Anda di halaman 1dari 5

“Sampean ini gimana toh, orang ada yang kecelakaan

kok yo malah digerumuli begini. Sana minggir! Biar


>C E R P E N mobilnya bisa ndeket ke korbannya. Ayo minggir!
Minggir! ” ulang polisi lagi sambil mengibas kerumunan
Seperti Halnya Hujan orang-orang itu dengan kedua tangan gemuknya.

“Bu.. bapak wes ndak kuat lagi.. wes ndak usah mbok
Izza Maulida Sapta N.W
tangisi, bapak wes siap madep Gusti Allah.. bapak mung
pesen siji, Yusro. Sekolahno Yusro ning pondok, terusno
nganti kuliah..” suara Pak Sholihin semakin terengah-
Dihari rabu, 24 April 1987, Jember diguyur hujan
engah ditengah keributan orang-orang dan petugas
lebat disiang harinya yang terlihat begitu mencekam.
kepolisian. Rembesan darah dari belakang kepalanya
Suasana dusun Rowotengu terselimuti sepi. Jalanan
membuat jalanan itu seolah habis diguyur hujan darah.
banjir akibat got yang tak cukup memadai aliran bah Ibu Marti istrinya, menangis tersedu sedu , “pak..
dari sungai yang dijuluki sungai mbah langkung itu jangan tinggalkan ibu. Paaak…”
membuat suasana menjadi semakin tidak enak
“Asyhadu alaa illa ha illallaaah.. wa asyhadu anna
dipandang.
Muhammad rasulullaaah…”
Yusro memacu sepedanya dengan hati-hati. Pukul 1
“paaaaaaaaaak…….” Teriak Bu Marti semakin memilukan.
nanti bapaknya akan pulang dari Tuban. Lusa kemarin
Dan sejak saat itulah, bagi Yusro, kehadiran hujan tak
kakaknya melahirkan, dan ia ditugasi oleh bapaknya lagi bermakna sama dihidupnya.
menjaga rumah selagi bapak dan ibunya tidak ada
dirumah. Pada tahun 1987, di dusun Rowotengu, Pak
Sholihin termasuk satu dari tiga keluarga yang Terkadang jalan hidup yang telah kita atur
tergolong kaya. Dan siang itu, ketika Jember diguyur sedemikian terencananya bisa saja berubah. Itulah
hujan derasnya, Tuban sedang dalam siangnya yang yang kini terjadi dengan Yusro. Sepeninggal bapaknya,
memilukan. ia harus menyampingkan keinginannya sendiri untuk
melanjutkan pendidikannya. Baginya, amanah orangtua
tidak akan bisa ia nomorduakan. Dan disinilah
“Minggir minggir!!”, teriak seorang polisi yang terlihat Muhammad Yusro Al-Hamdani berada. Disuatu pondok
yang tidak terlalu terkenal di Jawa Tengah.
berusaha menertibkan gerumbulan orang yang sedang
melingkari korban kecelakaan beberapa menit lalu. Hari demi hari ia lewati, namun berada disuatu
lingkup berbeda tak pernah mengubah arti hujan
baginya. Untuk Yusro, hujan tetaplah sesuatu yang “Tapi Yai.. saya..” sanggah Yusro
jahat. Baginya hujan adalah perebut. Apa yang menarik
“Wes, ndang siap-siap kono, aku tak nang umi disek”
dari hujan? Justru karena hujanlah hidupnya berubah.
potong Kyai Mahmud sambil beranjak masuk ke dapur
Semuanya berbalik arah. Dan ketika hujan disore ini
turun untuk yang kesekian kalinya, Yusro melangkah mencari Umi Hamidah, istrinya.
masuk menuju kamar tidurnya. Kau tahu? Kemana Kyai Mahmud membawa
Yusro? Memang benar ke Tuban, namun ditempat yang
sungguh telah Yusro lupakan mati-matian semenjak
“Sro! Yusro! Dipanggil Pak Kyai di ndalem” teriak Abidin
kepergian bapaknya. Benar. Kyai Mahmud membawa
dari serambi kamar.
Yusro ke desa Wonosari, desa dimana kecelakaan tragis
“Ada apa din?” Tanya Yusro sambil menghampiri Abidin
itu terjadi.
yang sekarang terlihat mengatur nafasnya yang
terengah-engah habis berlari. Begitu sakit hati Yusro saat ia menyadari dimana ia
sekarang. Entahlah, berdamai dengan keadaan bukan
“Ndak tau, tapi tadi Pak Kyai terlihat gopoh gitu. Wes
suatu hal yang dapat diterima begitu saja oleh Yusro.
ndang cepetan kesana!” jawab Abidin masih dengan
Bagi Yusro, Bapaknya adalah hidupnya, panutannya,
terengah-engah.
tauladannya, dan juga semangatnya. Namun apa yang
*** terjadi? Pahit. Begitu pahit ia mengingat kejadian itu.

“Assalamu’alaikum Yai..” “Sro, ayo masuk. Ini adalah rumah peninggalan kakekku
dulu. Diwariskan pada abahku. Lalu diberikan padaku.
“Wa’alaikumsalam, Yusro,sini ndang masuk.” Jawab Kyai
Memang terlihat seperti gubuk. Kecil, sempit, ini juga
Mahmud
kotor. Tapi mari kita benahi habis ini. Kita istirahat
“Enten nopo Yai?” Tanya Yusro dulu sebentar.
Kyai Mahmud menatap Yusro dengan takzim, “Le, aku “Dulu, aku begitu senang disini. Ketika aku bersama
hendak mengajakmu ke Tuban. Ada yang harus aku kakekku, tidur ditikar. Bergurau, diceritani sejarah-
selsaikan disana. Kamu temani aku yo. Mungkin kita akan sejarah Indonesia. Aku tinggal disini tujuh tahun lebih.
lama di Tuban nanti. Sekarang kamu ndang beres-beres. Hingga kakekku meninggal, aku disuruh abah untuk
Bawa pakaian buat disana. Setengah jam lagi kita akan pulang ke Solo.” Cerita Kyai Mahmud panjang lebar
berangkat, diantar Budi naik Truk pondok” jawab Kyai
“Punten Yai.. kita ada perlu apa kesini?” Tanya Yusro
Mahmud tanpa menunggu persetujuan Yusro.
pelan berusaha menyembunyikan gejolak hatinya. Cerita
kematian bapaknya tidak ada yang tahu. Hanya dia. kakinya sendiri, melihat tempat ini juga dengan matanya
Maka sakit hatinya tentang tempat ini, daerah ini, tidak sendiri? Yusro menunduk, menekan amarahnya.
ada yang tahu sama sekali, termasuk Kyai Mahmud.
“Yusro, ada saat dimana Allah mengajarkan kita
Kyai Mahmud tersenyum, “Nanti kamu juga tahu Sro, kehidupan lewat oranglain. Dan ada pula saat Dia
sabar” jawab Kyai Mahmud. Dan Yusro hanya diam. mengajarkan kehidupan lewat alam, kejadian-kejadian
memilukan, beserta segala cara-Nya sendiri.
Hingga menjelang maghrib, kegiatan Kyai
Mahmud dan Yusro membersihkan dan merapikan gubuk “Apa daya kita yang hanya sebagai makhluk? Rendah,
itu pun selesai. Selepas itu keduanya membersihkan kotor, tidak bermakna sama sekali. Kita hanya bisa
diri, sholat, makan dan berbincang-bincang ringan menerimanya. Mau ndak mau. Suka ndak suka. Ikhlas
sambil menunggu waktu isya’ tiba. ndak ikhlas. Mau apa? Menuntut Tuhan itu ya ndak baik
toh? Ya itulah hamba Sro, tapi alangkah lebih indahnya,
jika sebagai hamba yang bisanya cuma menerima itu
Sekitar pukul setengah empat pagi, Kyai Mahmud kita juga berusaha. Berusaha apa? Ya berusaha
dan Yusro berjalan menyusuri jalan setapak ditemani menerima yang enak dengan lapang, juga yang ndak enak
dengan dinginnya udara embun, dan ciutan burung- dengan senyuman, keikhlasan.
burung desa yang masih terjaga kelestariannya. Kyai
“Sro, Bapak ngerti, semenjak bapakmu meninggal disini,
Mahmud berjalan diikuti Yusro dibelakangnya. Keduanya
kamu membenci semua hal yang bersangkutan dengan
sama-sama diam. Menghayati setiap langkah masing-
kejadian itu. Tempat ini kamu benci, bahkan hujan, yang
masing yang menyatu dengan bumi. Menghirup nafas
termasuk karunia Allah juga kamu benci. Bapak sengaja
pagi dan bermuwajahah dengan alam. Hingga langkah
bawa kamu kesini Sro. Kamu pasti bertanya-tanya toh?
Kyai Mahmud terhenti ditepi jalan besar. Dan
Maka inilah jawaban pertanyaanmu Sro,
mematunglah Yusro seketika.
“Lihatlah tanah didepanmu itu, sepagi ini ia begitu
Degup jantung Yusro naik, nafasnya memburu,
sejuk. Lewat tanah itu warga disini maupun dari daerah
dan kini matanya mulai memanas. Mangapa Kyai Mahmud
lain berlalu lalang, entah untuk bekerja, ataupun
membawanya kemari? Ditempat ini? Tempat yang
bersapa sanak saudara. Lalu kamu membencinya, karena
dengan susah payah ia lupakan. Tempat yang paling
ditanah itu, kejadian pilu itu terjadi, ditanah itu pula
menyakitkan baginya. Namun lihatlah, sekarang ia
bapakmu pergi. Kamu membencinya karena suatu alasan
berdiri ditempat ini? Berpijak ditanah ini dengan
yang menurutmu menyakitimu, namun tidakkah kau tahu
Sro? Sesungguhnya tanah itu mendoakan almarhum
bapakmu didetik pertama darah bapakmu menyelimuti dalam ingatan. Itulah yang selama ini juga terjadi
tanah itu. Ia berdoa untuk seorang sholeh macam padamu,
bapakmu. Bahkan alam ini lebih tahu mana orang yang
“Sro, bahkan Allah menciptakan pelangi setelah
sholeh, mana yang durhaka sama Allah. Kamu kira tanah
jatuhnya hujan kebumi. Agar apa? Agar manusia paham
itu tertawa melihat penderitaanmu? Tidak. Tidak Sro.
bahwa tidak selamanya kita akan seperti hujan, yang
“Juga hujan, hujan adalah cara awan mengajarkan datang, jatuh lalu hilang. Akan ada masa yang begitu
kehidupan. Hidup ini seperti halnya hujan Sro, ada menakjubkan setelahnya. Pelangi bahagia setelah hujan
kalanya ia hanya jatuh sebagai rintik, ada kalanya ia duka. Dan kau harus percaya itu. Karena kebahagiaan
deras, bahkan saking derasnya kadang tanggul tak selalu datang setelah berlalunya kepedihan.
cukup kuat menahan alirannya. Namun dengan seperti
“Maka berdamailah Sro, ikhlaskan. Jangan lagi
itu ia mengajarkan pohon tinggi tentang bagaimana
membenci sesuatu yang justru merengkuhmu dalam
tetap berdiri tegak saat derasnya membawa angin yang
kenikmatan-Nya.”
sanggup mematahkan batangnya, membuatnya tumbang.
Dengan seperti itu ia mengajarkan rumput untuk Yusro menangis tergugu disamping Kyai Mahmud. Kini ia
tumbuh, dengan begitu ia mengajarkan dahan untuk sadar, tak sepantasnya membenci masa lalumu. Tak
menari agar ia tak layu. Hujan adalah karunia Allah yang seharusnya memusuhi keadaan. Karena sungguh, Allah
paling indah Sro. Juga sahabat bagi anak-anak kecil Maha Tahu atas segala sesuatunya.
untuk menari ditengah-tengahnya, membuat mereka Kyai Mahmud menarik Yusro kepelukannya,
tertawa bahagia dimasa kecilnya. membiarkan pemuda itu mengeluarkan seluruh
“Ada juga yang menatapnya dibalik jendela sambil penyesalannya. Merelakan jubahnya basah oleh airmata
tersenyum, menangis, atau teringat akan masa lalu yang Yusro, santri kesayangannya.
berhubungan dengannya, agar apa? Agar manusia tidak “Trimakasih Pak Yai.. sungguh Terimakasih..” bisik
terlalu sombong untuk dengan mudahnya melupakan Yusro ditengah isaknya.
kenangan hidupnya. Kenangan adalah jalan yang
mengantarmu menuju tempatmu sekarang. Kenangan “Berterimakasilah pada Allah nak, juga minta ampunlah
adalah dekorasi dialur hidupmu. Namun mengapa pada-Nya.. aku hanya sebagai perantara. Sebagai
sebagian orang tak suka kenangan? Karena mereka penyampai maksud-Nya kepadamu..” jawab Kyai Mahmud
terlalu takut untuk merasakannya. Mereka tidak cukup sambil mempererat pelukannya,
siap untuk kembali jatuh kemasa-masa itu, walau hanya
“seperti halnya hujan, maka berdamailah..” lanjut Kyai
Mahmud sambil menitikkan air mata.

Anda mungkin juga menyukai