga
ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya
akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah
posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah
maksilaris.2
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terbentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia

4
kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah
konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia Sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus
maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Pada saat yang bersamaan
terbentuknya prosesus unsinatus dan bula etmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar
disebut hiatus semilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan
pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media
dan sel etmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior.2

C. ANATOMI

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga
koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi
membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior
kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior
berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan di batasi oleh
nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris, sinus
etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.3

5
3
Gambar 1. Anatomi hidung

Deformitas anatomi pada atresia koana kavum nasi menjadi pendek dan ruang
nasofaring menjadi lebar (gambar 2).4

Gambar 2. Atresia koana unilateral sebelum dan sesudah


pembedahan 4

4
Cavum nasi bagian posterior berhubungan dengan nasofaring melalui apertura
nasalis posterior yang disebut koana. Bagian inferior koana dibentuk oleh alaris os vomer
septum nasi yang memisah-kan koana kiri dan kanan. Arteri sfenopalatina memperdarahi
dining lateral kavum nasi melalui foramen sfenopalatina pada posterior konka media.
Segera setelah keluar dari foramen, arteri sfenopalatina mempercabangkan arteri nasalis
posterior. Arteri ini memperdarahi konka superior sebelum masuk ke dalam koana posterior
pars osseus di dinding anterior sinus sfenoid hingga sisi posterior septum. Daerah potensial
lainnya adalah pada Woodruff's area yang terletak di dinding kavum nasi posterior di bawah
ujung posterior konka inferior.'

Gambar 3 . Embriologi kavum nasi.

Banyak teori-teori terbaru yang dikemukakan mengenai embriogenesis atresia


koana, seperti kegagalan ruptur membran nasobukkal dengan jaringan persisten mengarah
ke posterior dan vertikal saat wajah berkembang, diperkirakan merupakan penjelasan yang
paling mungkin karena 90% atresia merupakan atresia tulang dan pembentukan membran
nasobukkal diperkirakan berubah sebelum mesodermal menghilang secara sempurma dari
epitel oral dan nasal. Penyebab lain yaitu persistensi membran bukkofaringeal, persistensi
mesodermal sehingga terjadi adhesi pada nasal koana, atau kelainan pada migrasi sel
mesodermal sekunder oleh karena faktor lokal.4
Diagnosis atresia koana ditegakkan berdasarkan alloanamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang. Allonamnesis klinis berupa obstruksi nasi dan siklus sianosis
(classic sign) muncul jika anak diam dengan mulut tertutup atau makan dan menghilang
saat anak menangis atau saat mulut terbuka.

5
Gambar 4. Embriologi perkembangan fossa nasalis.

D. EPIDEMIOLOGI

Atresia koana diketahui lebih dari 200 tahun yang lalu pertama kali
dikenalkan oleh Roederer pada tahun 1755. Atresia koana terjadi dalam 1 : 5000-
7000 kelahiran. Secara umum 65-75 % kejadian atresia koana merupakan atresia
koana unilateral dan sisanya merupakan atresia koana bilateral. Pada tahun 1910
dilaporkan terdapat 90 % atresia koana tipe tulang dan 10 % atresia koana dengan
tipe membran. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan struktur histologi 63 orang
pasien dengan tipe tulang murni sebanyak 30 % dan campuran 70 %.2

E. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

Atresia koana merupakan suatu kelainan genetik yang diturunkan secara


autosomal resesif. Faktor eksternal yang dapat mencetuskan terjadinya atresia
koana adalah penggunaan obat-obatan antitiroid saat kehamilan, kurangnya
asupan gizi mikronutrien tertentu seperti vitamin B12, zink, dan metionin.5

F. DIAGNOSIS

Manifestasi klinis atresia koana bisa unilateral, bilateral, membranosa atau


tulang.7 Atresia koana bilateral biasanya berhubungan dengan kelainan kongenital
6
lainnya yang berhubungan dengan CHARGE (C = Coloboma, H = Heart
disease, A = Atresia of choanae, R = Retarded growth and deνelopment, G
= Genital hypoplasia, E = Ear deformities or deafness) terjadi dengan
berbagai variasi setidaknya pada 50 % kasus atresia koana bilateral.1

Manifestasi atresia koana dapat ditemukan dalam tipe tulang atau


membranosa namun pada kebanyakan kasus dapat terjadi keduanya. Atresia koana
bilateral dan unilateral dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas terutama pada
tipe tulang dan sedikit pada tipe membran. Pada atresia koana bilateral dapat
terjadi kegawatdaruratan pada jalan nafas dengan manifestasi muncul sianosis
yang hilang spontan saat bayi menangis, sulit menyusui dan gagal tumbuh.3

Atresia koana unilateral menimbulkan manifestasi klinis berupa rinore


kronik unilateral. Penegakkan diagnosis sugestif atresia koana apabila kateter
tidak dapat masuk dari hidung ke dalam faring. Lokasi penyempitan dapat dilihat
dengan nasofaringoskop setelah mukus dihisap dan diberikan dekongestan pada
hidung (oxymetazolin). Diagnosis pasti dapat dilihat dengan pemeriksaan CT
Scan pada kavitas hidung terdapat gambaran atresia dengan jaringan tulang atau
membran pada kavitas hidung.2
Atresia koana kongenital bilateral harus terdiagnosa sejak dini saat
bayi lahir dengan adanya tampilan sianosis dan kegagalan dalam memasukkan
kateter nasal nomor 6-F dari kavum nasi ke nasofaring. Pemeriksaan CT
Scan selain memastikan diagnosis juga menentukan tipe atresia dan membantu
pencitraan saat operasi. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan endoskopi
didapatkan lempeng koana yang mengalami atresia bilateral.4

7
Gambar 5. Atresia koana unilateral (A), atresia koana bilateral (B)

Gambar 6. Atresia koana unilateral tipe membran (CA)

8
Gambar 7. Atresia koana unilateral tipe membran sebelum dan sesudah operasi (CA =
Choanal atresia, C = Choana, IT = Inferior turbinate, S = Septum)

Gambar 8. Atresia koana bilateral tipe campuran

9
G. PENATALAKSANAAN

Atresia koana bilateral harus dilakukan pembedahan segera, sedangkan


pada atresia koana unilateral tindakan pembedahan dapat dilakukan kemudian
hari. Teknik pembedahan dipilih berdasarkan usia anak dan tipe atresia koana
bilateral ataupun unilateral.5
Atresia koana dapat diterapi dengan mengangkat jaringan yang
menyebabkan obstruksi transnasal. Kuret, pengerokan dan pengeboran pada
tulang dapat menjadi metode yang tepat dalam mengangkat lempeng atresia.
Apabila lempeng tulang lebih tebal dan kavum nasi posterior terlalu sempit dapat
dilakukan pembedahan transpalatal direct.2

Transnasal puncture dibawah anestesi umum digunakan pada bayi baru


lahir dengan atresia koana bilateral tipe membranosa. Ahli bedah melakukan
palpasi pada belakang membran dan tangan lainnya menusukkan tabung silikon
ke dalam lubang yang dibuat, lokasi tersebut akan diobservasi selama beberapa
bulan dan dibersihkan tiap harinya. Teknik transpalatal paling sering digunakan
pada atresia koana bilateral tipe tulang namun dapat menimbulkan komplikasi
berupa kegagalan tumbuh kembang akibat rusaknya tuba eustachius karena cedera
saat prosedur pembedahan. Teknik transeptal dianjurkan pada anak usia di atas 5
tahun dengan atresia koana unilateral dengan eksisi tulang vomer posterior.5

Endoskopi transnasal untuk membuka koana saat ini dianjurkan karena


merupakan suatu metode yang minimal invasif dengan angka keberhasilan yang
tinggi dan rendahnya tingkat morbiditas. Endoskopi transnasal dengan atau tanpa
tabung inserter pasca operasi menggunakan teknik eksisi pada zona obstruktif dan
eksisi margin posterior vomer dengan pembuatan flap pada mukosa periosteal
untuk mencegah restenosis.5

Penatalaksanaan atresia koana dibagi menjadi penatalaksanaan darurat dan


elektif. Atresia unilateral jarang bersifat emergensi dan operasi dapat ditunda
hingga usia 1 tahun dan memungkinkan daerah yang akan dioperasi untuk
berkembang menjadi lebih besar sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya
10
stenosis pascaoperasi. Penatalaksanaan pada atresia koana bilateral yang bersifat
darurat bertujuan untuk menjamin jalan napas, misalnya dengan menggunakan
McGovern nipple atau alat bantu napas orofaring atau melalui pembedahan seperti
trakeotomi. McGovern nipple merupakan dot yang biasa digunakan pada botol
susu yang dimodifikasi dengan membuat lubang yang lebih besar agar bayi dapat
bernapas dan diberi makan.

H. KOMPLIKASI
Penggunaan teknik endoskopi memiliki keutamaan bekas operasi yang
lebih kecil dan minimal invasif namun memiliki komplikasi restenosis yang terjadi
beberapa minggu setelah tindakan sehingga membutuhkan tindakan pembedahan
ulang.5

11
BAB III

LAPORAN KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang ke poliklinik THT Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin. Dari anamnesis keluhan utama rinore pada hidung sebelah kiri
sejak 6 tahun yang lalu (sejak lahir) dan ada obstruksi nasi. Tidak ada riwayat minum obat
saat ibu hamil, tidak ada riwayat penyakit sistemik atau penyakit sejenis di keluarga.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nafas 92 kali per menit, suara nafas
bronkovesikular tanpa ronki dan mengi. Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas
normal. Pada rinoskopi anterior, tidak ada coana di rongga hidung kiri. Tes dengan kapas
yang diletakkan di depan hidung, tidak terlihat hembusan nafas. Evaluasi nasoendoskopi
dilakukan, koana kiri tertutup.
Pada CT scan kepala, terdapat penyempitan rongga hidung kiri dan didiagnosis
atresia coana sinistra. Choanoplasty endoskopi dilakukan dalam posisi terlentang di bawah
anestesi umum dengan tabung endotrakeal. Tampon anterior ditempatkan di rongga hidung
kiri selama 10 menit dan kemudian diangkat dan evaluasi endoskopik dilakukan. Koana
kiri terlihat ditutupi oleh lapisan tulang. Sebuah lubang dibuat di koana kiri menggunakan
pahat dan forsep. Stent dipasang pada rongga hidung kanan dan kiri menggunakan
nasogastric tube nomor 14 kemudian difiksasi pada columella anterior.

Gambar 9. Foto klinis pasien

12
Gambar 10. CT scan koronal-aksial-sagital pra operasi.

Gambar 11. endoskopi pra operasi dan pasca operasi (setelah 1 bulan)

III.1. Tatalaksana

Dilakukan operasi Koanoplasti + pemasangan stent cavum nasi sinistra

13
LAPORAN OPERASI

1. Pasien berbaring terlentang dalam pengaruh general anesthesia,


endotracheal tube terpasang
2. Semprotkan oxymetazoline nasal spray pada cavum nasi dextra et sinistra,
3. Disinfeksi lapangan operasi dengan povidone iodine, pasang doek steril
4. Evaluasi cavum nasi dextra et sinistra, tampak koana sinistra tertutup oleh
lapisan membran dan lapisan tulang di bagian lateral
5. Lakukan Tindakan koanoplasti:
- Dibuat lubang pada koana sinistra pada bagian membrane dimedial
dengan menggunakan forsep, dan bagian tulang di lateral
menggunakan hiject
6. Kontrol perdarahan, perdarahan aktif tidak ada
7. Pasang stent pada kedua cavum nasi dengan menggunakan nasogastric tube
nomor 14, kemudian ujung anterior nasogastric tube dextra et sinistra
difiksasi menggunakan benang non absorbable 3.0 di anterior kolumela
8. Operasi selesai, perdarahan durante operasi 50cc

14
PERTANYAAN KLINIS
Apa tatalaksana yang tepat untuk kasus atresia koana unilateral?

METODE

Metode menggunakan pencarian literature dengan kata kunci stenosis kanalis

akustikus eksternus yang didapatkan pada Pubmed. Kriteria inklusi: 1) tatalaksana atresia

koana unilateral 2) diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, 3) tersedia fulltext, dengan kriteria

eksklusi: review artikel.

Identifikasi kepustakaan dari


sumber PubMed
Id
Identifikasi

(n = 270)
en
tif
ic
ati
Eksklusi
on
Penulisan > 10 tahun (n = 192)
Rekaman setelah eksklusi
Sc penulisan > 10 tahun
re (n = 78)
en
in
Skrining

Rekaman dilakukan skrining


(n = 35)
Eksklusi (n = 27)
- Full text tidak tersedia (n = 17)
- Kurang memiliki relevansi (n =
10)
Kelayakan

El Artikel lengkap dinilai


igi kelayakannya
bil (n =8)
ity
Eksklusi (n = 5)
- Review article (n = 5)

In Studi termasuk dalam sintesis


kualitatif
Inklusi

cl
ud (n = 3)
ed

Gambar 12. Istilah pencarian dan proses pemilihan publikasi (PRISMA Flowchart)

15
HASIL

Hasil pencarian di jurnal Pubmed diperoleh total 270 jurnal yang disesuaikan

dengan kata kunci yang dimasukkan pada setiap database. (Gambar 12).

Terdapat 3 artikel yang diperoleh memiliki relevansi untuk tinjauan kritis terkait

dengan pertanyaan klinis. Penilaian kritis dijelaskan dalam tabel 1.

Abdullah et al (2019) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa atresia choanal, yaitu

penghilangan atau penyempitan saluran hidung, ditemukan secara luas pada populasi anak

dan dewasa. Sementara atresia choanal unilateral dapat tetap tidak teridentifikasi selama

beberapa tahun, atresia choanal bilateral membutuhkan intervensi segera, karena anak-anak

pada dasarnya bernapas melalui hidung hingga usia empat bulan. Beberapa metode

pembedahan dilaporkan untuk memperbaiki atresia choanal pada anak-anak, dan pilihan

manajemen pasca operasi dengan atau tanpa stent masih kontroversial. Dalam tinjauan ini,

penulis menganalisis beberapa penelitian terbaru di mana pembedahan untuk perbaikan

atresia choanal diikuti dengan manajemen dengan bantuan stent dan/atau tanpa stent. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa hasil pembedahan perbaikan CA tanpa stent

menunjukkan lebih sedikit komplikasi, sehingga mengurangi intensitas manajemen pasca

operasi. Prosedur dengan bantuan stent dapat menjadi pilihan bagi pasien yang lebih muda

tanpa komplikasi; namun, penggunaan stent harus dievaluasi untuk setiap kasus, karena

beberapa faktor mempengaruhi patensi. Namun, penelitian tingkat tinggi lebih lanjut

diperlukan untuk menarik kesimpulan yang jelas. Hasil penelitian ini kemungkinan besar

akan membuka jalan untuk pemahaman lebih lanjut mengenai pilihan metode untuk

meningkatkan patensi dan mengurangi kemungkinan komplikasi. 6

Giovanni et al (2020) melakukan penelitian yang bertujuan untuk melaporkan

pengalaman penulis dalam perawatan bedah atresia choanal unilateral dan bilateral. Penulis

menjelaskan teknik bedah endoskopi untuk pembuatan neochoanes dan pelebaran balon

16
yang diulang setelah pembedahan untuk menstabilkan hasilnya. Penelitian ini dilakukan

dari Desember 2014 hingga Desember 2018, dengan melibatkan 46 pasien yang menjalani

operasi atresia choanal di Unit Otolaringologi Rumah Sakit Pediatrik Bambino Gesù: 17

pasien dengan atresia choanal bilateral (Grup A) dan 29 pasien dengan atresia choanal

unilateral (Grup B). Semua pasien menjalani operasi endoskopi transnasal. Insisi mukosa

dibuat dengan sistem dingin dan panas (laser diode). Penghapusan plak atresia dapat

dilakukan dengan menggunakan bor; kalibrasi neo-chanel dilakukan dengan bantuan

pelebaran balon. Tidak ada stent yang digunakan, dan tidak ada pasien yang menjalani

pengobatan dengan mitomisin topikal. Tindak lanjut endoskopi pertama dilakukan 7 hari

setelah operasi dengan kuretase bedah dan pelebaran balon kedua 15 hari setelah operasi

untuk menstabilkan saluran yang baru. Pemeriksaan lebih lanjut disarankan pada 1 bulan

setelah operasi dan kemudian berdasarkan perkembangan individu. Penulis mendapatkan

keberhasilan operasi pada 85,7% kasus dan jumlah rata-rata pelebaran endoskopi adalah

3,5 (kisaran: 3-7). Bedah endoskopi transnasal sekarang dianggap sebagai standar emas

terapi untuk atresia unilateral dan bilateral. Bahkan jika masih digunakan, pemasangan

stent pasca operasi dapat dihindari menurut pendapat penulis; kekambuhan dapat dikurangi

dengan penggunaan pelebaran balon, yang menurut pengalaman penulis, merupakan

bantuan yang sahih untuk pengobatan atresia primer dan pada kasus-kasus kekambuhan. 7

Zephania et al (2023) melaporkan kasus seorang anak laki-laki berusia 15 tahun

yang datang ke departemen penulis dengan riwayat lama keluarnya cairan dari hidung

sebelah kiri yang tidak berbau busuk yang diketahui pertama kali saat ia berusia 5 tahun,

tetapi pada usia 13 tahun, ia datang dengan perdarahan hidung ipsilateral dan cairan berbau

busuk yang bersifat episodik. Dia telah berobat ke berbagai fasilitas kesehatan perifer tanpa

hasil. Pasien menjalani endoskopi hidung sisi kiri di mana ditemukan atresia choanal

unilateral dan rhinolith. Pelepasan atresia choanal endoskopi transnasal dan pengangkatan

rhinolith dilakukan dengan anestesi umum di ruang operasi. Pasca operasi, ia tetap
17
menggunakan dekongestan hidung, antibiotik spektrum luas, kortikosteroid intranasal, dan

analgesik. 8

18
Tabel 1. Publikasi diobservasi dengan penilaian kritis

No Artikel Tipe Populasi/ Intervensi/


Publika Pasien/ Indeks/ Komparat Hasil
si Masalah Indikator or
1 Abdull Review Beberapa Dilakukan analisis
Beberapa Hasil penelitian ini
ah et Article metode terhadap penelitian menunjukkan bahwa
al pembedahan beberapa terbaru hasil pembedahan
(2019) dilaporkan penelitian terbaru perbaikan CA tanpa
6
untuk di mana stent menunjukkan
memperbaiki pembedahan lebih sedikit
atresia untuk perbaikan komplikasi, sehingga
choanal pada atresia choanal mengurangi intensitas
anak-anak, diikuti dengan manajemen pasca
dan pilihan manajemen operasi. Prosedur
manajemen dengan bantuan dengan bantuan stent
pasca operasi stent dan/atau dapat menjadi pilihan
dengan atau tanpa stent. bagi pasien yang
tanpa stent lebih muda tanpa
masih komplikasi; namun,
kontroversial. penggunaan stent
harus dievaluasi
untuk setiap kasus,
karena beberapa
faktor mempengaruhi
patensi.
2 Giovan Observa Pasien yang opOperasi endoskopiTi Pasien Fo Penulis mendapatkan
ni et al tional menjalani transnasal. dengan keberhasilan operasi
(2020) Study operasi atresia atresia pada 85,7% kasus
7
choanal di Unit choanal dan jumlah rata-rata
Otolaringologi bilateral pelebaran endoskopi
Rumah Sakit (Grup A) adalah 3,5 (kisaran:
Pediatrik dan 3-7).
Bambino pasien
Gesù: 17 dengan
pasien dengan atresia
atresia choanal
choanal unilateral
bilateral (Grup (Grup B).
A) dan 29
pasien dengan
atresia
choanal
unilateral
(Grup B).
3 Zepha Case Seorang anak Pasien menjalani Tidak ada Pasien terus dipantau
nia et report laki-laki endoskopi hidung selama tiga bulan
al berusia 15 sisi kiri di mana dengan
(2023) tahun yang ditemukan atresia penyembuhan total
19
8
datang ke choanal unilateral neochanae
departemen dan rhinolith.
penulis Pelepasan atresia
dengan choanal
riwayat lama endoskopi
keluarnya transnasal dan
cairan dari pengangkatan
hidung rhinolith dilakukan
sebelah kiri dengan anestesi
yang tidak umum di ruang
berbau busuk operasi. Pasca
operasi, ia tetap
menggunakan
dekongestan
hidung, antibiotik
spektrum luas,
kortikosteroid
intranasal, dan
analgesik.

20
BAB IV

DISKUSI

Atresia unilateral menyebabkan sedikit gejala bahkan jika satu sisi tersumbat dan
mungkin tidak diketahui sampai anak lebih besar. Rinore purulen, sumbatan hidung
persisten, dan hiposmia dapat berkembang kemudian. Pada atresia koana unilateral, dapat
terjadi deviasi septum yang mengarah ke sisi yang mengalami atresia koana. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui hidung ke dalam nasofaring, jika
kateter tidak dapat melewati rongga hidung, kemungkinan terjadi atresia koana. Untuk
melihat gerakan kapas yang diletakkan di depan hidung dengan mulut tertutup, akan terlihat
gerakan kapas kurang atau tidak ada sama sekali. 4
Pemeriksaan penunjang berupa endoskopi fleksibel merupakan metode yang lebih
baik karena patensi nasal dapat dinilai dan anatomi dapat dievaluasi. Pemeriksaan
radiografi dengan memasukkan kontras ke dalam kavum nasi akan memperlihatkan
gambaran obstruksi. CT-scan merupakan pilihan untuk menilai sifat obstruksi (tulang atau
membran), posisi, ketebalan segmen yang obstruksi, sehingga dapat membantu ahli bedah
untuk perencanaan rekonstruksi.2
Tindakan yang dilakukan adalah choanoplasty dan pemasangan stent menggunakan
nasogastric tube ukuran 14. Pendekatan transnasal dipilih karena minimal invasif, usia
muda, durasi pembedahan lebih singkat, perdarahan yang lebih sedikit dan dapat
memberikan visualisasi lapangan operasi yang baik.
Sekresi disuction melalui stent hidung setiap hari. Tatalaksana koana atresia dibagi
menjadi tatalaksana darurat dan elektif. Atresia unilateral jarang merupakan keadaan
darurat dan pembedahan dapat ditunda hingga usia 1 tahun dan memungkinkan area yang
akan dioperasi tumbuh lebih besar sehingga mengurangi risiko stenosis pasca operasi.
Pasca operasi, pasien tidak sesak nafas, dapat bernafas melalui hidung secara
adekuat dan tidak ada sianosis. Pasien dipulangkan pada hari ke-3 perawatan tanpa keluhan
dan kontrol kembali di poliklinik THT RS Unhas.
Pemakaian stent intranasal pascaoperasi sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan.
Penggunaan stent pascaoperasi atresia koana mash kontroversial. Beberapa ahli
mengatakan bahwa stent dapat menstabilisasi jalan napas dan mencegah stenosis, akan
tetapi dapat juga menjadi risiko untuk terjadinya infeksi dan memicu timbulnya reaksi
tubuh terhadap benda asing. Oleh sebab itu dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis

21
setelah pemasangan stent. Pemberian obat antirefluks dianjurkan juga karena refluks
gastroesofageal dapat menyebabkan terjadinya granulasi dan stenosis.

Gambar 13. Tuba nasogastrik yang dipergunakan sebagai stent.

Pemasangan stent bertujuan untuk mempertahankan patensi koana dan mencegah


restenosis pascaoperasi. Pada kasus ini, stent dilepaskan 1 bulan pascaoperasi oleh karena
pasien rinorea berat dan foetor nasi. Hal ini disebabkan oleh karena penderita belum dapat
mengeluarkan sekret di hidung, namun hal ini dapat meningkatkan resiko restenosis karena
pelepasan stent lebih cepat. Idealnya stent dipertahankan selama 3 bulan dimana perawatan
stent dilakukan setiap hari.

22
BAB V

KESIMPULAN

Penatalaksanaan atresia koana unilateral adalah choanoplasty dengan stent. Tujuan


penempatan stent adalah untuk menjaga patensi koana dan mencegah restenosis pasca
operasi. Dalam kasus ini, stent dilepas 1 bulan pasca operasi karena obstruksi pada stent
kiri dan pasien rinore. Hal ini karena pasien belum bisa mengeluarkan sekret di hidung,
namun hal ini dapat meningkatkan risiko restenosis karena pelepasan stent lebih cepat.
Idealnya stent dipertahankan selama 3 bulan dimana perawatan stent dilakukan setiap hari.
Menggunakan stent selama perbaikan masih kontroversial. Pemasangan stent
diketahui meminimalkan risiko restenosis, tetapi dapat menyebabkan infeksi, bekas luka
(terutama pada septum, kartilago alar, dan columella), dan pembentukan granulasi dengan
kemungkinan restenosis.

23
REFERENSI

1. T Tewfik TL, Alrajhi YA. Koana atresia, emedicine [serial di internet]. Tersedia
dari: http://emedicine.medscape.com/article/872409- overview. Diakses 22 Juli
2011.
2. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Buku Ajar Penyakit THT.
Boeis. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. hal.320-55.
3. Husni T. Atresia Koana. 2009. Volume 9 Nomor 3 Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
Aceh. P. 145-55.
4. Perkasa MF. Penanganan Meningosil dan Atresia Koana Bilateral. ORLI Vol.43
No.1, 2013. Makassar: THTKL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
hal.54-59.
5. Mohamed MA, Kadah SM, El-gaber FMA, El-anwar MW, Ghanem AEM.
Choanoplasty transnasal dengan dan tanpa stent: studi banding. Jurnal kedokteran
Al-Azhar Assiut. 2015;13(3):84–94.
6. Albdah, A., Alanbari, M., Alwadi, F. and Albdah, A.A., 2019. Choanal atresia
repair in pediatric patients: is the use of stents recommended?. Cureus, 11(3).
7. De Vincentiis, G.C., Panatta, M.L., De Corso, E., Marini, G., Bianchi, A., Giuliani,
M., Sitzia, E. and Tucci, F.M., 2020. Endoscopic treatment of choanal atresia and
use of balloon dilation: our experience. Acta Otorhinolaryngologica Italica, 40(1),
p.44.
8. Abraham, Z.S. and Kahinga, A.A., 2023. Unilateral choanal atresia and a co-
existent long-standing medium-sized ipsilateral rhinolith in a 15-year old boy: Case
report and literature review. International Journal of Surgery Case Reports, 105,
p.107999

24
25

Anda mungkin juga menyukai