Kolaboratif Aceh
Kolaboratif Aceh
ABSTRACT
Based on the mandate of the Minister of Home Affairs Regulation Number 42 of
2010 concerning the Establishment of a Provincial and Regency/City Poverty
Reduction Coordination Team, the Aceh Government has formed a Poverty
Reduction Acceleration Coordination Team as a cross-stakeholder forum in
alleviating poverty in Aceh Province. However, the existence of the team has not
been able to achieve the goal of its formation, namely to reduce poverty in the Aceh
Province. This is evidenced through the publication of the Central Statistics Agency
that in recent years the poverty rate in Aceh Province has never experienced a
significant decline. The purpose of this study is to find out the implementation of
poverty reduction in Aceh Province by the Coordination Team for the Acceleration
of Poverty Reduction in a collaborative governance approach and its obstacles. This
study uses Ansell and Gash's collaborative governance theory, namely starting
conditions, institutional design, facilitative leadership, collaboration processes, and
outcomes. The method used is qualitative. The results show that the principles of
collaborative governance in poverty reduction collaboration in Aceh have not been
implemented properly, this is marked by an imbalance of authority in the
collaboration process because it is still dominated by the government, and there is
no innovative policy from the Governor of Aceh as a leader to facilitate and control
the implementation overall collaboration. Through the entire collaboration process,
the resulting outcomes are the implementation of poverty reduction based on
Integrated Social Welfare Data (DTKS) as well as multi-stakeholder participation in
a poverty reduction program. The obstacles found were the absence of updating the
Integrated Social Welfare Data (DTKS) and the low synergy between governments
in the implementation of poverty reduction. Therefore, it is hoped that there will be
active steps from the Governor of Aceh as the leader to make innovative policies
related to the involvement of external government parties from the beginning to the
end of the collaboration process, in addition to the need for policies related to full
control of performance between government agencies, in other hand also expected
to facilitate the development of the REGSOSEK program and create a special team
for updating data on the poor in Aceh Province.
PENDAHULUAN
Kemiskinan yang berkelanjutan seolah sudah menjadi jati diri dari sebagian
besar penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan di Indonesia tidak pernah benar-
benar mengalami penurunan yang signifikan. Hingga tahun 2021, penduduk miskin
di Indonesia telah mencapai angka 27,54 juta jiwa. Terciptanya masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera memang merupakan bagian dari cita-cita dibentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu upaya untuk mencapai
tujuan tersebut yaitu dengan cara pemberantasan kemiskinan melalui berbagai
program pembangunan, namun hingga saat ini kemiskinan seolah masih menjadi
masalah berkepanjangan yang terus-menerus dihadapi oleh masyarakat di
Indonesia.
Pemerintah pada dasarnya telah sejak lama menetapkan berbagai kebijakan
sebagai upaya memberantas kemiskinan di Indonesia dalam bentuk konsep tata
kelola kolaboratif atau collaboratif governance. Berdasarkan pernyataan Islamy (2018)
dalam Saufi (2021: 84), collaborative governance atau pemerintahan yang kolaboratif
diartikan sebagai sebuah keseimbangan antara sumberdaya maupun kewenangan
antara para pihak yang memiliki kepentingan dan melakukan intervensi kepada
kelompok yang memiliki keterbatasan sehingga adanya sifat ketergantungan dalam
mengatasi suatu persoalan lewat keputusan yang kolektif dan kesepakatan
bersama.
Pemerintah Indonesia kemudian mewujudkan konsep collaborative governance
dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah membentuk
kelembagaan koordinasi penanggulangan kemiskinan berupa Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang merupakan tim lintas
sektor dan lintas antara pemangku kepentingan di tingkat pusat untuk melakukan
percepatan penanggulangan kemiskinan (tkp2k.acehprov.go.id).
Secara lebih lanjut, pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor
15 Tahun 2010, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota diberikan kewenangan
dalam pembentukan struktur kelembagaan koodinasi sesuai dengan kebutuhan
daerah masing-masing. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 42 tahun 2010 tentang Tim Koordinasi
Penangulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mengamanahkan
agar Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk Tim
Koordinasi Penangulangan Kemiskinan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
(tkp2k.acehprov.go.id).
Salah satu daerah yang juga membentuk Tim Koordinasi Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan yaitu Provinsi Aceh, yang mana dalam beberapa
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
tahun belakangan ini Aceh berada dalam kondisi persolaan kemiskinan yang cukup
memperihatinkan. Melalui salah satu publikasi Serambinews.com (Dinamika, 2021),
Aceh disebut sebagai Provinsi termiskin di Sumatera. Pernyataan ini didasarkan
pada persentase angak kemiskinan di Provinsi Aceh dalam beberapa tahun terakhir
merupakan yang paling tinggi diantara Provinsi lain di Pulau Sumatera.
Kenyataan bahwa Provinsi Aceh telah membentuk Tim Koordinasi Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan di Aceh namun persentase angka kemiskinan di Aceh
merupakan yang tertinggi dibandingkan Provinsi lain di Pulau Sumatera dalam
beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa Tim Koordinasi Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan Aceh belum mampu mencapai tujuan dari
pembentukan tim yaitu untuk melakukan koordinasi dan mengendalikan
pelaksanaan penaggulangan kemiskinan di Provinsi Aceh.
Padda hakikatnya keberadaan Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan seharusnya mampu mewujudkan tujuan dari pembentukan tim
tersebut. Oleh karena itu, persoalan yang harus diperhatikan yaitu berkaitan
dengan pelaksanaan penangggulangan kemiskinan di Provinsi Aceh yang
dilaksanakan oleh Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dalam
kaitannya sebagai bentuk collaborative governnance atau tata kelola kolaboratif.
Sehingga pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dapat berjalan lebih maksimal
serta menurunkan persentase angka kemiskinan di Provinsi Aceh
TINJAUAN PUSTAKA
1. Collaborative Governance
Kolaborasi diambil dari kata co dan labor, dimana berdasarkan pernyataan
O’Leary (2010) dalam Wargadinata (2016: 7) dapat diartikan sebagai penggabungan
tenaga untuk mencapai tujuan bersama, kata kolaborasi seringkali digunakan untuk
pekerjaan yang bersifat lintas batas, lintas sektor, lintas hubungan. Maka dapat
dipahami bahwa kolaborasi merupakan suatu pekerjaan atau kegiatan berupa
penggabungan tenaga beberapa pihak lintas sektor atau kelompok kerja untuk
mencapai tujuan secara bersama-sama.
Definisi collaborative governance menurut Ansell dan Gash (2007) adalah bahwa
kolaborasi pemerintahan merupakan bentuk tata kelola pemerintahan yang
melibatkan satu atau lebih agen publik atau non publik dalam sekumpulan proses
pengambilan kebijakan secara formal, berorientasi konsensus, dan konsultatif yang
bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan ataupun mengelola
program-program publik atau aset publik (Hanafi, 2020: 67).
Berdasarkan pernyataan Ansell dan Gash (2007), dapat dipahami bahwa
proses kolaboratif dimulai dengan adanya ketergantungan antara para pemangku
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
Participatory Inclusiveness,
Forum Exclusiveness, Clear
Institutional Design Ground Rules, Process
Transparancy
Collaborative Process
Starting
Conditions Trust-Building Commitment to Process
-Mutual recognition of
Power-Resource- interdependence
Knowledge -Shared Ownership of
Process
-Openness to Exploring
Outcom
Face-to-Face Dialogue
Asymmetries Mutual Gains
-Good Faith Negotiation
Incentives for and es
Constraints on
Participation
Intermediate Outcomes Shared Understanding
-“Small Wins” -Clear Mission
Prehistory of -Common ProblemDefinition
-Strategic Plans
Cooperation or -Identification of
-Joint Fact-Finding
Conflict (initial Common Values
trust level)
Facilitative Leadership
1. Starting Condition
Starting condition atau kondisi awal yang dimaksud oleh Ansell dan Gash
(2007) dalam La Ode (2018:13) yaitu bertujuan untuk melihat bagimana perbedaan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
siklus dalam proses kolaborasi dapat berubah sesuai dengan hasil yang diperoleh
yang dapat mempengaruhi strategi lebih lanjut yang akan dilaksanakan. Beberapa
siklus dalam proses kolaborasi diantaranya:
1) Face-to-Face Dialogue
Ansell dan Gash (2007) dalam Alfiandri (2019 : 44-45) menjelaskan bahwa
sebagai suatu proses yang berorientasi pada konsensus, komunikasi mendalam
pada saat berdialog sangat dibutuhkan bagi setiap stakeholder untuk mengahasilkan
kesempatan memperoleh keuntungan bersama serta meningkatkan rasa
kepercayaan dan kerjasama antar para anggota.
2) Trust Building
Ansell dan Gash (2007) seperti yang dikutip oleh Hardi (2020: 78) membangun
rasa saling percaya agar proses kolaborasi sangat penting untuk dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan. Trust building dapat diupayakan melalui face to
face dialogue.
3) Commitment to Process
Komitmen dapat dikatakan sebagai motivasi awal bagi pemangku
kepentingan untuk bergabung dalam proses kolaborasi. Ansell dan Gash (2007)
dalam Alfiandri (2019: 46-47) menyatakan bahwa berkomitmen pada proses artinya
setiap pemangku kepentingan sejak awal bersedia secara penuh untuk
melaksanakan segala hal sesuai dengan ketetapan pada proses kolaborasi.
4) Shared Understanding
Ansell dan Gash (2007) sebagaimana yang dikutip dalam Hardi ( 2020: 78-79)
menyatakan bahwa dalam pemerintahan kolaboratif, para pemangku kepentingan
harus berupaya untuk saling berbagi pemahaman tentang apa yang harus
diwujudkan.
5) Intermediate Outcomes
Intermadiate outcomes atau dapat diartikan sebagai hasil sementara dari proses
kolaborasi, berdasarkan pemahaman Ansell dan Gash (2007) dalam Hardi (2020: 79)
dapat diartikan sebagai suatu unsur penting karena hal ini dapat menjadi tolak ukur
atas tindakan lanjutan yang nantinya akan diupayakan kembali pada proses
kolaborasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
5. Outcomes
Outcomes pada model Ansell and Gash (2007) dapat dipahami sebagai hasil
akhir yang diperoleh melalui pelaksanaan collaborative governance atau tata kelola
kolaboratif dalam pemerintahan yang dilakukan sebagai upaya penyelesaian
masalah publik yang kompleks. Hasil akhir dari proses kolaborasi diharapkan
mampu diwujudkan sesuai dengan tujuan pelaksanaan dengan berdasarkan pada
aspek-aspek yang harus dipenuhi selama proses collaborative governance berjalan.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Jenis penelitian
deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang
tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau
kecenderungan yang tengah berkembang (Sidiq, dkk, 2019: 4). Metode
pengumpulan data dikumpulkan diperoleh dari sudut pandang informan
melalui observasi tidak langsung, wawancara, dan juga dokumentasi.
Sumber data diambil dari data primer yaitu berupa hasil wawancara dengan
narasumber atau informan penelitian, serta digunakan juga data sekunder
yang bersumber dari buku, jurnal, skripsi dll.
Informan Penelitian ialah stakeholder pada UPK-TKP2K Aceh,
Stakeholders Biro Sekretariat Daerah Aceh, Stakeholder Dinas Pertanian dan
Perkebunan Aceh, Stakeholders Dinas Sosial Aceh, Stakeholders Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong, Stakeholder BPS Aceh, Stakeholder Dinas
Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Stakeholder Dinas Perumahan
Rakyat dan Kawasan Permukiman, Koordinator Konsorsium Perguruan Tinggi,
Provicial Coordinator Kompak Aceh, Swasta. Teknik Analisis data menggunakan
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
1. Starting Condition
Ketentuan atas kondisi awal pembentukan Tim Koordinasi Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan Aceh beserta dengan kegiatan kolaborasi antara para
pihak yang bergabung dalam kegiatan koordinasi percepatan penanggulangan
kemiskinan Aceh pada hakikatnya memang menjadi keputusan Pemerintah Aceh,
sebagaimana ketentuan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 yang
memberikan kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk struktur
kelembagaan sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.
Pemerintah Aceh dalam menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat
mengani pembentukan Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,
telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan dalam tim, tupoksi tiap
anggota, hingga proses pelaksanaan yang disesuaikan hal-hal yang memang
dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan kolaborasi. yang melibatkan berbagai
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
pihak lintas sektor dalam penanggulangan kemiskinan di Provinsi Aceh. Selain itu,
Berbagai ketentuan tersebut diputuskan oleh Pemerintah Aceh melalui kesepakatan
berasama seluruh pihak yang terlibat.
1) Power-Resource-Knowledge
Gambar 4.2 Sumberdaya dalam Penanggulangan Kemiskinan di Aceh
2) Incentive to Participate
Incentive yang mempengaruhi setiap pihak dari latar belakang yang berbeda
untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan kolaborasi penanggulangan kemiskinan di
Aceh cenderung dipengaruhi oleh kepatuhan terhadap ketentuan atau peraturan
yang berlaku, sedangkan bagi pihak non pemerintah, yang mempengaruhi
keterlibatan dalam bekerjasama dengan pemerintah yaitu karena adanya kesadaran
atas kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki serta adanya kepercayaan atas
hasil yang akan diperoleh bersama.
3) Prehistory of Antagonism and Cooperation
Berkaitan dengan latarbelakang kerjasama dan riwayat pertentangan akibat
perbedaan latarbelakang dan sumberdaya dalam kegiatan kolaborasi anta
pemerintah dan pihak non pemerintah nyatanya bukan menjadi hambatan, justru
hal tersebut dapat membentu pelaksanaan penanggulangan kemiskinan karena
adanya dukungan sumberdaya yang tidak dapat dipenuhi oleh satu pihak saja.
Perbedaan pendapat yang mengahasilkan pertentangan dalam suatu kegiatan
justru membantu melahirkan suatu kebijakan yang lebih efektif dan efesien.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
2. Fasilitative Leadership
Bentuk fasilitatif leadership dari Gubernur Aceh sebagai penanggungjawab
pelaksanaan kolaborasi dalam penanggulangan kemiskinan sejauh ini adalah
berupa pengawasan yang dilakukan serta persetujuan ataupun keputusan atas
segala kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kolaborasi baik berupa
kebijakan yang dihasilkan dari kegiatan koordinasi antara instansi melalui rapat
koordinasi Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Selain itu,
seluruh pelaksanaan kolaborasi difasilitasi dan diawasi melalui
pertanggungjawaban dari pihak Upk-TKP2K Aceh.
3. Institutional Design
Intitutional Design atau dapat diartikan sebagai desain lembaga menurut
Ansell dan Gash (2007) meliputi keanggotaan dalam lembaga, aturan dasar yang
mendukung, serta pelaksanaan yang transparan. dimana hal ini menjadi legitimasi
prosedur utama terhadap suatu proses kolaborasi. Dalam hal ini, desain
kelembagaan Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Aceh
mengikuti amanat dari aturan dasar yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Pusat
dan ketetapan atau SK Gubernur Aceh.
Melalui hasil penelitian diketahui bahwa keanggotaan dalam lembaga
didominasi oleh pihak pemerintah, keterlibatan pihak eksternal pemerintah
disesuaikan dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak serta sesuai aturan
yang berlaku. Sedangkan aturan dasar kelembagaan yaitu mengacu pada peraturan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Serta terkait transparansi peroses
pelaksanaan dipastikan melalui laporan antar pihak serta laporan kepada
penanggungjawab yaitu Gubernur Aceh.
4. Collaboration Process
Collaboration Process yang berarti proses kolaborasi dapat dipahami sebagai
suatu tahapan-tahapan dalam kolaborasi. Tahapan tersebut dapat berupa siklus
yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Ansell dan Gash (2007)
menjelaskan bahwa proses kolaborasi itu dimulai melalui diskusi tatap muka (face
to face dialogue) berupa rapat koordinasi dan rapat kerja, dimana hal ini bertujuan
untuk membangun rasa rasa kepercayaan (trust building), komitmen (comitment to
process), pemahaman bersama (shared understanding) setiap pihak yang terlibat untuk
mencapai hasil sementara yang nantinya secara berkesinambungan akan
mempengaruhi keseluruhan proses kolaborasi hingga hasil akhir dari tujuan
pelaksanaan kolaborasi tersebut dapat diwujudkan.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alfiandri, A., Akbar, D., & Ikhsan, K.. (2019). Collaborative governance: Suatu konsep
penguatan kelembagaan dalam dunia investasi. Tanjungpinang: Umrahpress.
Bhinadi, A. (2017). Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
Deepublish.
Gunawan, I. (2013). Metode penelitian kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara.
Habibah, E. (2021). Collaborative Governance: Konsep & Praktik dalam Pengelolaan Bank
Sampah. Jawa Tengah: Pustaka Rumah Cinta.
Hardi, W. (2020). Collaborative Governance Dalam Perspektif Administrasi Publik.
Semarang: Universitas Diponegoro Press.
Khomsan, A., Dharmawan, A. H., Sukandar, D., & Syarief, H. (2015). Indikator
Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 7, Nomor 4, September 2022
www.jim.unsyiah.ac.id/Fisip
ATURAN HUKUM
Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 tahun 2010 tentang Tim Koordinasi
Penangulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
ARTIKEL MEDIA
Dinamika, Y. (2021). Aceh Kembali Jadi Provinsi Termiskin di Sumatra, Kepala Bappeda:
Kenaikan Lebih Rendah dari Nasional. Diakses dari https://aceh.tribunnews.com/
Putri, C. A. (2021, Agustus 30). BPS: Banyak Anak Muda Nganggur & Kemiskinan
Ekstrem di Jawa. CNBC Indonesia. Diakses dari
https://www.cnbcindonesia.com/
Safrina. (2021). Peningkatan Angka Kemiskinan di Aceh Masih Lebih Baik dari Rata-rata
Nasional. Diakses dari https://acehprov.go.id/
DOKUMEN WEBSITE
BPS. (2021). Persentase Penduduk Miskin (P0) Menurut Provinsi dan Daerah 2020-2021.
Di akses dari https://www.bps.go.id/indicator/23/192/1/persentase-penduduk-
miskin-menurut-provinsi.pdf
JDIH RI. (2010). Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 15 Tahun 2010 Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan. Di akses dari https://peraturan.bpk.go.id/.pdf
TKP2K Aceh. (2021). Penyamaan Persepsi Kemiskinan, TKP2K Aceh Adakan Diskusi
terbatas. Di akses dari https://tkp2k.acehprov.go.id.pdf
TKP2K Aceh. (2021). Profil Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Aceh. Di akses dari https://tkp2k.acehprov.go.id/.pdf