Anda di halaman 1dari 4

KONTEKSTUALISASI BAI’AT DALAM POLITIK MODERN

Oleh Atik Andrian, S.Ag, M.Si


Prodi Bisnis dan Manajemen Ritel PDBI

Pendahuluan
Akhir-akhir ini kata bai’at kembali muncul di jagad media, terutama setelah
mencuatnya isu sebuah lembaga pendidikan Islam (ma’had al-Zaitun) yang berlokasi di
Indramayu dijadikan sebagai markas NII KW9. Diduga pimpinan ma’had al Zaitun
Syeikh Panji Gumilang telah membai’at para anggotanya dan menjadi tokoh sentral NII
KW9. Setelah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama dan pencucian uang,
sebagaimana diberitakan beberapa media online (detik.com, vivanews.com,
kompas.com) ramai-ramai para anggota NII bahkan sebanyak 31 elit pejabat versi NII
mencabut bai’at dan berikrar kembali kepada pangkuan negara Indonesia.
Term bai’at yang awalnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
khazanah perpolitikan Islam, saat ini menjadi sesuatu yang berkonotasi negatif. Hal ini
akibat dari penyalahgunaan istilah bai’at oleh segelintir orang untuk kepentingan
pribadi atau kelompok tertentu yang tidak ada kaitannya dengan Islam sebagai agama
yang rahmatan lil alamin. Untuk itu penting untuk menjelaskan terminologi bai’at agar
umat Islam tidak terkecoh bila ada seseorang atau kelompok yang menggunakan istilah
ini sebagai landasan untuk kepentingan pribadi mereka.

Term Bai’at yang diselewengkan


Istilah bai’at pasca kekhilafahan Turki Usmani, seringkali di salahgunakan oleh
sekelompok orang untuk kepentingan pribadi mereka. Umumnya dari berbagai
informasi yang ada, istilah bai’at cenderung digunakan dengan cara yang salah dan
lebih kepada tujuan negatif. ISIS misalnya, sebagai sebuah organisasi (yang dianggap
teroris) yang saat ini masih eksis dan mendunia, menggunakan istilah bai’at dalam
perekrutan anggotanya. Anggota organisasi ini dibai’at agar selalu setia kepada
pimpinan mereka, walaupun untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan
kekerasan (bom bunuh diri). Tentu, Islam sebagai agama yang mengajarkan umatnya
kedamaian tidak membenarkan penggunaan cara kekerasan dalam berdakwah, kecuali
jika memang dalam situasi peperangan maka untuk membela diri dan kehormatan
tanah air wajib hukumnya membela negara.
Secara perorangan atau kelompok yang lebih kecil, istilah bai’at juga digunakan
hanya sebagai tameng untuk keperluan pribadi pimpinan kelompok. Sebagai contoh
konteks Indonesia, informasi yang beredar pimpinan ma’had al Zaitun membai’at para
anggotanya agar tetap setia dan patuh pada perintah pimpinan. Bai’at (janji setia)
digunakan pimpinan sebagai alat untuk menundukkan dan ekploitasi para anggota agar
selalu taat pada perintah pimpinan, walaupun perintah tersebut jika di kaji sangat tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Cukup lama beredar berita miring bahwa pimpinan elit
kelompok NII KW9 mewajibkan dan bahkan memaksakan para anggota untuk
mengumpulkan uang dan disetorkan kepada pimpinan tertinggi yang berpusat di
ma’had al Zaitun. Maka tidak mengherankan menurut info pimpinan ma’had al Zaitun
memiliki aset yang luar biasa besar sampai triliunan, yang diduga sebagian besar
merupakan hasil dari pungutan dari anggotanya. Dengan demikian diketahui bahwa
istilah bai’at setelah selesai masa kekhilafahan, disalahgunakan oleh sebagian kelompok
baik untuk kepentingan pribadi pimpinan dengan penghimpunan dana, maupun
kepentingan ideologi kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam, walaupun
kenyataannya bertentangan dengan ajaran Islam. Baiat yang terjadi sekarang sering
disalahtafsirkan dan disalahgunakan untuk tujuan tertentu terutama untuk kepentingan
kelompok, sehingga berdampak negatif dalam kehidupan keagamaan di kalangan umat
Islam, seperti menuduh kafir orang lain yang tidak berbaiat kepada imam kelompoknya
bahkan ada yang sampai menghalalkan darah orang yang keluar dari kelompoknya.
(Majalah Suara Muhammadiyah, No. 10, 2015).

Kontekstualisasi bai’at
Istilah baiat sebenarnya telah ada sejak masa silam, bahkan sebelum Nabi
Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul. Baiat sendiri mengandung arti janji
untuk setia. Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa indonesia (KBBI), baiat adalah
pengucapan sumpah setia kepada imam (pemimpin). Sebagaimana makna menurut
KBBI, baiat dilakukan oleh seseorang untuk mengakui orang lain sebagai pemimpinnya.
Dengan membaiat seorang pemimpin, artinya dia telah bersumpah setia dan siap
menaati setiap perintah dan larangan pimpinan kabilah.
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan diangkat menjadi
nabi dan rasul, setiap orang yang hendak masuk Islam akan akan membaiat beliau.
Mereka yang membaiat Nabi Muhammad SAW, berjanji setia untuk mendengar dan taat
kepada semua aturan beliau dan juga berbaiat untuk melindungi beliau. Secara bahasa,
baiat adalah istilah berasal dari kata dalam bahasa Arab, baya’a. Ada beberapa arti kata
ini yang ditemukan dalam al-Quran, diantaranya; jual beli atau merelakan, baiat juga
berarti pengucapan sumpah setia kepada pemimpin, bisa juga berarti pengangkatan
dan penobatan (pemimpin) dan janji yang diucapkan dalam upacara tersebut. Ini
mengacu pada kebiasaan orang Arab pada saat mereka selesai melakukan transaksi,
berjabat tangan antara penjual dan pembeli secara kuat, merupakan pengganti
pendaftaran dalam cap, cincin ataupun tanda tangan.
Sedangkan secara istilah ada berbagai macam pengertian menurut para ulama.
Menurut Ibn Khaldun, baiat adalah perjanjian untuk taat, dimana orang yang berbaiat
dan bersumpah setia pada pimpinannya, bahwa ia akan menyelamatkan pandangan-
pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa perintah yang disenangi
maupun yang tidak disenangi. Sedangkan menurut Harun Nasution, pengertian baiat
adalah penerimaan dan pengakuan terhadap keabsahan kepemimpinan seseorang.
Baiat digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan baik secara khusus melalui kelompok
tertentu, ataupun secara umum oleh umat.
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz (2000) menyebutkan bahwa bai’at yang
terjadi pada masa Rasulullah adalah dengan cara berjabat tangan dan mengucapkan
ikrar janji setia kepada Rasulullah sebagai pimpinan. Bentuk bai’at seperti ini berlanjut
pada masa khulafa Rosyidin, sebagian khalifah bani Umaya hingga datang Alhallaj bin
Yusuf al Tsaqafi yang membuat bid’ahdengan mengharuskan warga Iraq secara paksa
memberi bai’at yang sangat berat dan tidak boleh menentang khalifah Umawi. Jika
melanggar sumpah setia maka isteri isteri mereka diceraikan, hamba hamba mereka
merdeka dan bahkan darah mereka dihalalkan. Paksaan seperti ini menurut Ibn
Khaldun lebih mendominasi pada masa Umayah dan Abbasiyah, sehingga mendorong
Imam Malik pada masa bani Abbasiyah mengeluarkan fatwa bahwa sumpah setia secara
paksa tidak berlaku secara hukum.
Dengan demikian secara historis bai’at adalah adalah kesepakatan antara umat
(rakyat) disatu pihak dan kepala negara (khalifah) dipihak yang lain secara sukarela,
yang saling menguntungkan. Umat berikrar setia taa’t dan patuh kepada pimpinan
selama menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin. Seiring dengan perubahan politik
global terutama pasca bubarnya sistem kekhilafan Turki Usmani, dimana negara Islam
terpecah menjadi beberapa negara bangsa (nation state) yang mandiri tidak
tersentralisasi dalamsatu khilafah, maka konsep ikrar setia pada pemimpin juga
berubah, termasuk Indonesia yang bersistem Republik.
Baiat dalam konteks politik Islam Indonesia lebih terlihat pada saat sumpah
jabatan. Baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudhikatif saat mereka dilantik, maka
akan disumpah dan janji sesuai dengan agamanya masing-masing sebelum menjalankan
jabatannya. Mereka didampingi oleh rohaniawan. Sumpah dan janji inilah yang
kemudian dikenal dengan sumpah jabatan. Sumpah jabatan adalah suatu upacara
seremonial yang sangat sakral dalam pengangkatan seseorang untuk memangku
jabatan yang baru. Ini juga dilakukan oleh lembaga lembaga pemerintahan baik
eksekutif, legislatif, dan yudhikatif sebelum memangku jabatan secara resmi.
Pada lembaga eksekutif misalnya, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden,
sebelum memangku jabatannya, bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Sumpah dan janji tersebut berbunyi sebagai berikut :
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa".
Sama halnya dengan eksekutif, pada lembaga legislatif yakni Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) mengucapkan sumpah jabatannya. Sumpah dan janji tersebut berbunyi:
”Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi
kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat
dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan
bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi,
seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang
saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah mengakhiri pengucapan sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan
MPR menandatangani formulir sumpah/janji yang telah disiapkan. Penandatanganan ini
selain sebuah seremonial, juga merupakan salah satu bentuk komitmen awal untuk
mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat.
Berdasarkan pada uraian yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat diketahui
bahwa pada setiap bentuk penyatuan dukungan yang menyangkut dengan kepentingan
orang banyak, secara formal diadakan suatu sumpah dan janji setia. Sumpah dan janji
setia ini tidak hanya sebagai formalitas hubungan antar manusia saja, namun juga
merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini disebabkan
sebagai makhluk Tuhan manusia memiliki tanggung jawab dan kewajiban kepada Tuhan
dan alam ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, pada setiap bentuk kegiatan baik yang bersifat
birokrasi maupun tidak, di Indonesia masih mengedepankan norma-norma keagamaan.
Tidak hanya sebagai alat legitimasi, tetapi juga sebagai norma yang harus dipatuhi.
(Ozi Setiadi, 2020).

Kesimpulan
Baik pada masa Rasulullah Saw. maupun pada masa-masa yang ada di
Indonesia, sama-sama menggunakan baiat sebagai bentuk legitimasi dalam setiap
kepemimpinan. Maka, dapat diketahui bahwa baiat masih relevan dengan kondisi
politik Islam yang ada di Indonesia. Namun, konsep baiat mengalami modifikasi
sebagai wujud kontekstualisasi dalam bentuk sumpah/janji setia. Ini berbeda pada
masa Rasul Saw. dan al khulafa ar rasyidun dengan masa-masa yang terjadi di
Indonesia. Bila pada masa Rasul Saw. dan al khulafa ar rasyidun janji setia diberikan
dari rakyat kepada pemimpin, pada kehidupan saat ini justru sebaliknya, pemimpin
yang berucap sumpah dan janji kepada rakyatnya. Secara praktis, sebagai saran agar
sumpah dan janji setia itu tetap dilanjutkan sebagai sebuah media legitimasi formal.

Anda mungkin juga menyukai