Judul Buku : The Globalisation of World Politics, Issue: 5th edn Penulis : Michael Sheehan Penerbit : Oxford University Press Tempat Terbit : Oxford Tahun Terbit : 2014 Bab “The Changing Character of War” terbagi menjadi tujuh judul sub bab, yakni sub bab pengenalan, definisi, sifat perang, revolusi urusan militer, perang post-modern, perang baru, dan kesimpulan. Sesuai dengan namanya, sub bab pengenalan memberikan gambaran umum mengenai tema perubahan karakter perang. Pertama-tama, Sheehan mengemukakan mengenai alasan pentingnya pembahasan mengenai tema tersebut. Sheehan mengutip pernyataan dari seorang pemikir strategis Inggris bernama Basil Liddell Hart bahwa sesorang yang menginginkan perdamaian harus terlebih dahulu memahami perang. Selain itu, meski situasi perang secara umum mengalami penurunan, keberadaannya masih terlihat dengan beberapa perubahan apabila dibandingkan dengan kondisi ketika perang dingin. Setelah perang dingin, frekuensi dan jumlah kematian akibat perang telah menurun drastis. Perang antara kekuatan besar terutama sangat kecil kemungkinannya terjadi. Pemain kunci dalam hubungan internasional pun mengalami perubahan dengan Amerika Serikat sebagai hegemon yang diikuti dengan proses amerikanisasi. Selain itu, muncul aktor-aktor non-negara yang membawa perubahan terhadap bentuk perang. Perang sebelumnya hanya merujuk kepada bentuk kekerasan dari politik, yakni cara negara menyelesaikan permasalahan diantara mereka dengan penggunaan kekuatan militer untuk bertahan ataupun memberi peringatan. Namun, setelah perang dingin muncul ancaman-ancaman seperti terorisme, pemberontakan, dan krisis internal yang juga menuntut penggerakan kekuatan militer. Selain itu, istilah lapangan perang juga berubah menjadi ruang perang dikarenakan peningkatan teknologi komunikasi yang memunculkan medan perang baru, yakni dunia maya dan media global. Dengan demikian, perubahan sistem internasional pasca perang dingin membawa perubahan bagi karakter perang. Dalam sub bab pertama mengenai pengenalan, terdapat satu kotak berisi wawasan mengenai keusangan perang karena dalam pemaparan utama dijelaskan bahwa perang lebih jarang terjadi pasca perang dingin. Dijelaskan bahwa terdapat dua alasan dibalik kondisi tersebut, yakni pembentukan komunitas keamanan dan ketakutan akan efek dari perang nuklir. Di akhir sub bab pengenalan juga terdapat kotak yang merangkum bagian-bagian terpenting dari pemaparan dalam bentuk poin-poin. Selanjutnya, sub bab kedua memiliki judul definisi yang mencakup pembahasan berbagai definisi perang oleh para ahli, diantaranya Quincy Wright, Clausewitz, dan Hedley Bull. Wright mengartikan perang sebagai kontak kekerasan antara entitas yang berbeda tetapi serupa. Namun, definisi Wright dianggap kurang spesifik sebab jika definisi tersebut digunakan maka bentrokan antara dua geng jalanan juga dapat termasuk ke dalam kategori perang. Definisi dari Clausewitz dianggap lebih membantu dalam menggambarkan perang. Clausewitz mendefinisikan perang sebagai tindakan penggunaan kekerasan yang bertujuan untuk memaksa lawan kita dalam memenuhi keinginan kita dan merupakan kelanjutan dari hubungan politik. Sementara itu, Bull mendefinisikan perang sebagai kekerasan terorganisir oleh unit politik terhadap satu sama lain. Sulit menentukan definisi mana yang dapat mewakili istilah perang sepenuhnya. Sebelumnya, definisi Clausewitz dan Bull dapat dengan mudah disebutkan sebagai definisi perang yang benar. Namun, dengan kemunculan aktor-aktor non negara, perang menjadi semakin kompleks dan diperlukan skala yang jelas dalam menentukan suatu konfrontasi dapat dikatakan sebagai perang atau tidak. Dalam sub bab ini tidak terdapat kotak tambahan wawasan tetapi seperti sub bab sebelumnya, terdapat kotak ringkasan yang berisi dua poin utama dari pemaparan mengenai definisi perang, yakni perang di era kontemporer sulit didefinisikan dan perang merupakan bentuk kekerasan dari politik. Sub bab ketiga berjudul sifat perang yang membahas lebih dalam mengenai alasan yang mendasari terjadinya perang dan perubahan sifat politik perang sebagai dampak dari globalisasi. Menurut Clausewitz, perang bukan sembarang kekerasan melainkan merupakan keputusan yang dibuat secara sadar untuk mencapai tujuan politik yang rasional. Selaras dengan yang telah disampaikan dalam sub bab sebelumnya, pemahaman Clausewitz sebelumnya dengan mudah dianggap benar tetapi seiring dengan perubahan pemahaman terhadap politik di era post-modern, karakter perang juga mengalami perubahan. Di era post-modern, media memegang peranan penting dalam membingkai pemahaman masyarakat terhadap konflik. Peliputan kekerasan internasional secara terus menerus melemahkan aspek hukum, moral, dan batasan politik terhadap penggunaan kekerasan sehingga menormalisasi kejadian besar seperti perang. Perang sesungguhnya merupakan kegiatan yang paradoks sebab mengandung unsur kekerasan tetapi juga kerja sama yang kompleks. Perang juga melibatkan penggunaan hukum bahkan hingga terbentuk sebuah badan hukum internasional yang berfungsi mengekang dan mengatur penggunaan kekerasan ketika perang. Selain itu, terdapat berbagai faktor yang mendasari terjadinya perang, seperti nasionalisme, konflik antar-kelas, dan sifat manusia. Perang tidak terjadi dengan sendirinya melainkan terdapat keputusan rasional yang mendasarinya. Sebagian besar analis perang percaya bahwa sifat perang selalu sama, yang dapat berubah adalah karakter perang. Sifat perang merujuk pada elemen konstan dan universal yang terdapat pada setiap perang terlepas dari tempat dan waktu, seperti kekerasan, kesempatan, dan ketidakpastian. Sementara, karakter perang terkait dengan elemen non-permanen, berbeda tergantung situasi, dan adaptif yang membuat setiap perang unik. Pada sub bab ini terdapat satu kotak tambahan wawasan dengan judul pandangan Thucydides terhadap perang berkaitan dengan pembahasan mengenai sifat perang. Thucydides melihat bahwa perang hanya mengalami sedikit perubahan, perang pada dasarnya tetap merupakan keputusan politik yang rasional. Pada sub bab ini pula terdapat kotak ringkasan pembahasan sub bab dalam bentuk empat poin kunci. Sub bab keempat dengan judul revolusi urusan militer membahas mengenai konsep “revolution in military affairs” atau RMA. Konsep tersebut menjadi populer setelah kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Teluk tahun 1991. Mantan menteri pertahanan Amerika Serikat, William Cohen mendefinisikan RMA sebagai transformasi secara fundamental strategi, doktrin militer, pelatihan, pendidikan, organisasi, peralatan, operasi, dan taktik untuk mencapai hasil yang telah ditentukan. Sebagian besar literatur RMA berfokus pada implikasi dan perkembangan teknologi sebagai refleksi dari realita, salah satunya adalah keunggulan teknologi Amerika Serikat dibandingkan lawannya dalam konflik Kuwait, Serbia, dan Irak. Teknologi yang dimaksud terutama adalah teknologi komputasi, ruang angkasa, dan komunikasi yang memungkinkan Amerika Serikat memeroleh informasi mengenai musuhnya hingga pada tingkatan yang belum pernah dilihat pada perang-perang sebelumnya, meningkatkan keakuratan penargetan sistem persenjataan, dan memudahkan kontrol pasukan di lapangan. Lawan yang tidak memiliki akses terhadap teknologi tersebut kemungkinan akan menggunakan respon asimetris untuk berperang secara efektif. Dalam perang manapun, kekuatan relatif kombatan menjadi penentu hasil akhirnya. Beberapa kombatan bahkan tidak berupaya mengalahkan kekuatan lawan melainkan memanipulasi kekerasan untuk menurunkan moral lawan dan membuat mereka menyerah. Sheehan memberikan contoh studi kasus perang Irak pada tahun 2003 yang mengilustrasikan penggunaan teknologi canggih dan sistem informasi yang memudahkan Amerika Serikat dalam mendominasi perang. Meski demikian, perang tidak berakhir dengan Irak yang menyerah melainkan memunculkan perang asimetris dengan pemberontak yang menggunakan media global untuk memanipulasi persepsi terhadap karakter dan strategi terorisme dan destabilisasi. Pada sub bab ini terdapat dua kotak tambahan wawasan dengan judul perang asimetris dan revolusi urusan militer: catatan peringatan. Kotak pertama memberikan wawasan tambahan mengenai perang asimestris yakni kondisi ketika dua kombatan sangat berbeda dan memiliki keuntungan komparatif di areanya masing-masing. Sementara itu, kotak kedua mencantumkan catatan peringatan dari Benjamin Lambeth untuk memperhatikan pula aspek organisasi, konseptual, dan manusia lainnya dalam perang. Terakhir, sub bab ini juga memiliki kotak berisi poin-poin kunci. Sub bab kelima berjudul perang post-modern yang membahas mengenai karakteristik atau fitur dari perang post-modern dan kemungkinan perkembangannya. Salah satu fitur dari perang post-modern adalah peningkatan penggunaan media. Media berperan penting dalam membentuk persepsi terhadap perang tertentu sehingga para pihak dalam perang berupaya untuk memanipulasi media. Jurnalis pun berperan aktif dan menghadapi bahaya yang sama dengan tentara. Fitur lainnya dalam perang post-modern adalah peningkatan “outsourcing” dalam perang. Semakin banyak negara yang menghubungi perusahaan swasta, yakni perusahaan militer yang diprivatisasi atau PMF. PMF menjual berbagai layanan terkait perang. Ratusan PMF telah beroperasi di 50 negara pasca perang dingin. Kondisi tersebut merefleksikan tren global menuju privatisasi aset publik. Keterlibatan PMF terbukti telah memengaruhi hasil akhir perang di Angola, Kroasia, Ethiopia, dan Sierra Leone. Perubahan-perubahan tersebut memicu pemikiran akan kemungkinan perang virtual. Kemungkinan perang virtual dengan sedikit kerugian merupakan pilihan yang menarik tetapi sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk direalisasikan. Freedman menegaskan bahwa teknologi baru tidak menawarkan prospek perang virtual yang hanya melibatkan penggunaan informasi dan tidak terdapat kekerasan sama sekali. Perang selalu melibatkan kekerasan secara fisik. Pada sub bab ini terdapat satu kotak tambahan wawasan dengan judul globalisasi dan perang yang memberikan catatan tambahan mengenai dampak globalisasi terhadap perang dengan adanya keterlibatan laporan internasional, pasukan pedagang, penasihat militer, relawan diaspora, dan organisasi internasional non-pemerintah (NGO). Sama seperti pada sub bab-sub bab sebelumnya, sub bab ini juga diakhiri dengan kotak yang berisi poin-poin kunci pembahasan. Sub bab keenam dengan judul perang baru membahas mengenai kategori perang baru yang muncul sejak pertengahan 1980-an. Perang ini dicirikan dengan disintegrasi negara dan perebutan kontrol atas negara. Sebagian besar perang baru didorong oleh faktor budaya dan identitas. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya perang sejak tahun 1990 adalah tuntutan dari berbagai kelompok atas penentuan nasib sendiri. Perempuan dan anak juga berperan lebih aktif dengan menjadi personel militer. Konflik yang memicu perang baru umumnya terjadi di negara-negara miskin atau terbelakang. Hal tersebut dikarenakan pada kondisi kemiskinan, kekuatan pemerintah melemah dan korupsi serta tindakan kriminal meningkat, akses terhadap senjata menjadi lebih mudah, tindakan kriminal terorganisir meningkat, sehingga meruntuhkan legitimasi politik. Situasi ini sebelumnya telah terjadi tetapi meningkat drastis akibat globalisasi yang melemahkan kekuatan negara, menciptakan ekonomi parallel, dan proteksi privat. Melihat kondisi ini, para pengamat mengemukakan bahwa perang baru lebih didorong oleh motivasi ekonomi dibanding politik. Pada sub bab ini terdapat satu kotak tambahan wawasan dengan judul negara tingkat ketiga yang mencantumkan pengelompokan negara ke dalam tiga tingkatan oleh Steven Metz yang berkaitan dengan pembahasan negara terbelakang yang lebih beresiko mengalami konflik yang memicu perang baru. Metz membagi negara menjadi tiga kelompok, yakni tingkat pertama adalah negara dengan kondisi ekonomi dan politik yang stabil, tingkat kedua dengan kondisi ekonomi dan politik yang sebagian besar stabil, dan tingkat ketiga yakni negara yang pemerintahnya telah kehilangan kontrol dan kekuatan non-pemerintah telah beroperasi dengan bebas. Tentunya perang baru lebih besar kemungkinannya terjadi pada negara tingkat ketiga. Sub bab ini pun diakhiri dengan kotak poin-poin kunci pembahasan. Sub bab terakhir adalah kesimpulan yang mencakup kesimpulan, pertanyaan-pertanyaan, dan panduan referensi untuk pembaca yang ingin mendalami topik-topik tertentu terkait dengan pembahasan dalam bab ini. Sheehan menyimpulkan bahwa berakhirnya perang dingin tidak merubah secara signifikan pola dominan dari perang dan sebagian besar konflik yang dikategorikan sebagai perang baru telah ada sebelumnya tetapi baru mendapat perhatian barat setelah berakhirnya perang dingin dengan tambahan teknologi revolusi urusan militer. Meski perang telah berkurang dampaknya dan lebih jarang terjadi, perang tetap merupakan bentuk kekerasan dari politik. Sub bab ini juga mencantumkan pertanyaan-pertanyaan terkait pembahasan-pembahasan dalam sub bab sebelumnya untuk membantu pembaca memastikan pemahamannya terhadap materi yang telah dipaparkan. Terakhir, terdapat panduan referensi- referensi yang dapat digunakan pembaca untuk mendalami topik tertentu terkait dengan pembahasan dalam bab. Salah satunya adalah rekomendasi tulisan dari Biddle dengan judul “Kekuatan Militer: Menjelaskan Kemenangan dan Kekalahan dalam Peperangan Modern” yang dikatakan memiliki pembahasan yang menarik mengenai analisis teknik dan teknologi yang membantu pihak penyerang dan bertahan dalam mencapai kemenangan dalam perang modern. Secara umum bab ini informatif dan mudah dipahami. Pembahasan dalam setiap bab memberikan contoh-contoh kasus nyata yang membantu pembaca dalam memahami penjelasan penulis. Selain itu, terdapat pula kotak berisi tambahan wawasan yang membantu pembaca dalam memahami istilah atau ide penting dalam pembahasan, seperti wawasan mengenai perang asimetris, dan negara tingkat ketiga. Bab terbagi ke dalam tujuh sub bab yang dilengkapi dengan kotak berisi poin-poin kunci dari pembahasan untuk memastikan pembaca memahami bagian terpenting dari pembahasan sebelum melangkah kepada pembahasan topik berikutnya. Kotak poin-poin kunci terutama membantu memastikan bagian terpenting dari pembahasan yang ingin disampaikan oleh penulis tersampaikan kepada pembaca. Istilah-istilah penting dalam setiap sub bab pembahasan juga dicetak tebal dengan warna yang berbeda sehingga pembaca dengan mudah mengetahui bahwa istilah tersebut penting untuk dicatat. Hanya saja dikarenakan terdapat perbedaan warna, yakni terdapat beberapa istilah yang dicetak tebal biru dan yang lainnya dicetak tebal berwarna hitam, akan lebih baik jika penulis memberikan penjelasan mengenai maksud dari penggunaan warna tertentu pada istilah tertentu. Namun, hal tersebut tidak merubah pendapat awal bahwa bab ini mudah dipahami bahkan untuk pembaca pemula yang memiliki pengetahuan terbatas mengenai perang dan hubungan internasional.