Anda di halaman 1dari 15

BAB II

II.I. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata Pedagogi yang berarti “pendidikan” dan Pedagogia yang berarti

“ilmu pendidikan”.1 Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “pedagogia” yang terdiri dari

kata Paedos, artinya “anak” dan Agoge, artinya membimbing, jadi pedagogia yaitu bimbingan

yang diberikan kepada anak”.2 Kemudian, orang yang memberikan bimbingan dan tuntunan

kepada anak itu disebut paedagogos.3 Dari istilah tersebut dapat dijelaskan bahwa pendidikan

merupakan seorang yang tugasnya membimbing anak di dalam proses pertumbuhannya sehingga

mampu menjadikannya anak yang bertanggung jawab.

Paedagogos mempunyai tugas dan pertanggungjawaban yang penuh terhadap anak yang

dibimbing, sebab ia bukan hanya mengajari si anak dengan memberikan pengetahuan dan

informasi-informasi sehingga menjadikannya semakin dewasa dan mampu mandiri, melainkan

juga bertanggung jawab untuk menjemput si anak dari rumah kemudian mengantarkannya

kembali ke rumah. Kata itu kemudian diambil alih oleh bahasa Belanda menjadi Paedagogiek.

Kata pendidikan dalam bahasa inggris yaitu Education yang berasal dari bahasa latin yang

berarti menggali hal-hal yang tersimpan di dalam diri dan jiwa si anak dengan memberikan

tuntunan sehingga si anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik.4

Dalam proses pendidikan, hal yang utama adalah tugas si pendidik yang memberi tuntunan

kepada anak didik. Pendidik dituntut untuk menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan

1
Tholib Kasan, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Studia Press, 2009), 7.
2
H. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 69.
3
H.R. Panjaitan, “Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas”, dalam Pendidikan dan Lutheran,
peny. Jan S. Aritonang, (Pematang Siantar: Komite Nasional Lutheran World Federation, 2012), 64.
4
Panjaitan, “Sekolah Gereja”, 64.
anak didiknya. Hal itu menjadi conditione sine quanon (kondisi yang tidak boleh tidak dipahami)

sehingga pendidikan akan berhasil.

Budaya pendidikan atau belajar dan mengajar telah berkembang pada masa sebelum Perjanjian

Baru, yang kemudian berpengaruh bagi kebiasaan Yesus pada masa mudaNya yang tinggal

bersama orang tuaNya di pedesaan Nazaret. Yesus tentu belajar membaca, karena Ia telah

mampu membaca Taurat di Sinagoge Nazaret (Luk 4: 16) dan telah mampu menulis seperti yang

Ia lakukan dalam peristiwa membawa seorang wanita yang berzinah (Yoh 8:6, 8).5

Yesus yang telah mempelajari Firman bukan untuk mencari keuntungan, melainkan agar

mengajari para pengikutnya bagaimana kasih dan kehendak Tuhan (Mat 9: 13). Yesus memberi

perintah agar orang Farisi pergi dan belajar untuk mempelajari Firman Allah lebih lanjut sebab

mereka yang menyombongkan diri karena pengetahuan dan kesesuainnya dengan kitab suci,

perlu pergi dan belajar. Yesus menginginkan mereka agar belajar bagaimana bersimpati kepada

orang-orang yang terpinggirkan dan tidak hanya mementingkan kesucian upacara. Dalam

pendidikan juga khususnya terhadap calon pelayan Tuhan dituntut memiliki kualitas kepribadian

dan kualitas pengajaran. Dalam 1 Timotius 4:6 dikatakan bahwa pemberita Injil pada zaman

Perjanjian Baru harus terdidik dalam ajaran-ajaran sehat, ini menunjukkan agar pelayan Tuhan

diharapkan untuk waspada terhadap ajaran sesat. Paulus dalam menanggapi tugas yang berat di

dalam melawan ajaran sesat, ia memperkuat kedudukan Timotius yang relatip muda dan tidak

mempunyai kuasa rasuli dan memberikan kewibawaan kepadanya, ia menulis kata-kata tersebut. 6

Oleh karena itu, seseorang yang terdidik dalam soal-soal pokok iman dan telah mengikuti ajaran

sehat seperti Timotius akan dapat diandalkan di dalam jemaat.

5
Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar, Dan Pokok-Pokok Teologisnya, Cetakan-1.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 45.
6
R. Budiman, Surat 1 & 2 Timotius dan Titus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 37.
Suatu sistem pendidikan membutuhkan dasar konseptual, ini bertujuan agar cita-citanya dapat

direalisasikan. Adapun dasar pendidikan budaya dewasa ini terletak dalam konsep nilai moral

dan rohani.7 Dalam hal ini, para pendidik sepakat dalam menegaskan bahwa itulah landasan yang

padanya demokrasi dapat dipertahankan secara efektif sebagai suatu cara hidup. Nilai-nilai

tersebut lazim dikenal sebagai hal-hal yang “benar, bagus dan baik”.

Adapun maksud dari pendidikan adalah mempersiapkan anak untuk hidup di dalam masyarakat

dan bangsa

Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian pendidikan, diantaranya:

1. J.J. Rousseau menjelaskan bahwa pendidikan adalah memberi seseorang pembekalan yang

tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi orang tersebut membutuhkannya pada waktu

dewasa.8

2. Langeveld menjelaskan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan

bantuan yang diberikan kepada arah tertuju kepada pendewasaan anak itu atau membantu agar

cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa

(atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan

sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.9

Dari beberapa pandangan ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan

proses yang datang dari dua belah pihak yaitu individu yang memiliki potensi untuk berkembang

dan individu lain yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perkembangan individu secara

7
Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 12.
8
Ahmadi dan Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, 69.
9
Kasan, Dasar-Dasar Pendidikan, 9.
interaktif. Ini adalah sebuah penekanan kepada individu lain yang memiliki potensi untuk

membantu perkembangan individu tersebut.

Adapun yang menjadi tombak pendidikan di Indonesia abad ke-19 adalah kolonial Belanda. Di

zaman penjajahan Belanda sistem pendidikan yang diberlakukan sejak diterapkannya politik etis

adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar mencakup jenis sekolah menggunakan pengantar

Bahasa Belanda yaitu, ELS (Europese Lagere School), HCS (Hollandsch Chineesche), HIS

(Hollands Inlandsche School), sekolah menggunakan pengantar bahasa wilayah (IS, VS, VgS),

serta sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum yaitu, MULO

(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), HBS (Hogere Burger School), AMS (Algemene Middelbare

School) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi. Beberapa tokoh politik etis tersebut

telah bersikap etis terhadap rakyat pribumi, namun perusahaan Belanda/Eropa bertindak tidak

berdasarkan politik etis, melainkan karena kepentingan ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan

para pemilik modal sangat mendukung didirikannya pendidikan tinggi guna menghasilkan tenaga

kerja agar mudah didapatkan dengan upah rendah, agar menjamin keuntungan maksimal bagi

para pemilik modal Belanda.10

Pendidikan sebelum masuknya kekristenan di Tapanuli Utara berada pada Adat. Adat-adat yang

dilakukan masyarakat Batak Toba adalah suatu proses pendidikan yang dilangsungkan kepada

masyarakatnya. Hal ini tampak jika dilihat bahwa pendidikan hanya didapat dari apa yang

disebut sebagai guru dan muridnya yang terdiri atas tiga sampai lima orang. Pelajaran yang

mereka dapatkan ialah membaca, menulis, dan mengarang, bernyanyi tanpa not, teka-teki,

10
H. Hendri, “Kebijakan Politik Pendidikan Tinggi Pemerintah Kolonial Belanda Di Indonesia (1920-
1942)”, Diakronika, (2017), 40.
berumpama dan media yang digunakan ialah tolot (semacam daun lontar), kulit hewan, dan kayu

atau bambu.11

Di Sumatera Utara, khususnya di Tarutung sebelum kedatangan Belanda, pendidikan daerah

tersebut masih bersifat asli pribumi atau primitif yang belum mengenal sistem barat yang sudah

sangat maju. Orang Tarutung masih dididik untuk mengutamakan pengetahuan praktis sesuai

dengan kebutuhan hidup mereka pada masa itu. Orang Tarutung bekerja sebagai Petani, mereka

juga menggalas, menangkup, dan memelihara ikan dan ternak lainnya.

Adapun sistem pengajaran yang masyarakat Tarutung dapatkan ialah secara lisan atau langsung

peragaan.12 Seluruh ajaran tersebut diperoleh secara turun temurun dari ayah dan ibu, nenek atau

saudara dekat serta orang-orang yang tinggal bersama mereka (satu kampung). Pengetahuan

yang mereka dapat merupakan pengetahuan yang bersifat praktis seperti, laki-laki yang pergi

kesawah untuk menebang pohon, menyingkirkan sisa-sisa kayu jatuh, menggali tanah,

membakar rerumputan, menanam serta membangun gubuk. Sementara perempuanmengerjakan

pekerjaan rumah, menjahit, menenun keranjang atau tikar dari daun pisang. Mereka juga

bertugas menyiapkan makanan dan memberi makan hewan ternak mereka, yakni ayam dan babi

pada pukul tujuh.13

Kemudian, pengetahuan yang dimiliki masyarakat batak ialah tentang keamanan dan pertahanan

mereka. Mereka belajar kepada orang yang pandai dan kuat, kebal serta berkarisma, itulah yang

mereka sebut sebagai datu. Datu tersebut bertugas untuk mengobati orang yang sakit dan

menjauhkan penyakit dari orang sehat. Kemudian, bertugas mewariskan pengetahuan gaib secara

11
Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan
Antropologi Budaya dan Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 60-61.
12
K. M. Sinaga dan T. Simarmata, “Sejarah Pendidikan Perempuan di Tapanuli Utara (1868-1945)”, JUPIIS: Jurnal
Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, (Desember 2012), 64-65.
13
E. Loeb, Sumatra Sejarah dan Masyarakatnya, (Yogyakarta: Ombak, 2013), 32.
turun-temurun. Pendidikan ilmu tersebut sangat sulit dilakukan sehingga sangat mahal. Setiap

orang tua yang menginginkan putranya menjadi datu harus mampu membiayai pendidikannya.

Kemudian, orang tua akan mengundang datu tersebut ke sebuah perjamuan di mana calon murid

yang nantinya akan memberikan makanan kepada datu tersebut. Setelah diterima jadi murid

maka mereka pertama-tama akan mempelajari karakter utama dalam aksara batak, kemudian

tanda baca, dan belajar membaca. Setelah itu mereka tinggal belajar ilmu gaib.14

Kemudian, perkembangan pendidikan bagi orang batak oleh Belanda, mereka mengikuti gerakan

pembaharuan yang telah dilakukan oleh para zending. Para zending yang berhasil mendekati

rakyat batak serta berhasil mengkristenkan orang batak, hal ini membantu Belanda dalam

menguasai Tapanuli Utara. Pemerintah Belanda turut mendirikan sekolah-sekolah, hal ini

dilakukan untuk memperluas daerah kekuasaan dan mempercepat proses perubahan kultural.

Pemerintah Belanda membangun sekolah di Tarutung dengan alasan bahwa mereka

membutuhkan tenaga-tenaga terdidik untuk golongan bawah dan menengah. Kemudian,

dibangun beberapa sekolah dan rumah sakit oleh pemerintah Belanda. Oleh karna itu, orang

Batak semakin berkembang dan mulai mengenal dunia luar, mereka sudah berinteraksi serta

terjadi perdagangan dengan daerah luar. Mereka telah banyak mengetahui huruf serta

mengetahui angka dan mereka telah banyak yang berpendidikan dan ada yang melanjutkan

pendidikan ke Batavia.15

Kemudian, terdapat perkembangan terhadap pendidikan di Tarutung, hal itu tidak dilakukan oleh

pemerintah Belanda melainkan zending dari Jerman. Pemerintah Belanda hanya memberikan

14
Loeb, Sumatra Sejarah dan Masyarakatnya, 32.
15
Oktavia Nasrani Tampubolon dan Ayu Rizkiya & Abdul Haris Nasution, “Perkembangan Pendidikan Di Tarutung
Masa Kolonial”, Mukadimah, Medan: Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Medan (Agustus
2022), 200.
subsidi terhadap sekolah-sekolah yang dibangun oleh zending yang memenuhi standar. Pihak

zending mengelola sekolah-sekolah tersebut secara penuh, sebab merekalah yang menentukan

pengurus sekolah, guru atau pendidik.16

Para zending memberi pendidikan khusus guna untuk perkembangan penginjilan di Tarutung.

Walaupun dikhususkan untuk pelajaran Agama Kristen, tetapi mutu pendidikan yang diberikan

kepada rakyat Tarutung lebih tinggi dari sekolah yang dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dapat dilihat dari pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda yang hanya sampai

kelas 3, sementara pendidikan yang diberikan zending sampai kelas 6. Namun, dalam

perkembangan pendidikan tersebut selanjutnya tingkat pendidikan yang dibangun oleh

pemerintah Belanda semakin maju untuk rakyat Tarutung.17

Perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat Kristen Batak Toba berkembang serentak

dengan pertambahan warga dan perkembangan gereja. Simanjuntak mengutip Aritonang

mengenai statistik perkembangan pendidikan di Tanah Batak sejak 1883-1933, 18 ialah sebagai

berikut:

Tahun Sekolah Sekolah Jumlah Murid Jumlah % dari Warga


Rakyat Lanjutan Warga Kristen
Kristen
1883 56 1 1.123 8.239 13,6

1893 133 1 4.505 29.177 15,4

1903 260 2 12.693 47.784 26,5

1913 541 5 32.724 149.457 21,8

1923 486 5 27.270 210.416 12,9


16
Tampubolon, dkk., “Perkembangan Pendidikan”, 200.
17
Tampubolon, dkk., “Perkembangan Pendidikan”, 201.
18
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status Dan Kekuasaan Orang Batak Toba, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011), 193.
1933 212 5 41.019 343.013 12,2

Dari table di atas dapat dilihat telah terjadi perkembangan pendidikan yang cukup pesat, akan

tetapi sejak tahun 1923 terjadi penurunan jumlah sekolah rakyat (sekolah dasar). Demikian juga

persentase perbandingan jumlah murid dengan jumlah warga Kristen. Turunnya persentase

jumlah murid disebabkan oleh kenaikan yang pesat jumlah warga Kristen.19

II.II. Pengertian Teologi

Istilah “teologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu theos dan logos. Theos yang berarti “Allah”

atau “ilah” dan logos yang berarti ”perkataan/firman/wacana”. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata “teologi” dirumuskan sebagai pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat-sifat

Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama berdasarkan pada kitab-kitab

suci).20 Jadi, makna istilah teologi adalah ilmu yang membahas segala yang berkaitan tentang

Allah atau ilah-ilah .

Dalam gereja Kristen, pada awalnya teologi hanya membahas ajaran tentang Allah, kemudian

pengertiannya semakin luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran dan praktik Kristen. Oleh karna

itu, Drewes dan Mojau mendefenisikan bahwa ilmu teologi adalah bidang studi ilmiah yang

melayani gereja yang diutus ke dalam dunia dalam usahanya untuk memahami dan menghayati

karya Allah, sesuai dengan Firman Allah yang hidup.21

19
Simanjuntak, Konflik Status Dan Kekuasaan Orang Batak Toba, 193.
20
B. F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 16.
21
Drewes dan Mojau, Apa itu Teologi, 17.
Teologi sebagai pengetahuan pasti berurusan dengan usaha memberi pertanggungjawaban batin

dengan bersungguh-sungguh tentang pengtalaman iman dan menempatkan dirinya dalam tugas

mempelajari habis-habisan berbagai aspek iman dan teks-teks suci. 22 Oleh karena itu, yang

menjadi kata kunci dari pemahaman ini adalah analisa. Semakin halus pembedaan itu, semakin

baik pula hubungan itu didefenisikan, hingga memungkinkan mengungkapkan kepenuhan

pengalaman iman dan memperluasnya.

Teologi juga sebagai praksis dimana belakangan ini muncul sebagai suatu bentuk penting dari

refleksi teologis. Praksis di sebagian besar sejarah Barat dikontraskan dengan theoria dan

poiesis. Praksis adalah perpaduan hubungan-hubungan sosial yang mencakup dan menentukan

struktur-struktur kesadaran sosial. Oleh karna itu, pemikiran dan teori dianggap sebagai

perangkat-perangkat hubungan dalam jaringan hubungan-hubungan sosial yang lebih luas. Teori

mewakili momen dialektis dalam praktek, sebagaimana halnya tindakan. Tugas teori adalah

menerangi sifat sesungguhnya dari hubungan-hubungan sosial.23 Oleh karena itu, membuat teori

bisa menunjuk pada hubungan-hubungan yang palsu dan menindas dalam tatanan sosial.

Teologi juga menjadi program dalam studi dimana pada waktu penginjil Barat pergi keluar dari

Indonesia terjadi upaya pembenahan teologi yang dilakukan gereja yaitu mengirim para pendeta

atau calon pendeta belajar teologi ke Barat. Program ini disebut dengan theological “sandwich”

studies program yang berarti belajar teologi di Barat dan di Indonesia. 24 Maksudnya, seseorang

belajar atau mengambil pendidikan di Indonesia juga di beri kesempatan untuk belajar teologi di

Barat dalam beberapa bidang studi. Atau, mengambil pendidikan di Barat akan tetapi harus

menulis pokok-pokok teologi dalam konteks Indonesia.

22
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 149-150.
23
Schreiter, Rancang Bangun Teologi, 154.
24
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 6.
Adapun tujuan pengiriman untuk belajar teologi ke Barat ialah untuk memperoleh pengetahuan

teologi Barat, tetapi menerimanya dengan budaya dan pola pikir Asia. Dengan demikian orang

(Asia) yang telah belajar teologi Barat akan mempraktekkannya di dalam konteks Asia.

Teologi, gereja dan kekristenan tidak akan mungkin lepas dari dunia kelahirannya, yaitu

Judaisme dan budaya Barat, Helenistis-Judeo-Kristen sehingga ini mendasari dibentuknya

program studi teologi berlapis (sandwich). Teologi barat ini dapat menjadi khasanah dan wacana

pergumulan analitis-rasional dan teologis, dan menjadi materi teologi untuk menemukan teologi

yang relevan di Indonesia.25 Tujuan semuanya ini sangat positif, yaitu berteologi di bumi sendiri

dengan kesaksian dan pengalaman iman sendiri.

II.III. Pendidikan Teologi

Sekolah menengah teologi adalah jenis lembaga pendidikan yang berfokus pada studi dan

pelatihan agama bagi siswa yang tertarik untuk mengejar karir di bidang teologi, pelayanan, atau

bidang terkait.26 Pendidikan teologi hidup dari Firman Allah dan berlaku bagi semua pendidikan

teologi gereja/denominasi manapun, sekalipun sistem, bentuk, cara yang dapat dibutuhkan untuk

melayani masing-masing gereja dapat berbeda.

Di sekolah menengah teologi, siswa biasanya mempelajari berbagai topik yang berkaitan dengan

iman mereka dan tradisinya, termasuk kitab suci, teologi, sejarah gereja, filsafat, dan etika.

Mereka juga dapat menerima pelatihan keterampilan pelayanan seperti berkhotbah, konseling

pastoral, dan kepemimpinan.


25
Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, 6.
26
Jan S. Aritonang, “Tunas-tunas Bumi Pertiwi Kian Mekar dan Berbuah”, dalam Ziarah Beragam Rasa: Buku
Kenangan 80 Tahun STT Jakarta, peny. Jan S. Aritonang, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta,
2014), 21.
Kurikulum dan persyaratan khusus untuk sekolah menengah teologi dapat bervariasi tergantung

pada institusi dan afiliasi keagamaannya. Beberapa sekolah menengah teologi mungkin meminta

siswa untuk berpartisipasi dalam layanan keagamaan dan kegiatan lain sebagai bagian dari

pendidikan mereka.

Lembaga pendidikan teologi harus memperhatikan metode pengajarannya, karena hanya dengan

demikian mampu benar-benar menjadi satu pendidikan teologi yang kreatif dan kritis dalam

mempersiapkan serta memperkembangkan calon-calon pelayan, baik dari segi ilmu pengetahuan,

maupun dari segi pelayanan yang nyata (realistis) terhadap masalah-masalah yang dihadapi

dalam gereja dan masyarakat dewasa ini.

Lulusan sekolah menengah teologi dapat melanjutkan ke pendidikan lanjutan dalam teologi atau

pelayanan, atau mereka dapat memasuki karir di berbagai bidang seperti pendidikan agama,

pekerjaan sosial, atau konseling. Beberapa siswa juga dapat memilih untuk mengejar karir di

dunia akademis atau penelitian yang berkaitan dengan studi agama.

Secara keseluruhan, sekolah menengah teologi dapat memberi siswa pemahaman yang

mendalam tentang iman dan tradisinya, serta keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan

untuk mengejar karir di berbagai bidang yang berkaitan dengan agama dan pelayanan.

Dalam pendidikan teologi, para mahasiswa berasal dari dan merupakan utusan resmi dari gereja-

gereja, karena itu sama seperti dosen, bahwa seseorang tidak dapat menjadi mahasiswa di

sekolah teologi tanpa diutus atau direkomendasi oleh gerejanya.27 Bentuk-bentuk hubungan

gereja dengan pendidikan teologi dapat hidup, apabila didasarkan atas kerjasama oikumenis.

Khusus mengenai hubungan gereja dengan pendidikan teologi perlu ditekankan bahwa

27
Aritonang, “Tunas-tunas Bumi ”, 22.
pendidikan teologi dengan gereja tidak terpisah satu dengan yang lain, sekalipun dapat

dibedakan antara kedua lapangan itu. Dapat diakui bahwa gereja/denominasi itu sendiri yang

membentuk sistem pendidikan teologinya sesuai dengan kebutuhan jemaat-jemaatnya di dalam

gereja itu sendiri. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan berlangsung, setiap mahasiswa

diusahakan untuk tetap memelihara hubungannya dengan gerejanya masing-masing.

Pendidikan teologi juga harus bekerja sama dengan gereja untuk mencari kemungkinan-

kemungkinan menyediakan fasilitas-fasilitas bagi perkunjungan pelajaran dan pelayanan,

sehingga pengalaman-pengalaman yang ditemui oleh guru-guru pengajar dan

siswa-siswa/mahasiswa di lapangan di tengah-tengah jemaat dan masyarakat dengan langsung

dapat mengkhayati pada waktu-waktu yang dimufakati bersama.

Adapun perkembangan pendidikan teologi di Indonesia kini telah sampai kepada pendidikan

teologi akademis. Dimulai dari pendekatan awal pendidikan teologi yaitu sejak periode VOC

berakhir, Pada abad ke-19 berdiri badan-badan PI di negeri Belanda yang mencontoh London

Missionary Society pada tahun 1795. Setelah perang Perancis-Inggris (Napoleon) selesai, karya

PI mulai berkarya di Hindia-Belanda melalui Nederlands Zendelinggenootschap (NZG) dan

diikuti kelompok lain seperti Utrechtse Zendingsvereniging (UZV), Nederlandse

Zendingsvereniging (UZV), Java Comite (JC) dan lain-lain.28 Dalam proses penginjilan melalui

pendidikan, dimulailah sistem ‘anak piara’ atau ‘murid’ yang dipraktikkan oleh hampir semua

pekabar Injil sejak awal. Adapun pendidikan yang diberikan kepada mereka adalah pendidikan

yang bersifat tidak formal, melainkan pendidikan dasar yang dikaitkan dengan pendidikan

Alkitab atau Kristen.29


28
Huub Lems, “Pandangan Para Organisasi Pekabaran Injil Eropa tentang Pendidikan Teologi di Indonesia Dulu,
Kini dan di Masa Depan”, dalam Ziarah Beragam Rasa. Buku Kenangan 80 Tahun STT Jakarta, peny. Jan S.
Aritonang, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2014), 174.
29
Lems, “Pandangan Para”, 174.
Pada umumnya, para murid atau anak piara tersebut masih buta huruf ketika mereka diterima di

dalam keluarga zendeling tersebut. Oleh karena itu, merek dididik membaca dan menulis,

menghitung dan bernyanyi di satu pihak serta cerita-cerita Alkitab dan beberapa pokok penting

seperti Doa Bapa Kami. Kemudian, Para zendeling melalui murid-muridnya juga ikut

mempelajari bahasa setempat serta kultur mereka. Pendidikan teologi yang menjadi bagian dari

ajaran orang Kristen pertama ini pada umumnya tidak terlalu mendalam, akan tetapi dibanyak

tempat cukup untuk menjadi pembantu dalam karya PI setempat di antara kaum bangsawan yang

mempunyai bahasa dan kultur yang sama.

Titik berat bagi kalangan NZG adalah pendidikan dasar setelah tahun 1867, mereka

menyerahkan lapangan penginjilannya di Minahasa, Maluku dan Timor Barat kepada Indische

Kerk. Kemudian, dibentuklah apa yang disebut STOVIL (School Tot Opleiding Van Inlandsche

Leraren) yaitu sekolah yang dibentuk untuk mendidik guru-guru. Meskipun mendidik guru-guru

adalah titik berat bagi sekolah-sekolah zending, namun guru-guru lulusan sekolah tersebut juga

berfungsi sebagai pemimpin di gereja setempat sebagai Inlandch Leraar (guru agama), suatu

posisi sebagai gembala setempat yang ditetapkan oleh Indische Kerk sejak tahun 1870.

Meskipun, oleh karena titik beratnya sebagai pendidikan guru di sekolah di satu pihak dan di

pihak lain keterbatasan pendidikan teologi yang disebabkan oleh kenetralan Indische Kerk,

pendidikan teologi masih berada di tahap dasar.

Kemudian mengarah kepada pendidikan teologi formal dimana Leem mengatakan bahwa sejak

awal sudah jelas tidak mungkin sekolah yang cukup bermutu dapat didirikan atau dijalankan di

seluruh daerah PI. Oleh karena itu, untuk mengisi lowongan tersebut Centraal Comite Depok

mengambil langkah-langkah untuk mendirikan suatu seminari di Depok. Di sini dipraktikkan


dwifungsi, baik selaku guru sekolah untuk mendidik murid-murid maupun selaku guru agama di

gerejanya. Kemudian, diangkatlah dua orang dosen yaitu, satu untuk pendidikan umum dan satu

untuk pendidikan teologi. Terdapat banyak pencapaian ketika seminari itu didirikan sejak 1878

dimana dapat mendidik murid-murid dari banyak daerah PI di seluruh nusantara dan ini

berfungsi selama 48 tahun. Adapun proses pendidikan ini diberikan dalam bahasa Belanda dan

bahasa Melayu. Hal inilah yang membedakan seminari ini dari banyak institusi pendidikan yang

lain yang sudah dibahas sebelumnya. Pendidikan ini merupakan pendidikan yang dibantu oleh

Centraal Comite Depok maupun oleh badan-badan zending dengan latar belakang yang berbeda.

Kemudian, meningkat kepada pendidikan teologi akademis yang disebabkan meningkatnya

kebutuhan oleh karena semakin bertambahnya jumlah jemaat gereja, dan juga meningkatnya

tingkat pendidikan secara umum sejak politik etis sekitar tahun 1900, serta terus bertambahnya

gereja-gereja yang berdiri sendiri. Hendrik Kraemer bersama Barend Schuurmann dan Johannes

Warneck (Ephorus Gereja Batak HKBP) merupakan orang yang berpengaruh yang mendorong

badan-badan zending untuk menciptakan suatu pendidikan teologi. Badan-badan zending di

Eropa masih enggan terhadap perkembang ini. Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka yang

masih didasarkan pada metode konfrontasi etnologis dengan agama-agama tua, dan pendekatan

bertahap sebagai tanda pedagogi pekabaran injil yang mereka anggap lebih baik untuk PI, agar

tidak muncul risiko kekacauan orang Indonesia dan mereka belum siap menerima ide Kraemer

dkk.30

Adapun juga beberapa sekolah teologi yang telah dibentuk yaitu, Hogere Theologische School

(HTS) di Bogor tahun 1934 dengan Dr. Th. Muller-Kruger sebagai rektor pertama. Dua tahun

kemudian dipindahkan ke Jakarta. Pada tahun 1954 HTS mengganti namanya menjadi

30
Lems, “Pandangan Para”, 177-178.
Theologische Hogeschool (Sekolah Theologi Tinggi) dengan kurikulum lebih akademis. Sekolah

ini didukung oleh badan-badan zending yang memanfaatkannya selaku tempat pendidikan

teologis untuk gereja-gereja mitra hasil zending mereka.31

31
Lems, “Pandangan Para”, 178.

Anda mungkin juga menyukai