Anda di halaman 1dari 125

PERAN NYAMUK SEBAGAI VEKTOR

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


MELALUI TRANSOVARIAL

Dr. Isna Hikmawa , S.KM.,M.Kes (Epid)


Sjamsul Huda, S.Si

2021
Sjamsul Huda, S.Si
PERAN NYAMUK SEBAGAI VEKTOR
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
MELALUI TRANSOVARIAL

Dr. Isna Hikmawa , S.KM.,M.Kes (Epid)


Sjamsul Huda, S.Si

Editor:
Febriani Safitri
Desain Sampul dan Tata Letak:
Tim Satria Publisher
Penerbit dan Pencetak:
Satria Publisher
Jalan Raya Tinggarjaya RT 01/09 Ja lawang, Banyumas,
Jawa Tengah HP: 085867822579
ISBN:
978-623-6057-56-8
125 Halaman, 14, 8 x 21 cm
Terbitan Pertama
Cetakan Pertama
2021
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PASAL 72
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu Ciptaan atau memberikan izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00
(lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada pasal (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

II Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil'alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan


semesta alam. Atas segala nikmat dan karunia-Nya yang tak
terhingga, sehingga penyusunan buku dengan judul “Peran Nyamuk
Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) Melalui Transovarial
dapat diselesaikan. Buku ini merupakan kajian dari kegiatan peneli an
disertasi yang kami lakukan, terdiri dari lima topik: 1. Demam Berdarah
Dengue (DBD) 2. Nyamuk Ae. aegyp dan Ae. albopictus 3. Transmisi
Transovarial 4. Persistensi Virus Dengue 5. Nyamuk Sebagai Vektor.
Dengan selesainya penyusunan buku ini harapannya dapat
bermanfaat sebagai kajian teori terkait berbagai hal yang
berhubungan dengan DBD dan vektor penularnya. Terimakasih kami
sampaikan kepada Ayah dan Ibu serta keluarga tercinta atas semangat
dan do'anya selama ini. Kedua pembimbing Prof. Dr.dr. Hendro
Wahjono, MSc, Trop, Med, DMM, Sp.MK(K) dan Dr. Ir. Mar ni, M. Kes.
Sjamsul Huda, S.Si atas bantuan teknis pada saat kegiatan rearing
nyamuk serta segenap civitas akademika Universitas Muhammadiyah
Purwokerto dan semua pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun dak langsung. Semoga buku ini memberikan
banyak manfaat bagi semua fihak. Kri k dan saran yang konstruk f
akan kami terima demi penyempurnaan buku ini.

Purwokerto, 19 Jumadil Awwal 1442 H


3 Januari 2021 M

Penyusun
Dr. Isna Hikmawati,S.KM.,M.Kes(Epid)

Sjamsul Huda, S.Si III


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................... iii

BAB I Pendahuluan....................................................... 1

BAB II DEMAM BEDARAH DENGUE (DBD)................... 12

A. Penyebab Demam Berdarah (DBD)................ 12

B. Mekanisme Penularan................................... 17

C. Barrier (Hambatan) Terhadap Penularan Virus

Dengue........................................................... 21

BAB III AEDES AEGYPTI DAN AEDES ALBOPICTUS....... 25

A. Ae. Aegyp ..................................................... 25

1.Taksonomi.................................................... 25

2.Morfologi..................................................... 25

3.Bionomik...................................................... 43

B. Ae. Albopictus................................................ 37

1.Taksonomi.................................................... 37

2.Morfologi..................................................... 38

3.Bionomik...................................................... 43

IV Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


BAB IV TRANSMISI TRANSOVARIAL............................. 45

A. Definisi Transmisi Transovarial....................... 45

B. Kejadian Transovarial dan Sebaran Sero pe di


Indonesia....................................................... 46

C. Peneli an Terkait Transovarial di Beberapa

Negara............................................................ 53

D. Faktor yang Mempengaruhi........................... 58

BAB V PERSISTENSI VIRUS DENGUE............................ 63

A. Definisi Persistensi......................................... 63

B. Hasil Peneli an Persisitensi............................ 70

BAB VI NYAMUK SEBAGAI VEKTOR............................. 76

A. Mekanisme Nyamuk Sebagai Vektor.............. 76

B. Kompetensi Vektor dan Kapasitas Vektor....... 78

C. Siklus Gonotropik dan Lama Metamorfosisi


Vektor Infeksius.............................................. 80

D. Analisis Survival Nyamuk Ae. Albopictus dan

Ae. Aegyp Infeksius...................................... 86

DAFTAR ISTILAH.......................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA...................................................... 106

Sjamsul Huda, S.Si V


BAB I
PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan


penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue (DENV).
DENV adalah virus RNA single-stranded yang terdiri dari
empat serotipe yang berbeda yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3 dan DENV-4 termasuk dalam Genus Flavivirus,
Family Flaviviridae. Penyakit ini ditandai dengan demam
bifasik, leukopenia, limfadenopati, mialgia atau artralgia
dan ruam. Hasil penelitian Bhatt, S. et al memperkirakan
70-500 juta orang terinfeksi virus dengue setiap tahun di
lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Hasil penelitiannya
dengan pendekatan kartografi memprediksi DBD akan terus
menyebar khususnya di daerah tropis akibat pengaruh curah
hujan, suhu dan tingkat urbanisasi, diperkirakan ada 390
juta/tahun terjadi infeksi karena DBD dan 96 juta kasus
menunjukkan tingkat keparahan klinis atau sub-klinis.
Worldh Health Organisation (WHO) melaporkan lebih dari

1 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


40 tahun, kasus DBD di negara endemik mencapai 4.975.807
kasus dengan kasus kematian sebanyak 68.977 (1,4%). DBD
merupakan masalah besar di Asia Tenggara, karena selama
periode 40 tahun tersebut terjadi kematian 67.295 dari total
kematian di seluruh dunia sebanyak 68.977. Hal ini berarti
terjadi kematian rata-rata 1682/tahun karena DBD.

DBD sebagian besar terjadi di daerah tropis dan sub-


tropis dengan vektor utamanya nyamuk Aedes aegypti
terutama ada di daerah perkotaan dan Aedes albopictus lebih
banyak di daerah pedesaan. – Vektor dan penyakit DBD
terkonsentrasi di daerah tropis dan sub tropis, penyebaran
vektor dan peningkatan pergerakan populasi nyamuk
menyebabkan virus menjadi endemik di daerah beriklim
sedang. – Hasil penelitian oleh Hu et al menunjukkan adanya
perbedaan insiden DBD berdasarkan karakteristik wilayah
geografis dan insiden lebih banyak terutama pada daerah
tropis. Globalisasi, perdagangan, urbanisasi, perjalanan,
perubahan demografis, persediaan air domestik yang tidak
memadai dan suhu udara yang semakin memanas berhubungan
dengan penyebaran vektor Ae. aegypti dan Ae. albopictus.

Sjamsul Huda, S.Si 2


Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan
sebaran keempat serotipe DENV-1, 2, 3, 4. Infeksi oleh
salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Oleh karena itu seseorang
dapat terinfeksi 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya.
Peningkatan antibodi seseorang dan pengetahuan yang baik
tentang DBD dapat mengurangi risiko infeksi yang ke dua.
Crude Fatality Rate (CFR) penyakit DBD di Indonesia dari
tahun ke tahun cenderung fluktuatif. Tahun 2014 (0,9), 2015
(0,83), 2016(0,78), 2017 (0,72), 2018 (0,65), 2019 (0,94),
Data tersebut mengambarkan kenaikan DBD pada lima
tahunan, karena selama empat tahun berturut-turut terjadi
penurunan CFR. Hasil penelitian Hikmawati dan Pattima
di Kabupaten Banyumas, sebagai salah satu daerah endemis
DBD di Jawa Tengah menunjukkan case fatality rate (CFR)
tahun 2016 sebesar 8,69, dengan tingginya CFR pada tahun
tersebut, Banyumas dinyatakan status Kejadian Luar Biasa
(KLB). Pemberantasan DBD melalui pengendalian vektor

3 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


belum dapat memutuskan transmisi dari nyamuk ke
nyamuk karena masih ada bukti empiris penularan
transovarial. Transmisi transovarial merupakan mekanisme
penularan vertikal dalam tubuh nyamuk, yaitu virus
ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya, yang nantinya
akan menjadi nyamuk. Transmisi transovarial merupakan
salah satu cara eksistensi virus dengue mempertahankan
keberadaannya di alam, sehingga meningkatkan
kecenderungan terjadi kasus DBD pada lokasi yang sama
secara berulang. Penularan transovarial merupakan salah
satu bentuk peran vektor yang kompeten dalam
pemeliharaan serotipe virus pada saat interepidemik.

Transovarial dalam konsep epidemiologi merupakan


peran dari vektor DBD, khususnya nyamuk Ae aegypti dan
Ae albopictus yang mempengaruhi keseimbangan antara
host, agent dan environment sehingga menimbulkan
peningkatan insiden DBD di beberapa wilayah.
Pengendalian terhadap vektor DBD sebenarnya telah
banyak dilakukan dengan berbagai metode antaralain kimia,
biologi, fisik, rekayasa lingkungan dan lain-lain. Namun hal

Sjamsul Huda, S.Si 4


tersebut belum mendapatkan hasil yang efektif dan aman,
sebagai contoh pada pengendalian secara kimia, walaupun
dapat menurunkan populasi vektor dengan segera,
penggunaan yang berlebihan berdampak pada kualitas
lingkungan dan resistensi vektor. Pengendalian vektor untuk
menghentikan transmisi dari nyamuk ke nyamuk menjadi
hal penting karena telah ada bukti empiris penularan
transovarial. Hasil penelitian transovarial virus dengue di
Malaysia melaporkan penularan transovarial terjadi pada
masyarakat urban dan sub urban baik pada Ae. aegypti
maupun Ae. albopictus. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa di alam, nyamuk dapat berfungsi
sebagai reservoir alami untuk virus. Penelitian transovarial
di Amazon menunjukkan tingkat infeksi transovarial sebesar
46% dan deteksi serotipe yang teridentifikasi meliputi
serotipe DENV-1 dan DENV-4. Hasil penelitian infeksi
DENV di Bangkok menyimpulkan penularan transovarial
meningkat selama musim panas, atau 4 bulan sebelum
insiden DBD meningkat pada manusia. Hasil penelitian ini
menemukan infeksi virus dengue melalui transovarial
sebesar 47,9% oleh DENV-4, 13,4% oleh DENV-3, 5% oleh

5 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


DENV-1, 3,4% oleh DENV-2 dan secara keseluruhan
sebanyak 30,3% mengandung semua serotipe tersebut.
Penelitian di Kota Cebu menunjukkan MIR (Minimum
Infection Rate) nyamuk yang terinfeksi DENV-4, DENV-3
dan DENV-1 berangsur-angsur meningkat dari nol pada
musim hujan menjadi 48,22/1000 nyamuk yang terinfeksi pada
pertengahan musim kemarau. Hasil penelitian ini mendeteksi
keberadaan DENV di musim kemarau dan temuan ini
memberikan sinyal peringatan dini dari wabah DBD.

Indonesia memiliki beberapa wilayah endemis DBD,


sehingga secara geografis merupakan tempat yang baik
untuk perindukan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus.
Hasil penelitian di wilayah endemis menemukan 55,7%
kondisi lingkungan yang kurang baik. Hal tersebut dilihat
dari manajemen pengelolaan sampah, kebiasaannya
menampung air dalam bak mandi/kontainer serta rutinitas
membersihkan bak mandi/kontainer tersebut, sehingga hal
ini menjadi sarana tempat perindukan nyamuk. Riset
tersebut menemukan container indeks dengan nilai 50-100%
sebesar 50%. Tingginya container indeks menjadi wahana
tempat perindukan nyamuk. Penelitian Lidiasari, dkk dari
Sjamsul Huda, S.Si 6
Kota Menado menunjukkan Index Transmisi Transovarial
(ITT) berkisar 39,1% -70%, penelitian ini dilakukan
terhadap nyamuk Ae. aegypti yang diambil dari kelurahan
endemis DBD di kota tersebut. Penelitian tentang
transovarial di Kota Pontianak oleh Sucipto dan Dani
menunjukkan ITT sebesar 54,5%. Hasil penelitian sebaran
serotipe di Indonesia menemukan frekuensi DENV-1
sebanyak 9,6%, DENV-2 sebanyak 55%, DENV-3 sebanyak
29% dan DENV-4 sebanyak 0,4%. Berdasarkan luasnya
distribusi serotipe virus dengue, DENV-2 dan DENV-3
merupakan serotipe yang paling luas distribusinya. Hasil
riset tersebut menunjukkan adanya perbedaan proporsi
variasi serotipe virus dengan daerah endemis yang berbeda.
Hasil penelitian transovarial pada daerah endemis di Kota
Semarang menggunakan uji immunohistokimia (IHC)
menunjukkan adanya penularan transovarial dalam telur
nyamuk Ae. aegypti.

Ae. aegypti dan Ae. albopictus memiliki peran penting


dalam penularan DBD karena secara bersamaan dapat
mentransmisikan virus dengue secara vertikal/transovarial

7 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


maupun secara horizontal. Hal ini sebagaimana hasil
penelitian oleh Mourya, et al yang menemukan adanya
transmisi horizontal serotipe DENV-2 oleh nyamuk yang
terinfeksi melalui penularan vertikal. Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan adanya mekanisme transovarial
yang diteruskan dengan menularkan secara horizontal.
Fenomena transmisi vertikal sebelum transmisi horizontal
menunjukkan adanya persistensi/pemeliharaan serotipe
virus dengue oleh vektor utama (Ae. aegypti) maupun ko
vektor lainnya sebelum ditularkan ke manusia sebagai
transmisi horizontal. Persistensi virus adalah infeksi virus
terselubung dengan tingkat ekuilibrium antara virus dan
sistem kekebalan host mengakibatkan durasi infeksi
panjang. Hasil penelitian persistensi oleh Ahmad et al
menunjukkan persistensi melalui transovarial pada nyamuk
Ae. aegypti pada serotipe DENV-2 persisten sampai
generasi ke-lima. Keberadaan virus dalam tubuh nyamuk
pada saat tidak banyak kasus atau tidak ada wabah,
menunjukkan kemampuan vektor Ae. aegypti dan Ae.
albopictus mempertahankan virus dalam periode
interepidemik. Hasil penelitian Joshi pada nyamuk Ae.

Sjamsul Huda, S.Si 8


aegypti menemukan persistensi serotipe DENV-3 sampai
generasi ke-tujuh. Hasil penelitian tersebut menemukan
adanya perbedaan kematian larva dan rata-rata telur yang
menetas antara nyamuk yang terinfeksi serotipe DENV-3
dan yang tidak terinfeksi serotipe DENV-3.

Ae. albopictus selama ini dikenal sebagai ko-vektor


penyakit DBD, namun beberapa riset menunjukkan
persentase kejadian transovarial justru lebih tinggi pada Ae.
albopictus dibanding Ae.aegypti. Hal tersebut sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Eva, et al di daerah Florida
menunjukkan persentase transovarial lebih besar pada Ae.
albopictus (11,11%) dibanding Ae. aegypti (8,33%). Hasil
penelitian yang sama ditunjukkan dari penelitian
transovarial di Jodhpur India. Penelitian pada empat musim
didapatkan persentase transovarial lebih tinggi terjadi pada
Ae. albopictus (15,7%) dibanding pada Ae. aegypti
(12,6%). Di kawasan Jaipur Ae. vittatus menunjukkan
infeksi tertinggi (20%) diikuti oleh Ae. albopictus (18,7%)
dan paling sedikit di Ae.aegypti (13,3%). Di kawasan kota
pengumpulan data pada empat musim menunjukkan infeksi
vertikal maksimum terjadi pada nyamuk Ae. albopictus

9 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


(14,2%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan penularan
vertikal tiga kota di Jodhpur India antara 12,6-20%. Hasil-
hasil penelitian di atas menunjukkan adanya peran penting
Ae. albopictus, walaupun sebagai ko-vektor namun
memberi peran yang penting. Peran penting pertama dilihat
dari infeksi yang lebih tinggi pada Ae. albopictus dibanding
Ae. aegypti. Kedua temuan bahwa di kawasan kota infeksi
tertinggi terjadi pada Ae. albopictus, padahal riset-riset
sebelumnya menunjukkan bahwa Ae. albopictus lebih
banyak di daerah pedesaan. Selain itu beberapa riset
menemukan populasi Ae. albopictus yang tidak jauh
berbeda dengan populasi Ae. aegypti. Hasil penelitian
menunjukkan baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus
ditemukan berkembangbiak dalam tempat penampungan air
dengan Container Indeks (CI) sebesar 29,41-80%.

Terjadinya transovarial pada Ae. aegypti maupun Ae.


albopictus menunjukkan nyamuk survive di alam. Pada
kondisi survive, maka nyamuk akan mengalami proses
metamorfosis dan siklus gonotropik. Adanya pemanasan
global yang berdampak pada perubahan suhu, kelembaban,
curah hujan menyebabkan metamorfosis berlangsung cepat

Sjamsul Huda, S.Si 10


dan kondisi survive yang lama, akan berdampak nyamuk
mengalami beberapa siklus gonotropik. Dalam
perkembangannya, satu siklus gonotropik dapat
menghasilkan telur rata-rata 150 butir. Adanya transovarial
pada siklus gonotropik, menunjukkan persistensi virus
dengue. Semakin tinggi infeksi pada setiap siklus
gonotropik, maka akan meningkatkan Minimum Infection
Rate (MIR) dan semakin tinggi nilai MIR menunjukkan
virus tersebut semakin persisten. Adanya persistensi melalui
beberapa generasi (transgenerasional) tentu berdampak
pada penularan dan penyebaran penyakit DBD. Selain
pemanasan global, dampak lingkungan akibat pestisida juga
memberikan dampak terjadinya resistensi vektor yang akan
berpengaruh kepada kepadatan vektor yang pada akhirnya
berdampak pada transovarial. Untuk itu peran masyarakat
yang paling efektif adalah melalui kegiatan praktek
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) agar kepadatan
vektor dapat ditekan dan penyebaran penyakit DBD tidak
semakin menyebar lebih luas.

11 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

A. Penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD)

DBD disebabkan virus dengue suatu arbovirus


termasuk family Flavivirida yang berukuran 35-45 nm.
DBD kebanyakan asimptomatik dengan gejala klinis
yang bervariasi dari ringan sampai berat (Dengue
H e m o rh a g i c F e v e r / D H F d a n D e n g u e S h o c k
Syndrome/DSS). Vasculopathy pada DBD ditandai
dengan kebocoran pembuluh kapiler dan kelainan
regulasi hematologis dan pada DSS terjadi shock
hipovolemik. Virus dengue merupakan virus RNA untai
tunggal terdiri dari 4 serotipe yaitu (DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4). (Halstead, 2008) Virus dengue
masuk dalam kelompok serogroup di antara flavivirus
yang ditularkan nyamuk, menunjukkan hubungan
filogenetik dengan kelompok virus Japanese ensefalitis
dan demam kuning. Progeni serogroup DENV saat ini

Sjamsul Huda, S.Si 12


diperkirakan telah muncul sekitar 1000 tahun yang lalu,
dengan menggunakan teknik molekuler dan sebagian
besar filogenik menunjukkan bahwa serotipe DENV-4
adalah serotipe yang paling berbeda, diikuti oleh DENV-
2, DENV-1 dan DENV-3 sebagai serotipe yang paling
erat kaitannya. Dari hal tersebut menunjukkan adanya
perbedaan galur virus dalam kemampuan mengikat dan
menginfeksi sel target. (Kyle and Harris, 2008)
Variasi genetik yang berbeda pada keempat serotipe
tersebut tidak hanya menyangkut antar serotipe tetapi
juga di dalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan
daerah penyebarannya. Fenomena ini mengindikasikan
munculnya varian-varian baru hasil evolusi genetik virus.
Hasil penelitian Raikeinsyah menunjukkan serotipe
DENV-3 di Indonesia telah terjadi variasi genetik.
(Raekiansyah, 2004) Secara klinik keempat serotipe
DENV mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda,
tergantung dari jenis serotipe DENV. Survei serologi
memperlihatkan bahwa keempat serotipe DENV tersebut
bersirkulasi di Indonesia. Serotipe DENV-2 dan DENV-3
secara bergantian merupakan serotipe yang dominan, dan

13 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


serotipe DENV-3 dalam kurun waktu 1975-1990 sangat
berkaitan dengan kasus DBD berat, tetapi pada KLB
2004 serotipe yang dominan adalah serotipe DENV-3 dan
DENV-4. (Prasetyowati and Puji Astuti, 2010) Hasil
penelitian di Peru menunjukkan distribusi serotipe virus
DBD berdasarkan keadaan geografis lebih banyak
menyerang pada daerah tropis dengan jenis serotipe
sebagian besar DENV-3 dan DENV- 4. –(G et al., 2008)
Indonesia sebagai negara tropis merupakan negara
dengan kasus dan kematian DBD yang masih tinggi.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merilis
perkembangan penyakit demam berdarah dengue (DBD)
mulai tahun 2014 sampai dengan Januari 2019,
sebagaimana Tabel 1.1 berikut ini: (RI, 2019)
Tabel 1.1
Jumlah penderita, kematian, CFR dan IR DBD di Indonesia
tahun 2014-2019

Pola berjangkit infeksi DENV dipengaruhi oleh iklim

No Data 2014 2015 2016 2017 2018 2019


1 ? Penderita DBD 100.347 129.650 204.171 68.407 53.075 13.683
2 ? Kematian DBD 907 1.071 1.598 493 344 133
3 CFR DBD 0,9 0,83 0,78 0,72 0,65 0,94
4 IR DBD 39,83 50,75 78,85 26,10 20,01 5,08

Sjamsul Huda, S.Si 14


0
dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28 C-
0
32 C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes sp
akan tetap bertahan hidup dalam jangka waktu yang
lama. Hasil penelitian Polwiang menemukan populasi
nyamuk meningkat secara eksponensial dari awal musim
hujan pada awal mei dan mencapai puncaknya pada akhir
juni dan potensi terbesar untuk transmisi dengue terjadi
ketika suhu 28,9°C. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa infeksi dengue tergantung pada variasi musim dan
iklim. Curah hujan memberikan tempat bagi nyamuk
untuk bertelur dan berkembang ke tahap dewasa
sedangkan suhu memainkan peran penting dalam siklus
kehidupan dan perilaku nyamuk karena suhu yang sangat
tinggi atau sangat rendah dapat mengurangi risiko
infeksi. (Polwiang S, 2015) Perubahan suhu akibat
pemanasan global berdampak pada distribusi dan
kejadian demam berdarah. Curah hujan yang berubah-
ubah dan suhu yang tinggi akibat kekeringan yang
panjang dapat mempengaruhi populasi nyamuk dan
penularan penyakit oleh arbovirus. Hasil penelitian Ebi,
K.L dan Nealon, J memproyeksikan bahwa, karena suhu

15 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


terus meningkat dan pola curah hujan berubah-ubah
memberi peluang perluasan geografis penyebaran vektor
Aedes sp dan negara berpenghasilan rendah lebih tinggi
kejadian demam berdarah. (Ebi and Nealon, 2016) Hasil
o
penelitian Fidayanto dkk menunjukkan suhu 20-30 C
dengan kelembaban berkisar 60-90% merupakan kondisi
optimum untuk perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti.
Dengan demikian jika lingkungan berada pada suhu dan
kelembaban tersebut akan mendukung peningkatan
kepadatan populasi nyamuk yang selanjutnya berdampak
pada penularan dan penyebaran penyakit DBD.
(Fidayanto et al., 2013)

Faktor lainnya selain iklim dan kelembaban udara


adalah urbanisasi yang tidak terencana serta belum
optimalnya kegiatan pengendalian vektor merupakan
beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
penyebaran penyakit DBD. Pengendalian vektor adalah
usaha yang dilakukan untuk menurunkan populasi vektor
untuk mencegah penyakit yang ditularkan oleh vektor
atau gangguan yang diakibatkan oleh vektor. Tujuan

Sjamsul Huda, S.Si 16


pengendalian vektor DBD adalah menurunkan densitas
dan populasi vektor sampai pada indeks tertentu (tingkat
yang tidak membahayakan lagi bagi kesehatan
masyarakat). Oleh karena itu pengendalian vektor sangat
membutuhkan peran serta masyarakat. Hasil penelitian
sebelumnya menyimpulkan salah satu hambatan dalam
pengendalian vektor adalah kurangnya partisipasi aktif
masyarakat dalam kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). (Hikmawati and Purwito, 2013) Gerakan
PSN jika dilaksanakan secara rutin maka dapat diprediksi
daerah endemis dan serangan DBD akan semakin
berkurang, karena tempat perindukan nyamuk Ae.
aegypti maupun Ae albopictus tidak ada. Kebiasaan
menampung air di dalam kontainer/bak-bak mandi untuk
keperluan sehari-hari secara tidak langsung memberi
tempat perindukan Ae. aegypti maupun Ae. albopictus
sebagai vektor DBD untuk meletakkan telurnya.

B. Mekanisme Penularan

DBD ditularkan oleh arthropoda yaitu nyamuk Ae.


aegypti sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai

17 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


ko-vektor. Virus dengue dapat tetap hidup (survive) di
alam lewat dua mekanisme: Mekanisme pertama melalui
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, virus ditularkan
oleh nyamuk betina pada telurnya yang nantinya akan
menjadi nyamuk atau ditularkan dari nyamuk jantan pada
nyamuk betina melalui kontak seksual. Mekanisme
kedua melalui transmisi horizontal yaitu virus ditularkan
dari nyamuk ke dalam tubuh makhluk vertebrata dan
sebaliknya. Makhluk vertebrata disini adalah manusia
dan kelompok kera tertentu. Nyamuk mendapatkan virus
dengue pada saat menggigit manusia (makhluk
vertebrata) yang saat itu darahnya mengandung virus
dengue (viremia). Virus yang sampai ke dalam lambung
nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau
berkembang biak), kemudian akan migrasi dan akhirnya
sampai di kelenjar ludah. Virus memasuki tubuh manusia
lewat gigitan nyamuk yang menembus kulit. Empat hari
kemudian virus akan mereplikasi dirinya secara cepat.
Apabila jumlahnya sudah cukup, virus akan memasuki
sirkulasi darah dan saat itulah manusia yang terinfeksi
akan mengalami gejala panas. Nyamuk Aedes sp dapat

Sjamsul Huda, S.Si 18


mengandung DENV pada saat menghisap darah manusia
viremik, yaitu dua hari sebelum panas sampai lima hari
sesudah timbul demam. Sekali virus dapat masuk dan
berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
generasi berikutnya akan dapat menularkan virus
(infektif) ke individu yang rentan selama
menusuk/menggigit dan menghisap darah. Virus
berkembang di dalam nyamuk selama 8-10 hari (inkubasi
ekstrinsik) sebelum dapat ditularkan ke manusia lain
selama menusuk/menggigit dan menghisap darah
berikutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi
ekstrinsik ini tergantung pada suhu lingkungan. Setelah
virus masuk ke dalam tubuh, maka akan menimbulkan
kerusakan/virulensi pada inang yang mengganggu fungsi
tubuh inang. (Halstead, 2008)

Virulensi adalah derajat tingkat patogenitas yang


diukur oleh banyaknya organisme yang diperlukan untuk
menimbulkan penyakit pada jangka waktu tertentu.
Virulensi berkaitan erat dengan infeksi dan penyakit.
Infeksi merujuk pada suatu situasi suatu mikroorganisme
telah menetap dan tumbuh pada suatu inang, dalam hal ini
19 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
mikrorganisme tersebut dapat melukai atau tidak melukai
inangnya, sementara penyakit adalah kerusakan atau
cedera pada inang yang mengganggu fungsi tubuh inang.
Sebagai contoh, dosis letal 50%/50% lethal dose (LD50)
adalah jumlah organisme yang diperlukan untuk
membunuh setengah dari jumlah inang yang diserang.
Sementara dosis infeksius 50%/50% infectious dose
(ID50) adalah jumlah organisme patogen yang dibutuhkan
untuk menginfeksi 50% dari total inang yang diserang.
(R. Rico, 2011) Hasil penelitian oleh Prommalikit
menunjukkan terdapat perbedaan galur virus dalam
kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target yang
dilihat berdasarkan kemampuan menghasilkan virus
progenik dengan hasil produk gen yang berlainan dan
memberikan aspek berbeda. Serotipe DENV-2 sering
menyebabkan syok, serotipe DENV-3 sering diisolasi
dari DBD berat sehingga dapat disimpulkan beratnya
DBD berkorelasi dengan tingginya titer viremia, infeksi
sekunder dan serotipe DENV-2. (Prommalikit O, 2015)

Sjamsul Huda, S.Si 20


C. Barrier (hambatan) terhadap penularan virus
dengue

Tidak semua nyamuk galur Ae. aegypti dan Ae.


albopictus berperan sebagai vektor penyakit DBD. Galur
geografis tertentu bersifat refraktori terhadap infeksi
virus dengue per oral. Beberapa nyamuk Ae. albopictus
yang refraktori terhadap infeksi virus dengue per oral
terjadi di Malaysia, Taipei dan Filipina dan khusus
refraktori terhadap infeksi virus dengue serotipe DENV-3
per oral terjadi di Mauritius. Fenomena ini menunjukkan
adanya hambatan infeksi dalam usus tengah (midgut)
yang dikendalikan secara genetis. (Rosen, L, 1976)
Sistem barrier yang membuat nyamuk menjadi refraktori
terhadap infeksi arbovirus meliputi :
1) Diversi darah yang diisap ke divertikula yang
lokasinya pada pertemuan antara usus depan (foregut)
dan usus tengah (midgut), sehingga virus tidak dapat
masuk ke lumen usus tengah (mesenteron)
2) Barrier infeksi mesenteronal yang meliputi faktor
biofisis dan biokemis

21 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


3) Barrier penyebaran virus dari sel mesenteron

4) Barrier infeksi kelenjar saliva

5) Barrier lainnya yaitu barrier masuknya virus ke


duktus salivarius dan barrier penularan transovarial.
(Hardy, JL, Honk , EJ, Kramer, LD, Reeves, 1983)

Hambatan pertama terhadap pathogen bagi vektor


nyamuk adalah hambatan fisik yang bersifat anatomis,
walaupun hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dengan
berbagai penelitian. Hasil riset Franz, et al memaparkan
bahwa midgut nyamuk merupakan organ kontak pertama
untuk arbovirus, jika terjadi infeksi midgut maka akan
menghambat pembentukan infeksi dalam sel-sel usus,
serta menghindari transfer arbovirus ke hemolymph dan
jaringan. (Franz AW, Kantor AM, Passarelli AL, 2015)
Berikut ini merupakan interaksi berbagai respons dan
hambatan terhadap infeksi pada nyamuk. Pada
prinsipnya tiap-tiap nyamuk memiliki cara untuk
merespons atau menangkal patogen, sebagian besar
menggunakan barrier fisik, respons humoral dan seluler
dengan berbagai efektor di masing-masing cabang

Sjamsul Huda, S.Si 22


respons tersebut, sebagaimana Gambar 1.1 berikut ini

Gambar 1.1. Respon pada nyamuk menangkal patogen (Alonso-

Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H, 2019)

Berbagai barriers tersebut di atas memiliki pengaruh


yang berbeda terhadap kompetensi vektor pada nyamuk.
Mekanisme masuknya virus diawali dari menginfeksi
epitel midgut dan berreplikasi sebelum melewati lamina
basal ke dalam hemolimf dan menyebar ke seluruh tubuh
nyamuk. Agar dapat ditransmisikan ke inang berikutnya,
virus harus menginfeksi kelenjar liur. Keragaman genetik

23 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


virus berkurang jika ada barriers anatomis seperti infeksi
midgut, infeksi kelenjar ludah. Perubahan populasi virus
jika telah melewati barriers, digambarkan dengan
perubahan warna (semakin biru tua) sebagaimana
Gambar 1.2 berikut ini:

Gambar 1.2 Barriers pada nyamuk (Rückert and Ebel, 2019)

Sjamsul Huda, S.Si 24


BAB III
AEDES AEGYPTI DAN AEDES ALBOPICTUS

A. Ae. aegypti

Ae. aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD.


Narasi dibawah ini menjelaskan tentang vektor Ae.
aegypti mulai dari taksonomi, morfologi dan bionomik.
(Halstead, 2008),(Rahayu, DF, Ustiawan, 2013),
(Leopoldo MR, 2004b)

1. Taksonomi

Ae. aegypti termasuk Kingdom: Animalia, Pylum:


Arthropoda, Kelas: Insecta, Ordo: Diptera, Familli:
Culicidae, Sub famili: Culicinae, Genus: Aedes, Sub
genus: Stegomyia, Spesies: Aedes aegypti. Nyamuk Ae.
aegypti diduga berasal dari benua Afrika. Penyebaran
virus oleh nyamuk Ae. aegypti mudah sekali terjadi di
negara beriklim tropis, seperti Indonesia.

25 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


2. Morfologi

Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu


mengalami perubahan bentuk morfologi selama
hidupnya dari stadium telur berubah menjadi stadium
larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi
stadium dewasa. Jarak waktu (masa) antara pergantian
kulit dalam pertumbuhan dan perkembangan disebut
stadium sedangkan fase ialah jangka waktu hidup
nyamuk dalam satu stadium. Tahapan tiap stadium
dijelaskan sebagai berikut (Halstead, 2008), (Boesri,
2011a):

1). Stadium telur

Gambar. 2.1. Telur Ae. aegypti

Gambar 2.1 menggambarkan telur Ae. aegypti yang

Sjamsul Huda, S.Si 26


berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-
garis yang menyerupai sarang lebah, panjang ± 0,80
mm dan berat ± 0,0010-0,015 mg. Seekor nyamuk Ae.
aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100-300 butir
telur dan rata-rata 150 butir. Ae.aegypti meletakan
telur secara terpisah pada dinding tempat
perindukannya (breeding place) 1-2 cm di atas
permukaan air. Tempat air yang tertutup longgar lebih
disukai sebagai tempat bertelur dibanding tempat
yang terbuka. Telur nyamuk Aedes sp sangat tahan
terhadap kekeringan di penampungan air sampai
beberapa bulan dalam temperatur -20C- 420C, bila
kelembaban terlalu tinggi telur akan menetas dalam
waktu 4 hari. Jika mendapat genangan air, telur akan
tumbuh berkembang. Lingkungan yang optimal pada
0 0
temperatur 24,5 C-27,5 C dengan kelembaban 81,5%-
89,5% pada PH 7. Dalam waktu 1-2 hari telur akan
menetas menjadi larva/jentik yang berbentuk seperti
cacing, bergerak aktif dengan gerakan-gerakan naik

27 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


ke permukaan air dan turun ke dasar secara berulang-
ulang. Penelitian oleh De Majo et al menyimpukan
bahwa pada suhu 30°C, telur akan menetas 1 sampai 3
hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7
hari. Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang
direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80%
pada hari pertama dan 95% pada hari kedua.
Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan
menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta
lebih cepat menjadi dewasa. (De Majo MS1, Montini
P, 2017)
2). Stadium Larva

Gambar 2.2. Larva Ae aegypti

Sjamsul Huda, S.Si 28


Gambar 2.2 menggambarkan larva Ae. aegypti
yang berbentuk larva seperti cacing bilateral simetris
atau biasa diistilahkan vermoform. Larva (jentik)
berukuran 0,5-1 cm, merupakan fase pertama nyamuk
yang menetas dari telur. Larva memiliki corong
pernafasan (siphon) yang tidak langsing dan memiliki
satu pasang hair tuff serta pecten yang tumbuh tidak
sempurna. Larva mengalami empat tingkat
pertumbuhan yang ditandai dengan pergantian kulit
(ecdysis) yang disebut instar. Instar I memiliki panjang
1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan,
tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva
instar II memiliki panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon agak
kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2
hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm,
siphon sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva
instar IV selama 2 hari. Larva instar IV berukuran 5-7
mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang
antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur
rata-rata pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8
0
hari. Posisi istirahat pada larva membentuk sudut 45
terhadap bidang permukaan air.

29 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


3). Stadium Pupa

Gambar 2.3. Pupa Ae. Aegypti

Gambar 2.3 menggambarkan bentuk pupa Ae.


aegypti. Pupa merupakan fase tidak aktif makan,
bentuk ini merupakan bentuk persiapan untuk berubah
menjadi nyamuk dewasa. Bentuk pupa coartate
maksudnya suatu bentuk yang hanya terlihat sebagai
kantung. Pupa mempunyai corong pernafasan
berbentuk segi tiga (tri angular) dengan bentuk tubuh
seperti tanda baca ”koma”. Tubuh pada stadium pupa
terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax yang lebih
besar dan abdomen dengan bentuk tubuh
membengkok. Pupa akan tumbuh menjadi nyamuk

Sjamsul Huda, S.Si 30


dewasa dalam waktu selama 2-3 hari. Nyamuk dewasa
akan keluar dari pupa melalui celah di antara kepala
dan dada (cephalothorax).

4). Stadium dewasa

Gambar 2.4 Nyamuk Ae. aegypti

Gambar 2.4 mengambarkan nyamuk Ae aegypti


yang memiliki badan berwarna hitam dan memiliki
bercak serta garis-garis putih pada bagian kaki.
Panjang nyamuk Ae. Aegypti ± 5 mm. Tubuh nyamuk
dewasa terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala (caput),
dada (thorax) dan perut (abdomen). Pada bagian
kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang
antena dan sepasang palpi, antena berfungsi sebagai

31 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina,
antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose).
Sedangkan pada nyamuk jantan, antena berbulu
panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3
ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax.
Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada
ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap.
Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih
keperakan pada masing-masing ruas. Pada ujung atau
ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada
nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk jantan.

Ae. aegypti secara makroskopis memang terlihat


hampir sama seperti Ae. albopictus, tetapi berbeda
pada letak morfologis pada punggung
(mesonotum). Ae. aegypti mempunyai gambaran
punggung berbentuk garis seperti lyre dengan dua
garis lengkung dan dua garis lurus putih, sedangkan
Ae. albopictus hanya mempunyai satu strip putih pada
mesononum sebagaimana Gambar 2.5 berikut ini:

Sjamsul Huda, S.Si 32


Aedes aegypti Aedes albopictus

Gambar 2.5 Perbedaan Mesonotum Ae. aegypti dan Ae.

albopictus

Secara mikroskopis mesepimeron pada


mesonotum antara Ae.aegypti dan Ae albopictus
berbeda, pada Ae. aegypti terlihat sebagaimana
Gambar 2.6 berikut ini:

Gambar 2.6 mesepimeron pada Aedes aegypti

Selain perbedaan mesepimeron antara Ae. aegypti


dan Ae. albopictus, anterior pada kaki Ae. aegypti
bagian femur kaki tengah terdapat strip putih
memanjang, sebagaimana Gambar 2.7 berikut ini

33 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Gambar 2.7 kaki pada Ae. aegypti

3. Bionomik

Proses seksual dan reproduksi pada Ae. aegypti


diawali dari nyamuk Ae. aegypti jantan yang keluar
terlebih dahulu dari kepompong kemudian disusul
nyamuk betina. Nyamuk jantan akan tetap tinggal di
dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari
kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk
jantan akan langsung mengawini/ kopulasi. Seumur
hidupnya nyamuk betina kawin hanya satu kali,
sedangkan nyamuk jantan bersifat poligami. 1-2 hari
setelah nyamuk betina terlahir, akan mencari darah untuk
proses reproduksinya.

Nyamuk Ae. aegypti betina mempunyai probosis


panjang pada bagian mulutnya untuk menembus kulit dan

Sjamsul Huda, S.Si 34


penghisap darah. Sedangkan pada nyamuk jantan,
probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga atau
tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk betina
bersifat anthropofilik yaitu senang kepada darah
manusia, selain itu bersifat multiple feeding, artinya
untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang
biasanya nyamuk ini bisa menghisap darah beberapa kali.
Waktu menggigit pada pagi dan siang hari dengan dua
puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08.00-13.00)
dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Setelah
kenyang menghisap darah, nyamuk betina akan
beristirahat di tempat-tempat yang disukainya, yaitu
tempat yang gelap, hinggap pada benda yang
bergantungan di dalam rumah seperti gordyn/kelambu,
dan baju/pakaian di kamar yang gelap dan lembab atau
disemak-semak/tanaman yang rendah termasuk
rerumputan di halaman/pekarangan rumah. Nyamuk Ae.
aegypti mampu terbang sejauh 2 KM, tetapi biasanya ±
40-100 meter dari tempat perindukannya. Sifat khas ini
dapat dijadikan pedoman dalam pengendalian vektor
DBD, menunjukkan bahwa vektor tidak akan berada jauh

35 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


dari lokasi penderita. '(Biu and Hassan, 2012) Ae.
Aegypti meletakan telur pada tempat penampungan air
yang jernih dengan permukaan yang kasar dan
kontainer/tempat penampungan air yang berwarna gelap
lebih disukai dibanding yang berwarna terang.
(Setyabudi and Hikmawati, 2016)

Stadium telur, larva dan pupa hidup dalam air dan


stadium dewasa hidup beterbangan. Perkembangan
hidup dari stadium telur sampai dewasa memerlukan
waktu 8-12 hari tidak lebih dari 15 hari (inkubasi
ekstrinsik). Umur nyamuk betina di alam bebas (inkubasi
intrinsik) berkisar 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari)
tergantung pada suhu dan kelembaban di sekelilingnya
sedangkan di laboratorium bisa bertahan sampai 3 bulan
dan rata-rata ½ bulan sedangkan umur nyamuk jantan
antara 3-6 hari. (Leopoldo MR, 2004a),(Rahayu, DF,
Ustiawan, 2013) Ae. aegypti selain sebagai vektor virus
dengue, nyamuk Ae. Aegypti juga sebagai vektor virus
zika, chikungunya, dan demam kuning. (Hubbert, no
date).

Sjamsul Huda, S.Si 36


B. Ae. albopictus

Ae. albipictus merupakan co-vektor DBD. Narasi


dibawah ini menjelaskan tentang vektor Ae. albopictus
mulai dari taksonomi, morfologi dan bionomik.
, ,
(Rahayu, DF, Ustiawan, 2013) (Boesri, 2011b)
(Leopoldo MR, 2004b)

1. Taksonomi

Ae. albopictus dikenalkan pertama kali oleh Skuse


pada tahun 1894 dengan taksonomi sebagai berikut :
Kingdom: Animalia, Pylum: Arthropoda, Kelas: Insecta,
Ordo: Diptera, Familli: Culicidae, Sub famili: Culicinae,
Genus: Aedes, Sub genus: Stegomyia, Spesies: Aedes
albopictus. Ae. albopictus merupakan nyamuk asli dari
Asia Tenggara diantaranya berasal dari : Brunei
Darusalam, Burma, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina,
Singapura, Thailand, Vietnam, Pulau Kalimantan dan
pulau-pulau di seluruh Indonesia. Di luar daerah Asia
Tenggara penyebarannya antara lain meliputi India,
Australia, Somalia, Perancis, Chagas, Hawai, Jepang,
Korea, Madagaskar, Pulau Mariana, Mauritus, Nepal,
New Guinea.

37 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


2. Morfologi

Secara umum ukuran maupun bentuknya mirip


dengan Ae. aegypti, tetapi ada beberapa perbedaan,
sebagaimana dijelaskan dalam gambar-gambar di bawah
ini, yang dijelaskan mulai dari telur sampai nyamuk
sebagai berikut :

1). Stadium Telur

Gambar 2.8. Telur Ae. albopictus

Gambar 2.8 menggambarkan telur nyamuk Ae.


albopictus yang berbentuk lonjong dengan satu ujungnya
lebih tumpul. Telur Ae albopictus berukuran ± 0,5 mm
berwarna hitam dan akan lebih hitam warnanya ketika
menjelang menetas.

Sjamsul Huda, S.Si 38


2). Stadium Larva

Gambar 2.9 Larva Ae. albopictus

Gambar 2.9 menggambarkan larva Ae. albopictus


dengan ciri-ciri: kepala berbentuk bulat silindris, antena
pendek dan halus dengan rambut-rambut berbentuk
sikat di bagian depan kepala. Ciri khas larva Ae.
albopictus yang membedakan dengan Ae. albopictus
adalah pada ruas abdomen VIII terdapat gigi sisir tanpa
duri pada bagian lateral thorax. Larva Ae. albopictus
berukuran lebih kurang 5 mm. Instar I lebar kepala ± 0,3
mm, instar II lebar kepala ± 0,45 mm, instar III lebar
kepala ± 0,65 mm, instar IV lebar kepala ± 0,95 mm.

39 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Suhu optimum perkembangan larva antara 21- 25ºC ,
dengan masa hidup larva berkisar antara 10-12 hari
sedangkan pada pada suhu 23-27ºC masa hidup larva
antara 6-8 hari. Perkiraan masa hidup larva tiap instar
sebagai berikut : instar I antara 1-2 hari; instar II antara
2-3 hari; instar III antara 2-3 hari dan instar IV sampai
menjadi pupa rata-rata selama 3 hari.

3). Stadium Pupa

Gambar 2.10 Pupa Ae. albopictus

Gambar 2.10 menggambarkan pupa Ae. albopictus


berbentuk seperti koma dengan cephalothorax yang
tebal, abdomen dapat digerakkan vertikal setengah
lingkaran. Warna pupa Ae. albopictus agak coklat dan
menjadi hitam menjelang dewasa, pada kepala
mempunyai corong untuk bernapas yang berbentuk

Sjamsul Huda, S.Si 40


seperti terompet panjang dan ramping. Pupa mempunyai
masa hidup antara 1 sampai 3 hari pada suhu kamar.
Pupa jantan lebih besar ukurannya dibanding pupa
betina.

4). Stadium Dewasa

Gambar 2.11. Nyamuk Ae. albopictus

Gambar 2.11 menggambarkan nyamuk dewasa Ae.


albopictus dengan ciri-ciri tubuh berwarna hitam
dengan bercak/garis-garis putih pada notum dan
abdomen, antena berbulu/plumose. Palpus pada Ae.
albopictus jantan sama panjang dengan proboscisnya,
sedangkan pada Ae. albopictus betina palpus hanya 1/4
panjang proboscis. Mesonotum dengan garis putih
horizontal, femur kaki depan sama panjang dengan

41 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


proboscis, femur kaki belakang putih memanjang di
bagian posterior, tibia gelap dan sisik putih pada pleura
tidak teratur. Ae. albopictus mempunyai satu strip putih
pada mesonotum, mesepimeron membentuk tambalan
putih berbentuk V, anterior bagian femur tengah tanpa
strip putih memanjang, sebagaimana Gambar 2.12
berikut:

Gambar 2.12. Mesepimeron Ae. albopictus

Selain mesepimeron, ciri khusus Ae. albopictus yang


membedakan dengan Ae. aegypti adalah anterior bagian
femur tengah tanpa strip putih memanjang,
sebagaimana Gambar 2.13 berikut ini:

Gambar 2.13 : Kaki Anterior bagian femur Ae. albopictus

Sjamsul Huda, S.Si 42


3. Bionomik

Ae. albopictus melakukan proses perkawinan


sebelum sebelum atau sesudah menghisap darah. Ae.
albopictus meletakkan telur di dinding dekat permukaan
air. Setiap ekor meletakkan telur antara 2 sampai 8
kelompok dengan rata-rata 89 butir/ekor. Telur akan
menetas dalam waktu satu sampai 48 jam pada
temperatur 23 sampai 27ºC dan pada pengeringan
biasanya telur akan menetas segera setelah kontak
dengan air.Umur nyamuk Ae. albopictus dewasa rata-rata
berumur antara 12-40 hari pada nyamuk betina dan pada
nyamuk jantan antara 10-22 hari. Kebiasaan nyamuk Ae.
albopictus mencari darah berlangsung hampir sepanjang
hari sejak pagi kira-kira pukul 07.30 sampai sore antara
pukul 17.30 dan 18.30, dengan aktifitas mengigit pada
sore hari 2,4 kali lebih tinggi daripada pagi hari. Ae.
albopictus meletakan telur sama seperti Ae. aegypti yaitu
pada tempat penampungan air dengan permukaan yang
kasar dan warna yang gelap. Tempat-tempat
penampungan air baik yang alami maupun buatan
manusia yang menjadi tempat larva Ae. albopictus antara
43 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
lain bak mandi, drum, tempayan, kaleng beas, botol
pecah atau ban bekas, keramik, jambangan bunga,
perangkap semut, dan dapat juga pada ketiak daun.
(Boesri, 2011b) (Bahang, 1978)
Ae. albopictus lebih menyukai darah manusia
(antropofilik) dan bersifat anautogenik atau memerlukan
darah untuk perkembangan telurnya. Sifat mengigit
nyamuk Ae. albopictus bersifat multiple/mengigit
beberapa kali pada beberapa individu. Nyamuk betina
sesudah kenyang/penuh menghisap darah tidak akan
menghisap darah lagi sampai bertelur. Nyamuk Ae.
albopictus terbang tidak jauh dari permukaan tanah dan
bergerak ke semua arah di sekitar tempat perindukan,
namun jika ada angin, dapat terbang sampai jarak ± 434
meter. (Boesri, 2011b) Selain peran sebagai vektor DBD,
Ae. albopictus mampu menjadi penular/reservoir dari
penyakit yang disebabkan oleh Dirofilaria immitis,
Plasmodium lophurae, Plasmodium gallinaceum,
Plasmodium fallax dan beberapa virus penyebab
penyakit Western encepha- listis, Chikungunya dan
Japanese en- cephalistis.(Hubbert, no date)

Sjamsul Huda, S.Si 44


BAB IV
TRANSMISI TRANSOVARIAL

A. Definisi Transmisi Transovarial

Transmisi transovarial didefinisikan sebagai


penularan virus dengue dari nyamuk betina yang
terinfeksi akibat menghisap darah viremik, kemudian
virus mengalami replikasi dalam nyamuk dan telur
infeksi menghasilkan larva yang infeksiousa. Dengan
demikian penularan secara transovarial terjadi melalui
mekanisme transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk yang
mana virus ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya,
yang nantinya akan menjadi nyamuk. (Grunnill M, 2016)
Secara keseluruhan penularan DENV di alam melalui dua
mekanisme, yaitu dengan cara horisontal dan vertikal
sebagai berikut: —(Chen and Vasilakis, 2011)

45 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


1. Horizontal -1

Vektor Ae. aegypti atau Ae. albopictus betina yang


menghisap darah viremik yang DENV nya berasal dari
vektor Ae. aegypti atau Ae. albopictus betina lainnya.

2. Horizontal- 2

Vektor Ae. aegypti atau Ae. albopictus betina infektif


DENV yang berasal dari nyamuk Ae. aegypti atau Ae.
albopictu jant infektif melalui inseminasi/transeksual

3. Vertikal - 1

Secara transovarial, virus DENV ada di dalam ovum


Ae. aegypti atau Ae. albopictus

4. Vertikal -2

Secara transovum, virus DENV menempel di


permukaan ovum Ae. aegypti atau Ae. albopictus

B. Kejadian transovarial dan sebaran serotipe di


Indonesia

Indeks Transmisi Transovarial (ITT) di Indonesia,


masih cukup tinggi, dengan proporsi di setiap daerah
bervariasi antara 6-70%. Hasil review beberapa riset

Sjamsul Huda, S.Si 46


sebelumnya menunjukkan kejadian transovarial merata
di beberapa wilayah di Indonesia dengan gambaran ITT
tertinggi mulai dari Kota Menado, Yogyakarta dan
Pontianak sebagaimana Gambar 3.1 berikut ini :

Gambar 3.1 Gambaran ITT beberapa wilayah di Indonesia

Gambar 3.1 menunjukkan hasil riset transovarial


Lidiasari dengan teknik Imunositokimia di Kota Menado
menunjukkan ITT sebesar 70%. (Lidiasani P. Mosesa,
Angle Sorisi, 2016) Riset selanjutnya oleh Sucipto dari
Pontianak menunjukkan ITT sebesar 55%. (Sucipto and
Dani, 2009) Penelitian transovarial di Kota Malalayang
oleh Sorisi didapatkan ITT sebesar 17%. (Sorisi,

47 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Umniyati and Satoto, 2012) Hasil penelitian Seran
menemukan ITT di Yogyakarta sebesar 64%. (Seran
MD, 2012) Selanjutnya penelitian Wanti dkk
menunjukkan ITT di Kupang sebesar 9%. (Wanti,
Oktovianus Sila, Irfan, 2016) Temuan Fionasari
menemukan ITT di Salatiga sebesar 27%. (Fionasari T;
Arum S.J dan Yusnita M.A., 2012) Temuan Yulianti di
Kota Jambi menemukan ITT sebesar 9%. (Yulianti, 2016)
Hasil penelitian Nurfadly di Kota Medan menunjukkan
ITT sebesar 6%. (Nurfadly, 2009) Riset ITT di
Kabupaten Banyumas dari hasil penelitian Wijayanti
menemukan transmisi transovarial sebesar 28%.
Selanjutnya identifikasi riset-riset sebelumnya
tentang sebaran serotipe di Indonesia, baik pada transmisi
vertikal/transovarial maupun transmisi horizontal
menunjukkan kesamaan serotipe DENV secara vertikal
(transovarial) maupun secara horizontal. Gambaran
sebaran serotipe virus dengue melalui transmisi vertikal
dan transmisi horizontal berdasarkan penelitian-

Sjamsul Huda, S.Si 48


penelitian sebelumnya sebagaimana Tabel 3.1 dan 3.2
berikut ini:
Tabel 3.1 Sebaran serotipe transmisi vertikal beberapa

penelitian di Indonesia

No Nama Daerah Sebaran Serotipe


Peneliti/Tahun
1 Nurfandy, 2009 Medan DENV-1
2 Rahayu, 2019 Yogyakarta DENV-1,2,3
3 Wanti, 2016) Kupang DENV-1
4 Fionasari, 2012 Salatiga DENV-2
5 Sunardi, 2018 Sukoharjo DENV-3

Tabel 3.1 menunjukkan sebaran serotipe secara


vertikal/transovarial mulai dari penelitian Nurfadly
dengan temuan serotipe DENV-1 pada Ae. aegypti.
(Nurfadly, 2009) Temuan penelitian yang sama di Kota
Kupang oleh Wanti, dkk menemukan deteksi serotipe
DENV-1 pada Ae. aegypti. (Wanti, Oktovianus Sila,
Irfan, 2016) Penelitian di Kota Yogyakarta oleh Rahayu
dengan temuan serotipe DENV-1,2,3. (Seran MD, 2012)
Penelitian di Kota Salatiga oleh Fionasari terdeteksi
serotipe DENV-2 sedangkan di Kota Sukoharjo oleh
Sunardi terdeteksi serotipe DENV-3. (Fionasari T; Arum
S.J dan Yusnita M.A., 2012), (Sunardi, 2018)

49 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Tabel 3.2 Sebaran serotipe transmisi horizontal

beberapa penelitian di Indonesia

No Nama Daerah Sebaran Serotipe


Peneliti/Tahun
1 Kusumawati, 2009 Medan DENV-1,2,3,4
2 Ghinanti, 2016 Yogyakarta DENV-1,2,3,4
6 Suwandono, 2006 Jakarta DENV-1,2,3,4
7 Moore, 2017 Papua DENV-1,2,3,4
8 Andriyoko, 2012 Bandung DENV-1,2,3,4
9 Paisal, 2015 Aceh DENV-1,2,3,4
10 Prasetyowati, 2010 Jawa Barat DENV-1,2,3,4
11 Herman, 2012 Pontianak DENV-1,2,3,4
12 Soedjoko, 2005 Surabaya DENV-2,3

Tabel 3.2 menggambarkan sebaran serotipe secara


horizontal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya antara lain
: penelitian oleh Soedjoko di Surabaya, menemukan deteksi
serotipe secara horisontal pada 28 pasien yang diperoleh
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, dengan temuan 25%
terdeteksi DENV-2 dan 3,8% terdeteksi DENV 2 dan 3.
(Soedjoko Hariadhi, 2005) Hasil penelitian Andriyoko di
RS Hasan Sadikin Bandung dari data manifestasi klinis dan
hematologi rutin terdeteksi pada 27 (36%) sampel dengan
dominasi DENV-3 (13) diikuti DENV-2 (8), DENV-4 (4),
dan DENV-1 (2). (Andriyoko et al., 2012) Penelitian oleh

Sjamsul Huda, S.Si 50


Faisal dari Aceh dengan 100 sampel yang terkumpul
diperoleh 16 sampel yang positif pada pemeriksaan RT-
PCR, terdiri dari sembilan DENV-4, tiga sampel DENV-1,
dua sampel DENV-2, dan dua sampel DENV-3. (Paisal,
Reni Herman, Aya Yuriestia Arifin, Arie Ardiansyah, Sari
Hanum, Khairiah, Mukhlis Zuriadi, 2015) Penelitian oleh
Herman, dkk tentang sebaran serotipe secara horizontal dari
Kota Pontianak ditemukan DENV-1 3,2%, DENV-2 5,3%,
DENV-3 47,5%, dan DENV-4 1,1 %. Temuan transovarial
dari Kota Medan DENV-1 sebesar 12,8%, DENV-2 31,4%,
DENV-3 22,1%, DENV-4 2,3%. Temuan transovarial dari
Jakarta DENV-1 15,9%, DENV-2 14,3%, DENV-3 25,4%,
DENV-4 1,6%. (Herman et al., 2012) Selanjutnya hasil
penelitian sebaran serotipe di Papua oleh Moore et al,
menunjukkan keempat serotipe terdeteksi secara
horizontal. (Moore et al., 2017) Hal yang sama pada
penelitian di Jawa Barat oleh Prasetyowati, dkk
menemukan empat serotipe terdeteksi di Jawa Barat.
(Prasetyowati and Puji Astuti, 2010)

Tabel 3.1 dan 3.2 di atas memberikan informasi


adanya fenomena transmisi horizontal yang diawali dari
51 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
transmisi vertikal ataupun sebaliknya, akibat persistensi
virus dengue pada saat interepidemik. Hal ini dapat
dilihat dari temuan serotipe yang sama dari beberapa kota
di Indonesia. Misalnya temuan di Yogyakarta oleh
Rahayu dkk, menemukan terdeteksi virus dengue secara
transovarial pada nyamuk Ae. aegypti dengan temuan
22,20% DENV-1, 1,25% DENV-2, dan 2,17% DENV-3.
(Rahayu et al., 2019) Temuan serotipe yang sama di
Yogyakarta hasil penelitian Ghinanti, dkk menemukan
terdeteksi serotipe secara horizontal pada 38 pasien dari
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari
Yogyakarta dengan persentase 10,5% DENV-1, 21,1%
DENV-2, 50% DENV-3 dan 18,4% DENV-4. Hal yang
sama pada penelitian transmisi horizontal di Kota Medan
oleh Kusumawati, dkk menggunakan uji RT-PCR,
didapatkan hasil dari serum 100 penderita akut DD/DBD
dengan gejala klinis sesuai kriteria klinis WHO, setelah
diperiksa positif disebabkan oleh DEN-2 sebanyak 74
orang (74,0%) dan yang disebabkan DEN-1 sebanyak 2
orang (2,0%) dan penderita yang tidak mengandung virus
DEN atau negatif sebanyak 24 orang (24%).

Sjamsul Huda, S.Si 52


(Kusumawati and Yulfi, 2009) Sedangkan hasil
penelitian vertikal/transovarial dengan temuan serotipe
yang sama di Kota Medan dilakukan oleh Nurfadly yang
menemukan adanya deteksi serotipe DENV-1. Pada
penelitian tersebut, dari 100 ekor nyamuk yang diperiksa
didapatkan 6 sampel (6%) yang positif mengandung
DENV-1. Virus DENV-1 ditemukan pada sampel
nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Helvetia
dan Kecamatan Medan Amplas masing-masing sebanyak
3 sampel. (Nurfadly, 2009)

C. Penelitian Terkait Transovarial di Beberapa Negara

Tabel 3.3. Daftar Penelitian Tentang Transovarial

No Nama Metode Judul Hasil


1 Thoungrungkia studi lapangan untuk Prospektive field Hasil penelitian
t, et a.l menentukan transovarial study of menunjukkan transmisi
(Thongrungkiat virus dengue pada Ae. transovarial transovarial (TOT)
, Maneekan and aegypti di daerah perkotaan dengue virus meningkat secara bertahap
Wasinpiyamon Bangkok, Thailand. Larva transmission by selama bulan musim panas,
gkol, 2011) dikumpulkan setiap bulan two different mencapai puncaknya April-
selama satu tahun dan forms of aedes Juni atau 4 bulan sebelum
dipelihara terus sampai aegypty in an insiden dengue meningkat
dewasa di laboratorium. urban area of pada manusia. Hasil
Selanjutnya diuji RT-PCR Bangkok Thailand penelitian DENV4 dominan,
dan metode nested-PCR. diikuti DENV 3, 1 dan 2

53 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


2 Angle, dkk. Transovarial
Studi analitik observasional Hasil penelitian
(Sorisi, dengan pendekatan Transmission menunjukkan adanya
Umniyati and crossectional , mengambil Index of Dengue penularan transovarial di
Satoto, 2012) sampel darah dari nyamuk Virus on Aedes Malalayang dengan proporsi
Ae. aegypti generasi 1(F1) aegypti and Aedes Ae.aegypti lebih tinggi
yang dikumpulkan dari 5 albopictus dibanding Ae. albopictus dan
desa di Malalayang Mosquitoes in tidak ada hubungan indek
Malalayang transmisi transovarial (ITT)
District in dengan Insiden Rate dengue
Manado, North
Sulawesi,
Indonesia
3 Thenmozhi, et Studi lapangan dengan Natural Vertical Hasil penelitian menemukan
al. (Thenmozhi mengambil larva di dalam Transmission of adanya virus dengue serotipe
et al., 2007) dan di luar rumah, Dengue Virus in 2 pada nyamuk Ae.
kemudian dipelihara di Aedes albopictus Albopictus
laboratorium sampai (Diptera:
dewasa, setelah itu Culicidae) in
dideteksi virus dengue Kerala, a
dengan ELISA Southern Indian
State Velayutham
4 Emantis, dkk. Studi menentukan Detection of Larva Ae. albopictus yang
(Rosa and transovarial pada larva Ae. Transovarial ada di phytotelmata positif
Salmah, 2015) albopictus yang ada di Dengue Virus mengandung dua serotipe
Phytotelmata sebagai hal with Reverse dengue yaitu DENV1 dan
yang berpotensi terjadinya transcription DENV4 yang berpotensi
penyebaran DBD. polymerase chain menularkan dan
reaction (RT- menyebarkan DBD
PCR) in Aedes
albopictus (Skuse)
Larvae Inhabiting
Phytotelmata in
Endemic DHF
Areas in West
Sumatra,
Indonesia

Sjamsul Huda, S.Si 54


5 Rohani , et Penelitian dilakukan untuk Persistency of Deteksi adanya serotipe 2
al.(Ahmad, menguji persistensi transovarial sampai generasi ke lima,
Ismail and transovarial virus serotipe dengue virus in dibawah kondisi
Hanlim, 2008) DENV-2 dari nyamuk Ae. Aedes aegypti laboratorium pada nyamuk
aegypti hasil pemeliharaan (Linn.). Ae. aegypti
± 30 th,. 200 nyamuk betina
dewasa selama 4-5 hari
diberi makan dengan darah
yang mengandung virus
dengue hasil isolate pasien
DBD. Setiap generasi
dideteksi menggunakan
immunological staining
methods
6 Lormeau, et al. Mendeteksi keberadaan Dengue viruses Terdeteksi beberapa protein
(Van-Mai Cao- protein yang dapat binding proteins yang mampu mengikat
Lormeau, mengikat DENV dalam from Ae. aegypti DENV di kelenjar air liur
2009) salivary gland extracts and Ae. dari Ae. aegypti dan Ae.
(SGE) dari dua spesies polynesiensis polynesiensis
nyamuk. Menggunakan salivary glands
virus overlay protein
binding assay
7 Johnson, et al. Reaksi tunggal dan dalam Serotype-specific Serotipe spesifik, fourplex
(Johnson et al., reaksi fourplex detection of real-time reverse
2005) (mengandung empat set dengue viruses in transcriptase PCR assay
primer-probe dalam a fourplex real- dapat digunakan sebagai
campuran reaksi tunggal), time reverse metode untuk diagnosis
pengenceran standar virus transcriptase diferensial dari serotipe
setara dengan 0,002 PFU PCR assay. DENV tertentu pada pasien
dari DEN-2, DEN-3, dan demam berdarah viremik dan
DEN-4 virus yang sebagai alat untuk
terdeteksi; batas deteksi identifikasi cepat dan
DEN-1 virus adalah 0,5 serotipe virus DEN isolat.
setara PFU. Singleplex dan dengue
reaksi fourplex dievaluasi
dalam panel dari 40
spesimen serum viremik
dengan 10 spesimen per
serotipe

55 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


8 Vinod, et al. Nyamuk diperoleh dari Persistence Of Mekanisme penularan secara
(Joshi, Mouryakoloni yang dipelihara di Dengue-3 Virus transovarial serotype 3 dapat
and Sharma, pusat laboratorium Pusat Through diturunkan sampai generasi
2002) Penelitian Desert (Jodhpur, Transovarial ketujuh
India, dengan metode Transmission
intrathoracic inoculations, Passage In
dari isolasi pasien demam Successive
berdarah yg tersimpan di Generations Of
laboratorium> 10 th. Aedes Aegypti
Deteksi menggunakan Mosquitoes
indirect fluorescent
antibody (IFA) test
9 Wang, et al. Laporan wabah epidemi Severe Dengue Faktor utama yang
(Wang SF, dengue di Taiwan th 2014, Fever Outbreak in berhubungan dengan
Wang WH, ada 15.732 kasus DF dan Taiwan kejadian luar biasa demam
Chang K, Chen 136 kasus demam berdarah beradarah antaralain
YH, Tseng SP, dengue (DBD) dan 20 perubahan iklim akibat curah
Yen CH, Wu mengakibatkan kematian. hujan dan temperatur udara
DC, 2016) Korelasi antara DF dan yang mana faktor tersebut
DHF bersama dengan data mempengaruhi aktifitas
suhu dan curah hujan. nyamuk dan penularan
DENV
10 Mourya, et al. Nyamuk betina yang Horizontal and Transmisi horizontal DEN2
(Prasetyowati terinfeksi virus diselidiki vertical oleh nyamuk yang terinfeksi
and Puji tentang bovine albumin transmission of melalui transovarial
Astuti, 2010) phosphate saline pH 7.2 dengue virus type
(BAPS) melalui pengumpan 2 in highly and
membran. Kehadiran virus lowly susceptible
di BAPS ditentukan strains of Aedes
dengan ELISA atau aegypti
intrathorac mosquitoes
11 Angel, et al. Larva Ae. aegypti, Ae. Distribution and Hasil penelitian
(Angel and albopictus dan Ae. vittatus seasonality of menunjukkan penularan
Joshi, 2008) dikumpulkan dari daerah vertically vertikal di tiga kota tersebut
pedesaan dan perkotaan transmitted antara 14,2%-20%.
tiga kabupaten-Jodhpur, dengue viruses in
Jaipur dan Kota. Larva Aedes mosquitoes
dikumpulkan dari ketiga in arid and semi-
daerah tsb dan dipelihara arid areas of
sampai dewasa di lab pada Rajasthan, India
suhu kamar. Setelah itu tes
antibodi fluoresensi tidak
langsung (IFAT).

Sjamsul Huda, S.Si 56


12 Harry, et al. Kadar serum DV IgM Estimation of Hasil penelitian
(Prince and diukur dengan enzyme- Dengue Virus menunjukkan ada perbedaan
Matud, 2011) linked immunosorbent IgM Persistence indeks IgM yang signifikan
assay (ELISA). Using Regression antara infeksi primer dari
Analysis infeksi sekunder
13 Edillo, et al. Larva nyamuk Natural vertical Hasil penelitian
(Edillo, Sarcos dikumpulkan dari rumah transmission of menunjukkan bahwa
and Sayson, tangga dan lapangan selama dengue viruses in transovarial infektion sebesar
2015) musim hujan dan kering Aedes aegypti in 36,26%. Infeksi lebih banyak
(bulan November 2011 selected sites in berasal dari larva yang
hingga Juli 2012 dan Cebu City, dikumpulkan dari rumah
dipelihara di laboratorium Philippines tangga, dan pada musim
hingga dewasa. Kemudian kemarau. Hasil penelitian ini
dideteksi keberadaan mendeteksi fokus alami
DENV dengan metode RT- mereka di musim kemarau
PCR. memberikan sinyal
peringatan dini wabah DBD.
14 Eva, et al. (Eva Ae. albopictus berasal dari Vertical Adanya Transmisi vertikal
A, Buckner, Florida Medical Transmission of DENV-1 dengan tingkat
Barry W , Alto, Entomology Laboratory Key West 11,11% untuk Ae. albopictus
L Philip, 2013) (FMEL) di Vero Beach dan Dengue-1 Virus dan 8,33% untuk Ae.
Ae. aegypti dari Key West. by Aedes aegypti Aegypti. Tidak ada perbedaan
Nyamuk dipelihara di and Aedes signifikan yang terdeteksi
kandang pada suhu 24 ± 0,5 albopictus pada jumlah telur yang
° C dan fotoperiod 14:10. (Diptera: diletakkan oleh kedua spesies
Propagasi DENV-1 untuk Culicidae) tersebut setelah menyerap
bloodmeals mengikuti Mosquitoes From DENV-1 dalam
metode yang telah Florida darah.Kesimpulan Ae.
ditetapkan sebelumnya. aegypti dan Ae. albopictus
adalah vektor kompeten
untuk DENV-1, melalui
transmisi vertikal antara
wabah tahun 2009 dan 2010.

57 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


D. Faktor yang mempengaruhi

Faktor yang mempengaruhi penularan transovarial


pada nyamuk antara lain: (Ahmad, Ismail and Hanlim,
2008),(Anderson, JR, Rico Hesse, 2006)

a) Perbedaan inter dan intra spesifik

Perbedaan interspesifik antara lain ditunjukkan


oleh nyamuk Ae. albopictus yang dapat
menularkan virus lacrosse secara transovarial,
sedangkan nyamuk culex tidak dapat
menularkannya. Perbedaan intra spesifik
ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti dari strain
yang berasal dari daerah non endemik DENV gagal
menularkan DENV secara transovarial.

b) Perbedaan strain virus

Perbedaan stain virus yang mempengaruhi


penularan transovarial ditunjukkan oleh Filial
infection rate(FIR) Ae. albopictus terhadap infeksi
DENV serotipe 1 berbeda-beda menurut strain
virus tersebut.

Sjamsul Huda, S.Si 58


Hasil penelitian transovarial di Kota Semarang pada
daerah-daerah endemis dengan metode uji
immunohistokimia (IHC) menyimpulkan adanya virus
dengue dalam telur nyamuk Aedes spesies. (Mashoedi,
Djamán and Yusuf, 2009) Hasil penelitian Mourya, et al
menunjukkan adanya transmisi horizontal serotipe
DENV-2 oleh nyamuk yang terinfeksi melalui penularan
vertikal. Penelitian dilakukan terhadap nyamuk betina
yang terinfeksi virus, diselidiki keberadaannya di bovine
albumin phosphate saline (BAPS) melalui membran.
Kehadiran virus di BAPS dideteksi dengan ELISA. Hasil
menunjukkan penularan transovarial ditemukan 7 kali
lebih tinggi pada serotipe DENV-2 dibanding serotipe
DENV-1. Pada suhu kamar, virus mendapat kesempatan
untuk berkembang biak dan meningkatkan jumlah telur.
Keturunan yang diperoleh dari nyamuk yang terinfeksi
ditemukan mampu menularkan virus secara horizontal
ketika dilakukan penyelidikan BAPS melalui membran.
(Mourya DT1, Gokhale, Basu A, Barde PV, Sapkal GN,
Padbidri VS, 2001)

59 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Hasil penelitian sebelumnya oleh Thongrungkiat S, et
al menyimpulkan bahwa transmisi transovarial
meningkat secara bertahap selama bulan-bulan musim
panas, mencapai puncaknya pada bulan April sampai
bulan Juni. Sedangkan kasus DBD mencapai puncaknya
pada bulan September, sebulan setelah masuk musim
hujan. Oleh karena itu, transmisi transovarial yang lazim
terjadi empat bulan sebelum insiden tinggi pada manusia.
Infeksi virus dengue melalui transovarial terjadi pada
empat serotipe dengan DENV-4 sebagai serotipe yang
paling dominan, diikuti oleh DENV-3, DENV-1, dan
DENV-2. (Thongrungkiat, Maneekan and
Wasinpiyamongkol, 2011) Hasil penelitian transovarial
lainnya pada nyamuk Ae. aegypti dilakukan di Kota
Cebu, Filipina, dengan prosedur larva dikumpulkan dari
dalam dan luar rumah mulai bulan November 2011
hingga Juli 2012. Selanjutnya larva dibawa ke
laboratorium untuk dipelihara sampai dewasa. Ekstrak
RNA virus pada nyamuk diuji dengan RT-PCR. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa 62 (36,26%; n =
679) dari 171 nyamuk (n = 2.871) positif DENV.

Sjamsul Huda, S.Si 60


Minimum Infection Rate (MIR) dari DENV berkisar dari
0 di musim hujan menjadi 48,22/1.000 di musim kemarau
(bulan April 2012). DENV terdeteksi di semua stadium
(larva, pupa dan dewasa baik jantan/betina). Nyamuk
positif DENV lebih banyak berasal dari dalam rumah
dibanding luar rumah (p <0,001) dan lebih banyak di
musim kemarau daripada di musim hujan (p <0,05).
Dengan analisis Generalized Linear Model Mixed
variabel jenis tempat bersarang, curah hujan bulanan,
suhu dan kelembaban relatif adalah prediktor signifikan
dari kasus bulanan dengue (p <0,05). Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan adanya DENV pada Ae. aegyti di
musim kemarau sebagai sinyal peringatan dini wabah
DBD. (Edillo, Sarcos and Sayson, 2015)

Penularan secara transovarial oleh nyamuk Ae.


aegypti dan Ae. albopictus dan urbanisasi yang cepat
serta industrialisasi telah menyebabkan peningkatan
populasi vektor di negara-negara Timur Laut India. Pada
tahun 2013, Guwahati, ibukota Assam, India mengalami
wabah DBD. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk

61 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


menentukan tingkat infeksi virus dengue (DENV) pada
kedua vektor di wilayah tersebut. Selama wabah, nyamuk
dewasa dan larva dari kedua spesies vektor tersebut
dikumpulkan dari tempat perindukan berdasarkan kasus
daerah pelaporan selanjutnya dicatat indeks
kontainernya. Deteksi virus menggunakan RT-PCR.
Hasil penelitian menunjukkan kedua vektor yaitu Ae.
aegypti dan Ae. albopictus ditemukan berkembang biak
di tempat-tempat penampungan air dengan indeks
kontainer (CI) antara 29,41-80%. Hasil penelitian
tersebut menemukan adanya serotipe DENV-2 pada Ae.
aegypti. Studi tersebut menyimpulkan penularan
transovarial di negara tersebut menjadi informasi penting
dalam konsep epidemiologi untuk mengambil langkah
pengendalian vektor yang sesuai. (Dutta et al., 2015)

Sjamsul Huda, S.Si 62


BAB V
PERSISTENSI VIRUS DENGUE

A. Definisi Persistensi

Boldogh, I dan Albrecht T, P.P mendefinisikan


persistensi virus sebagai infeksi virus terselubung yang
menunjukkan adanya keseimbangan antara virus dan
sistem kekebalan inang sehingga mengakibatkan durasi
infeksi panjang. Persistensi dicirikan dengan keberadaan
virus yang tetap ada dalam sel spesifik individu yang
pernah terinfeksi. Infeksi persisten melibatkan semua
tahap infeksi walaupun tanpa menimbulkan kerusakan
yang berlebihan dari sel inang. Ada tiga jenis interaksi
virus-host persisten yang didefinisikan sebagai laten,
kronis dan infeksi lambat. (Boldogh I, Albrecht T, 1996)

Penularan persisten dibedakan dalam dua bentuk yaitu


sirkulatif dan propagatif. Virus sirkulatif masuk dalam

63 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


tubuh vektor menuju ke usus dan hemolimfe kemudian
menetap sampai dapat dikeluarkan lagi melalui kelenjar
saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya. Sedangkan
virus propagatif memperbanyak diri dalam tubuh vektor.
Virus persisten adalah virus yang di dalam badan
serangga mula-mula mengalami periode laten sebelum
ditularkan ke generasi berikutnya (transovarial passage).
(Boldogh I, Albrecht T, 1996) Persistensi merupakan
periode waktu antara virus diakuisisi oleh vektor sebelum
ditransfer ke host baru, namun persistensi virus tidak
jelas bagaimana penyebarannya di alam. Menurut hasil
penelitian Grunnill et al tahun 2016 kombinasi infeksi
asimtomatik pada manusia dan mobilisasi orang
cenderung lebih penting sebagai faktor yang menentukan
persistensi virus dengue ini. (Grunnill M, 2016)

Penelitian tentang persistensi virus dengue melalui


transovarial pada nyamuk Ae. aegypti di Selanggor
menunjukkan serotipe DENV-2 persisten sampai
generasi kelima (F5). (Ahmad, Ismail and Hanlim, 2008)
Ketika nyamuk menghadapi infeksi virus, respon imun

Sjamsul Huda, S.Si 64


seluler dan humoral diatur oleh empat sinyal pathway
sebagaimana Gambar 4.1 berikut (Withchom J, 2011) :

Gambar 4.1. Signal pathway respon imun seluler dan humoral


pada nyamuk. Pathway utama adalah Tol (a), IMD (b), JAK-
STAT (c), dan RNAi (d).

a. RNA interference (RNAi)

Jalur RNAi adalah pusat respon antivirus pada


nyamuk, respons ini melibatkan pengenalan dan
degradasi RNA eksogen selama replikasi genom
untuk virus RNA, intermediate RNA untai ganda
(dsRNA) dihasilkan. Protein Dcr2, yang mengandung
domain RNase III, mendeteksi dsRNA ini dan
membelah mereka menjadi RNA kecil yang saling
mengganggu (siRNA) dengan panjang 19-22 bp. Jalur

65 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


RNAi memicu produksi Vago. (Ruckert C, Bell Sakyi
L, Fazakerley JK, 2014) Hasil riset Sanchez et al
menyimpulkan blocking protein Dcr2 pada Ae.
aegypti menghasilkan peningkatan titer virus DENV-
2 hampir 10 kali lipat, hal ini menunjukkan pentingnya
jalur RNAi untuk membatasi infeksi. '(Sánchez-
Vargas I, Scott JC, Poole-Smith BK, Franz AW,
Barbosa-Solomieu V, Wilusz J, 2009)

b. Toll Pathway

Toll Pathway diaktifkan oleh protein pengenal


peptidoglycan sebagai respons terhadap jamur, bakteri
gram-positif dan virus. Pada nyamuk Ae. aegypti,
sinyal toll pathway memicu aktivasi faktor transkripsi,
seperti REL1 A/B, yang ditranslasikan ke nukleus dan
menyebabkan produksi molekul efektor, seperti
drosomycin. (Severson DW, 2016) Regulator untuk
jalur ini adalah protein cactus (negatif) dan MyD88
(positif). –(Cirimotich CM, Dong Y, Garver LS, Sim
S, 2010) Ketika MyD88 didiamkan dalam Ae. aegypti,
infeksi oleh DENV diintensifkan di midgut. (Ramirez
JL, 2010)

Sjamsul Huda, S.Si 66


c. IMD (Immune deficiency) pathway

IMD pathway merupakan respon yang membatasi


replikasi virus Sindbis (SINV) setelah diaktifkan oleh
mikrobiota nyamuk melalui faktor negatif Caspar.
(Barletta AB, Nascimento-Silva MC, Talyuli OA,
Oliveira JH, Pereira LO, Oliveira PL, 2017) Efektor
yang dihasilkan melalui IMD pathway adalah
diptericin, attacin & vago. 65 Vago mengikat
reseptornya dan memicu aktivasi JAK-STAT pathway.
(Ruckert C, Bell Sakyi L, Fazakerley JK, 2014)

d. JAK-STAT (The Janus kinase/signal transducers


and activators of transcription) pathway

JAT-STAT pathway menghambat replikasi


arbovirus seperti DENV dan West Nile Virus (WNV).
Hasil riset melaporkan bahwa sel-sel Aag-2 (garis sel
Ae. aegypti) meningkat secara kuantitatif dengan
transkripsi STAT selama infeksi oleh Sindbis
Virus(SINV).(Ruckert C, Bell Sakyi L, Fazakerley JK,
2014) JAK-STAT pathway dan toll pathway jika
dikombinasikan meningkatkan resistensi terhadap

67 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Zika Virus(ZIKV) pada Ae. aegypti. (Angleró-
Rodríguez YI, MacLeod HJ, Kang S, Carlson JS,
Jupatanakul N, 2017) Selain faktor-faktor tersebut,
masih perlu riset lanjutan untuk beberapa faktor lain:
seperti fagositosis, autofagi, apoptosis, dan saluran
untuk infeksi (trakea) untuk menentukan peran
mereka yang tepat dalam infeksi vektor oleh arbovirus
sebagaimana Gambar 4.2 berikut ini. (Alonso-
Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H,
2019)

Gambar 4.2. Effectors infeksi nyamuk oleh arbovirus

Interaksi seluler dan molekuler seperti RNAi


mendorong diversifikasi virus pada nyamuk. Perbedaan
dalam kompetensi vektor dan berbagai barriers yang

Sjamsul Huda, S.Si 68


ditemui virus selama penyebaran dalam nyamuk dapat
mengakibatkan perbedaan viral load, evolusi dan
kemunculan virus baru. Adanya urbanisasi, pembukaan
lahan pemukiman penduduk dapat berdampak pada
interaksi vektor, nyamuk dan inang vertebrata. Nyamuk
antropofagik seperti Ae. aegypti dan Ae. albopictus,
termasuk yang sering berinteraksi dengan inang viremik,
dan peran mereka dapat mempertahankan virus pada saat
inter epidemik. Jarak terbang yang cukup jauh dari kedua
vektor ini dan distribusi ditemukan di mana-mana, hal ini
dapat menjadi penyebab munculnya kejadian luar biasa
dengan pathogen yang luas. Sebagaimana digambarkan
dalam Gambar 4.3 berikut ini. (Rückert and Ebel, 2019)

Gambar 4.3. Faktor yang mempengaruhi munculnya

global pathogen

69 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


B. Hasil Penelitian Persistensi

Hasil deteksi virus dengue menunjukkan persistensi


virus dengue transmisi transovarial pada Ae. albopictus
dan Ae. aegypti koloni laboratorium maupun koloni
lapangan dengan hasil progeni yang positif bervariasi
pada keempat serotipe di ketiga jenis vektor tersebut
sebagaimana Tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1. Deteksi Virus Dengue pada Ae .albopictus dan Ae.

aegypti
Vektor Progeni Serotipe
DENV-1 DENV-2 DENV-3 DENV-4
Ae. albopictus F1 + + + +
Lab F2 + + +
F3 +

Ae. aegypti F1 + + + +
Lab F2 + + + +
F3 + + +
F4 + +
F5 +
F6

Ae. aegypti
Lapangan
Medan F1 + +
F2 +
F3 +

Mimika F1 + +
F2 + +
F3 + +

Magelang F1 +
F2 +
F3
Palu

Bengkulu

Sjamsul Huda, S.Si 70


Hasil deteksi transovarial nyamuk Ae. aegypti koloni
lapangan dari lima kota, yaitu: Medan, Mimika,
Magelang, Bengkulu dan Palu menunjukkan tiga kota
yaitu Medan, Mimika dan Magelang positif virus dengue
secara transovarial, sedangkan Palu dan Bengkulu tidak
terdeteksi terjadinya transmisi transovarial. Hasil deteksi
virus dengue dengan PCR menunjukkan dari Kota Medan
terdeteksi DENV-1 dan DENV-4, dari Kota Mimika
terdeteksi DENV-3 dan DENV-4, dan dari Kota
Magelang terdeteksi DENV-4. (Hikmawati, I,
Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S, Darmana, E,
Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J. Umniyati, 2020)

Temuan transmisi transovarial dalam penelitian ini


menggambarkan adanya infeksi ganda dalam tubuh
vektor dalam satu progeni, hal ini terjadi pada progeni F1
dari Kota Medan (infeksi ganda DENV-1 dan DENV-4)
dan dari Kota Mimika (infeksi ganda DENV-3 dan
DENV-4). Fenomena ini menggambarkan peran Ae.
aegypti sebagai vektor penyakit DBD dalam infeksi
silang. Sedangkan kejadian transovarial koloni

71 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


laboratorium pada Ae. albopictus maupun Ae. aegypti
dilakukan melalui artificial inoculation dengan metode
intratorakal. Hasil penelitian menunjukkan kejadian
transovarial secara buatan melalui artificial inoculation.
(Hikmawati, I, Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S,
Darmana, E, Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J.
Umniyati, 2020)

Dalam penelitian di atas, sampel telur berasal dari


laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas gajah Mada Universitas. Sedangkan sampel
lapangan berasal dari rearing telur yang tersimpan di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Uiversitas Gajah Mada dari beberapa penelitian sebagai
berikut : Telur dari Kota Magelang, berasal dari
penelitian Hadi Satrisno, dengan judul : Analisis Spasial
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Uji
Kerentanan Ae. aegypti Terhadap Malathion di Kota
Magelang. (Satrisno, 2018) Telur dari Kota Palu, berasal
dari penelitian Purwaningsih, dengan judul publikasi:
Combined Target Site VGST Mutations Play A Primary

Sjamsul Huda, S.Si 72


Role In Pyrethroid Resistant Phenotypes of Aedes
Aegypti As Dengue Vector From Palu City, Central
Sulawesi. (Purwaningsih, Sitti Rahmah Umniyati, 2019)
Telur dari Kota Medan, berasal dari penelitian Ledy
Afrida Sinaga dengan judul publikasi: Early Detection of
Kdr Mutation in Dengue Vector Aedes Aegypti
Cypermetrin Resistant From Dengue Endemic Area in
Medan City, Noth Sumatera Province, Indonesia.
(Sinaga, Ledy Afrida, Umniyati, Siti Rahmah,
Mulyaningsih, 2018) Telur dari Kota Mimika, berasal
dari penelitian Riska Amelia Okyana dengan judul :
Perbandingan Indikator Entomologi pada Nyamuk Aedes
sp di daerah endemis dan non endemis di Kabupaten
Mimika, Papua. (Riska Amelia Okyana,Tri Baskoro
Tunggul Satoto, Sitti Rahmah Umniyati, Michail Bangs,
2018) Telur dari Kota Bengkulu, berasal dari penelitian
Dessy Triana dengan judul publikasi : Resistance Status
Of Ae. Aegypti To Malathion And Cypermethrin In
Bengkulu. (Triana, Umniyati and Mulyaningsih, 2019)

Penularan transovarial virus dengue ditemukan pada


akhir 1970-an dan menjadi temuan untuk menjadi sarana
73 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
virus ini bertahan (persisten). Hasil penelitian menduga
penularan vertikal dalam populasi nyamuk
memungkinkan virus untuk bertahan (persisten).
Penelitian menggunakan model matematik untuk melihat
efisiensi infeksi transovarial terhadap kemungkinan
terjadi persistensi menunjukkan bahwa infeksi vertikal
sebesar 1-4% bukan merupakan faktor risiko penting bagi
virus menjadi persisten. Dalam situasi endemik,
peningkatan jumlah reproduksi, persistensi menjadi
signifikan ketika infeksi vertikal melebihi 20-30%.
Dalam situasi epidemi infeksi vertikal mempercepat
jalannya wabah dan benar-benar dapat mengurangi
waktu persistensi, hal ini sesuai dengan fakta bahwa
siklus hidup nyamuk relatif cepat. Ketika efisiensi infeksi
vertikal rendah virus ini cepat hilang kecuali ada
amplifikasi dalam populasi manusia. Oleh karena itu
kasus DBD asimtomatik pada manusia lebih mungkin
untuk menjadi hal penting dalam persistensi dibanding
transmisi dalam populasi vektor. (Adams B, 2010)

Hasil penelitian persistensi virus dalam tubuh manusia


menunjukkan keberadaan antibodi DENV spesifik dalam
Sjamsul Huda, S.Si 74
serum darah setelah 70 tahun yang lalu pernah terinfeksi.
Laporan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa
serotipe DENV-1 dan DENV-2 bertanggung jawab
terjadinya wabah di Nagasaki dari tahun 1942-1944.
Penelitian ini dilakukan ketika epidemi dengue terjadi di
Nagasaki Jepang dari tahun 1942 sampai 1944. Seorang
relawan Jepang diminta diagnosis serologis infeksi
DENV pada tahun 2014 dan menyumbangkan sampel
darah untuk mengukur titer antibodi terhadap DENV.
(Ngwe Tun MM, Muta Y, Inoue S, 2016) Hasil penelitian
persistensi virus lainnya dilakukan oleh Joshi terhadap
nyamuk Ae. aegypti betina yang berumur 4-5 hari
diinfeksi dengan virus dengue serotipe DENV-3 dengan
metode intrathoracic inoculations menyimpulkan
kematian lebih banyak pada nyamuk yang diinfeksi
dengan virus dan mekanisme penularan secara
transovarial serotipe DENV-3 dapat diturunkan sampai
generasi ke-tujuh. (Joshi, Mourya and Sharma, 2002)

75 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


BAB VI
NYAMUK SEBAGAI VEKTOR

A. Mekanisme Nyamuk Sebagai Vektor

Arbovirosis merupakan penyakit yang disebabkan


oleh virus dengan perantara oleh arthropoda. Arthropoda
hematofag untuk virus adalah nyamuk, kutu, lalat pasir
dan pengusir hama. Nyamuk merupakan vektor yang
paling penting dalam penularan patogen ke manusia.
Nyamuk setelah menghisap darah viremik, berbagai
mekanisme diaktifkan untuk menangkal infeksi virus
tersebut. Namun demikian, berbagai virus tersebut
memiliki strategi mengatasi hambatan untuk berhasil
mencapai kelenjar ludah untuk melanjutkan siklus
penularan. Keberhasilan tersebut dipengaruhi banyak
faktor antara lain: karakteristik anatomi, fisiologis, dan
molekuler nyamuk itu sendiri. Selama masa inkubasi

Sjamsul Huda, S.Si 76


ekstrinsik, virus yang memasuki midgut dan masuk ke
hemolymph selanjutnya menginfeksi sel-sel tubuh,
trakea, hemosit, ovarium, jaringan saraf, dan mencapai
kelenjar ludah. (Le Coupanec A, Tchankouo-Nguetcheu
S, Roux P, Khun H, Huerre M, Morales-Vargas R, 2017)

Mekanisme penyebaran arbovirus selain dengan


nyamuk juga mempengaruhi inang/host non-manusia,
seperti : kuda, burung, tikus, dan mamalia kecil lainnya,
namun beberapa inang tersebut tidak meningkatkan
virulensi virus, namun lebih kepada dampak pada jiwa.
Aedes sp adalah spesies yang unik, tidak hanya karena
sifat antropofilik dan peridomestik, tetapi juga karena ia
dapat menularkan beragam virus pathogen. Selain
sebagai vektor untuk virus dengue (DENV), Aedes sp
juga sebagai vektor yellow fever virus (YFV),
chikungunya virus (CHIKV), dan Zika virus (ZIKV)
sebagaimana Gambar 4.1 berikut: (Alonso-Palomares
LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H, 2019)

Gambar 5.1 : Berbagai jenis siklus transmisi pada host


utama dan host insidental.

77 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


B. Kompetensi Vektor dan Kapasitas vektor

Kompetensi vektor menggambarkan kemampuan


arthropoda untuk mengirimkan patogen. Kompetensi
vektor menunjukkan kemampuan instrinsik vektor antara
lain spesies, strain, individual dalam mendukung
perkembangan dan propagasi patogen agar dapat
menularkan patogen secara biologi. (Kyle and Harris,
2008) Kerentanan vektor dapat mempengaruhi
kerentanannya terhadap infeksi, lama masa inkubasi
ekstrinsik serta efisiensi penularan. Dengan demikian
kompetensi vektor terbatas pada interaksi patogen-
vektor. Kompetensi vektor dipengaruhi antara lain
genotipe virus dan ukuran nyamuk. (Anderson, JR, Rico

Sjamsul Huda, S.Si 78


Hesse, 2006),(Strickman,D and Kittayapong, 2003)
Secara matematis status kerentanan dihitung dengan
mengukur MID50 (Mosquito infection Dose 50) yaitu
dosis yang diperlukan sehingga 50% nyamuk yang
diinfeksi dengan virus dengue per oral menunjukkan
positif DENV pada jaringan otaknya setelah masa
inkubasi 14 hari berdasarkan metode imunofluoresensi,
sehingga semakin rendah MID50 semakin tinggi status
kerentanan nyamuk tersebut terhadap infeksi virus
DENV.

Kapasitas vektor menggambarkan tingkat reproduksi


dasar patogen yang ditularkan oleh spesies/populasi
vektor tertentu. Formula kapasitas vektor ini dilihat dari
jumlah gigitan nyamuk yang menimbulkan infeksi pada
inang individu. Hal ini dipengaruhi oleh lima faktor:
kepadatan vektor (m), probabilitas makan (a),
kompetensi vektor (VC), probabilitas kelangsungan
hidup (p) dan inkubasi ekstriksi (n). Faktor-faktor
tersebut tidak dapat menjadi penyebab sendiri, namun
saling bergantung dengan faktor lainnya, termasuk faktor

79 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


lingkungan dan faktor interaksi virus-nyamuk,
sebagaimana Gambar 5.2 di bawah ini:

Gambar 5.2 Faktor yang mempengaruhi kapasitas vektor.


(Alonso-Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H,
2019)

C. Siklus Gonotropik dan Lama Metamorfosis Vektor


Infeksius

Gambaran siklus gonotropik dan lama metamorfosis


vektor infeksius (Ae. albopictus dan Ae. aegypti) dari
hasil penelitian sebagaimana Tabel 5.1 berikut ini :

Tabel 5.1. Hasil Analisis Siklus Gonotropik dan Lama


Metamorfosis

Tabel 5.1 menggambarkan rata-rata siklus gonotropik


tercepat pada Ae. albopictus yaitu selama 4 hari, dan
terlama pada Ae. aegypti lapangan selama 6 hari. Hasil uji

Sjamsul Huda, S.Si 80


Siklus Gonotropik N mean Sd 95% CI nilai p
Aedes albopictus Laboratorium 80 4 0,50a 4,39-4,61 0,0001
Aedes aegypti Laboratorium 80 5 0,44b 4,65-4,85
Aedes aegypti Lapangan 80 6 0,83c 5,79.6,16
Lama Metamorfosis N mean Sd 95% CI nilai p
a
Aedes albopictus Laboratorium 80 11 2,25 10.50-11.50 0,0001
b
Aedes aegypti Laboratorium 80 8 0,87 8.31-8.67
Aedes aegypti Lapangan 80 7 0,49c 7.20-7.51

statistik Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan


siklus gonotropik pada ketiga strain vektor tersebut (p
value :0,0001). Pada analisis lanjutannya hasil uji
statistik Post hoc Mann-Whitney (digambarkan dalam
kode a, b, c) menunjukkan adanya perbedaan (p value<
0,05) dua kelompok pada ketiga strain. Selanjutnya pada
lama metamorfosis, rata-rata metamorfosis terlama,
terjadi pada Ae. albopictus koloni laboratorium yaitu
selama 14 hari, dan metamorfosis paling cepat terjadi
pada Ae. aegypti koloni lapangan selama 7 hari. Hasil uji
statistik Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan
lama metamorfosis pada ketiga strain vektor tersebut (p
value :0,0001). Pada analisis lanjutan hasil uji statistik

81 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Post hoc Mann-Whitney (digambarkan dalam kode a, b,
c) menunjukkan adanya perbedaan (p value < 0,05) dua
kelompok pada ketiga strain (Hikmawati, 2019).
Preliminary research pada penelitian ini menemukan
pada nyamuk infektif serotipe DENV-2 menunjukkan
adanya perbedaan jumlah telur pada siklus gonotropik
satu dan siklus gonotropik dua (p value: ≤ 0,005) dengan
mean different : 13,5. (Hikmawati, I, Wahyono, H,
Martini, M, Hadisaputro, S, Darmana, E, Mustika Djati,
K R, Mardihusodo, 2019) Beberapa hasil riset
sebelumnya menunjukkan siklus gonotropik di
Kabupaten Wonosobo antara 3-7 hari. (Nova and
Martini, 2012) Hasil penelitian Siraj, AS et al
menunjukkan semua interval generasi sangat sensitif
terhadap suhu, menurun dua kali lipat antara 25°C dan
35°C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
epidemi virus dengue dapat dipercepat dengan
meningkatnya suhu, hal ini tidak hanya karena lebih
banyak infeksi per generasi tetapi juga karena lebih cepat
pada tiap generasi. (Siraj et al., 2017) Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan, panjang siklus gonotrofik

Sjamsul Huda, S.Si 82


diperkirakan berdasarkan nilai koefisien korelasi tinggi
yang muncul setiap 4 hari di musim hujan pada 26,7 ±
1,22 ° C, dan 3 hari di musim kering pada 29,8 ± 1,47 °C.
Tingkat kelangsungan hidup populasi Ae. aegypti lebih
tinggi di musim hujan yaitu 0,94 dibandingkan di musim
kemarau yaitu 0,93. Perkiraan waktu minimum untuk
mematangkan telur setelah pemberian darah hampir
sama pada kedua musim (3,5 hari di musim hujan dan
3,25 hari di musim kering). (Garcia-Rejon, 2017) Hasil
penelitian Ritadi, dkk menyimpulkan bahwa suhu dan
lama penyimpanan berpengaruh terhadap persentase
tetas telur Ae. aegypti di laboratorium (p= 0,046).
Persentase telur yang menetas semakin menurun
tergantung dengan suhu dan lama waktu penyimpanan.
(Alfiah and Alfiah, 2014)

Tahapan metamorfosis penting diketahui agar


kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dapat
berjalan secara efektif dan efisien. PSN merupakan
kegiatan yang dilakukan masyarakat secara mandiri di
lingkungannya masing-masing untuk menghilangkan

83 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


tempat-tempat perindukan nyamuk melalui 3 M. M yang
pertama yaitu (menguras) yaitu menguras bak mandi dan
tempat penampungan air. M yang ke dua (menutup) yaitu
menutup tempat-tempat penampungan air. M yang ke
tiga (mengubur) yaitu mengubur barang-barang bekas di
lingkungan sekitar agar tidak menjadi tempat perindukan
nyamuk. Hasil penelitian menyimpulkan salah satu
hambatan dalam pengendalian vektor adalah kurangnya
partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan PSN.
(Hikmawati and Purwito, 2013) Hasil penelitian Siraj, et
al menunjukkan peningkatan suhu dapat mempercepat
epidemi virus demam berdarah, dikarenakan cepatnya
metamorfosis tiap generasi sehingga lebih banyak infeksi
tiap generasi. (Siraj et al., 2017)

Penelitian sebelumnya oleh De Majo, et al dari


Argentina, menyimpulkan pada umumnya nyamuk
Aedes sp akan meletakan telurnya pada suhu sekitar 20°
sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah
1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam
waktu 7 hari. Pada kondisi normal, telur Aedes sp yang

Sjamsul Huda, S.Si 84


direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80% pada
hari pertama dan 95% pada hari ke dua. Berdasarkan jenis
kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas lebih cepat
dibandingkan nyamuk betina sehingga nyamuk jantan
lebih cepat menjadi dewasa. Faktor-faktor yang
mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air
perindukan, cahaya, serta kelembaban disamping
fertilitas telur itu sendiri. Proporsi telur yang menetas
berkorelasi positif dengan suhu perendaman.
Kelangsungan hidup sebesar 30% pada suhu 13,2°C dan
di atas 90% pada suhu 20°C. Sedangkan waktu
pengembangan pada suhu rendah adalah 49,4 d pada suhu
13,2°C & 17,7 d pada suhu 20°C. Hasil penelitian
tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam program
pengendalian vektor agar fokus pengendalian lebih tepat
sasaran pada berbagai stadium nyamuk. (De Majo MS1,
Montini P, 2017)

85 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


D. Analisis survival Nyamuk Ae. albopictus dan Ae.
Aegypti Infeksius

Analisis survival bertujuan melihat kelangsungan


hidup nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus mulai dari
terinfeksi virus dengue sampai batas waktu tertentu
nyamuk tersebut mati. Hasil penelitian menunjukkan
selama pengamatan tujuh hari, terdapat 14 nyamuk Ae.
aegypti yang mati sedangkan pada Ae. albopictus
terdapat 54 nyamuk yang mati. 50% Ae. aegypti mati
pada 139,8 jam pasca intratorakal (hari ke-5), sedangkan
pada Ae. albopictus pada 87,7 jam pasca intratorakal (hari
ke-3). Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan survive
antara nyamuk Ae. aegypti dengan Ae. albopictus (p
value= 0,0001). Dengan tingkat kematian yang lebih
rendah, makna adanya perbedaan menunjukkan Ae.
aegypti infeksius lebih survive di alam dibanding Ae.
albopictus sebagaimana Tabel 5.2 berikut ini
(Hikmawati, I, Hendro Wahjono, Martini Martini, 2019):

Tabel 5.2. Analisis Survival Nyamuk Ae. albopictus


dan Ae. aegypti

Sjamsul Huda, S.Si 86


Analisis Survival N kematian median survival 95% CI P value
(ekor) (jam)
Aedes albopictus 70 54 87,7 74,5-100,9 0,0001
Aedes aegypti 70 14 139,8 125,1-154,6

Survival rate pada Ae. aegypti dan Ae. albopictus


menunjukkan ketahanan nyamuk pada saat kondisi
infeksius. Dalam kondisi infeksius, peluang hidup Ae.
aegypti lebih lama dibanding Ae. albopictus. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai median survival nyamuk Ae.
albopictus lebih cepat 87,7 jam dibandingkan Ae. aegypti
139,8 jam, artinya dalam kondisi infeksi, pada hari ke-3
Ae. albopictus dan hari ke -5 Ae. aegypti, populasi
nyamuk infeksius yang masih hidup kedua vektor
tersebut kurang lebih masih 50% dari total populasi yang
ada. Temuan ini menjadi hal penting, terkait dengan
upaya pengendalian DBD melalui PSN. Beberapa upaya
yang dapat dilakukan antara lain dengan kebersamaan
waktu PSN (dalam satu lingkungan dilakukan secara
serentak) dan waktu pelaksanaan, sebaiknya setiap 3 hari
sekali dan tidak lebih dari 5 hari. Kelangsungan hidup
nyamuk dipengaruhi banyak faktor salah satunya kondisi

87 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


lingkungan setempat (kondisi ekologis). Hal ini
sebagaimana hasil riset sebelumnya yang menyimpulkan
bahwa kelangsungan hidup dan paritas pada nyamuk
lebih tinggi (68,5%) pada daerah pinggiran kota dengan
komunitas penduduk miskin dan kepadatan manusia
yang sangat tinggi serta pekerjaan yang tidak teratur.
Tingkat penyebaran dapat mencapai maksimum 363 m.
Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada nyamuk
akan meningkatkan kemungkinan nyamuk untuk
menghisap darah pada orang yang viremia sehingga
menjadi infektif dan siap untuk menularkan virus
dengue. Nyamuk betina infektif dapat hidup untuk
periode yang lebih lama daripada inkubasi ekstrinsik.
(Janeiro et al., 2007)

Masuknya virus dengue dalam tubuh nyamuk


menunjukkan nyamuk mengalami proses imflamasi.
Bagian penting untuk berkembang dan beramplifikasi
pada virus dengue adalah sel-sel dari glandula salivarius
dan ovarium. Nyamuk yang diinfeksi virus dengue
bagian tersebut menunjukkan perubahan bentuk secara

Sjamsul Huda, S.Si 88


morfologi dan histologi dibandingkan dengan nyamuk
sehat atau tidak terkena virus (aksenik) dan bagian organ
tersebut terlihat jauh lebih besar (membengkak). Hasil
penelitian sebelumnya oleh Joshi, et al menyimpukan
rata-rata telur yang dihasikan lebih sedikit pada nyamuk
yang terinfeksi DENV-3 ( 48.5 ± 19.4) dibanding yang
tidak terinfeksi (86 ± 29). (Joshi, Mourya and Sharma,
2002) Selain faktor infeksi, banyaknya telur yang
dihasilkan dipengaruhi banyaknya darah yang dihisap
oleh nyamuk tersebut untuk mematangkan telurnya,
darah digunakan untuk asupan protein yang
diperlukannya untuk memproduksi telur. Hasil penelitian
di Thailand dan Puerto Rico memperkirakan rata-rata Ae.
aegypti mengambil 0,76 dan 0,63 Human Blood Meals
per Day. (Scott TW1, Amerasinghe PH, Morrison AC,
Lorenz LH, Clark GG, Strickman D, Kittayapong P,
2000) Infeksi pada nyamuk berdampak pada Motivation
and Avidity to Blood Feed yang mempengaruhi kapasitas
vektor. Hasil penelitian sebelumnya menyimpulkan
adanya infeksi serotipe DENV-2 akan mempengaruhi
perilaku nyamuk dalam menghisap darah pertama (first

89 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


feed) dibandingkan selanjutnya (second feed). Efek
infeksi lebih berpengaruh pada nyamuk yang muda
dibandingkan yang tua, walaupun tidak bermakna secara
statistik, nyamuk yang tidak terinfeksi lebih cepat
menghisap darah dibandingkan yang terinfeksi. (Maciel-
de-freitas et al., 2013)

Kematian nyamuk pasca terinfeksi virus dengue


menunjukkan adanya virulensi virus dengue. Virulensi
virus dengue berdampak pada risiko terjadinya syok pada
kasus demam berdarah. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan virus serotipe DENV-2 lebih virulen. (R.
Rico, 2011) Serotipe DENV-2 dan DENV-3 selain
berdampak kematian yang tinggi pada nyamuk, serotipe
ini menunjukkan infeksi yang lebih berat pada manusia.
Hasil riset yang dilakukan oleh Andriyoko, dkk
menunjukkan infeksi oleh serotipe DENV-2
memberikan gambaran hasil penurunan kadar
hemoglobin tertinggi, persentase peningkatan nilai
hematokrit tertinggi, dan jumlah trombosit terendah
dibandingkan dengan serotipe lainnya. (Andriyoko et al.,

Sjamsul Huda, S.Si 90


2012) Penularan vertikal serotipe DENV-2, 7 kali lebih
tinggi dibandingkan DENV-1. Penularan transovarial
akan optimum jika nyamuk betina yang terinfeksi
dibiarkan menetas setelah dua bulan. Hal ini
menunjukkan pada suhu kamar, virus mendapat
kesempatan untuk berkembangbiak dan meningkatkan
jumlah telur. Keturunan yang diperoleh dari nyamuk
yang terinfeksi ditemukan mampu menularkan virus
secara horizontal ketika dilakukan penyelidikan tentang
BAPS (Bovine Albumin Phosphate Saline) pada pH 7,2.
(Mourya DT1, Gokhale, Basu A, Barde PV, Sapkal GN,
Padbidri VS, 2001)

Virulensi virus berdampak pada kerentanan nyamuk


yang berbeda-beda pada setiap infeksi. Hasil penelitian
Muturi, et al menunjukkan nyamuk Ae. aegypti yang
terinfeksi DENV-4 kurang rentan terhadap infeksi
sekunder dengan DENV-2, begitu juga sebaliknya.
Fekunditas populasi pada nyamuk yang terinfeksi
DENV-2 secara signifikan lebih tinggi daripada DENV-4,
setelah diberikan membrane feeding dengan darah non

91 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


infeksius selama 7 hari. (Muturi EJ, Buckner E, 2017)
Serotipe DENV-2 dan DENV-3 yang berasal dari Asia
berhubungan dengan kejadian epidemi dan infeksi
dengue berat. Genotipe dari subtipe Asia serotipe DENV-
2 dan DENV-3 telah menyebabkan siklus endemis di
benua lain dan pada beberapa kasus telah menggantikan
genotipe lain yang tidak menyebabkan infeksi dengue
berat. Penelitian yang dilakukan akhir akhir ini
mendapatkan sel target primer (sel dendrit) manusia dan
pada nyamuk, serotipe DENV-2 dan DENV-3
menghasilkan titer virus yang lebih tinggi dibandingkan
dengan serotipe lainnya. Sampai saat ini masih menjadi
pertanyaan mengapa pada beberapa serotipe virus
dengue mempunyai kemampuan replikasi yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan serotipe lainnya,
sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap transmisi
serotipe virus dengue yang memiliki potensi virulensi
tinggi untuk menentukan apakah virulensi juga
dipengaruhi oleh faktor genetik pejamu dan status imun
pejamu sebelumnya. (Simmons CP, Halstead SB,
Rothman A, Harris E, Screaton G, Rico-Hesse R, 2006)

Sjamsul Huda, S.Si 92


Hasil riset lainnya menunjukkan virus dengue DENV-3
merupakan serotipe dengan karakteristik lebih virulen.
Infeksi virus dengue serotipe DENV-3 viabel untuk
ketiga galur sel (cell line) dan metode plaque assay yaitu
pada galur sel BHK-21 memberikan hasil terbaik.
(Dadan Supardan, Jaka Widada, Tri Wibawa, 2016)

93 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


DAFTAR ISTILAH

Agent : Merupakan semua unsur atau elemen


hidup maupun tidak hidup yang
kehadirannya atau ketidakhadirannya
bila diikuti dengan kontak yang
efektif dengan pejamu (host) yang
rentan dalam keadaan yang
memungkinkan akan menjadi stimuli
untuk menyebabkan terjadinya proses
penyakit.

Analisis Survival : Adalah analisis yang bertujuan


menaksir probabilitas kelangsungan
hidup, kekambuhan, kematian, dan
peristiwa-peristiwa lainnya sampai
pada periode waktu tertentu.
bertujuan untuk mengetahui hasil dari
variabel yang mempengaruhi suatu
awal kejadian sampai akhir kejadian,
contohnya waktu yang dicatat dalam
hari, minggu, bulan, atau tahun.
Untuk kejadian awal contohnya awal
nyamuk terinfeksi virus dan untuk
kejadian akhir contohnya kematian
nyamuk.

Arthropoda : Merupakan kata yang berasal dari


bahasa latin: arthra artinya ruas, buku,

Sjamsul Huda, S.Si 94


segmen, dan podos artinya kaki yang
berarti merupakan hewan yang
memiliki kaki beruas, berbuku, atau
bersegmen. Athropoda dibagi
menjadi empat kelas: Kelas
Hexapoda, misalnya nyamuk, lalat.
Kelas Arachnoida (kaki 8), misalnya
tungau. Kelas Crustacea (kaki 10),
misalnya udang. Kelas Myriapoda:
chilopoda dan dipoppoda, misalnya
kaki seribu.

Arbovirus : Adalah kependekan dari Arthropod


Borne Virus. Arbovirus adalah virus
RNA yang ditularkan oleh vektor
serangga.

Artralgia : Merupakan salah satu gejala pada


demam berdarah ditandai dengan
nyeri satu atau lebih sendi karena
adanya infeksi virus dengue.

Bionomik nyamuk : Merupakan hubungan timbal balik


antara nyamuk dengan lingkungan
h i d u p n y a . B i o n o m i k n y a m u k
meliputi :kebiasaan menggigit, siklus
hidup nyamuk, perkembangbiakan
nyamuk, habitat nyamuk, pemilihan
hospes, distribusi penyebaran
n y a m u k d a n p e n y a k i t y a n g
ditularkan oleh nyamuk.

95 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Breeding Places : Adalah tempat berkembangbiaknya
vektor, pada nyamuk Aedes sp (vektor
demam berdarah, tempat
berkembangbiaknya adalah pada air
yang jernih dan air tersebut tidak
kontak langsung dengan tanah (bak
manadi, drum, ban bekas vas, bunga
dan lain sebagainya.

Case Fatality Rate : M e r u p a k a n s u a t u a n g k a y a n g


dinyatakan ke dalam persentase yang
berisikan Data orang mengalami
kematian akibat suatu penyakit
tertentu. Pada dasarnya Case Fatality
Rate digunakan pada pengkuran
penyakit menular.

Container Persentase container yang positif


Indeks (CI) : jentik dari seluruh container yang
diperiksa.

Dengue Adalah sindrom syok yang terjadi


Shock pada penderita Dengue Hemorhagic
Syndrome (DSS) : Fever (DHF) atau Demam Berdarah
Dengue. Menurut kriteria WHO, DSS
dinyatakan sebagai DHF derajat III-
IV.

Demam Bifasik : Adalah demam tinggi selama


beberapa hari disusul oleh penurunan

Sjamsul Huda, S.Si 96


suhu lebih kurang satu hari dan
kemudian timbul kembali. Demam
bifasik biasa ditemukan pada demam
dengue, yellow fever, colorado tick
fever, rit valley fever, infeksi virus
misalnya influenza, poliomyelitis.

Demam Berdarah Adalah penyakit yang disebabkan


Dengue (DBD) : oleh infeksi virus dengue. Virus ini
masuk ke dalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus, yang
hidup di wilayah tropis dan subtropis.

Epidemi : Kenaikkan kejadian suatu penyakit


yang berlangsung cepat dan dalam
jumlah insidens yang di perkirakan,
dibagi menjadi common
sours(exposure) epidemic (satu
sumber penularan) dan propagated
(progressive) epidemic (banyak
sumber penularan).

Endemik : Adalah penyakit menular yang terus


menerus terjadi di suatu tempat atau
prevalensi suatu penyakit yang
biasanya terdapat di suatu tempat.
Fenomena endemik merupakan
penyakit yang umum terjadi pada laju
yang konstan namun cukup tinggi

97 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


pada suatu populasi disebut sebagai
endemik, contoh penyakit endemik
adalah DBD.

Environment/ Adalah segala sesuatu yang


Lingkungan : mengelilingi dan juga kondisi di luar
manusia atau hewan yang
menyebabkan atau memungkinkan
penularan penyakit. Lingkungan
merupakan faktor ekstrinsik yang
cukup penting dalam menentukan
terjadinya proses interaksi antara
pejamu dengan unsur penyebab
dalam proses terjadinya penyakit.

Filial (F) : Artinya keturunan. F1 adalah


keturunan pertama dan F2 adalah
keturunan kedua, dst

Fekunditas : Adalah jumlah telur yang terdapat


pada induk nyamuk betina yang telah
matang dan siap untuk dikeluarkan.

Gejala Klinis Adalah keluhan penderita tentang


/Symptoms : penyakit yang dideritanya secara
subjektif. Dimana hal ini akan
dipadankan dengan tanda klinis
(signs) yang secara objektif diperoleh
dari pemeriksaan klinis oleh tenaga
medis, untuk melakukan analisis dan

Sjamsul Huda, S.Si 98


menarik kesimpulan dalam bentuk
diagnosis.

Globalisasi : Adalah intensifikasi hubungan sosial


secara mendunia sehingga
menghubungkan antara peristiwa di
satu lokasi dengan lokasi lainnya serta
menyebabkan terjadinya perubahan
pada keduanya. Adanya globalisasi
menyebabkan penyakit infeksi
menyebar lebih mudah.

Host : Organisme, biasanya berupa manusia


atau hewan yang menjadi tempat
terjadinya proses alamiah penyakit.
Host memberikan tempat dan
penghidupan kepada suatu pathogen.

Iklim tropis : Adalah suatu daerah di permukaan


bumi yang secara geografis berada di
sekitar ekuator.Area ini terletak
diantara 23,5 o LU dan 23,5 oLS . Iklim
tropis terletak di garis katulistiwa,
memiliki dua musim (hujan dan
kemarau), pada daerah tropis
tergambar dengan wilayah yang
hangat dan lembab sepanjang tahun.

Iklim Sub Tropis : Adalah wilayah yang berada di utara


dan selatan wilayah tropis yang

99 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


dibatasi oleh garis balik utara dan
garis balik selatan pada lintang 23,5o
utara dan selatan. Sub tropis terletak
di garis lintang, diwarnai badai, hujan
salju, angin tornado dan memiliki
empat musim (panas semi, panas,
gugur, dingin).

Incidence Rate : Adalah frekuensi penyakit atau kasus


baru yang berjangkit dalam
masyarakat di suatu tempat atau
wilayah atau negara pada waktu
tertentu (umumnya 1 tahun)
dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang mungkin terkena
penyakit baru tersebut.

Inter-Epidemik : Periode diantara terjadinya lonjakan


kasus (epidemi).

Kartografi : Merupakan suatu seni, ilmu


pengetahuan, dan teknologi
pembuatan peta.

Leukopenia : Adalah rendahnya jumlah sel darah


putih yang ada di dalam tubuh
(normal 3500-10.500/mikroliter),
dikarenakan adanya gangguan atau
penyakit tertentu dalam tubuh kita.

Sjamsul Huda, S.Si 100


Limfa denopati: Merupakan kelenjar sistem imun
yang umumnya membesar karena
infeksi bakteri atau virus, namun
beberapa kelenjar getah bening yang
membengkak secara bersamaan dapat
mengindikasikan adanya kanker.

Masa Inkubasi Adalah rentang waktu yang


DBD : diperlukan dari saat nyamuk
menggigit dan memasukkan virus
dengue ke dalam tubuh seseorang
hingga orang tersebut mengalami
gejala DBD. Masa inkubasi virus
dengue dalam manusia (inkubasi
intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14
hari sebelum gejala muncul, gejala
klinis rata-rata muncul pada hari
keempat sampai hari ketujuh,
sedangkan masa inkubasi ekstrinsik
(di dalam tubuh nyamuk) berlangsung
sekitar 8-10 hari.

Metamorfosis Adalah salah satu contoh metamorfosis


Nyamuk : sempurna yang terjadi pada hewan
kelas insekta. Dikatakan sempurna,
karena dalam proses metamorfosis
yang dilaluinya, nyamuk mengalami 4
tahapan perubahan dari mulai telur,
larva, pupa, hingga menjadi nyamuk
dewasa.

101 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Myalgia Merupakan kata yang berasal dari
(Nyeri Otot) : bahasa Yunani, yaitu myo yang berarti
otot dan algos yang berarti nyeri.
myalgia pada demam berdarah terjadi
karena Adanya proses inflamasi atau
adanya infeksi virus.

MIR Merupakan indikator untuk


(Minimum Infection memperkirakan tingkat infeksi
Rate) : nyamuk, dihitung berdasarkan rasio
dari jumlah positif dengan jumlah
nyamuk yang diperiksa.

Propagatif : Adalah virus berkembangbiak di


d a l a m t u b u h v e k t o r. I n f e k s i
menyebabkan perubahan fisiologis
maupun anatomis sebagai tanggapan
terhadap pathogen.

Progeni : Adalah keturunan yang berasal dari


sumber yang sama.

Reservoir : Adalah manusia, hewan, tumbuhan,


tanah atau zat organic (seperti tinja,
makanan) yang menjadi tempat
tumbuh dan berkembangbiak agent
sewaktu agent berkembang biak
dalam reservoir, mereka melakukan
sedemikian rupa sehingga penyakit
dapat ditularkan pada pejamu yang
rentan.
Sjamsul Huda, S.Si 102
Ruam : Merupakan salah satu gejala pada
demam berdarah ditandai kondisi
kulit iritasi, bengkak atau gembung
kulit yang diketahui dengan adanya
warna merah, rasa gatal, bersisik,
kulit yang mengeras atau benjolan
melepuh pada kulit akibat adanya
infeksi virus.

Subklinis : Artinya penyakit belum


memanifestasikan dirinya ke dalam
tubuh pasien meskipun penyakit itu
sudah ada di dalam tubuh pasien.
Keadaan ini disebabkan karena
penyakit belum cukup parah untuk
menimbulkan gejala.

Siklus Gonotropik : Adalah waktu yang diperlukan untuk


menyelesaikan perkembangan telur
mulai dari nyamuk menghisap darah
sampai telur dikeluarkan, biasanya
berlangsung antara 3-4 hari.

Syok Hipovolemik: Adalah kondisi darurat di mana


jantung tidak mampu memasok darah
yang cukup ke seluruh tubuh akibat
volume darah yang kurang.

Transmisi Adalah mekanisme penularan virus


Transovarial/ dengue dalam tubuh nyamuk Aedes

103 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Vertikal : sp. betina ke ovum, kemudian
berpropagasi dalam ovum, larva,
pupa, dan imago.

Transmisi Adalah mekanisme penularan virus


Horizontal : dengue antara vertebrata viremia
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
sp.

Vektor : Merupakan arthropoda yang dapat


menularkan, memindahkan atau
menjadi sumber penularan penyakit
pada manusia sehingga sering dikenal
sebagai arthropod borne diseases
atau vector borne diseases. Contoh
Arthropodborner nyamuk, penyakit
yang ditularkan al: Malaria, filarial,
yellow fever, ensefalitis, dengue
haemofhagic fever. Arthropodborner
lalat rumah, penyakit yang ditularkan
al: Demam tifoid dan paratifoid,
diare, disentri, kolera, gastroenteritis,
amebiasis, infestasi, helmintik, yaws,
poliomyelitis, konjungtivitis,
trakoma, antraks.

Vasculopathy : Adalah peradangan pada pembuluh


darah yang menyebabkan perubahan
pada dinding pembuluh. Perubahan
yang terjadi antara lain penebalan,
pelemahan, penyempitan.
Sjamsul Huda, S.Si 104
Viremia : Adalah periode virus berada di dalam
aliran darah sehingga dapat ditularkan
kepada orang lain melalui gigitan
nyamuk.

Virulensi : Adalah derajat kemampuan suatu


patogen oportunistik untuk
menyebabkan penyakit.

105 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


DAFTAR PUSTAKA

Adams B, B. M. (2010) 'How important is vertical


transmission in mosquitoes for the persistence of
dengue? Insights from a mathematical model.',
Epidemics, 2(1), pp. 1–10. doi:
10.1016/j.epidem.2010.01.001.
Ahmad, R., Ismail, Z. and Hanlim, L. (2008) 'Persistency of
transovarial dengue virus in Aedes aegypti (Linn)',
The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Public Health, 39(5), pp. 813–6.
Alfiah, R. S. and Alfiah, S. (2014) 'Pengaruh Suhu
Penyimpanan Terhadap Presentase Tetas Telur',
Vektora, 6(1), pp. 9–12.
Alonso-Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza
H, S. M. (2019) 'Molecular Basis for Arbovirus
Transmission by Aedes aegypti Mosquitoes',
I n t e r v i ro l o g y , 6 1 ( 6 ) , p p . 2 5 5 – 6 4 . d o i :
10.1159/000499128.
Anderson, JR, Rico Hesse, R. (2006) 'Aedes aegypti
vectorial capasity is determined by the infecting
genotype of dengue virus', Am J Trop Med Hyg, 75(5),
pp. 886–92.
Andriyoko, B. et al. (2012) 'Penentuan Serotipe Virus
Dengue dan Gambaran Manifestasi Klinis serta
Hematologi Rutin pada Infeksi Virus Dengue',
Majalah Kedokteran Bandung, 44(4), pp. 253–60.
Angel, B. and Joshi, V. (2008) 'Distribution and seasonality
of vertically transmitted dengue viruses in Aedes

Sjamsul Huda, S.Si 106


mosquitoes in arid and semi-arid areas of Rajasthan,
India', J Vector, 45(March), pp. 56–59.
Angleró-Rodríguez YI, MacLeod HJ, Kang S, Carlson JS,
Jupatanakul N, D. G. (2017) 'Aedes aegypti Molecular
Responses to Zika Virus: Modulation of Infection by
the Toll and Jak/Stat Immune Pathways and Virus Host
Factors.', Front Microbiol., 10(8), p. 2050.
Bahang, Z. . (1978) Life History of Aedes aegypti dan Aedes
albopictus under laboratory condition., Inst For Med
Research, Kuala Lumpur.
Barletta AB, Nascimento-Silva MC, Talyuli OA, Oliveira
JH, Pereira LO, Oliveira PL, et al. (2017) 'Microbiota
activates IMD pathway and limits Sindbis infection in
Aedes aegypti.', Parasit Vectors., 10(1), p. 103.
Bhatt, S. et al. (2013) 'The global distribution and burden of
dengue', Nature, 496(7446), pp. 504–7.
Biu, F. M. and Hassan, M. S. (2012) 'Waktu Aktifitas
Menghisap Darah Nyamuk Aedes Aegypti Dan Aedes
Albopictus di Desa Pa ' Lanassang Kelurahan
Barombong Makassar Sulawesi Selatan', Jurnal
Ekologi Kesehatan, 11(4), pp. 306–14.
Boesri, H. (2011a) 'Biologi dan Peranan Aedes albopictus (
Skuse ) 1894 sebagai Penular Penyakit', Aspirator,
3(2), pp. 117–25.
Boldogh I, Albrecht T, P. D. (1996) 'Persistent Viral
Infections', in Medical Microbiology. Texas:
Galveston (TX): University of Texas Medical Branch
at Galveston, ISBN-10: 0-9631172-1-1.
Chen, R. and Vasilakis, N. (2011) 'Dengue — Quo tu et quo
vadis?', Viruses, 3, pp. 1562–1608.

107 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Cirimotich CM, Dong Y, Garver LS, Sim S, D. G. (2010)
'Mosquito immune defenses against Plasmodium
infection.', Dev Comp Immunol., 34(4), pp. 387–95.
Le Coupanec A, Tchankouo-Nguetcheu S, Roux P, Khun H,
Huerre M, Morales-Vargas R, et al. (2017) 'Co-
Infection of Mosquitoes with Chikungunya and
Dengue Viruses Reveals Modulation of the
Replication of Both Viruses in Midguts and Salivary
Glands of Aedes aegypti Mosquitoes.', Int J Mol Sci.,
18(8), p. E1708.
Dadan Supardan, Jaka Widada, Tri Wibawa, N. W. (2016)
'uji viablitas virus dengue serotipe 3pada beberapa
galur sel (cell-line)', BIOTA, IX(1), pp. 120–27.
Dutta, P. et al. (2015) 'First evidence of dengue virus
infection in wild caught mosquitoes during an
outbreak in Assam, Northeast India', Journal of Vector
Borne Diseases, 52(4), pp. 293–98.
Ebi, K. L. and Nealon, J. (2016) 'Dengue in a changing
climate', Environmental Research. Elsevier, 151, pp.
115–23.
Edillo, F. E., Sarcos, J. R. and Sayson, S. L. (2015) 'Natural
vertical transmission of dengue viruses in Aedes
aegypti in selected sites in Cebu City , Philippines',
Journal of Vector Ecology, 40(2), pp. 282–91.
Eva A, Buckner, Barry W , Alto, L Philip, L. (2013) 'Vertical
Transmission of Key West Dengue-1 Virus by Aedes
aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae)
Mosquitoes From Florida', J Med Entomol,
November,(6), pp. 1291–97.

Sjamsul Huda, S.Si 108


Fernandes, C. et al. (2017) 'Transovarial transmission of
DENV in Aedes aegypti in the Amazon basin : a local
model of xenomonitoring', Parasites & Vectors.
Parasites & Vectors, 10(249), pp. 1–9. doi:
10.1186/s13071-017-2194-5.
Fidayanto, R. et al. (2013) 'Control Model of Dengue
Hemorrhagic Fever', Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 7(11), pp. 522–28.
Fionasari T; Arum S.J dan Yusnita M.A. (2012) Identifikasi
Serotipe Virus Dengue pada Nyamuk Aedes aegypti
Dan Aedes albopictus di Kota Salatiga Dengan
Metode RT-PCR. Salatiga.
Fontenille D, Failloux AB, R. (2007) 'Should we expect
Chikungunya and Dengue in Southern Europe?', in In:
Emerging Pests and Vector-Borne Diseases in Europe
Eds. Wageningen, The Netherlands.: TakkenW&
Knols BGJ. Wageningen Academic Publishers, pp.
169–184.
Franz AW, Kantor AM, Passarelli AL, C. R. (2015) 'Tissue
Barriers to arbovirus infection in mosquitoes', Viruses,
7(7), pp. 3741–67.
G, C. et al. (2008) 'Spatial and temporal dynamics of dengue
fever in Peru  : 1994 – 2006', Epidemiology and
Infection, 136(12), pp. 1667–77. doi:
10.1017/S0950268808000290.
Garcia-Rejon, C. M. B.-B. U.-G. C.-T. C. T. D. M.-W. M. T.-
C. C. N. E. (2017) 'Blood Feeding Status, Gonotrophic
Cycle and Survivorship of Aedes (Stegomyia) aegypti
(L.) (Diptera: Culicidae) Caught in Churches from
Merida, Yucatan, Mexico', Neotropical Entomology,
46(6), pp. 622–30.

109 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Greeg, M. (1996) Field Epidemiology. Edited by G. Richard
C, Dicker, Richard A. new york: oxford university
prees.
Grunnill M, B. M. (2016) 'How Important is Vertical
Transmission of Dengue Viruses by Mosquitoes
(Diptera: Culicidae)?', Jurnal Medical Entomology.,
53(1), pp. 1–19.
Halstead, S. B. (2008) Dengue. Edited by H. Geofrei, Pasfol
and Stephen L. London: imperial College Press.
Hanlim, L. and Ahmad, R. (2005) 'Transovarial transmition
of dengue virus in aedes aegypti and aedes albopictus
in relation to dengue outbreak in an urban area in
Malaysia', Dengue Bulletin, 29.
Hardy, JL, Honk , EJ, Kramer, LD, Reeves, W. (1983)
'Intrinsic factors affecting vector competence of
mosquitoes for arbovirus', Ann.Rev.entomol, 28, pp.
229–62.
Herman, R. et al. (2012) 'Sebaran Serotipe Virus Dengue di
Pontianak , Medan dan Jakarta Tahun 2008', Biotek
Medisiana Industri, 1(2), pp. 73–8.
Hikmawati, I, Hendro Wahjono, Martini Martini, S. H.
(2019) 'Analisis Survival Vektor Infecsius DENV-2
Melalui Artificial Inoculation', in The Future of
Nursing Care After The Covid-19 Pandemic.
Universitas Jenderal Soedirman.
Hikmawati, I, Pattima, S. (2018) 'Cross Sectional Study: The
Relationship Between Comorbidities and Hematocrit
with the Hospitalization of Patients of Dengue
Hemorrhagic Fever(DHF)', Advanced Science
Letters, 14(1), pp. 112–15.

Sjamsul Huda, S.Si 110


Hikmawati, I, Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S,
Darmana, E, Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J.
Umniyati, S. (2020) 'Rapid Detection of Dengue Virus
Transovarial Transmition from Nature and Artificial
Inoculation', Journal of Critical Reviews, 7(1), pp.
41–47.
Hikmawati, I, Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S,
Darmana, E, Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J.
(2019) 'Mortality Rate and Gonotropic Cycle Serotipe
Denv-2 Transovarial Transmission through
Intratoracal', Indian Journal of Public Health
Research & Development, 10(09), pp. 4–8.
Hikmawati, I. (2019) Persistensi Virus Dengue(DENV 1-2-
3-4) Transmisi Transovarial-Transgenerasional Pada
Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus
(Diptera: Culicidae). Universitas Diponegoro.
Hikmawati, I. and Purwito, D. (2013) 'Phenomenology
Study of Various Obstacle Efforts to Eliminate of
Dengue Haemoragic Fever in Banyumas Dictrict', in
NETS ( National Olympiade and International
Conference on Education Technology and Science.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah
Purwokerto, ISBN  : 978-602-14930-0-7, pp.
416–420.
Hikmawati, I. and Sholihah, Umi, Widhi Nirwansya, A.
(2015) 'Map Practice Prevention, Environmental
Conditions and index Density Larvae Community of
Endemic Dengue Haemorhagic Fever', in
Collaborative Approach to Improve Research and
Management of Chronic Diseases. Purwokerto:

111 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


University of Muhammadiyah Purwokerto-Pharmacy
International Conference(UMP-PIC), ISBN  : 978-
602-73538-0-0, pp. 191–8.
Hu W, Clements A, Williams G, T. S. (2011) 'Spatial analysis
of notified dengue fever infections', Epidemiology and
Infection, 139(3).
Hubbert, W. (2010) Disease transmitted from animal to man.
Springfield: Charles C Thomas Publish.
Janeiro, D. E. et al. (2007) 'Daily Survival Rates and
Dispersal of Ae AEGYPTI Female in Rio', Am J Trop
Med Hyg, 76(4), pp. 659–65.
Johnson, B. W. et al. (2005) 'Serotype-Specific Detection of
Dengue Viruses in a Fourplex Real-Time Reverse
Transcriptase PCR Assay', JOURNAL OF CLINICAL
MICROBIOLOGY, 43(10), pp. 4977–83. doi:
10.1128/JCM.43.10.4977.
Joshi, V., Mourya, D. T. and Sharma, R. C. (2002)
'Persistence Of Dengue-3 Virus Through Ttranovarial
Ttransmission Passage In Successive Generations Of
Aedes Aegypti Mosquitoes', Am J Trop Med Hyg,
67(2), pp. 158–61.
Kooi, B. and Stollenwerk, N. (2008) 'Epidemiology of
dengue fever  : A model with temporary cross-
immunity and possible secondary infection shows
bifurcations and chaotic behaviour in wide parameter
regions', Math. Model. Nat. Phenom, 3(1), pp. 1–3.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
Kusumawati, R. L. and Yulfi, H. (2009) Deteksi dan
Penentuan Virus Dengue dari Spsesimen Klinik di
Rumah Sakit Kota Medan dengan Menggunakan

Sjamsul Huda, S.Si 112


Metode Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR). Universitas Sumatra Utara.
Kyle, J. L. and Harris, E. (2008) 'Global Spread and
Persistence of Dengue', Annu.Rev.Microbiol, 62(4),
pp. 71–92.
Leopoldo MR (2004a) Pictorial keys for the identification of
mosquitoes(Diptera: Culicidae associated with
dengue virus transmission. Uuckland, New Zealand:
Mongolia Press.
Leopoldo MR (2004b) Pictorial keys for the identification of
mosquitoes (Diptera: Culicidae) associated with
dengue virus transmition. Auckland, New Zealand,:
Mongolia Press.
Lidiasani P. Mosesa, Angle Sorisi, V. D. P. (2016) 'Deteksi
transmisi transovarial virus dengue pada Aedes
aegypti dengan teknik imunositokimia di Kota
Manado', Jurnal e-Biomedik (eBm), 4(1), pp. 116–21.
Liu T, Xu Y, Wang X, Gu J, Yan G, C. X. (2018) 'Antiviral
systems in vector mosquitoes.', Dev Comp Immunol.,
83(6), pp. 34–43.
Maciel-de-freitas, R. et al. (2013) 'The Influence of Dengue
Virus Serotype-2 Infection on Aedes aegypti
(Diptera:Culicidae) Motivation and Avidity to Blood
Feed', Plos One, 8(6), pp. 6–10. doi:
10.1371/journal.pone.0065252.
De Majo MS1, Montini P, F. S. (2017) 'Egg Hatching and
Survival of Immature Stages of Aedes aegypti
(Diptera: Culicidae) Under Natural Temperature
Conditions During the Cold Season in Buenos Aires,
Argentina.', J Med Entomol, 54(1), pp. 106–13.

113 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Mashoedi, I. D., Djamán, Q. and Yusuf, I. (2009) 'Deteksi
Virus Dengue pada Telur Nyamuk Dewasa Aedes
spesies di Daerah Endemis DBD ( Studi Kasus di Kota
Semarang )', Sains Medika, 1(1), pp. 1–8.
Moore, P. R. et al. (2017) 'Dengue viruses in Papua New
Guinea  : evidence of endemicity and phylogenetic
variation , including the evolution of new genetic
lineages', Emerging Microbes & Infections. Nature
Publishing Group, 6(12), pp. 111–14. doi:
10.1038/emi.2017.103.
Mourya DT1, Gokhale, Basu A, Barde PV, Sapkal GN,
Padbidri VS, G. M. (2001) 'Horizontal and vertical
transmission of dengue virus type 2 in highly and
lowly susceptible strains of Aedes aegypti
mosquitoes', Acta Virol, 45(2), pp. 67–71.
Murray, NEA, Quam MB, Wilder, S. (2013) 'Epidemiologi
of Dengue  : Past, present and future prospects',
Clinical Epidemiologi, 5(1), pp. 299–309.
Muturi EJ, Buckner E, B. J. (2017) 'Superinfection
interference between dengue-2 and dengue-4 viruses
in Aedes aegypti mosquitoes.', Trop Med Int Health,
22(4), pp. 399–406.
Ngwe Tun MM, Muta Y, Inoue S, M. K. (2016) 'Persistence
of Neutralizing Antibody Against Dengue Virus 2
After 70 Years from Infection in Nagasaki', Biores
Open Access., 5(1), pp. 188–91.
Nova, P. and Martini (2012) 'Perbedaan Siklus gonotropik
dan Peluang Hidup Aedes sp di Kabupaten
Wonosobo', Ekologi Kesehatan, 11(3), pp. 194–201.
Nurfadly (2009) Deteksi dan penentuan serotipe virus

Sjamsul Huda, S.Si 114


dengue tipe 1 dari nyamuk Aedes aegypti dengan
menggunakan RT-PCR di Kota Medan. Universitas
Sumatra Utara.
Paisal, Reni Herman, Aya Yuriestia Arifin, Arie Ardiansyah,
Sari Hanum, Khairiah, Mukhlis Zuriadi, Y. (2015)
'Serotipe virus Dengue di Provinsi Aceh Dengue virus
serotype in Aceh Province', Aspirator, 7(1), pp. 7–12.
Polwiang S (2015) 'The seasonal reproduction number of
dengue fever: impacts of climate on transmission',
PeerJ, 3, pp. 2–15. doi: doi: 10.7717/peerj.1069.
eCollection 2015..
Prasetyowati, H. and Puji Astuti, E. (2010) 'Serotipe Virus
Dengue di Tiga Kabupaten / Kota Dengan Tingkat
Endemisitas DBD Berbeda di Propinsi Jawa Barat
Dengue Virus Serotypes in Three Districts /
Municipalities with Different Endemicity Level of
Dengue in West Java', Aspirator, 2(2), pp. 120–24.
Prince, H. E. and Matud, J. L. (2011) 'Estimation of Dengue
Virus IgM Persistence Using Regression Analysis',
CLINICAL AND VACCINE IMMUNOLOGY, 18(12),
pp. 2183–85. doi: 10.1128/CVI.05425-11.
Prommalikit O, T. U. (2015) 'Dengue Virus Virulence And
Diseases Severiy.', Southeast Asian J Trop Med Public
H e a l t , 4 6 ( 1 ) , p p . 3 5 – 4 2 . Av a i l a b l e a t :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
Purwaningsih, Sitti Rahmah Umniyati, B. M. (2019)
'Combined Target Site VGST Mutations Play A
Primary Role In Pyrethroid Resistant Phenotypes of
Aedes Aegypti As Dengue Vector From Palu City,
Central Sulawesi', Indonesia Journal of Tropical and
Infectious Disease, 7(5), pp. 93–98.

115 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


R. Rico, H. (2011) 'Dengue Virus Virulence and Transmition
Determinans', Curr Top Microbiol Immunol, 338(3),
pp. 45–55. doi: 10.1007/978-3-642-02215-9.
Raekiansyah, M. (2004) Variasi genetik virus dengue tipe 3,
Magister Program Studi Ilmu Biomedik pada Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Perpustakaan
Nasional RI. Universitas Indonesia. Available at:
http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=79
646&lokasi=lokal.
Rahayu, DF, Ustiawan, A. (2013) 'Identifikasi Aedes aegypti
dan Aedes albopictus', Balaba, 9(1), pp. 7–10.
Rahayu, A. et al. (2019) 'Prevalence and Distribution of
Dengue Virus in Aedes aegypti in Yogyakarta City
before Deployment of Wolbachia Infected Aedes
aegypti', (2009), pp. 1–12.
Ramirez JL, D. G. (2010) 'The Toll immune signaling
pathway control conserved antidengue defenses
across diverse Ae. aegypti strains and against multiple
dengue virus serotypes.', Dev Comp Immunol., Jun;
34.(6), pp. 625–9.
RI, K. (2019) 'Kemenkes Rilis Jumlah Korban DBD dari
2014 hingga 2019', Republika, p. 5.
Riska Amelia Okyana,Tri Baskoro Tunggul Satoto, Sitti
Rahmah Umniyati, Michail Bangs, R. F. (2018)
Perbandingan Indikator Entomologi pada Nyamuk
Aedes sp di daerah endemis dan non endemis di
Kabupaten Mimika, Papua, Magister Ilmu
Kedokteran Tropis, Universitas Gajah Mada.
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Sjamsul Huda, S.Si 116


Rodenhuis-Zybert I A, Wilschut J, S. J. (2010) 'Dengue Virus
Life Cycle: Viral and Host Factors Modulating
Infectivity', Cell Mol Life Sci, 67(2), pp. 2773–8.
Av a i l a b l e a t :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20372965.
Rosa, E. and Salmah, S. (2015) 'Detection of Transovarial
Dengue Virus with RT-PCR in Aedes albopictus (
Skuse ) Larvae Inhabiting Phytotelmata in Endemic
DHF Areas in West Sumatra , Indonesia', American
Journal of Infectious Diseases and Microbiology,
3(1), pp. 14–17. doi: 10.12691/ajidm-3-1-3.
Rosen, L, G. D. (1976) 'The use of mosquitoes to detect and
propagate dengue viruses', Am J Trop Med Hyg, 23,
pp. 1153–60.
Ruckert C, Bell Sakyi L, Fazakerley JK, F. R. (2014)
'Antiviral responses of arthropod vectors: an update on
recent advances', Virusdisease, 25(3), pp. 249–60.
Rückert, C. and Ebel, G. D. (2019) 'How do virus-mosquitos
interactions lead to viral emergence', Trends Parasitol,
3 4 ( 4 ) , p p . 3 1 0 – 2 1 . d o i :
10.1016/j.pt.2017.12.004.How.
Sánchez-Vargas I, Scott JC, Poole-Smith BK, Franz AW,
Barbosa-Solomieu V, Wilusz J, et al. (2009) 'Dengue
virus type 2 infections of Aedes aegypti are modulated
by the mosquito's RNA interference pathway.', PLoS
Pathog, 5(2), p. e1000299.
Satrisno, H. (2018) Analisis Spasial Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan Uji Kerentanan Aedes
aegypti Terhadap Malathion di Kota Magelang. Gajah
Mada, Yoyakarta.

117 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)


Scott TW1, Amerasinghe PH, Morrison AC, Lorenz LH,
Clark GG, Strickman D, Kittayapong P, E. J. (2000)
'Longitudinal studies of Aedes aegypti (Diptera:
Culicidae) in Thailand and Puerto Rico: blood feeding
frequency.', J Med Entomol, 37(1), pp. 89–101.
Seran MD, P. H. (2012) 'Transmisi Transovarial Virus
Dengue pada Telur Nyamuk Aedes aegypti.',
Aspirator, 4(2), pp. 53–8.
Setyabudi, R. and Hikmawati, I. (2016) 'Kesukaan Nyamuk
Aedes Aegypti Bertelur pada Kontainer Berwarna
Gelap dan Kontainer Tidak Berwarna Gelap',
Medisains, Fikes UMP, IV(2), pp. 14–22.
Severson DW, B. S. (2016) 'Genome Investigations of
Vector Competence in Aedes aegypti to Inform Novel
Arbovirus Disease Control Approaches.', Insects.,
7(4), p. E 58.
Simmons CP, Halstead SB, Rothman A, Harris E, Screaton
G, Rico-Hesse R, dkk. (2006) Report of the scientific
working group on dengue. Geneva, Switzerland:
World Health Organization.
Sinaga, Ledy Afrida, Umniyati, Siti Rahmah, Mulyaningsih,
B. (2018) 'Early Detection of Kdr Mutation in Dengue
Vector Aedes Aegypti Cypermetrin Resistant From
Dengue Endemic Area in Medan City, Noth Sumatera
Province, Indonesia', in World Insecticide Network,
International Conference. Singapura.
Siraj, A. S. et al. (2017) 'Temperature modulates dengue
virus epidemic growth rates through its effects on
reproduction numbers and generation intervals', PLoS
Negl Trop Dis, 11(7), pp. 1–19.

Sjamsul Huda, S.Si 118


Soedjoko Hariadhi (2005) Pola Distribusi Serotipe Virus
Dengue pada Beberapa Daerah Endemik di Jawa
Timur dengan Kondisi Geografi Berbeda. Universitas
Airlangga, Surabaya.
Sorisi, A. M. H., Umniyati, S. R. and Satoto, T. B. (2012)
'Transovarial Transmission Index of Dengue Virus on
Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes in
Malalayang District in Manado , North Sulawesi ,
Indonesia', TMJ, 01(02), pp. 87–95.
Strickman,D and Kittayapong, P. (2003) 'Dengue and its
vectors in Thailand: calculated transmition risk from
total pupae conts of Aedes aegypti and association of
wing, length measurements with aspects of the larva
habitat', Am J Trop Med Hygmj., 68(2), pp. 209–17.
Sucipto and Dani, C. (2009) Deteksi transmisi transovarial
virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti (diptera:
culicidae) jantan dan betina serta hubungannya
dengan incidence rate demam berdarah dengue di
kota pontianak, Magister Ilmu Kedokteran Tropis
Universitas Gajah Mada. Gajah Mada Yogyakarta.
Sunardi (2018) Prevalensi Transmisi Transovarial Dan
Tingkat Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
K e c a m a t a n G ro g o l K a b u p a t e n S u k o h a r j o .
Universitas Gajah Mada.
Telle, O. et al. (2016) 'The Spread of Dengue in an Endemic
Urban Milieu – The Case of Delhi , India', Plos One,
pp. 1–17.
Thenmozhi, V. et al. (2007) 'Natural Vertical Transmission
of Dengue Virus in Aedes albopictus ( Diptera  :
Culicidae ) in Kerala , a Southern Indian State',
Jpn.J.Infect.Dis, 60(5), pp. 245–49.
119 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Thongrungkiat, S., Maneekan, P. and Wasinpiyamongkol, L.
(2011) 'Prospective field study of transovarial dengue-
virus transmission by two different forms of Aedes
aegypti in an urban area of Bangkok , Thailand',
Journal of Vector Ecology, 36(1), pp. 147–52.
Triana, D., Umniyati, S. R. and Mulyaningsih, B. (2019)
'Resistance Status Of Aedes Aegypti To Malathion and
Cypermethrin In Bengkulu', Southeast Asian J Trop
Med Public Healt, 50(3), pp. 1–8.
Van-Mai Cao-Lormeau (2009) 'Dengue viruses binding
proteins from Aedes aegypti and Aedes polynesiensis
salivary glands', Virology Journal 2009, 6(35), pp.
4–7. doi: 10.1186/1743-422X-6-35.
Wang SF, Wang WH, Chang K, Chen YH, Tseng SP, Yen CH,
Wu DC, C. Y. (2016) 'Severe Dengue Fever Outbreak
in Taiwan.', Am J Trop Med Hyg, 94(1), pp. 193–7.
Wanti, Oktovianus Sila, Irfan, E. S. (2016) 'Transovarial
Transmiion and Dengue Virus Serotypes In Aedes
Aegypti In Kupang', Jurnal Kesehatan Masyarakat,
12(1), pp. 131–8.
Withchom J, S. C. (2011) 'The Pathogenesis of dengue',
Vaccine, 29(42), pp. 7221–8.
Yulianti, P. (2016) Analisis Sebaran Kasus Dan Faktor
Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Dengan Keberadaan Nyamuk Aedes spp. Di
Kelurahan Mayang Mangurai Kota Jambi.
Universitas Gajah Mada

Sjamsul Huda, S.Si 120

Anda mungkin juga menyukai