Anda di halaman 1dari 54

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/361384452

Agama dan Resolusi Konflik

Book · June 2022

CITATIONS READS

5 456

2 authors:

M. Yusuf Wibisono Mohammad Taufiq Rahman


UIN Sunan Gunung Djati Bandung UIN Sunan Gunung Djati Bandung
17 PUBLICATIONS   47 CITATIONS    158 PUBLICATIONS   488 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Jurnal Mimbar View project

Ibnu Siina Research Institute View project

All content following this page was uploaded by Mohammad Taufiq Rahman on 18 June 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


M. Yusuf Wibisono

M. Yusuf Wibisono
Agama dan Resolusi
Konflik

Agama dan Resolusi Konflik

9 786237 164982
M. Yusuf Wibisono

AGAMA DAN
RESOLUSI KONFLIK

LEKKAS
AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
Penulis: M. Yusuf Wibisono
Editor: M. Taufiq Rahman, Ph.D
Layout & Desain Cover: tim Lekkas
©2021 M. Yusuf Wibisono

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.


Diterbitkan pertama kali oleh
Lekkas dan FKP2B Press
Bandung, Maret 2021

ISBN. 978-623-7164-98-2

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang HAK CIPTA

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah rupiah).

Cetakan 1: Maret 2021

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau keseluruhan


isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit, kecuali kutipan kecil dengan menyebutkan
sumbernya yang layak.
PRAKATA

P
uji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi yang dengan
kuasanya buku ini telah rampung diselesaikan. Buku ini
bertujuan untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan pada
mahasiswa tentang isu-isu dalam Agama dan Resolusi Konflik.
Untuk tujuan tersebut pembahasan mengenai bentuk-bentuk sosial
dari agama di antara yang dibahas pada awal buku ini. Kemudian
buku ini pun menggali perdebatan dalam organisasi keagamaan
dari perspektif sosial. Di dalam isu agama dan masyarakat itu
banyak hal yang mesti dibahas, sehingga banyak teori sosial
yang dibicarakan buku ini. Terakhir, penerapan Sosiologi Agama
pada konteks Indonesia dipertunjukkan buku ini dalam bingkai
multikulturalisme di Indonesia.
Dengan buku ini diharapkan pembaca akan mendapatkan
wawasan tentang berbagai perkembangan dari hubungan agama
dengan resolusi konflik. Demikian sehingga para pembaca dapat
menganalisis, mengkategorisasikan, dan menerapkan wacana
resolusi konflik tersebut. Pembaca pun diajak untuk mengikuti
perkembangan dan memikirkan kembali ide-ide masa depan
agama dan multikulturalisme. Dengan demikian, penguasaan
dan kritisisme para pembaca terhadap ide-ide dan perkembangan
agama dan masyarakat plural merupakan standard kompetensi
pembelajaran Agama dan Resolusi Konflik ini.
Bandung, 9 Maret 2021
M. Yusuf Wibisono

iii
Daftar Isi

PRAKATA -- iii
DAFTAR ISI -- iv

PENDAHULUAN – 1
AGAMA DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL – 6
A. Agama dan Multikulturalisme – 6
B. Karakter dan Jenis Masyarakat Multikultural – 7
C. Penyebab Timbulnya Masyarakat Multikultural di Indonesia
–9
D. Multikulturalisme dalam Masyarakat Modern di Indonesia
– 11
E. Tipologi Sikap Keberagamaan – 14
F. Agama dan Kebudayaan – 22
G. Hubungan Agama dan Kebudayaan dalam Masyarakat – 25
SEJARAH KONFLIK BERBASIS AGAMA – 29
A. Konflik-Konflik Keagamaan di Dunia – 29
B. Konflik Keagamaan di Indonesia – 33

iv
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK KEAGAMAAN – 38
A. Sikap Partisan – 38
B. Klaim Kebenaran (Truth Claim) – 41
C. Perbedaan Kebudayaan – 42
KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA
A. Konflik Agama di Poso – 45
B. Konflik Sunni dan Syiah di Jawa Timur – 46
C. Konflik Agama di Bogor – 49
D. Konflik Agama di Era Politik Pasca-Fakta (Post Truth) – 50
AGAMA DAN RADIKALISME – 56
A. Pendahuluan – 56
B. Gerakan Agama transnasional – 64
C. Radikalisme dan terorisme – 74
D. Radikalisme dan Internet – 77
MEMBANGUN SIKAP TOLERAN ANTAR UMAT BERAGAMA
– 88
A. Pengertian Toleransi – 91
B. Pengertian Toleransi Beragama – 101
C. Tujuan Toleransi Beragama – 104
D. Bentuk-Bentuk Toleransi – 109
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Toleransi – 116
TOLERANSI SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK – 119
A. Toleransi Perspektif Teologis – 120
B. Toleransi Perspektif Sosiologis – 122
C. Toleransi Perspektif Psikologis – 124
GLOBALISASI SEBAGAI TANTANGAN BERAGAMA – 129
A. Globalisasi dan Dampak Positif bagi Agama – 129
B. Peran Organisasi Dunia Bagi Perdamaian – 133
C. Pendewasaan Diri Umat Beragama Dunia – 142
PENUTUP – 144
DAFTAR PUSTAKA – 151

v
AGAMA DAN RADIKALISME

A. Pendahuluan

R
adikalisme Islam sebagai fenomena sejarah-sosiologis
merupakan isu yang lazim diperdebatkan dalam debat
politik dan masyarakat global karena kekuatan media yang
mampu menciptakan pandangan masyarakat internasional. Bangsa
Eropa—Barat dan Amerika Serikat memberikan beberapa label
yang berlaku untuk gerakan Islam ekstrim, mulai dari penunjukan
organisasi garis keras, radikal, pengunjuk rasa, hak untuk Islam,
fundamentalisme dan terorisme.
Radikalisme dianggap lebih pas daripada fundamentalisme,
karena fundamentalisme sendiri memiliki definisi yang dapat
dimaknai berbeda. Dalam tradisi teologi agama, fundamentalisme
merupakan kecenderungan untuk mengembalikan kepada Al-
Quran dan Al-Hadits segala tindakan dalam tatanan kehidupan
umat Islam. Seringkali kata “fundamentalis” berlaku untuk
revivalis Muslim. Namun kata fundamentalis juga sering merujuk
pada gerakan radikalisme Islam. Artikulasi fundamentalisme tidak
monolitik, tetapi masih dirugikan oleh militansi, fanatisme, bahkan
kekerasan dan terorisme di media Barat. Pandangan mereka
semakin diperkuat oleh aksi kekerasan dan bom bunuh diri di
Timur Tengah dan Asia oleh banyak kelompok militan Islam.

56
Selain fundamentalisme Islam, fenomena kebangkitan Muslim,
radikalisme, militansi, Islamik, Islam politik (politik Islam),
skripturalisme dan ekstremisme digunakan oleh para analis dan
ulama untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena tersebut.
Misalnya, M.A. Shaban menganggap sebagai sekte garis keras neo-
khawarij (radikalisme). Meskipun Harun Nasution (Nasution, 1982)
menyebutnya sebagai abad kedua puluh khawarij (abad kedua
puluh satu), karena kekerasan memang cara melakukannya seperti
yang dilakukan pasca Tahkim Khawarij.
Esposito telah menetapkan bahwa istilah “fundamentalisme”
terkait dengan tiga hal: Pertama, mereka yang ingin kembali ke
ajaran agama fundamental atau ke dasar iman dapat dianggap
fundamentalis; kedua, Protestan Amerika sangat mempengaruhi
interpretasi dan definisi fundamentalisme mereka. Ketiga, sebuah
gerakan Protestan abad ke-20 yang sifatnya interliteral, oleh karena
itu memperlakukan konsep tersebut sebagai terlalu sarat dengan
pra-asumsi Kristen dan Barat dan memerlukan bahaya monolitik
yang tidak ada. Inilah mengapa ia lebih suka menggunakan
“kebangkitan kembali Islam” atau “aktivisme Islam”, yang
menurutnya tidak memihak dan berasal dari tradisi Islam (Esposito,
1997).
Kata Islam radikalisme berasal dari media barat untuk
menggambarkan gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis,
militan). Dengan kata-kata barat, fundamentalisme dan radikalisme
sering kali dikaitkan dengan keyakinan yang ekstrim, konservatif,
stagnan, konservatif, anti-barat dan kesulitan untuk melindungi
pandangan, bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan kata
radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya
salah karena gerakan radikalisme di negara Muslim mana pun tidak
ada dan Islam tidak bisa disalahkan. Radikalisme adalah gerakan
masyarakat atau komunitas yang memiliki fenomena sosio-politik
dan sosio-historis yang dirugikan.
Pada kenyataannya, radikalisme atau fundamentalisme adalah
fenomena agama. Radikalisme atau fundamentalisme tidak hanya
diwarnai oleh pemeluk Islam, tetapi juga agama lain seperti Kristen,

57
Yudaisme, Hindu dan Budha. Berdasarkan kajian sejarah, fenomena
radikal merupakan gejala yang bisa atau tidak bisa berkontribusi
terhadap kekerasan beragama di hampir semua agama.
Kekerasan dalam Hinduisme dapat ditemukan antara Sikh
yang keras kepala dan Islam, dalam kasus kekerasan agama di
India Selatan. Konflik agama masih terjadi antara ultra-Yahudi
dan Muslim di Israel. Kekerasan agama Shinto juga terjadi di
Jepang dalam bentuk perbedaan agama yang merugikan orang
lain. Begitu pula dalam agama Kristen di AS dan tempat lain di
Eropa. Kekerasan agama dalam Islam masih terjadi, seperti adanya
beberapa teroris yang merugikan orang lain secara langsung
maupun tidak langsung.
Kelompok Uighur yang terusir dan aktivis hak asasi manusia
di Xinjiang, China berpendapat bahwa pemerintah di Beijing secara
represif menyerang Muslim Xinjiang. Termasuk pengawasan ketat
terhadap praktik keagamaan yang memicu kerusuhan (Republika,
Sabtu 2 Agustus 2014). Ada hegemoni teologis yang sangat jelas
antara Islam dan Kristen. Seperti yang dikatakan Gamal Al-Bana
(Al-Bana, 2006) menurut kajian Karen Armstrong (Armstrong,
2011) fenomena fundamentalisme-radikalisme agama tidak hanya
dimiliki oleh agama-agama tauhid. Bahkan ada fundamentalisme
Hindu Buddha dan juga Konfusianisme, semua mengingkari
sedikit budaya liberal dan berjuang satu sama lain atas nama iman
dan berupaya memasukkan hal-hal suci ke dalam urusan politik
dan kenegaraan.
Gejala kekerasan sekelompok umat Islam lebih pas secara
historis dan sosiologis sebagai gejala sosial-politik daripada
gejala agama, sedangkan spanduk agama dikibarkan. Epidemi
radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan Muslim dan
media Barat dibesar-besarkan, menjadi wacana internasional dan
memberikan opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh
kekerasan. Alhasil, foto-foto hinaan tidak jarang dibicarakan
dalam Islam untuk menyudutkan umat Islam sebagai tersangka.
Ini karena masyarakat barat dapat mempengaruhi media sebagai
senjata ampuh untuk merencanakan budaya dominan peradaban

58
global. Apa yang ditangkap budaya internasional adalah apa yang
digambarkan media Barat.
Kebenaran sejarah dan sosial ini mengungkapkan bagaimana
Barat menggunakan dua norma dan tidak adil terhadap Islam.
Jika masjid dan mullah dilihat sebagai ikon radikalisme, atau jika
gejala budaya Muslim diproyeksikan sebagai bentuk fanatisme
dan ekstremisme, maka budaya Islam akan dibatasi dan dipenjara.
Kebudayaan Barat telah memberikan peradaban Islam sebagai
proses pembentukan peradaban Islam menjadi identitasnya. Ini
tidak berarti bahwa umat Islam akan memaafkan radikalisme
karena alasan tertentu bahwa kekerasan adalah pelanggaran nilai-
nilai agama dan pelecehan kemanusiaan.
a. Karakteristik Radikalisme
Marx Jürgensmeyer (Juergensmeyer, 2017) mengatakan
bahwa radikalisme dapat dipahami sebagai sikap atau peran yang
menginginkan perubahan status quo melalui perubahan total.
Metode yang biasanya digunakan adalah revolusioner, yaitu dengan
kekerasan dan tindakan ekstrim, untuk menumbangkan nilai-nilai
atau sistem yang ada secara drastis. Dalam setiap kelompok agama,
termasuk Muslim, radikalisme ada. Sederhananya, radikalisme
Islam didefinisikan sebagai tindakan yang terlalu religious namun
mengakar. Radikalisme Islam adalah istilah kasar dalam bahasa
Akbar S. Ahmed (C Ummah, 2012) yang tampaknya menggunakan
kata-kata kasar dan kotor untuk menyudutkan lawan-lawan
politiknya, tidak sering memahami bahwa mereka mengatakan dan
memperjuangkan fakta dengan cara yang kasar, dan menyesatkan.
Karenanya radikalisme agama merupakan istilah yang
merujuk pada pandangan masyarakat tertentu yang menginginkan
dan mengubah prinsip-prinsip agama yang dianggap bertentangan
dengan pemahamannya. Hal ini dilakukan dengan segera
menghancurkan sistem dan struktur yang ada berdasarkan
pertimbangan kebenaran subjektif.
Hubungan dengan suatu kelompok yang secara terminologi
sebagaimana dikemukakan oleh Kallen (Kallen, 1957) bersifat umum

59
dan bercorak sebagai gerakan yang menginginkan kepatuhan
syariah Islam yang paling tidak dicirikan oleh tiga: pertama,
radikalisasi tampak sebagai tanggapan berupa evaluasi, penolakan
atau penolakan terhadap kondisi yang sedang berlangsung, baik
berupa ekspektasi makna hingga lembaga agama atau negara.
Kedua, radikalisasi seringkali bertujuan untuk mengganti tatanan
saat ini dengan tatanan baru, sistematis dan diciptakan dari
pandangan dunianya sendiri. Ketiga, keyakinan mereka yang
dalam pada filosofi mereka. Hal ini cenderung menciptakan sikap
emosional yang dapat mengarah pada kekerasan.
Dalam pengertian inilah kelompok-kelompok Islam seperti
FPI, Hizbut Tahir Indonesia, Majelis Mujahidin, Laskar Jihad
Ahlussunnah Waljama’ah, KISDI dan Negara Islam Indonesia
(NII) memiliki ciri-ciri sebagaimana didefinisikan oleh Horace M.
Kallen di atas. Pertama, mereka memperjuangkan Islam dengan
cara (totalis); Hukum Islam sebagai Hukum Negara; Islam
sebagai dasar Negara; dan Islam sebagai sistem politik sehingga
demokrasi bukanlah suara yang menjadi sistem politik dan bahwa
keinginan rakyat menjadi sistem politik. Kedua, praktik keagamaan
mereka didasarkan pada orientasi masa lalu (biasanya Salafi).
Ketiga, dengan semua produk budayanya seperti sekularisasi dan
modernisasi, mereka sangat menindas Barat. Keempat, perlawanan
umat Islam Indonesia terhadap kebangkitan gerakan Islam liberal.
Karena itulah ormas Islam seperti ini bisa dicap sebagai kelompok
Islam ekstrim.
Rubaidi (Rubaidi, 2008) mengidentifikasi secara lebih rinci
lima karakteristik radikalisme Islam. Pertama, Islam adalah falsafah
tertinggi untuk mengatur kehidupan manusia bahkan kebijakan
pemerintah. Kedua, prinsip-prinsip Islam yang dianut berakar—
di Timur Tengah, sehingga tidak memperhitungkan perubahan
sosial dan politik sementara Alquran dan Hadis dengan realitas
lokal kontemporer hadir di bumi ini. Ketiga, karena fokusnya lebih
terkonsentrasi pada teks Alquran dan Hadis, maka pembersihan
ini sangat berhati-hati untuk mengenali budaya non-Islam (budaya
Timur Tengah) termasuk untuk menjaga adat istiadat setempat

60
karena takut bertentangan dengan bid’ah. Keempat, penolakan
filosofi non-Timur Tengah seperti liberalisme, seksisme, dan
liberalisasi. Sekali lagi semua hukum akan berlaku untuk al-Qur’an
dan Hadits. Kelima, kampanye kelompok ini seringkali bertentangan
dengan masyarakat luas, termasuk pemerintah. Sehingga konflik
ideologis bahkan fisik sering terjadi dengan pihak lain, seperti
pemerintah
b. Faktor Penyebab Munculnya Radikalisme
Ada dua faktor yang mendorong munculnya Islam
fundamental (radikalisme agama) di Indonesia. Pertama, faktor
internal dalam komunitas Muslim. Aspek ini disebabkan adanya
penyimpangan dari nilai-nilai agama. Kehidupan sekuler dalam
kehidupan masyarakat memungkinkan mereka untuk kembali ke
keaslian (fundamental) Islam. Pendekatan ini dibarengi dengan
pandangan yang menyeluruh (kaffah) dan sistematis tentang agama
yang kaku dalam pemahaman teks agama. Analisis agama hanya
dilihat dari satu sisi, yaitu secara tekstual, tidak melihat melalui
pengaruh lain, sehingga langkah yang diambil harus berhubungan
secara literal dengan perbuatan Nabi. Kedua, kekuatan eksternal di
luar dunia Muslim, baik yang dipaksakan oleh rezim yang berkuasa
atau hegemoni Barat, tidak membantu pelaksanaan syariat Islam
itu sendiri.
Beberapa penulis yang disebut “moderat” seperti Mujani
(Mujani, 2007) atau Van Bruinessen (van Bruinessen, 2018) berusaha,
dalam pandangan berbeda yang sesuai dengan teori Huntington,
menelusuri akar silsilah Islam Radikal. Mujani yang mendalami
hubungan Islam dan demokrasi di Indonesia menilai bahwa Islam
radikal bukanlah fenomena nyata yang lahir di Indonesia. Mereka
padat dengan pengaruh eksternal Timur Tengah. Kehadiran konsep
“Islamisme” tidak sepenuhnya mewakili Indonesia.
Jadi dua faktor bisa dipahami sebagai penyebab radikalisme.
Yang pertama adalah warisan sejarah umat Islam yang berselisih
dengan pemerintah, dan terdapat modus-modus penindasan
politik Islam di banyak bagian sejarah, khususnya Orde Baru.
Dengan pemahaman sejarah, komunitas yang secara tradisional

61
tertindas ini berupaya memulihkan, melalui modal non-negara dan
institusional, peran politik Islam. Dalam konteks global, absennya
politik Islam dalam politik internasional (AS telah berkontribusi
pada pemahaman tentang pembentukan kembali kedaulatan
politik Islam. Transnasionalisme memberikan kesadaran ini kepada
Indonesia sebagai gerakan politik Islam.
Kedua, fenomena ekonomi politik. Poin kedua adalah sifat
penindasan ekonomi-politik, selain adanya penindasan politik.
Dengan klaim ini, radikalisme muncul ketika ekses kapitalisme
tidak memungkinkan mereka mengakses outlet modal. Pendekatan
ini dikenal dalam ekonomi politik sebagai “pendekatan kelas”. Ini
adalah reaksi radikalisme yang secara fundamental merupakan
reaksi kelas terhadap hegemoni oligarki kapital terhadap negara.
Radikalisme dengan demikian dibaca sebagai potret pemahaman
sejarah, bersama dengan kesadaran kelas.
Lebih lanjut Azyumardi Azra (Azra, 2016) mengemukakan, di
kalangan umat Islam, radikalisme agama bersumber dari:
1. Pemahaman religius literal, penggalan ayat-ayat al-Qur’an.
Pemahaman seperti itu hampir tidak menyisakan ruang
untuk akomodasi dan kompromi dengan kelompok Muslim
lain yang umumnya moderat dan karenanya menjadi arus
utama ummah.
2. Pembacaan sejarah Islam yang salah dikombinasikan
dengan idealisasi Islam yang berlebihan pada waktu
tertentu. Hal ini terbukti dalam pandangan dan gerakan
Salafi, terutama pada spektrum yang sangat radikal seperti
Wahabiyah yang muncul di Jazirah Arab pada akhir abad
ke-18 hingga abad ke-19 dan terus menyebar hingga saat ini.
Tema utama kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian
Islam, yaitu membersihkan Islam dari pemahaman dan
praktik keagamaan yang mereka pandang sebagai bid’ah,
yang sering mereka lakukan dengan cara kekerasan.
3. Keterpurukan politik, sosial dan ekonomi yang masih
berlangsung di masyarakat. Disorientasi dan dislokasi
sosial budaya, ekses globalisasi, dan sejenisnya merupakan

62
faktor penting tambahan bagi munculnya kelompok
radikal. Kelompok sempalan ini seringkali berbentuk
sekte yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat
pada seseorang yang dianggap karismatik. Kelompok-
kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan
memandang dunia mendekati akhir zaman dan akhir
dunia; sekaranglah waktunya untuk bertobat melalui para
pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan
teologis-eskatologis seperti ini, tidak bisa tidak serta-merta
menimbulkan reaksi dari agama-agama arus utama yang
dapat menimbulkan konflik sosial. Radikalisme agama
jelas telah menyebabkan peningkatan konflik sosial dan
kekerasan yang bernuansa intra dan antar agama; bahkan
antar agama dan negara.
Berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama
selama masa reformasi ini, lagi-lagi, disebabkan oleh sejumlah faktor
yang sangat kompleks. Pertama, berkaitan dengan euforia kebebasan,
dimana setiap orang atau kelompok merasa bisa mengekspresikan
kebebasan dan kemauannya, tanpa mempedulikan pihak lain.
Dengan demikian ada gejala toleransi yang menurun. Kedua,
fragmentasi politik dan sosial yang terus berlanjut, terutama di
kalangan elit politik, sosial dan militer, yang terus berdampak pada
akar rumput dan menimbulkan konflik horizontal dan luas. Ada
berbagai indikasi, konflik dan kekerasan bernuansa agama bahkan
diprovokasi oleh elit tertentu untuk kepentingannya sendiri. Ketiga,
inkonsistensi dalam penegakan hukum. Beberapa kasus konflik dan
kekerasan yang berbasis agama atau membawa simbolisme agama
menunjukkan adanya indikasi konflik antar aparat keamanan,
bahkan kontestasi antar kelompok elit lokal. Keempat, disorientasi
dan dislokasi yang meluas pada masyarakat Indonesia, akibat
kesulitan hidup sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan sehari-
hari lainnya membuat masyarakat semakin terjepit dan terjepit.
Akibatnya, orang atau kelompok yang terlempar dan terlempar ini
dapat dengan mudah dan murah melakukan tindakan emosional,
dan bahkan mungkin disewa untuk melakukan tindakan yang
melanggar hukum dan kekerasan.

63
B. Gerakan Agama transnasional
Awalnya istilah transnasional digunakan untuk merujuk pada
aktivitas keimigrasian dan diaspora, dimana aktivitas tersebut
hanya diarahkan pada pergerakan manusia antar negara. Definisi
tersebut kemudian bergeser dan menjadi meluas, yaitu ”multiple ties
and interactions linking people or institutions across the borders of modern
nation-states” (Asroor, 2019). Oleh karena itu, interaksi antara orang
atau organisasi yang melintasi batas negara merupakan bagian
dari kegiatan transnasional. Saat ini, dampak teknologi yang
berkembang pesat semakin memudahkan aktivitas dan pergerakan
transnasional. Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman
tentang gerakan transnasional telah bergeser menjadi gerakan
melintasi batas negara dan negara yang berupaya menghadirkan
atau menyebarkan ideologi tertentu. Semua agama dalam Wahyu
pada dasarnya bersifat transnasional, menurut pengertian ini.
Sifat transnasional setiap agama Wahyu terkait dengan
keinginan untuk mewartakan atau menyebarkan kebenaran yang
telah diterima Tuhan. Keinginan untuk mewartakan hal ini adalah
tugas atau amanat ilahi yang dianggap oleh penganutnya sebagai
kewajiban. Misalnya, agama Kristen yang mendapat amanah untuk
melaksanakan tugas menyebarkan atau menyebarkan Injil, pada
hakikatnya juga melakukan hubungan transnasional. Hampir di
seluruh belahan dunia, penyebaran agama Kristen menjadi bukti
bahwa agama Kristen adalah agama transnasional. Demikian pula
Islam juga merupakan agama pewahyuan transnasional. Tanggung
jawab umat Islam adalah proklamasi wahyu yang diterima oleh
Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dari penyebaran ajaran Islam
dari tanah Arab melalui ekspansi Islam. Dari rukun Islam yang
kelima yaitu menunaikan haji juga terlihat kontak transnasional.
Selain menjadi kewajiban bagi umat Islam, haji juga menjadi faktor
penyebaran ideologi hingga terjadinya penyucian dan kebangkitan
Islam di Indonesia bagi yang mampu. Ada beberapa warga Hindia
Belanda (Indonesia) pada masa penjajahan yang berziarah dan juga
menuntut ilmu di Arab Saudi. Beberapa orang yang kembali ke
Indonesia memiliki pemahaman bahwa Islam tidak dipahami atau

64
bahkan menyimpang dari atau salah oleh masyarakat di Indonesia
(Aksa, 2017).
Pada saat itu dilakukan pemurnian yang sangat radikal-
fundamentalistik. Sikap dan pemahaman ini cukup ekstrim, karena
bersentuhan atau berdampak kuat pada sekte Wahabi di Arab
Saudi yang berkembang pesat. Hingga hari ini, Arab Saudi saat
ini memiliki sekte Wahhabi atau Wahabisme yang berkuasa. Sejak
lama gerakan Islam internasional mulai terjadi dan memiliki arti
yang berbeda-beda dan akan terus bergeser (Adiwilaga, 2017).
1. Wajah Gerakan Islam Transnasional
Konsep Islam transnasional sendiri kini sudah mulai berubah
maknanya dan terkait dengan gerakan Islam internasional yang
ingin memberlakukan hukum Islam dan mendirikan negara Islam
di berbagai negara, khususnya di negara mayoritas Muslim. Saat
ini ada gerakan di Sudan, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia untuk
menegakkan hukum Islam dan mendirikan negara Islam. Tujuan
gerakan ini adalah memberikan kerangka kerja bagi Konstitusi
Islam dan pembentukan hukum Islam. Dengan jargon Islam kaffah,
atau secara harfiah Islam sempurna atau lengkap, bangkitnya
gerakan ini di berbagai negara di dunia tidak lepas dari gerakan
Islam transnasional (Rijal, 2011).
Semangat yang diusung gerakan ini adalah spirit Islamisme.
Islamisme sendiri adalah istilah yang saat ini ditujukan untuk
merujuk sebagai ideologi politik bagi gerakan Islam. Hal tersebut
tidak lepas dari keinginan untuk memperkenalkan Islam yang
benar, Islam yang komprehensif, Islam yang tidak memisahkan
agama dan negara, Islam yang benar-benar mengacu pada Alquran
dan Sunnah Nabi, untuk membahas gerakan Islam Transnasional.
Penegakan syariah Islam merupakan gerakan ideologi keagamaan
yang bertujuan untuk menghadirkan ajaran Islam dalam setiap
aspek kehidupan dan mempersatukan umat Islam dalam satu
komunitas (ummah). Pemahaman dalam salah satu forum gerakan
mempersatukan umat Islam ini dipahami secara berbeda oleh
beberapa kelompok (Rijal, 2011).

65
Perbedaan ini didasarkan pada pemahaman tentang hubungan
Islam dengan negara. Itu dipecah menjadi tiga oleh Munawir Sjadzali
(Sjadzali & Majid, 1986). Pemahaman ini, kelompok pertama,
memandang bahwa Islam tidak seperti pemahaman Barat tentang
agama, yang memahami bahwa agama hanya sebatas hubungan
antara manusia dengan Tuhan. Sekolah ini memahami bahwa Islam
adalah agama lengkap yang mengatur semua aspek kehidupan,
termasuk sistem pemerintahan dan politik. Nabi Muhammad dan
al-Khulafaur al-Rasyidin adalah contoh negara dan sistem politik
Islam (empat sahabat Nabi yang menjadi pemimpin atau khalifah).
Oleh karena itu, karena Muhammad telah memberikan teladan
yang sempurna, maka Islam tidak perlu meniru sistem kenegaraan
dan politik Barat. Hasan al-Bana, Sayyid Qutb, Rasyid Rida,
Maulana Maududi dan Taqiyudin Nabhani adalah tokoh sekte
ini. Kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir,
dan ISIS termasuk dalam pemahaman ini. Kedua, kelompok ini
mengetahui bahwa Islam adalah agama yang juga dipahami oleh
Barat. Islam yang dibawa oleh Muhammad tidak pernah ditujukan
untuk mendirikan negara. Thaha Husain dan Ali Abdul Al-Raziq
menjadi pemikir gerakan ini.
Kelompok ini mengabaikan pemahaman kelompok pertama
dan kelompok kedua sebagai pemahaman ketiga. Aliran ini
mengakui bahwa tidak ada sistem hukum dalam Islam, tetapi
terdapat prinsip etika kehidupan bernegara. Muhammad Husein
Haikal adalah pemikir kelompok ini. Dengan gagasan masyarakat
sipil, pemahaman kelompok ketiga ini terlihat dalam pemikiran
Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Gus Dur (Mohammad Taufiq
Rahman & Mimbar, 2018). Saat ini, gerakan pemersatu agama dan
negara atau politik Islam melekat pada Gerakan Islam Transnasional
fundamentalis Islam, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir,
dan Jemaah Islamiyah. Gerakan fundamentalis Islam saat ini,
gerakan yang ekstrim dan penuh kekerasan, dimaknai lebih negatif.
Demikian pula, kelompok fundamentalis Islam terkait dengan
penindasan perempuan, hukuman kejam atas pelanggaran norma
agama, fanatik keyakinan, permusuhan Barat, dan kecenderungan
kekerasan bahkan terorisme. Munculnya ISIS adalah fenomena

66
terakhir yang bisa kita amati sekarang (Negara Islam Irak dan
Suriah) (Husni, 2018).
ISIS adalah gerakan Islam yang sangat radikal. Tujuan ISIS
adalah untuk mempersatukan Islam menjadi satu negara Islam
global (kekhalifahan). Kampanye ISIS menggunakan metode
yang berbeda, termasuk melakukan pembunuhan dan kekerasan.
Kalangan Muslim menerima tanggapan beragam atas kemunculan
ISIS dengan ambisi untuk membangun kembali kekhalifahan Islam.
ISIS ditolak keras oleh banyak orang atau kelompok Islam, padahal
ada juga yang mendukung apa yang dilakukan ISIS. Islamisme
atau politik Islam kini telah menjelma menjadi sebuah gerakan
transnasional, seperti dijelaskan sedikit di atas, yang memiliki
bentuk dan cara berbeda dalam memperjuangkan penegakan
negara Islam, baik lokal maupun internasional. Baik negara Islam
lokal maupun global memiliki nilai yang sama, yaitu dalam setiap
aspek kehidupan menampilkan wajah Islam yang sempurna atau
dalam bahasa Haedar Nashir menjunjung tinggi Syariah Islam
(Arifin & Bachtiar, 2013).
2. Pola Gerakan Islam Transnasional
Bentuk gerakan Islam transnasional ini kini menjadi
gerakan yang dalam setiap aspek kehidupan umat Islam ingin
menghadirkan wajah Islam yang ‘sebenarnya’. Fenomena ini dapat
dilihat dari berbagai pendekatan. Pendekatan integralis melihat
fenomena ini sebagai reaksi dan perlawanan terhadap gagasan
modernitas yang dibawanya dari hegemoni Barat. Modernitas yang
digaungkan oleh Barat juga sangat mempengaruhi pola pikir umat
Islam dunia. Bagi umat Islam, modernitas yang telah melahirkan
sekularisme, liberalisme dan pluralisme oleh beberapa kelompok,
terutama kaum integralis, dianggap “racun”. Gerakan transnasional
integralis memiliki pengaruh yang kuat di kalangan ulama di
Indonesia sendiri. Hal ini terlihat dari fatwa tentang bahaya dan
haram pemikiran tentang sifilis yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).
Barang-barang seperti itu dianggap sebagai produk modern yang
merupakan hasil rasionalitas Barat yang ingin menghancurkan
Islam (Rijal, 2011).

67
Pola gerakan Islam transnasional secara umum dapat dibagi
menjadi tiga bagian, berdasarkan aktivitas gerakan tersebut
(Rijal, 2011). Pola pergerakan Islam transnasional Indonesia
adalah sebagai berikut: pertama, transmisi dan transformasi
ilmu pengetahuan. Islam adalah agama pada umumnya yang
transnasional atau universal. Ini karena Islam adalah dakwah.
Setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan Islam
(dakwah) sesuai dengan apa yang diyakini oleh banyak Muslim.
Melihat tren seperti itu, para dai Muslim menggunakan berbagai
cara untuk “menyebarkan kabar baik” di awal penyebaran Islam.
Ini bertujuan untuk menciptakan komunitas Islam, atau Umma,
melalui misi ini. Sesuai dengan “teori Arab” (Baiti & Razzaq, 2014)
yang menyatakan bahwa melalui jaringan pedagang Arab yang
membawanya ke Indonesia, Islam masuk ke Indonesia. Langsung
dari Arab muncul teori kedatangan Islam yang hadir di Indonesia,
melakukan transfer ilmu tentang Islam langsung dari tempat
lahirnya Islam. Jadi ada konsekuensi logis dari gerakan dakwah
yang merupakan unsur inheren Islam, bahwa Islam adalah agama
transnasional.
Jika memiliki keterkaitan atau benang merah dengan
jaringan ulama di Timur Tengah, maka transformasi ilmu agama
Islam menjadi lebih valid. Hubungan langsung dengan ulama
Timur Tengah ini menjadi validasi bahwa pengetahuan mereka
adalah sumber utama lahirnya Islam sebagai produk asli Arab.
Transformasi pengetahuan tidak hanya penting di alam, tetapi
juga upaya untuk mengubah gaya hidup, seperti cara berpakaian
dalam kehidupan sehari-hari (kearab-araban). Kedua, dunia yang
semakin sekuler dibaca oleh gerakan kesalehan (politik kesalehan).
Beberapa kelompok Islam ingin mengubah situasi ini, tetapi tidak
dapat diubah secara terpisah, membutuhkan persatuan di antara
umat Islam di tempat mana pun yang melampaui batas budaya,
etnis, atau bahkan negara. Kebudayaan barat yang semakin
mewarnai berbagai bidang kehidupan di dunia membuat mereka
ingin memberikan warna islami, dimana diharapkan warna islami
akan menjadi tameng yang kuat terhadap westerisasi. Pada awalnya
gerakan ketakwaan lebih bersifat individual, dimana kelompok ini

68
percaya bahwa sistem yang ada saat ini hanya dapat diatasi dengan
kesalehan personal, dimana pemahaman iman mereka akan
diperkuat dan diperkuat (Rijal, 2011).
Pola gerakan kesalehan pribadi juga digunakan oleh kelompok
radikal-fundamentalis. Kehadiran di banyak tempat kelompok
atau sel kecil seperti halaqah atau proliferasi daurah merupakan
kerangka upaya rekrutan kelompok untuk memiliki ketaatan
mutlak pada keyakinan dan kelompoknya. Ketiga, jika sudah
memiliki massa yang cukup untuk memasuki arena politik nasional,
seperti Ikhwanul Muslimin yang bermetamorfosis menjadi Partai
Keadilan Sosial, maka gerakan politik, pola gerakan transnasional,
akan berubah menjadi gerakan politik (sebelumnya Partai
Keadilan) (Arifin & Bachtiar, 2013). Gerakan Islam transnasional
sering dipahami, sebagaimana umumnya dipahami oleh berbagai
kalangan, sebagai gerakan ideologis-politik yang mengemban misi
mendirikan Daulah Islamiyyah (Negara Islam) lokal dan universal.
Karena keprihatinan banyak kalangan Muslim yang
menganggap proyek modernitas adalah proyek yang ingin
menanamkan nilai-nilai Barat di seluruh dunia, gerakan politik
untuk mendirikan Daulah Islamiyyah ini pun terjadi. Nilai-nilai
Barat dianggap sebagai upaya untuk menghilangkan Islam dari
muka bumi (baca: Kristen). Proyek modernitas Barat ini pasti akan
menghilangkan keberadaan Islam di muka bumi ini. Modernitas
Barat telah gagal dengan sendirinya dan telah mengarah pada
sistem atau tatanan dunia yang tidak berpihak pada Islam.
Konsekuensinya, pemahaman tersebut melahirkan gerakan
politik yang ingin mengembalikan posisi Islam sebagai agama
yang hadir dalam setiap aspek kehidupan umat Islam (Islam
Kaffah). Banyak dari gerakan ini lahir di Timur Tengah, yang pada
kenyataannya tidak terjadi secara kebetulan. Pasalnya, Timur
Tengah merupakan wilayah yang akan dikuasai yang menjadi salah
satu sasaran Barat. Penguasaan kawasan Timur Tengah sebenarnya
sangat ekonomis dan politis. Keinginan untuk mengatur Timur
Tengah terkait dengan sumber minyak yang masih melimpah di
kawasan tersebut. Untuk mengatasi hegemoni Barat terhadap

69
dunia Islam, penggunaan sentimen keagamaan merupakan cara
paling efektif untuk melanjutkan wacana, yang merupakan isu
paling kuat untuk mengobarkan semangat bela agama. Dengan
dalih memerangi kebohongan atau kejahatan yang merupakan
musuh Islam, sentimen religius ini dimunculkan (Setia, 2020).
Gerakan politik yang lahir dalam kehidupan umat Islam
sebagai hasil dari semangat mengembalikan ajaran Islam secara
utuh (Kaffah) melahirkan banyak gerakan dengan ide atau corak
yang berbeda. Namun perasaan ditindas oleh Barat, dimana
mereka sangat percaya bahwa Barat bersekongkol dengan Yahudi
untuk menghancurkan dunia Islam, adalah satu hal yang dapat
mempersatukan mereka. Di beberapa wilayah komunitas Muslim,
kehancuran ini memunculkan semangat kebangkitan (Revivalism).
Kebangkitan dimulai dengan mengubah pemikiran dan cara hidup
umat Islam (M Taufiq Rahman, 2014). Kebangkitan politik, menurut
Ibnu Taimiyyah, disebut ‘Muhyi atsari Salaf,’ yang menghadirkan
cara hidup generasi pertama umat Islam (salaf). Generasi pertama
adalah generasi Nabi Muhammad dan Para Sahabat yang taat
beragama Islam. Cita-cita gerakan politik pada umumnya adalah
mendirikan komunitas Islam sedunia (ummat) yang dipimpin oleh
seorang Khalifah (Khilafah Islamiyyah). Al-Ikhwan Al Muslimin
(Ikhwanul Muslimin atau Ikhwanul Muslim), Jamaat-i-Islami,
Taliban, dan Hizbut Tahrir adalah beberapa dari gerakan politik ini
(Partai Pembebasan) (Wibowo, 2018).
3. Faktor-faktor Gerakan Islam Transnasional
Sebuah gerakan politik transnasional merupakan buah dari
kecemasan umat Islam kontemporer terhadap modernitas Barat
yang mengancam eksistensi Islam. Gerakan politik di kalangan
Islamis sebelum zaman pramodern lebih ditekankan pada
tanggapan karena adanya masalah di tubuh penguasa. Ulama
yang berada di luar pemerintahan adalah pelaku utama gerakan
politik itu sendiri. Gerakan politik Islam saat ini sama dengan
gerakan counter modernitas. Namun, dalam gerakan politik Islam
kontemporer, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh pemikiran
modern itu sendiri telah terjalin. Modernitas di satu sisi merupakan

70
ancaman, namun moderasi yang terjadi di sisi lain sebenarnya
merupakan faktor yang sangat penting dalam kemunculan
gerakan politik Islam modern. Variabel-variabel ini juga tidak
mungkin dipisahkan dari eskalasi politik global yang telah terjadi.
Pertimbangan tersebut adalah (Asrori, 2015):
a. Kondisi Geopolitik Pada Masa Akhir Kolianialisme
Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua memunculkan
semangat melindungi tanah airnya yang diserang oleh bangsa
lain. Nasionalisme dikenal sebagai semangat perjuangan untuk
mempertahankan dan melindungi harkat dan martabat bangsa dan
negara. Semangat nasionalisme yang tumbuh di paruh pertama abad
ke-20 ternyata juga menjadi virus yang kuat yang juga menyebar
di negara-negara Islam di Timur Tengah. Komunitas Muslim yang
melampaui batas etnis, negara, dan bangsa (Asrori, 2015).
Sebagai ancaman bagi eksistensi persatuan umat Islam, terlihat
tumbuhnya semangat nasionalisme. Nasionalisme dipandang
sebagai pemahaman bangsa dan tanah air yang lebih mementingkan
itu. Dianggap bahwa kesetiaan kepada negaranya lebih penting dari
pada saudaranya yang merupakan seaqidah. Ajaran nasionalisme
tidak sesuai dengan ajaran Islam, menaati Allah SWT adalah
ketaatan yang terpenting dari seorang muslim. Banyak kalangan
Muslim menganggap Gerakan Nasionalisme sebagai cara ampuh
untuk menghancurkan kekhalifahan Islam oleh Barat. Runtuhnya
kekhalifahan Utsmaniyah di Turki dan lahirnya negara-bangsa
yang merupakan buah dari bangkitnya semangat nasionalisme
memperkuat keyakinan ini. Dengan runtuhnya Turki Ottoman pada
tahun 1924, PDI berlanjut dengan PDI dan merupakan konstelasi
geopolitik pada akhir abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20,
melahirkan nasionalisme dan melahirkan negara-negara modern
baik di dataran Eropa maupun di Tengah Timur.
b. Perang Arab Israel, Zionisme dan Isu kemerdekaan Palestina
Pada tahun 1948, pembentukan Negara Israel modern
memanaskan eskalasi geopolitik Muslim, yang mengakibatkan
konfrontasi bersenjata. Palestina yang merupakan tempat suci

71
kedua setelah Mekkah dianggap sebagai tempat yang harus
dikuasai umat Islam (Arab). Penguasaan bangsa Yahudi atas tanah
Palestina dianggap bertentangan dengan kehendak Tuhan. Hal
ini mengakibatkan panasnya permusuhan Arab-Israel yang terus
berlanjut. Sedangkan klaim orang-orang Yahudi yang meyakini
bahwa tanah Palestina adalah tanah perjanjian yang diklaim dan
harus dipertahankan sebagai tanah pemberian Tuhan sendiri.
Konflik atas nama Tuhan sebagai sumber kekuatan penegasan
kebenaran telah menyebabkan konflik Arab-Israel berlanjut hingga
saat ini (Asrori, 2015).
c. Kapitalisme Global
Kapitalisme global yang menguasai hampir semua aspek
kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan militeristik
saat ini sedang mencengkeram dunia. Setelah berakhirnya
Perang Dunia II, dengan Program Pembangunanisme, Amerika
Serikat dan sekutunya terus berusaha untuk mendominasi
dunia. Developmentisme sebagaimana yang terjadi pada era
Soeharto merupakan salah satu program pembangunan bagi
negara berkembang atau negara dunia ketiga (Orde Baru). Ini
menggambarkan istilah dari kata saja yang lebih rendah dari negara
maju. Dalam situasi ini, dengan negara-negara Barat, negara-negara
maju diidentifikasi. Gerakan Islam transnasional yang lebih terarah
atau bertujuan mempersatukan umat Islam dimanapun berada
untuk melawan hegemoni Barat yang begitu mencekam dunia,
dipicu oleh setidaknya tiga hal yang telah disebutkan di atas. Islam
harus meningkatkan dan melawan setiap aspek hegemoni Barat
yang dianggap sumber dari setiap masalah di dunia (Asrori, 2015).
Gerakan Islam Transnasional telah menyerukan kembalinya
masalah saat ini ke Islam hanya sebagai jawaban atas masalah
yang telah terjadi. Hizbu tahrir atau Partai Pembebasan (di
Indonesia disebut HTI atau Hizbur Tahrir Indonesia) (Setia, 2020),
Ikhwanul Muslimin yang menjadi PKS, juga merupakan kelompok
transnasional yang ada di Indonesia (Partai Keadilan Sosial).
Kemudian, seperti Laskar Jihad dan Majelis Mujahidin Indonesia,
kelompok separatis (MMI). Salah satu organisasi politik Islam

72
transnasional adalah salah satunya. Organisasi atau kelompok
ini oleh pihak tertentu disebut sebagai organisasi radikalis-
fundamentalis. Berikut ciri-ciri Gerakan Islam Transnasional yang
disematkan pada kelompok fundamentalis radikal ini. Pertama,
penegakan syariat Islam dalam tatanan politik yang dalam
kehidupan sehari-hari berbeda dengan praktek hukum Islam.
Penegakan ini adalah keabsahan formal, artinya dalam hidup
bersama, Syariah Islam adalah landasan atau hukumnya. Kedua,
kepemimpinan global atau lebih sering disebut dengan khilafah.
Untuk mengatasi permasalahan saat ini yang semakin menekan
kehidupan individu, dua agenda besar terus digaungkan.
Artinya, gerakan ini memperjuangkan ideologi politik
kelompoknya yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam konteks
global, baik dari analisis pola, relasi maupun ciri-ciri gerakan
Islam Transnasional, sebagaimana diuraikan di atas (Faiqah &
Pransiska, 2018). Gerakan transnasional ini bersifat ideologis-
religius, sehingga yang dicari adalah gerakan yang bersumber dari
pemahaman Kitab Suci yang bersumber dari Alquran dan Hadits
dalam hal ini. Ada kebenaran fundamental dari Tuhan (klaim
kebenaran) yang harus diperjuangkan dalam kebenaran absolut
yang diperjuangkan. Klaim kebenaran yang menggembirakan itu
menolak pemahaman atau ideologi lokal, seperti negara-bangsa
dan demokrasi Pancasila, yang telah berkembang dan terwujud.
Secara normatif gerakan transnasional ini memiliki ciri-ciri, yaitu:
Pertama, semua gerakan bersifat transnasional, lintas negara,
dan lintas negara. Dengan mendirikan sejumlah titik di berbagai
negara, termasuk negara sekuler dan maju, mereka membentuk
jaringan gerakan. Ini memiliki cabang yang berbeda di berbagai
negara, termasuk negara-negara Eropa, Asia, Afrika dan Australia,
seperti HTI. Kedua, ideologi gerakan ini tidak lagi bertumpu pada
gagasan negara-bangsa, negara berbasis bangsa, tetapi pada konsep
kesejahteraan rakyat di tingkat global.
Tujuan yang ingin dikejar adalah persatuan atau keterwakilan
rakyat secara keseluruhan. Perwujudan bangsa dan negara
merupakan bagian dari proyek modern untuk menghancurkan

73
sistem kekhalifahan yang berkembang dengan baik. Kelompok
transnasional ini, menurut Iqbal Ahnaf (Ahnaf, 2018), memiliki
gerakan politik yang ekstrim, seperti Al-Qaeda dan Jamaah
Islamiyah. Oleh karena itu, kelompok tersebut secara normatif
hanya menerima penerapan sistem politik Islam (Siyasah Islamiyah)
atau negara Islam (Daulah Islamiyah). Ketiga, ide dan instrumen
modern, seperti metode perjuangan politik, partai, sebagian telah
disesuaikan dengan penggunaan teknologi informasi. Hal ini terlihat
dari bagaimana kelompok transnasional menggunakan berbagai
media sosial modern yang ada, seperti website, Facebook, Twitter,
Instagram dan YouTube, untuk menyebarkan wacana, gagasan
dan dakwahnya. Secara ideologis, penggunaan dan adaptasi
instrumen modern bertentangan dengan semangat gerakan Islam
transnasional yang melarang kemajuan atau ide yang dihasilkan
oleh Barat.

C. Radikalisme dan terorisme


Menyusul serangan Al-Qaeda di World Trade Center (WTC)
di New York pada 11 September 2001, setidaknya lebih dari
12.000 serangan teroris telah mengakibatkan hilangnya ribuan
nyawa di seluruh dunia. Setelah perang dingin menjadi gerakan
teroris berbasis Islam, aksi teror 11 September 2001 menandai era
baru gerakan terorisme. Islam menjadi sorotan dunia karena aksi
terorisme sebenarnya melibatkan sejumlah orang atau organisasi
yang mengandung makna dan simbol Islam yang sangat banyak
tertanam dalam serangan teroris.
Akibatnya, isu global yang hangat dibicarakan menjadi kajian
terorisme. Sebab, terorisme tidak hanya secara politik dan militer,
tetapi juga ekonomi memiliki implikasi yang luas. Serangan 11
September 2001 diikuti oleh serangkaian bom bunuh diri pada 2002
di Bali, 2004 di Madrid, 2005 di London, 2005 di New Delhi, dan
2006 di Mumbai. Pemboman bunuh diri juga terjadi di wilayah
konflik, seperti Irak dan Kashmir. Sri Lanka, negara-negara Israel,
Palestina, dan Timur Tengah.

74
Menyusul serangan Al-Qaeda di World Trade Center (WTC)
di New York pada 11 September 2001, setidaknya lebih dari
12.000 serangan teroris telah mengakibatkan hilangnya ribuan
nyawa di seluruh dunia. Setelah perang dingin menjadi gerakan
teroris berbasis Islam, aksi teror 11 September 2001 menandai era
baru gerakan terorisme. Islam menjadi sorotan dunia karena aksi
terorisme sebenarnya melibatkan sejumlah orang atau organisasi
yang mengandung makna dan simbol Islam yang sangat banyak
tertanam dalam serangan teroris.
Akibatnya, isu global yang hangat dibicarakan menjadi kajian
terorisme. Sebab, terorisme tidak hanya secara politik dan militer,
tetapi juga ekonomi memiliki implikasi yang luas. Serangan 11
September 2001 diikuti oleh serangkaian bom bunuh diri pada 2002
di Bali, 2004 di Madrid, 2005 di London, 2005 di New Delhi, dan
2006 di Mumbai. Pemboman bunuh diri juga terjadi di wilayah
konflik, seperti Irak dan Kashmir. Sri Lanka, negara-negara Israel,
Palestina, dan Timur Tengah.
Namun insiden teroris di Indonesia terus berlanjut, yang
juga diikuti oleh penangkapan teroris. Dalam bentuk jejaring dan
saksi yang dibentuk mereka, kita menyaksikan fakta lain. Kita bisa
memahami bahwa ada orang yang mengabdikan hidupnya untuk
menjadi teroris, mengajarkan ilmu teror, melatih calon teroris, dan
membujuk orang untuk memahami Islam dengan cara teroris.
Dari fenomena ini kita dapat mengatakan bahwa radikalisme dan
terorisme bukanlah semata-mata ciptaan Barat, tetapi merupakan
fakta nyata, karena di antara umat Islam sendiri ada yang percaya,
merangkul, dan mengembangkannya. Tindakan teroris juga
tampaknya tidak menjadi bagian dari konspirasi Amerika dan
sekutunya, seperti yang sering dituduhkan. Amerika tertarik
dengan Indonesia yang pasar keuangannya di Indonesia sangat
menguntungkan. Karena itu, mustahil Amerika menghancurkan
kepentingannya dengan menjadi dalang di balik fenomena
terorisme di Indonesia.
Padahal beberapa ahli mencoba menjelaskan perbedaan antara
terorisme dan terorisme. Terorisme, seperti diklaim, adalah bentuk

75
pemikiran, sedangkan teror adalah tindakan, tindakan terorganisir.
Meskipun demikian, sebagian besar percaya bahwa teror dapat
terjadi tanpa terorisme, tetapi teror adalah elemen utama yang
melekat pada terorisme. Terorisme merupakan puncak dari aksi
kekerasan ketika suatu kelompok tidak mampu lagi menemukan
solusi atas permasalahan agama. Tanpa kekerasan, bisa ada teror,
tapi tanpa teror tidak ada kekerasan yang terjadi. Kekerasan adalah
tindakan yang ditujukan kepada orang lain, baik secara fisik
maupun psikologis, dengan maksud untuk menyakiti, menyakiti,
dan menyebabkan penderitaan.
Masyarakat merupakan pihak yang merasakan petaka terbesar
akibat aksi terorisme. Seringkali, baik nyawa maupun benda
menjadi korban langsungnya. Memang secara lebih luas lagi, aksi
terorisme berdampak pada banyak hal yang berkaitan dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Radikalisme, baik berupa tindak kekerasan maupun ancaman
terhadap kehidupan manusia, memiliki kaitan yang sangat kuat
dengan terorisme. Padahal, kejahatan tersebut dilakukan oleh
kelompok minoritas yang pada saat bersamaan menolak dan tidak
percaya pada sistem dan proses demokrasi yang ada. Perubahan
politik dan sosial adalah apa yang diinginkan oleh gerakan tersebut.
Dengan kekerasan, agama digunakan secara dramatis sebagai
fondasi yang dipahami secara ekstrim.
Radikalisme tidak persis sama dengan terorisme, juga tidak
sama. Ahmad Syafii Maarif pernah menyatakan bahwa radikalisme
lebih banyak dikaitkan dengan cara pengungkapan model
keberagaman dan sikap seseorang, sedangkan terorisme secara
jelas mencakup tindak kriminal politik. Radikalisme lebih erat
kaitannya dengan persoalan internal agama, sedangkan terorisme
merupakan fenomena global yang juga membutuhkan tindakan
global. Radikalisme, bagaimanapun, kadang-kadang dapat berubah
menjadi terorisme, meskipun tidak selamanya dan selamanya.
Radikalisme, bagaimanapun, sebenarnya adalah satu tahap
atau satu langkah sebelum terorisme. Teroris yang banyak
melakukan aksi destruktif dan bom bunuh diri pada umumnya

76
memiliki pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal,
khususnya masalah agama. Kaitan erat antara radikalisme dan
terorisme terlihat dari ungkapan Brian Michael Jerking, “Teroris
tidak jatuh dari langit, mereka berasal dari seperangkat keyakinan
yang dianggap kuat. Mereka radikal, kemudian menjadi teroris.”

D. Radikalisme dan Internet


Terorisme selalu merupakan bentuk radikalisme yang
menyesuaikan dengan semangat zaman. Aksi ini awalnya
dilancarkan atas nama agama melawan Kristen (Poso dan Ambon),
antek Amarika, Inggris, rumah ibadah (masjid di Cirebon, gereja
di Solo), fasilitas umum (hotel, pusat perbelanjaan), menggunakan
buku teror. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk menyebarkan
virus kebencian ini melalui jaringan media sosial (Facebook,
Twitter, YouTube). Keutuhan NKRI terancam jika aksi radikalisme,
kekerasan atas nama agama, dimanifestasikan dalam aksi terorisme,
bom bunuh diri untuk mendirikan Negara Islam dan kekhalifahan
(ISIS / NIIS) terus dibiarkan begitu saja di muka bumi. Mengingat
tindakan yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penerus
bangsa untuk mencederai hati nurani dan kemanusiaan yang
menggunakan media sosial untuk menyebarkan radikalisme ini.
Menurut Afif Muhammad, dalam menghadapi tantangan
industri dan globalisasi, maraknya aksi radikalisme, terorisme,
fundamentalisme disebabkan oleh ketidakberdayaan agama serta
perampasan unsur keibuan (kasih sayang, cinta, pendampingan)
dari agama sebagai akibat dari keganasan modernitas. Kaum
radikal ini biasanya memiliki karakter hitam-putih, tidak
kompromi, dan cenderung menolak kebenaran dari orang lain;
kegagalan setelah keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negara; kekecewaan, kegagalan dan frustasi akibat perkembangan
sosial politik yang membuat mereka terpinggirkan; ekonomi,
ketimpangan hukum; Ketidaksiapan sebagian anggota masyarakat
untuk mengimbangi mereka Semua ini bisa menimbulkan perasaan
benci dan permusuhan terhadap Barat dengan segala produknya
(kapitalis).

77
Intinya, rantai peradaban inilah yang melahirkan kekerasan.
Industrialisasi dan globalisasi sebenarnya telah melahirkan
kekerasan dan penindasan, bukannya membangun perdamaian
dan keadilan yang setara. Persaingan akan mendorong yang
lemah untuk mempertahankan diri, dan kemudian kekerasan
akan muncul jika keadilan tidak dapat diwujudkan secara damai.
Akibat yang justru melahirkan kekerasan adalah dalam bentuk lain
ketidakadilan itu sendiri memanifestasikan dirinya.
Dengan munculnya buku-buku Islam radikal terbitan sejumlah
penerbit, muncul kecenderungan baru. Menurut Khamami Zada,
fenomena ini muncul akibat Bom Bali I tahun 2002 yang mencakup
pemberitaan media secara luas baik di media nasional maupun
internasional. Bahkan, setelah pelaku bom Bali seperti Imam
Samudra, Ali Gufron, dan Amrozi ditangkap, mereka menyerukan
adanya perdebatan tentang hubungan terorisme dan Islam.
Sejumlah penerbit yang mengungkap ideologi pelaku teroris jihad
bermunculan di tengah hiruk pikuk sorotan internasional terhadap
Indonesia sebagai sarang terorisme. Perkembangan publikasi Islam
yang berorientasi pada jihadis diperkuat oleh aksi terorisme yang
terus menerus di Indonesia antara tahun 2002 dan 2009.
Tren saat ini adalah penyebaran buku dan tulisan mulai dilihat
sebagai metode dakwah yang penting, terutama bagi kelompok
konservatif dan berbagai kelompok atau aliran Islam yang mulai
menerbitkan terbitannya, baik dalam bentuk buku, majalah, dll.
kaset dan VCD akhir-akhir ini, dijual di toko buku, distributor,
dan bahkan diunggah di situs web mereka sendiri. Ada lebih dari
ratusan judul buku dalam katalog penerbit Salafi. Lebih buruk lagi,
beberapa buku, majalah dan portal online Islam telah berasimilasi
menjadi organisasi keagamaan yang berorientasi radikal atau
individu dengan ideologi Islam.
Bagi Greg Fealy dan Anthony Bubalo, dari membaca buku
hingga publikasi internet, pengaruh kuat radikalisme Timur Tengah
di Indonesia - dari Ikhwanul Muslimin hingga Al Qaeda. Di antara
kelompok Salafi Indonesia, pentingnya internet sebagai alat untuk
transmisi dan penyebaran ide sangat kuat. Mereka menggunakan

78
internet di samping konservatisme sosial mereka yang khas, karena
internet memberikan peluang untuk menciptakan identitas Islam
yang tidak berbudaya dengan membuat www.salafi.net, www.
salafipublications.com.
1. Kekuatan Internet dan Media Sosial
Hasil penelitian Leni Winarni menunjukkan bahwa
radikalisme pada abad ini menarik agama, khususnya Islam, dalam
situasi dan kondisi yang tidak dapat dihindari dan menciptakan
keterhubungan antara Islam dan kekerasan yang merugikan dunia
Islam meskipun merupakan agama yang rahmatan lil. alamin.
Kelahiran Islam ribuan abad silam tidak diwarnai dengan pedang,
melainkan Islam membawa pesan perdamaian yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Di satu sisi, radikalisme juga dicap sebagai
pemahaman yang sangat negatif.
Ada dua poin utama yang bisa disimpulkan; Pertama, media
internet mengambil porsi dan peran yang sangat besar dalam
memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya kaum muda,
tentang ideologi radikal. Hal ini diperparah dengan kenyataan
bahwa rekrutmen pemuda di organisasi radikal lebih banyak
dilakukan dengan menggunakan media internet. Fakta bahwa
organisasi teroris dan afiliasinya telah memanfaatkan teknologi
yang akan memudahkan mereka menyebarkan propaganda dan
merekrut calon anggota melalui internet adalah bagian yang sangat
menyedihkan dari kemajuan media massa itu sendiri.
Kedua, media massa memiliki peran kunci dalam mencegah
dan memberikan informasi kepada publik tentang isu-isu
radikalisme sehingga masyarakat dapat mengambil tindakan
untuk mencegah berkembangnya gerakan ekstremis yang dimulai
dari lingkungannya sendiri. Meski pada dasarnya Indonesia adalah
negara Islam yang moderat dan radikalisme sulit berkembang di
negeri ini, bukan berarti Indonesia tidak luput menjadi incaran
mereka, terutama generasi muda. Apapun itu, media massa
memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap publik,
walaupun di sisi lain pemberitaan tersebut memang bermanfaat
bagi gerakan-gerakan tersebut sebagai bentuk dakwah bebas,

79
namun juga membangkitkan gerakan massa rakyat itu sendiri
untuk aktif berpartisipasi dan melindungi lingkungan mereka
hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum
tanpa hanya bergantung pada pemerintah.
Internet merupakan salah satu media yang paling banyak
digunakan untuk menyalurkan hasrat demokrasi tersebut, dalam
konteks kekerasan atas nama agama, aksi terorisme, kekerasan
terhadap minoritas dan kasus konflik antar umat beragama.
Sementara itu, banyak ekstrimis Muslim memanfaatkan momen
dan media untuk menyebarkan ideologi jihad mereka.
Oleh karena itu, semua gagasan, gagasan radikalisme dan
terorisme mudah menyebar dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi. Istilah Islam virtual telah muncul di komunitas Muslim.
Banyak yang mengkomunikasikan interpretasi mereka sendiri
tentang Islam dan prinsip-prinsip terkait Islam melalui internet.
Mengingat berbagai materi dan perspektif yang tersedia secara acak
di mana informasi ini dapat diakses, hal ini memiliki konsekuensi
yang serius. Mungkin yang disebut kelompok organisasi skirmatis
radikal (terfragmentasi) sebagai interpretasi ortodoks arus utama
adalah pengalaman pertama seseorang dengan Islam di dunia
maya.
Hasil penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris tidak
lagi menjadi mata rantai terpenting dalam transformasi politik
komunitas Muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan pertukaran
intelektual dan ideologis melalui internet (email).
Cyber-terrorism digunakan dalam salah satu pola aksi
terorisme di Indonesia yaitu penggunaan komputer dan jaringan
internet oleh kelompok teroris dalam melakukan tindakan seperti
penggunaan internet untuk proses radikalisasi, pembobolan sistem
keuangan, pengendalian transportasi, sistem peralatan seperti
kereta api dan pesawat terbang.
Imam Samudra aktif di dunia maya sejak Juni 2005, sebelum
Bom Bali II meledak, hingga dipindahkan ke Nusa Kambangan.
Noordin M. Top dan Abdul Azis membangun situs khusus pada

80
saat Bom Bali II sebagai sarana koordinasi semua kegiatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan aksi terorisme. Situs anshor.net
dibuat oleh Max Fiderman menggunakan kartu kredit.
Dalam paradoks dan kontradiksinya, kekuatan internet berada.
Pasalnya, dunia maya merupakan ruang virtual yang terbentuk
antar komputer melalui jaringan. Berbagai panorama yang penuh
dengan paradoks dan kontradiksi akan kita temui saat berkeliaran di
dalamnya; kesenangan-ketakutan, kebaikan-kejahatan, otentisitas-
kepalsuan. Paradoks dunia maya sama dengan paradoks dunia
nyata, tetapi sangat ekstrim, kuat, langsung, intens.
Sebuah peta pikiran dibalik dunia maya yang disajikan oleh
Jeff Zaleski menunjukkan berbagai ide, termasuk paradoksnya
dari berbagai pelaku cyber, agamawan cyber, programmer cyber.
Mereka optimis dengan realitas baru dunia maya yang dinilai
mampu menggantikan realitas yang ada dan bisa menjadi semacam
agama baru, spiritualitas baru, Tuhan yang baru. Lebih lanjut,
Zaleski menggambarkan bagaimana mereka menghadapi berbagai
sisi buruk dan menakutkan di dunia baru dengan sikap fatalistik
mereka.
Zeleski, di sisi lain, menyajikan peta pengguna dunia maya
oleh kelompok agama nyata yang berbeda (Hindu, Budha, Yahudi,
Kristen, Islam) tentang bagaimana dunia baru ini digunakan
sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran agama, berkomunikasi
antar komunitas agama. , serta saluran energi spiritual. Dalam
masyarakat global ini, bagaimana dunia maya dapat menjadi sarana
realitas keagamaan yang positif dan efektif?
Dengan mengkritisi para filosof dan ideologi dibalik teknologi
dunia maya yang menanamkan net agamawan, orang-orang yang
terobsesi menjadi Tuhan, Mark Slouka, seorang kritikus budaya
Amerika, sangat sinis terhadap orang-orang di balik teknologi
informasi. Mereka adalah individu yang percaya bahwa di komputer
dunia pikiran dapat dimuat (disimulasikan). Masa depan umat
manusia juga diyakini bukan pada RL (Real Life), melainkan dalam
berbagai bentuk VR (Virtual Reality). Mereka juga beranggapan
bahwa dunia maya adalah bentuk yang lebih besar dari pada

81
spiritualitas. Mereka muncul, menurut versinya, menciptakan
semacam gerakan profetik melalui teknologi komputer.
Media (dunia maya) telah mengambil alih peran agama dalam
keadaan ini, seperti yang dikatakan Hakim Bey dalam Perang
Informasi (pendeta). Dalam kewajibannya untuk memberikan
instruksi kepada orang-orang tentang jalan keluar dari tubuh
dengan mendefinisikan kembali roh sebagai informasi. Padahal
data di dunia maya pada hakikatnya adalah sebuah citra yang
bentuk abstraknya menghilangkan keutamaan prinsip raga dan
menghentikannya dengan prinsip ekstasi raga.
Gerakan radikalisme Islam yang meledak menjadi jaringan
virtual. Facebook, YouTube, Twitter, Tumbler, dan layanan aplikasi
gratis seperti Whatsapp telah menjadi ruang untuk cara-cara baru
dalam menyebarkan, merekrut, melatih, merencanakan, dan
menyerukan agar Khilafah Islam didirikan.
Cara berpikir komunitas Muslim dipengaruhi oleh strategi yang
terus dijalankan oleh para ‘pembela Islam’. Mereka menggunakan
media sosial secara aktif dengan menyasar anak muda di jejaring
sosial, sebagai mayoritas warga (netizen).
Keberadaan media sosial telah menggiatkan peperangan
untuk mempertahankan pengaruh ajaran-ajaran gerakan yang
disebarluaskan di masyarakat sekaligus meluaskannya. Dalam
pandangan Altbach, negara berhak untuk memaksa warganya
dengan ideologi negara ke ideologi, sedangkan setiap orang
memiliki ideologi sendiri-sendiri, sehingga terjadi tarik-menarik
antara ideologi pribadi di satu sisi dan ideologi komunitas di sisi
lain.
Berkenaan dengan konflik ideologi ISIS yang dinilai
meresahkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
perlu diambil sikap: pertama, antisipatif, yakni memperkuat dan
mengurung ajaran dan aliran gerakan ISIS agar tidak menyebar
dan menjadi besar di masyarakat. Kedua, komprehensif, dengan
senantiasa memasukkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin
melalui konten citra dan informasi yang positif, khususnya di

82
jejaring sosial, kepada seluruh komponen bangsa. Ketiga, dengan
melakukan gerakan pendidikan melawan radikalisme agama yang
dilakukan mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan
tinggi. Keempat, partisipasi, aktif melibatkan seluruh elemen
masyarakat dalam mencegah penyebaran ideologi dan ajaran yang
disebarkan oleh pendukung ISIS, baik dari saluran media sosial,
media televisi maupun media lainnya.
Dengan melakukan kampanye besar-besaran terkait berbagai
berita buruk yang ditujukan kepada ISIS, upaya antisipatif dilakukan
terhadap meluasnya pengaruh gerakan ISIS melalui media sosial.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran bahwa semua
kelompok harus benar-benar menghindari dan menjauhi gerakan
ISIS, selain itu juga untuk mempersempit ruang gerak ISIS di
Indonesia. Sejalan dengan itu, intensitas pemberitaan dilakukan
dengan mengkampanyekan permasalahan Islam damai dan
rahmatian lilalamin, sehingga integritas informasi yang diperoleh
melalui akses media sosial menjadi lengkap dan komprehensif.
Internet menggabungkan kekuatan media baru dan aspirasi
politik yang diyakini akan semakin populer dan diusahakan
oleh Kahn dan Kellner di masa depan, di mana pertumbuhan
penggunanya sangat pesat dan tidak dapat diprediksi serta
berbagai fasilitas yang disediakan untuk menghasilkan materi dan
model demokrasi .
Data yang dirilis worldstats.com di internet menunjukkan
Indonesia memiliki lebih dari 30 juta pengguna internet dan laju
pertumbuhannya sekitar 12,5 persen per tahun. Indonesia juga
menempati peringkat ketujuh dunia dalam penggunaan Facebook;
Setidaknya ada 11.759.980 akun Facebook yang dibuat dengan
rentang usia pengguna antara 18-34 tahun sejak tulisan ini dibuat.
Internet merupakan wilayah maya yang subur untuk berbagai
aktivitas politik dengan jumlah pengguna yang banyak. Bisa jadi
internet merupakan media yang ampuh bagi gerakan politik
Indonesia. Dan tidak menutup kemungkinan pengguna internet
muncul sebagai kekuatan baru, kelompok penekan, dan basis
demokrasi masif yang secara virtual akan menciptakan demokrasi

83
di negeri ini. Internet telah menjadi media kekuatan politik, bukan
sekedar inovasi teknologi dalam jaringan. Inilah yang dikatakan
McLuhan, sebagai Medium is the Message, dibandingkan dengan
semua anggota DPR dan DPRD, Facebook menjelma menjadi
virtual parpol dengan anggota politik terbanyak.
Namun peluang ini menjadi potensi untuk membangkitkan
kekuatan terorisme virtual di internet dengan kemampuan
membangun identitas virtual. Sebab, pertama, kelompok agama
radikal bisa menjelma menjadi siapa saja yang memiliki identitas
palsu, seperti nama, foto, dan informasi identitas lainnya, yang bisa
memimpin dan melakukan kegiatan terorisme.
Situasi ini membuka peluang bagi kelompok agama radikal
untuk menembus jaringan pertemanan dunia maya mereka. Kedua,
akibatnya kelompok-kelompok agama radikal ini dapat merekrut
dan menumbuhkan ideologi radikal untuk semua orang. Membuka
akun media sosial seperti Facebook, misalnya, memungkinkan
kelompok radikal agama ini berteman dengan siapa saja, dan
langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi tujuan orang-orang
yang akan menjadi kader atau menembus pemahaman radikalisme
agama terhadap orang-orang tersebut.
2. Wujud dari Radikalisasi Online
Dalam membentuk pemikiran, tingkah laku, tindakan serta
kebutuhan dasar (gaya) kehidupan manusia saat ini, dunia maya
telah menjadi bagian yang penting. Karena kelompok teroris ini
terus menggunakan internet untuk mendapatkan “oksigen” dan
“aliran darah”, media sosial terus berkembang untuk keuntungan
mereka.
Hasil penelitian Gabriel Weimann menunjukkan bahwa
jaringan kelompok teroris memberikan dampak yang lebih besar
pada penggunaan dunia maya. Hal ini terlihat dari jumlah dan
range situs yang dijalankan oleh kelompok-kelompok jihadis yang
terus berkembang dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1998 hanya
ada 12 website, maka website kelompok teroris ini telah mencapai
2.650 pada tahun 2003; lebih dari 9.800 situs web yang dioperasikan

84
oleh kelompok jihadis ini terlihat pada tahun 2014.
Weimann menegaskan, banyak manfaat dunia maya yang
membuat kelompok teroris begitu serius mengelolanya. Internet
telah menjadi sumber media arus utama di antara manfaat; akses
mudah, tidak ada kontrol dan regulasi yang mengikat, khalayak
luas, anonimitas, kecepatan arus informasi, dapat digunakan
sebagai media interaksi, sangat murah untuk dibuat dan dipelihara,
bersifat multimedia (cetak, suara, foto dan video) dan yang tetap
menjadi miliknya tujuan utama.
Yang sangat penting untuk diperhatikan, selain masalah
semakin banyaknya situs radikal, adalah perkembangan yang
signifikan dari bentuk dan pola terorisme itu sendiri. Dalam
perkembangan bentuk dan pola penyebaran terorisme di dunia
maya setidaknya terdapat tiga fase; pertama, hanya penyebaran
ideologi melalui fasilitas website adalah tahap awal. Kedua,
penggunaan fitur-fitur pada media interaksi, seperti pembuatan
forum dan chat room. Ketiga, penggunaan media sosial seperti
Youtobe, Facebook, dan Twitter menjadi semakin populer.
Pergeseran ke ranah media sosial yang dilakukan oleh
kelompok teroris ini, diakuinya, bertujuan untuk membangun
interaksi, tampil lebih trendy dan populer, lebih menyentuh
sasaran, dan secara demografis, generasi muda adalah penghuni
lingkungan media sosial tersebut.
Media sosial digunakan sebagai media pembelajaran
intoleransi, radikalisme, bom bunuh diri, menanggapi kuatnya
pengaruh internet, seperti hasil studi yang dilakukan dengan
Brooking Institute dan Google Web yang dimuat di New York
Times, dan Propaganda ISIS memiliki 46.000 akun twitter. Pada
akhir 2014, Twitter memblokir 125.000 akun ISIS. Akun untuk ISIS
tersebar di lebih dari 1.000 pengikut.
Survei Pew Research Center 2015 menunjukkan bahwa sekitar
4% (10 juta warganya) di Indonesia mendukung segala bentuk
aksi ISIS, yang mayoritas adalah kaum muda. Bandingkan dengan
temuan Setara Institute yang mensurvei 684 siswa di Jakarta dan

85
Bandung dari 114 Sekolah Menengah Atas (SMU) untuk mengetahui
pandangan siswa tentang gerakan ISIS. Hasilnya, gerakan ISIS
didukung oleh 1 dari 14 mahasiswa (9,5 persen dari 684).
Ihwal kuatnya pengaruh internet, media sosial yang menjadi
media baru dalam menyebarluaskan tindakan intoleransi, paham
radikalisme, terorisme di Indonesia: pada tahun 2011, Kemenkominfo
& PBNU memblokir situs (300 dari 900) yang mengandung konten
radikalisme; 2015, Kemenkominfo memblokiran 22 situs (Islam) yang
menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran ini atas permintaan
BNPT dengan 3 kriteria: Pertama, menggunakan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama. Kedua, takfiri (mengkafirkan orang lain)
Ketiga, memaknai jihad secara terbatas; Data BNPT melansir sejak
2010-2015 ada 814.594 situs sudah diblokir; pada kasus bom bunuh
diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Sepunton Solo, pelaku Pino
Damayanto (Ahmad Urip), anggota Jamaah Ansharut Tauhid
(JAT) Cirebon sempat browsing di Warnet Solonet; Video berjudul
“Cahaya Tarbiyah di Bumi Khilafah”; diunggahnya foto bertuliskan
“Anshar Khilafah Islamiyah from Ciwalen Garut West Java
Indonesia” yang diduga diambil di kawasan Gunung Papandayan,
Kecamatan Cisurupan Garut; Data Polri melansir ada 514 WNI
yang diduga telah ikut dalam ISIS dan catatan BNPT menyebutkan
terdapat 10 kelompok radikal di Indonesia yang mendukung
gerakan ISIS; laporan CNN Indonesia pada 2015 lalu menunjukkan
sehari pendukung kelompok militan ISIS menyebarkan 100 ribu
tweet untuk merencanakan serangan dan propaganda; pelaku
peledakan bom di Mal Alam Sutera, Leopard Wisnu Kumala itu
beragama Kristen; penangkapan kelompok Kitabah Gigih Rahmat
(KGR), GRD (31), Tar (21), ES (35) di kawasan Batam Center, TS (46)
di Nagoya, HGY (20) dan MTS (19) di Jalan Brigjen Katamso, Batu
Aji, Batam.
Jika media massa tidak dikontrol dengan baik, maka
keberadaan negara dan agama akan terancam. Sarlito Wirawan
Sarwono meyakini bahwa ancaman terbesar bukan dari radikalisme
dan terorisme Islam (dibandingkan dengan mayoritas Muslim
Indonesia yang cinta damai, jumlah pengikut radikalisme Islam

86
di Indonesia sangat kecil), melainkan dari teknologi informasi
global dan media massa. , yang semakin tidak terkendali. Oleh
pemerintah, sementara sistem pengendalian diri yang kuat belum
dikembangkan oleh komunitas TI dan media massa itu sendiri.
Semangat Bhineha Tunggal Ika bangsa Indonesia yang jauh
lebih kuat dari kebijakan devide et empera penjajah Belanda, dapat
terpecah oleh pengaruh informasi global dan media massa. Apalagi
jika negara lemah dan tidak bersatu satu sama lain. Oleh karena
itu sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan jalan keluar dalam
waktu yang tidak lama lagi untuk mengatasi bahaya perpecahan
ini dan melaksanakannya.

87
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. (2013). Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks


Modernisasi Politik di Era Reformasi. Ahkam, 13(2), 247–258.
Abdillah, M. (2015). Islam dan Demokrasi Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993. Prenada Media.
Abdullah, M. (2001). Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam
Keagamaan. Jakarta: Kompas.
Abdurofiq, A. (n.d.). Respon Organisasi Kerjasama Islam (OKI) terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Israel atas Palestina.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Abidin, Z. (2014). Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi
Antara Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemoderenan.
Humaniora, 5(2), 665–684.
Adiwilaga, R. (2017). Puritanisme dan Fundamentalisme dalam
Islam Transnasional serta Implikasinya terhadap Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa. Journal of Governance, 2(1).
Ahnaf, M. I. (2018). Hizb al-Tahrir: Its Ideology and Theory for
Collective Radicalization. In Expressions of Radicalization (pp.
295–320). Springer.
Aksa, A. (2017). Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Nomenklatur,
Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia. Yupa: Historical Studies
Journal, 1(1), 1–14.

151
Al-Amri, L., & Haramain, M. (2017). Akulturasi Islam Dalam Budaya
Lokal. KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan,
10(2), 87–100.
Al-Bana, G. (2006). Pluralitas dalam Masyarakat Islam. Terj. Ahmad
ZH, Jakarta: Mata Air Publishing.
Al Munawar, S. A. H., & Halim, A. (2003). Fikih Hubungan Antar
Agama. Ciputat Press.
Ali-Fauzi, I., Bagir, Z. A., & Rafsadi, I. (2017). Kebebasan, Toleransi
dan Terorisme (Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia). Pusat
Studi Agama dan Demokrasi (Yayasan Paramadina).
Ali, H M, D., & Dkk. (1989). Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial
dan Politik.
Ali, M. (2017). Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Agama Jawa.
Pustaka Ilmu Group.
Allport, G. W. (1960). The open system in personality theory. The
Journal of Abnormal and Social Psychology, 61(3), 301.
Almagor, R. C. (1994). The boundaries of liberty and tolerance: The
struggle against kahanism in Israel. University Press of Florida.
Anwar, R. K., Rizal, E., & Rahman, M. T. (2018). Consideration of
Parents’ Beliefs about Guiding Children’s Usage of the Internet.
Arifin, S., & Bachtiar, H. (2013). Deradikalisasi Ideologi Gerakan
Islam Transnasional Radikal. Harmoni, 12(3), 19–36.
Armstrong, K. (2011). A history of God: The 4,000-year quest of Judaism,
Christianity and Islam. Ballantine Books.
Asroor, Z. (2019). Islam Transnasional vs Islam Moderat: Upaya
NU dan MD dalam Menyuarakan Islam Moderat di Panggung
Dunia. AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman, 6(2), 171–213.
Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara historisitas dan
antropisitas. Kalam, 9(2), 253–268.
Aziz, A. (2012). JURNALIS DI KONFLIK SAMPANG (Studi
Ekonomi Politik Media tentang tentang Konflik Sunni-Syiah
di Kabupaten Sampang). Politica, 3(2).

152
Azra, A. (1998). Agama dalam keragaman etnik di Indonesia. Departemen
Agama RI.
Azra, A. (2016). Transformasi politik Islam: radikalisme, khilafatisme,
dan demokrasi. Kencana.
Bahasa, B. P. dan P. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, 15
November.
Baidhawy, Z. (2005). Pendidikan agama berwawasan Multikultural.
Erlangga.
Baiti, R., & Razzaq, A. (2014). Teori dan Proses Islamisasi di
Indonesia. Wardah, 15(2), 133–145.
Bakar, A. (2016). Konsep toleransi dan kebebasan beragama.
TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 7(2),
123–131.
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2012). Social psychology
13th. Boston: Pearson Education.
Baru, P., & Jilid II, B. P. (n.d.). Lee, Witness. The New Testament Recovery
Version. Jakarta: Yayasan Perpustakaan Injil, 2003. Lembaga Alkitab
Indonesia. Alkitab Terjemahan Indonesia Baru. Jakarta: LAI, 2004.
Susanto, Hasan Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan
Konkordansi Perj.
Bauto, L. M. (2014). Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam
Kehidupan Masyarakat Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu
Sosial, 23(2).
Bellah, R. N., & Hammond, P. E. (2013). Varieties of civil religion.
Wipf and Stock Publishers.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor Books.
bin Khaldun, M., & Abdurrahman, A.-A. (2011). Mukaddimah Ibnu
Khaldun. Pustaka Al Kautsar.
Binder, J., Zagefka, H., Brown, R., Funke, F., Kessler, T.,
Mummendey, A., Maquil, A., Demoulin, S., & Leyens, J.-P.

153
(2009). Does contact reduce prejudice or does prejudice reduce
contact? A longitudinal test of the contact hypothesis among
majority and minority groups in three European countries.
Journal of Personality and Social Psychology, 96(4), 843.
Bukhori, B., & Hassan, Z. (2016). Tolerance model of Muslim
students for Christians in Indonesia. Man In India, 96(6), 1793–
1812.
Burhanudin, J. (2012). Ulama dan kekuasaan: Pergumulan elite politik
muslim dalam sejarah Indonesia. NouraBooks.
C Ummah, S. (2012). Akar Radikalisme Islam di Indonesia.
Humanika, 12(1).
Carmines, E. G., & Stimson, J. A. (2020). Issue evolution: Race and the
transformation of American politics. Princeton University Press.
Casram, C. (2016). Membangun sikap toleransi beragama dalam
masyarakat plural. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial
Budaya, 1(2), 187–198.
Chirimbu, S. M. (2012). Tolerance and Intolerance. Contemporary
Attitudes withing Religious, Racial, National, and Political
Sphere. Perichoresis, 10(1), 125–135.
Clark, W. H. (1958). The psychology of religion. Pastoral Psychology,
9(4), 49–55.
Cohen, A. J. (2004). What toleration is. Ethics, 115(1), 68–95.
Coser, L. A. (1956). The functions of social conflict. The Free Press.
D Hendropuspito, O. C. (1983). Sosiologi agama. Kanisius.
Dower, N. (2010). Global ethics. PEACE STUDIES, PUBLIC POLICY
AND GLOBAL SECURITY–Volume V, 182.
Durkheim, E. (2014). The rules of sociological method: and selected texts
on sociology and its method. Simon and Schuster.
Echols, J. M., & Shadily, H. (2019). Kamus inggris indonesia.
Esposito, J. L. (1997). Political Islam: revolution, radicalism, or reform?
Lynne Rienner Publishers London.

154
Esposito, J. L., & Askari, H. (1980). Islam and development: Religion
and sociopolitical change.
Faiqah, N., & Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam Vs Moderasi
Islam: Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia Yang
Damai. Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, 17(1), 33–60.
Falckenberg, R. (2020). History of modern philosophy. Outlook Verlag.
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures (Vol. 5019). Basic
books.
Gogali, L. (2008). Tragedi Poso (Rekonsiliasi Ingatan): Gugatan
Perempuan dan Anak-anak Dalam Ingatan Konflik Poso.
Galangpress Publisher.
Greenman, J. P., & Green, G. L. (2012). Global theology in evangelical
perspective: Exploring the contextual nature of theology and mission.
InterVarsity Press.
Gularnic, D. G. (1959). Webster’s world dictionary of American
Language. New York: The World Publishing Company.
Hafidzi, A. (2019). Konsep Toleransi Dan Kematangan Agama
Dalam Konflik Beragama Di Masyarakat Indonesia. Potret
Pemikiran, 23(2), 51–61.
Hanafi, I. (2018). Agama dalam Bayang-Bayang Fanatisme; Sebuah
Upaya Mengelola Konflik Agama. TOLERANSI: Media Ilmiah
Komunikasi Umat Beragama, 10(1), 48–67.
Hanafy, M. S. (2015). Pendidikan Multikultural dan Dinamika
Ruang Kebangsaan. Jurnal Diskursus Islam, 3(1).
Hasyim, U. (1991). Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam
Islam. Surabaya: Bina Ilmu.
Heiler, F. (1933). Prayer.
Hidayat, K. (1998). Ragam Beragama. Atas Nama Agama. Pustaka
Hidayah.
Hidayat, N. (2015). Peran dan Tantangan Pendidikan Agama Islam
di Era Global. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 12(1), 61–74.

155
Hilmy, M. (2014). Eklektisisme Islam Indonesia. Opini Kompas.
Hodgson, M. G. S. (2009). The venture of Islam, volume 3: The gunpower
empires and modern times. University of Chicago Press.
Holsti, K. J., & Holsti, K. J. (1972). International politics: a framework
for analysis. Prentice-Hall Englewood Cliffs, NJ.
Hornby, A. S., & Cowie, A. P. (1995). Oxford advanced learner’s
dictionary (Vol. 1430). Oxford university press Oxford.
Husni, Z. M. (2018). NU Di Tengah Pusaran Ideologi-Ideologi
Transnasional. Jurnal Islam Nusantara, 2(1), 45–59.
Ismail, R. (2012). Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama
(Tinjauan Kematangan Beragama). Religi: Jurnal Studi Agama-
Agama, 8(1), 1–12.
Jordy Adam, V. (2019). Peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Dalam
Upaya Penyelesaian Konflik Rohingya. Universitas Andalas.
Juergensmeyer, M. (2017). Terror in the mind of God: The global rise of
religious violence (Vol. 13). Univ of California Press.
Jurdi, S. (2014). Sosiologi Islam & Masyarakat Modern. Prenada Media.
Kahmad, D. (2009). Sosiologi Agama. Remaja Rosdakarya.
Kallen, H. M. (1957). Alain Locke and cultural pluralism. The Journal
of Philosophy, 54(5), 119–127.
Kelly, G. A. (1968). The role of classification in personality theory.
The Role and Methodology of Classification in Psychiatry and
Psychopathology: Proceedings, 1584, 155.
Khairil, M. (2020). Strategi Komunikasi dalam Pemberdayaan
Masyarakat Korban Konflik Poso. Jurnal Ilmu Komunikasi, 9(3),
266–279.
Kharis, M. A. (2020). Islamisasi Jawa: Sayyid Ja’far Shadiq dan
Menara Kudus Sebagai Media Dakwahnya. JURNAL INDO-
ISLAMIKA, 10(1), 1–18.
Kipgen, N. (2013). Conflict in Rakhine State in Myanmar: Rohingya
Muslims’ Conundrum. Journal of Muslim Minority Affairs, 33(2),
298–310.

156
Koentjaraningrat. (1987). Anthropology in Indonesia. Journal of
Southeast Asian Studies, 217–234.
Kurtz, L. R. (2005). Gülen’s paradox: Combining commitment and
tolerance. The Muslim World, 95(3), 373–384.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of
minority rights. Clarendon Press.
Lacewing, M. (2008). Philosophy for As: 2008 Aqa Syllabus.
Latif, Y. (2013). Negara paripurna. Gramedia Pustaka Utama.
Latif, Y. (2020). Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk
Pembudayaan edisi komprehensif. Jakarta: Mizan.
Layman, G. (2001). The great divide: Religious and cultural conflict in
American party politics. Columbia University Press.
Liliweri, A. (2003). Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya. LKiS
Pelangi Aksara.
Lubis, H. M. R. (2017). Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan
Agama dalam Interaksi Islam. Kencana.
Luthfi, K. M. (2016). Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya
Lokal. SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary, 1(1),
1–12.
Madjid, N. (2019). Islam: Doktrin & Peradaban. Gramedia pustaka
utama.
Magnis-Suseno, F. (1998). Mencari Makna Kebangsaan. Penerbit
Kanisius.
Mahbub, S. (2018). Konflik dan Kekerasan Sunni-Syiah Sampang
Prespektif Kultur Kekerasan dan Hak Asasi Manusia. Voice
Justisia: Jurnal Hukum Dan Keadilan, 2(1), 92–101.
Mahfud, C. (2011). Pendidikan multikultural.
Majid, N. (2004). Indonesia kita. Gramedia Pustaka Utama.
Majid, N. (2008). Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Mizan Pustaka.
Majid, N., Hidayat, K., & AF, A. G. (1998). Passing over: melintasi
batas agama. Penerbit PT Gramedia.

157
Marsden, G. M. (1996). Agama dan Budaya Amerika. Jakarta: Sinar
Harapan.
Mazhar, A. (1991). Islam dan Kebudayaan Indonesia Dulu, Kini dan
Esok. Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal.
Micklethwait, D. (2005). Noah Webster and the American dictionary.
McFarland.
Misrawi, Z. (2007). Al-Quran kitab toleransi: inklusivisme, pluralisme
dan multikulturalisme. Penerbit Fitrah.
Misrawi, Z. (2010). Al-quran kitab toleransi. Grasindo.
Mochtar, M. (1994). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Mohieldin, M., Iqbal, Z., Rostom, A., & Fu, X. (2011). The role of
Islamic finance in enhancing financial inclusion in Organization of
Islamic Cooperation (OIC) countries. The World Bank.
Moko, C. W. (2017). Pluralisme Agama Menurut Nurcholish Madjid
(1939-2005) dalam Konteks Keindonesiaan. Jurnal Intelektualita,
6(1).
Mubit, R. (2016). Peran Agama dalam Multikulturalisme Masyarakat
Indonesia. Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 11(1),
163–184.
Muhammad, H. (2017). Menangkal siaran kebencian: perspektif Islam.
Fahmina Institute.
Muhammad, K. H. H. (2004). Islam Agama Ramah Perempuan;
Pembelaan Kiai Pesantren. LKIS PELANGI AKSARA.
Muhammad, N. H. (2012). Fiqih sosial dan toleransi beragama:
menjawab problematika interaksi sosial antar umat beragama di
Indonesia. Nasyrul’Ilmi Publishing.
Muhtarom, H. M. (2005). Reproduksi ulama di era globalisasi: resistansi
tradisional Islam. Pustaka Pelajar.
Mujani, S. (2007). Muslim demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan
partisipasi politik di Indonesia pasca Orde Baru. Gramedia Pustaka
Utama.

158
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan
Majapahit. LKIS PELANGI AKSARA.
Mulkhan, A. M. (2001). Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Kreasi Wacana.
Mun’im A, S. (2003). Membendung militansi agama: iman dan politik
dalam masyarakat modern. Penerbit Erlangga.
Munawaroh, M. L. (2014). Penyelesaian Konflik Sunni-Syiah di
Sampang Madura. Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga.
Muqoyyidin, A. W. (2012). Potret Konflik Bernuansa Agama di
Indonesia. Analisis.
Mutiara, K. E. (2016). Menanamkan Toleransi Multi Agama sebagai
Payung Anti Radikalisme: Studi Kasus Komunitas Lintas
Agama dan Kepercayaan di Pantura Tali Akrab. Fikrah, 4(2),
293–302.
Naim, N. (2013). Kebangkitan Spiritualitas Masyarakat Modern.
Kalam, 7(2), 237–258.
Nasr, S. H. (2009). The heart of Islam: Enduring values for humanity.
Zondervan.
Nasution, H. (1982). Pembaharuan dalam Islam: sejarah pemikiran dan
gerakan.
Nomor, K. P. (1 C.E.). Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
Noor, M. (1996). Al-Qur’an dan Terjemahannya. CV. Toha Putra.
Northrop, F. S. C. (1966). The meeting of East and West: An inquiry
concerning world understanding (Vol. 6671). Ox Bow Press.
Nurhadi, M. (2014). Pendidikan kedewasaan dalam perspektif psikologi
islami. Deepublish.
Panggabean, R., & Ali-Fauzi, I. (2011). Merawat Kebersamaan:
Polisi, Kebebasan Beragama dan Perdamaian. Yayasan Wakaf
Paramadina.

159
Panggabean, S. R., & Ali-Fauzi, I. (2014). Pemolisian Konflik Keagamaan
di Indonesia. Centre for the Study of Islam and Democracy.
Panikkar, R. (1999). The intrareligious dialogue. Paulist Press.
Pareto, V. (1991). The rise and fall of the elites: an application of theoretical
sociology. Transaction Publishers.
Parkes, K. R. (1986). Coping in stressful episodes: The role of
individual differences, environmental factors, and situational
characteristics. Journal of Personality and Social Psychology 51, 5,
12–77.
Parsons, T. (1977). Social systems and the evolution of action theory.
Free Press.
Patytama, M. J. (2018). Upaya OKI dalam Penolakan Penetapan
AS Atas Status Yerusalem pada Sidang PBB. University of
Muhammadiyah Malang.
Pettigrew, T. F. (1997). Generalized intergroup contact effects on
prejudice. Personality and Social Psychology Bulletin, 23(2), 173–
185.
Prabowo, H., & Suparman, A. (2005). Masalah Etnisitas dan Tata
Ruang di Indonesia. Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005.
Prasetya, M. N., & Srifauzi, A. (2018). Diplomasi Politik Indonesia
Terhadap Kemerdekaan Palestina. Jurnal PIR: Power in
International Relations, 2(2), 179–193.
Prasetyo, B. (2019). JEJAKAWAL PENUTURAUSTRONESIA
DI KEPULAUAN NUSANTARA: SUDUT PANDANG
LINGKUNGAN, MANUSIA, DAN BUDAYA. Jejak Austronesia
Di Indonesia, 170.
Rachman, B. M. (2004). Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman. Srigunting.
Rachmawati, R. A. (2017). Kekuatan Hukum Resolusi Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2334 Tahun 2016 Tentang
Penghentian Pembangunan Permukiman Di Wilayah Palestina
Oleh Israel. Universitas Brawijaya.

160
Rahman, M Taufiq. (2014). Social Justice in Western and Islamic
Thought: A Comparative Study of John Rawls’s and Sayyid Qutb’s
Theories. Scholars’ Press.
Rahman, M Taufiq. (2016). Islam As An Ideal Modern Social System:
A Study of Ali Shariati’s Thought. JISPO: Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik, 6(1), 42–51.
Rahman, Mohammad Taufiq, & Mimbar, A. S. (2018). Konsep
politik Islam kultural perspektif Nurcholish Madjid. FIKRI:
Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 3(2), 385–400.
Rahman, T. (2013). ’Indianization’of Indonesia in an Historical
Sketch. International Journal of Nusantara Islam, 1(2), 56–64.
Rahner, K. (1969). Anonymous Christians. Theological Investigations,
6, 390–398.
Raines, J. (2011). Marx on religion. Temple University Press.
Ramelan, W. D. (1997). Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur
Sutra. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Rijal, S. (2011). Perkembangan paham kegamaan transnasional di
Indonesia. Balitbang Kemenag RI.
Rohmaniah, S. (2018). Peran Agama Dalam Masyarakat
Multikultural. Ri’ayah: Jurnal Sosial Dan Keagamaan, 3(01), 44–
56.
Rosana, E. (2015). Modernisasi Dalam Perspektif Perubahan Sosial.
Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 10(1), 67–82.
Rubaidi, A. (2008). Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama & masa depan
moderatisme Islam di Indonesia. Logung Pustaka.
Sachedina, A. A. (2004). The Islamic Roots of Democratic Pluralism,
terj. Satrio Wahono, Beda Tapi Setara. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Saifuddin, A. (2019). Psikologi Agama: Implementasi Psikologi untuk
Memahami Perilaku Agama. Kencana.
Salim, S. bin I. al-H. (n.d.). Mausu’ah al-Manaahisy Syar’Iyyah fii

161
Shahiihiis Sunnah an-Nabawiyyah (Ensiklopedia Larangan Menurut
Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Santri, M., & Syahartijan, Z. A. L. O. M. (n.d.). PERAN ASEAN
DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ROHINGYA (STUDI
KASUS PADA KONFLIK TAHUN 2012-2017). Jurnal Ilmu
Komunikasi UHO: Jurnal Penelitian Kajian Ilmu Komunikasi Dan
Informasi, 3(4).
Sarapung, E. (2002). Pluralisme, konflik dan perdamaian. Pustaka
Pelajar.
Sarapung, Elga. (2002). Pluralisme, konflik dan perdamaian. Pustaka
Pelajar.
Setia, P. (2020). Islamic-buzzer dan hoaks: Propaganda khilafah oleh
eks HTI Kota Bandung di Jawa Barat. UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Setiono, G., Hidayat, D. R., & Yudhapramesti, P. (2012). Pemberitaan
Konflik GKI Yasmin Bogor Pada Harian Jurnal Bogor dan
Radar Bogor. Students E-Journal, 1(1), 18.
Sholikhin, K. M. (2013). Islam Rahmatan LilAlamin. Elex Media
Komputindo.
Sihbudi, M. R. (2007). Menyandera Timur Tengah: Kebijakan AS dan
Israel atas Negara-negara Muslim. Hikmah.
Simanjuntak, B. A. (2016). Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi
Pada Masyarakat Pedesaan Jawa (Edisi Revisi). Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Simanjuntak, R. M. (2019). Kristologi dalam Injil Yohanes. JURNAL
TERUNA BHAKTI, 1(2), 75–86.
Sjadzali, M., & Majid, N. (1986). Reaktualisasi Ajaran Islam. Klub
Kajian Agama, Yayasan Wakaf Paramadina.
Smith, W. C. (1963). The meaning and end of religion. Fortress Press.
Sodikin, R. A. (2003). Konsep agama dan islam. Al Qalam, 20(97),
1–20.

162
Sri, Y. (2014). Konflik Muslim Rohingya dengan Budha Rakhine di
Myanmar tahun 1991-2012. STKIP PGRI Sumatera Barat.
St Aisyah, B. M. (2014). Konflik sosial dalam hubungan antar umat
beragama. Jurnal Dakwah Tabligh, 15(2), 189–208.
Stevanus, K. (2020). Karya Kristus Sebagai Dasar Penginjilan Di Dunia
Non-Kristen.
Suhelmi, A. (2001). Pemikiran Politik Barat. Gramedia Pustaka Utama.
Sumbulah, U., & Nurjanah, N. (2013). Pluralisme agama: Makna dan
lokalitas pola kerukunan antarumat beragama. UIN Maliki Press.
Suparlan, Parsudi. (2014). Menuju masyarakat Indonesia yang
multikultural. Antropologi Indonesia.
Suparlan, Pasurdi. (2008). Pembentukan Karakter. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Syamsuddin, M. D. (2000). Etika Agama Dalam Membangun
Masyarakat Madani (Jakarta. Logos, 1884–1954.
Tawney, R. H. (1998). Religion and the Rise of Capitalism (Vol. 23).
Transaction publishers.
Taylor, C. (1994). Multiculturalism: Expanded paperback edition (Vol.
15). Princeton University Press.
Tebay, N. (2016). Transformasi Konflik Papua. Limen, 12(2, April),
82–106.
Thomas, M. (2005). Sufism and modernity in the thought of
Fethullah Gülen. The Muslim World, 95(3), 341.
Thontowi, J. (2013). Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap
Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum
Internasional. Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum (Research
Law Journal), 8(1).
Titaley, J. A. (2009). Agama dan Kekerasan: Mencari Akar Kekerasan
dalam Agama. Dalam Dani Supriatno, Onesimus Dani, Dan
Daryatno (Ed.). Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian:
Menjadi Gereja Bagi Sesama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

163
Triono, T. (2014). PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK ETNIS ROHINGNYA. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong
Aspirasi Politik Islam, 10(2), 1–11.
Tule, P., & Djulei, W. (1994). Agama-agama kerabat dalam semesta.
Ulfa, M. (2013). Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholish
Madjid. Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 11(2),
238–250.
van Bruinessen, M. (2018). Contemporary Developments in
Indonesian Islam. Contemporary Developments in Indonesian
Islam. https://doi.org/10.1355/9789814414579
Van den Berghe, P. L. (1978). Race and ethnicity: a sociobiological
perspective. Ethnic and Racial Studies, 1(4), 401–411.
Wach, J. (2016). The comparative study of religions. Columbia
University Press (1958).
Wahid, A. (1999). Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di
Indonesia. Pustaka Hidayah.
Wahid, A., & Marijan, K. (1999). Mengurai hubungan agama dan
negara. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wakhidah, N. (2014). Prinsip Non-Intervensi ASEAN Dalam Upaya
Penyelesaian Konflik Rohingya Di Myanmar. Universitas Gadjah
Mada.
Waluyo, T. J. (2013). Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan
Etnis Rakhine di Myanmar. Jurnal Transnasional, 4(2).
Walzer, M. (1999). On toleration. Yale University Press.
Weber, M. (1993). The sociology of religion. Beacon Press.
Weber, M. (2002). The Protestant ethic and the” spirit” of capitalism and
other writings. Penguin.
Wibisono, M. Y. (2020). Sosiologi Agama. Prodi P2 Studi Agama-
Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Wibowo, E. K. (2018). Membincang Gerakan Islam Transnasional.
Diegesis: Jurnal Teologi, 3(2), 60–69.

164
Wiyani, N. A. (2013). Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan
Karakter. Bandung: Afabeta.
Yumitro, G. (2017). Respon Dunia Internasional Terhadap Tragedi
Kemanusiaan Rohingya. Jurnal Sosial Politik, 3(2), 81–100.
Yunus, F. M. (2014). Konflik agama di Indonesia problem dan solusi
pemecahannya. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 16(2),
217–228.
Zada, K. (2014). KONFLIK RUMAH TUHAN. Dialog, 37(2), 163–
172.
Zayd, N. H. A. (1997). Imam Syafi’i; Moderatisme, Eklektisisme,
Arabisme. LKIS PELANGI AKSARA.
Zeitlin, I. M. (1995). Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap
Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Zuhdi, M. H. (2017). Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya.
RELIGIA.

165

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai