oleh:
dr. Emil Kardani Murdiyanto
Pembimbing:
Dr. dr. Muh. Fadjar Perkasa, Sp.THT-BKL (K)
A. DEFINISI................................................................................................. 4
B. EMBRIOLOGI ....................................................................................... 4
C. ANATOMI............................................................................................... 5
D. EPIDEMIOLOGI ................................................................................... 6
F. DIAGNOSIS ............................................................................................ 6
G. PENATALAKSANAAN ........................................................................ 10
H. KOMPLIKASI ........................................................................................ 11
REFERENSI ......................................................................................................... 24
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Atresia koana adalah oklusi membran atau tulang kongenital dari satu atau dua koana
akibat gagalnya membran bukonasalis untuk membelah sejak masa embrional.1
B. EMBRIOLOGI
Terdapat empat teori dasar terjadinya atresia koana, yang pertama adalah membran
bukofaringeal yang persisten dari pembentukan saluran pencernaan atas (foregut), teori kedua
menyatakan terdapat adhesi abnormal saat pembentukan mesoderm pada lokasi terbentuknya
koana, teori ketiga terdapat abnormal persisten membran nasobukal Hochstetter dan yang
keempat adalah terdapat kegagalan embriogenesis pada saat migrasi krista sel neural dalam
pembetukan koana.2
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari
pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian
kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda; kedua adalah bagian
dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat yang dikenal
dengan konka (turbinate) dan membentuk rongga-rongga yang disebut sebagai sinus. Sejak
kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional anatomi hidung
mulai terbentuk rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan
bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga
ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya
akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah
posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah
maksilaris.2
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terbentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia
4
kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah
konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia Sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus
maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Pada saat yang bersamaan
terbentuknya prosesus unsinatus dan bula etmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar
disebut hiatus semilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan
pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media
dan sel etmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior.2
C. ANATOMI
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga
koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi
membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior
kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior
berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan di batasi oleh
nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris, sinus
etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.3
5
3
Gambar 1. Anatomi hidung
Deformitas anatomi pada atresia koana kavum nasi menjadi pendek dan ruang
nasofaring menjadi lebar (gambar 2).4
4
Cavum nasi bagian posterior berhubungan dengan nasofaring melalui apertura
nasalis posterior yang disebut koana. Bagian inferior koana dibentuk oleh alaris os vomer
septum nasi yang memisah-kan koana kiri dan kanan. Arteri sfenopalatina memperdarahi
dining lateral kavum nasi melalui foramen sfenopalatina pada posterior konka media.
Segera setelah keluar dari foramen, arteri sfenopalatina mempercabangkan arteri nasalis
posterior. Arteri ini memperdarahi konka superior sebelum masuk ke dalam koana posterior
pars osseus di dinding anterior sinus sfenoid hingga sisi posterior septum. Daerah potensial
lainnya adalah pada Woodruff's area yang terletak di dinding kavum nasi posterior di bawah
ujung posterior konka inferior.'
5
Gambar 4. Embriologi perkembangan fossa nasalis.
D. EPIDEMIOLOGI
Atresia koana diketahui lebih dari 200 tahun yang lalu pertama kali
dikenalkan oleh Roederer pada tahun 1755. Atresia koana terjadi dalam 1 : 5000-
7000 kelahiran. Secara umum 65-75 % kejadian atresia koana merupakan atresia
koana unilateral dan sisanya merupakan atresia koana bilateral. Pada tahun 1910
dilaporkan terdapat 90 % atresia koana tipe tulang dan 10 % atresia koana dengan
tipe membran. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan struktur histologi 63 orang
pasien dengan tipe tulang murni sebanyak 30 % dan campuran 70 %.2
F. DIAGNOSIS
7
Gambar 5. Atresia koana unilateral (A), atresia koana bilateral (B)
8
Gambar 7. Atresia koana unilateral tipe membran sebelum dan sesudah operasi (CA =
Choanal atresia, C = Choana, IT = Inferior turbinate, S = Septum)
9
G. PENATALAKSANAAN
H. KOMPLIKASI
Penggunaan teknik endoskopi memiliki keutamaan bekas operasi yang
lebih kecil dan minimal invasif namun memiliki komplikasi restenosis yang terjadi
beberapa minggu setelah tindakan sehingga membutuhkan tindakan pembedahan
ulang.5
11
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang ke poliklinik THT Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin. Dari anamnesis keluhan utama rinore pada hidung sebelah kiri
sejak 6 tahun yang lalu (sejak lahir) dan ada obstruksi nasi. Tidak ada riwayat minum obat
saat ibu hamil, tidak ada riwayat penyakit sistemik atau penyakit sejenis di keluarga.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nafas 92 kali per menit, suara nafas
bronkovesikular tanpa ronki dan mengi. Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas
normal. Pada rinoskopi anterior, tidak ada coana di rongga hidung kiri. Tes dengan kapas
yang diletakkan di depan hidung, tidak terlihat hembusan nafas. Evaluasi nasoendoskopi
dilakukan, koana kiri tertutup.
Pada CT scan kepala, terdapat penyempitan rongga hidung kiri dan didiagnosis
atresia coana sinistra. Choanoplasty endoskopi dilakukan dalam posisi terlentang di bawah
anestesi umum dengan tabung endotrakeal. Tampon anterior ditempatkan di rongga hidung
kiri selama 10 menit dan kemudian diangkat dan evaluasi endoskopik dilakukan. Koana
kiri terlihat ditutupi oleh lapisan tulang. Sebuah lubang dibuat di koana kiri menggunakan
pahat dan forsep. Stent dipasang pada rongga hidung kanan dan kiri menggunakan
nasogastric tube nomor 14 kemudian difiksasi pada columella anterior.
12
Gambar 10. CT scan koronal-aksial-sagital pra operasi.
Gambar 11. endoskopi pra operasi dan pasca operasi (setelah 1 bulan)
III.1. Tatalaksana
13
LAPORAN OPERASI
14
PERTANYAAN KLINIS
Apa tatalaksana yang tepat untuk kasus atresia koana unilateral?
METODE
akustikus eksternus yang didapatkan pada Pubmed. Kriteria inklusi: 1) tatalaksana atresia
koana unilateral 2) diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, 3) tersedia fulltext, dengan kriteria
(n = 270)
en
tif
ic
ati
Eksklusi
on
Penulisan > 10 tahun (n = 192)
Rekaman setelah eksklusi
Sc penulisan > 10 tahun
re (n = 78)
en
in
Skrining
cl
ud (n = 3)
ed
Gambar 12. Istilah pencarian dan proses pemilihan publikasi (PRISMA Flowchart)
15
HASIL
Hasil pencarian di jurnal Pubmed diperoleh total 270 jurnal yang disesuaikan
dengan kata kunci yang dimasukkan pada setiap database. (Gambar 12).
Terdapat 3 artikel yang diperoleh memiliki relevansi untuk tinjauan kritis terkait
penghilangan atau penyempitan saluran hidung, ditemukan secara luas pada populasi anak
dan dewasa. Sementara atresia choanal unilateral dapat tetap tidak teridentifikasi selama
beberapa tahun, atresia choanal bilateral membutuhkan intervensi segera, karena anak-anak
pada dasarnya bernapas melalui hidung hingga usia empat bulan. Beberapa metode
pembedahan dilaporkan untuk memperbaiki atresia choanal pada anak-anak, dan pilihan
manajemen pasca operasi dengan atau tanpa stent masih kontroversial. Dalam tinjauan ini,
atresia choanal diikuti dengan manajemen dengan bantuan stent dan/atau tanpa stent. Hasil
operasi. Prosedur dengan bantuan stent dapat menjadi pilihan bagi pasien yang lebih muda
tanpa komplikasi; namun, penggunaan stent harus dievaluasi untuk setiap kasus, karena
beberapa faktor mempengaruhi patensi. Namun, penelitian tingkat tinggi lebih lanjut
diperlukan untuk menarik kesimpulan yang jelas. Hasil penelitian ini kemungkinan besar
akan membuka jalan untuk pemahaman lebih lanjut mengenai pilihan metode untuk
pengalaman penulis dalam perawatan bedah atresia choanal unilateral dan bilateral. Penulis
menjelaskan teknik bedah endoskopi untuk pembuatan neochoanes dan pelebaran balon
16
yang diulang setelah pembedahan untuk menstabilkan hasilnya. Penelitian ini dilakukan
dari Desember 2014 hingga Desember 2018, dengan melibatkan 46 pasien yang menjalani
operasi atresia choanal di Unit Otolaringologi Rumah Sakit Pediatrik Bambino Gesù: 17
pasien dengan atresia choanal bilateral (Grup A) dan 29 pasien dengan atresia choanal
unilateral (Grup B). Semua pasien menjalani operasi endoskopi transnasal. Insisi mukosa
dibuat dengan sistem dingin dan panas (laser diode). Penghapusan plak atresia dapat
pelebaran balon. Tidak ada stent yang digunakan, dan tidak ada pasien yang menjalani
pengobatan dengan mitomisin topikal. Tindak lanjut endoskopi pertama dilakukan 7 hari
setelah operasi dengan kuretase bedah dan pelebaran balon kedua 15 hari setelah operasi
untuk menstabilkan saluran yang baru. Pemeriksaan lebih lanjut disarankan pada 1 bulan
keberhasilan operasi pada 85,7% kasus dan jumlah rata-rata pelebaran endoskopi adalah
3,5 (kisaran: 3-7). Bedah endoskopi transnasal sekarang dianggap sebagai standar emas
terapi untuk atresia unilateral dan bilateral. Bahkan jika masih digunakan, pemasangan
stent pasca operasi dapat dihindari menurut pendapat penulis; kekambuhan dapat dikurangi
bantuan yang sahih untuk pengobatan atresia primer dan pada kasus-kasus kekambuhan. 7
yang datang ke departemen penulis dengan riwayat lama keluarnya cairan dari hidung
sebelah kiri yang tidak berbau busuk yang diketahui pertama kali saat ia berusia 5 tahun,
tetapi pada usia 13 tahun, ia datang dengan perdarahan hidung ipsilateral dan cairan berbau
busuk yang bersifat episodik. Dia telah berobat ke berbagai fasilitas kesehatan perifer tanpa
hasil. Pasien menjalani endoskopi hidung sisi kiri di mana ditemukan atresia choanal
unilateral dan rhinolith. Pelepasan atresia choanal endoskopi transnasal dan pengangkatan
rhinolith dilakukan dengan anestesi umum di ruang operasi. Pasca operasi, ia tetap
17
menggunakan dekongestan hidung, antibiotik spektrum luas, kortikosteroid intranasal, dan
analgesik. 8
18
Tabel 1. Publikasi diobservasi dengan penilaian kritis
20
BAB IV
DISKUSI
Atresia unilateral menyebabkan sedikit gejala bahkan jika satu sisi tersumbat dan
mungkin tidak diketahui sampai anak lebih besar. Rinore purulen, sumbatan hidung
persisten, dan hiposmia dapat berkembang kemudian. Pada atresia koana unilateral, dapat
terjadi deviasi septum yang mengarah ke sisi yang mengalami atresia koana. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui hidung ke dalam nasofaring, jika
kateter tidak dapat melewati rongga hidung, kemungkinan terjadi atresia koana. Untuk
melihat gerakan kapas yang diletakkan di depan hidung dengan mulut tertutup, akan terlihat
gerakan kapas kurang atau tidak ada sama sekali. 4
Pemeriksaan penunjang berupa endoskopi fleksibel merupakan metode yang lebih
baik karena patensi nasal dapat dinilai dan anatomi dapat dievaluasi. Pemeriksaan
radiografi dengan memasukkan kontras ke dalam kavum nasi akan memperlihatkan
gambaran obstruksi. CT-scan merupakan pilihan untuk menilai sifat obstruksi (tulang atau
membran), posisi, ketebalan segmen yang obstruksi, sehingga dapat membantu ahli bedah
untuk perencanaan rekonstruksi.2
Tindakan yang dilakukan adalah choanoplasty dan pemasangan stent menggunakan
nasogastric tube ukuran 14. Pendekatan transnasal dipilih karena minimal invasif, usia
muda, durasi pembedahan lebih singkat, perdarahan yang lebih sedikit dan dapat
memberikan visualisasi lapangan operasi yang baik.
Sekresi disuction melalui stent hidung setiap hari. Tatalaksana koana atresia dibagi
menjadi tatalaksana darurat dan elektif. Atresia unilateral jarang merupakan keadaan
darurat dan pembedahan dapat ditunda hingga usia 1 tahun dan memungkinkan area yang
akan dioperasi tumbuh lebih besar sehingga mengurangi risiko stenosis pasca operasi.
Pasca operasi, pasien tidak sesak nafas, dapat bernafas melalui hidung secara
adekuat dan tidak ada sianosis. Pasien dipulangkan pada hari ke-3 perawatan tanpa keluhan
dan kontrol kembali di poliklinik THT RS Unhas.
Pemakaian stent intranasal pascaoperasi sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan.
Penggunaan stent pascaoperasi atresia koana mash kontroversial. Beberapa ahli
mengatakan bahwa stent dapat menstabilisasi jalan napas dan mencegah stenosis, akan
tetapi dapat juga menjadi risiko untuk terjadinya infeksi dan memicu timbulnya reaksi
tubuh terhadap benda asing. Oleh sebab itu dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis
21
setelah pemasangan stent. Pemberian obat antirefluks dianjurkan juga karena refluks
gastroesofageal dapat menyebabkan terjadinya granulasi dan stenosis.
22
BAB V
KESIMPULAN
23
REFERENSI
1. T Tewfik TL, Alrajhi YA. Koana atresia, emedicine [serial di internet]. Tersedia
dari: http://emedicine.medscape.com/article/872409- overview. Diakses 22 Juli
2011.
2. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Buku Ajar Penyakit THT.
Boeis. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. hal.320-55.
3. Husni T. Atresia Koana. 2009. Volume 9 Nomor 3 Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
Aceh. P. 145-55.
4. Perkasa MF. Penanganan Meningosil dan Atresia Koana Bilateral. ORLI Vol.43
No.1, 2013. Makassar: THTKL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
hal.54-59.
5. Mohamed MA, Kadah SM, El-gaber FMA, El-anwar MW, Ghanem AEM.
Choanoplasty transnasal dengan dan tanpa stent: studi banding. Jurnal kedokteran
Al-Azhar Assiut. 2015;13(3):84–94.
6. Albdah, A., Alanbari, M., Alwadi, F. and Albdah, A.A., 2019. Choanal atresia
repair in pediatric patients: is the use of stents recommended?. Cureus, 11(3).
7. De Vincentiis, G.C., Panatta, M.L., De Corso, E., Marini, G., Bianchi, A., Giuliani,
M., Sitzia, E. and Tucci, F.M., 2020. Endoscopic treatment of choanal atresia and
use of balloon dilation: our experience. Acta Otorhinolaryngologica Italica, 40(1),
p.44.
8. Abraham, Z.S. and Kahinga, A.A., 2023. Unilateral choanal atresia and a co-
existent long-standing medium-sized ipsilateral rhinolith in a 15-year old boy: Case
report and literature review. International Journal of Surgery Case Reports, 105,
p.107999
24
25