Anda di halaman 1dari 2

Situs gunung padang

“Pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buan”. Itulah pepatah Prabu Raja
Wastu yang tertulis dalam prasasti Kawali pada tahun 1375. Pepatah yang artinya bekerja
keraslah supaya berjaya di dunia itu barangkali relevan apabila dikaitkan dengan aktivitas
situs megalitik Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Raja dari Kerajaan Sunda Galuh yang terkenal dengan sebutan Niskala Wastu
Kancana (1371-1475) itu adalah pemimpin visioner Ki Sunda. Pandangannya selalu jauh ke
depan. Ia juga ingin keturunan Ki Sunda memiliki etos kerja keras, all out, tidak setengah-
setengah dan tidak malas. Baginda raja paham benar bahwa sebuah karya besar tidak akan
pernah bisa diperoleh tanpa kerja keras dengan jalan mudah.

Sejak awal tahun 2012, kawasan situs megalitik Gunung Padang dikaji oleh Tim
Terpadu Riset Mandiri (TTRM), yang bekerja sama dengan Staf Kabinet RI dan Staf Khusus
Presiden RI bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Tim melakukan penelitian terhadap cagar
budaya tersebut. Situs ini ditengarai sebagai bangunan megalitik yang konon membuktikan
adanya peradaban manusia sejak beberapa abad sebelum Masehi (SM) atau lebih dari 500
tahun SM.

Untuk menyikapi proses penelitian tersebut, pada 26 April 2013 berkumpul sejumlah
ahli dari berbagai bidang ilmu yang peduli terhadap pelestarian cagar budaya, khususnya
situs Gunung Padang di Cianjur. Dalam pertemuan itu, para ahli menyatakan
kekhawatirannya atas kelestarian situs Gunung Padang sehubungan dengan penelitian yang
dilakukan secara besar-besaran.

Proses ekskavasi itu menggelitik tokoh dan budayawan Sunda, termasuk warga
setempat sebab dilakukan pengeboran menggunakan alat-alat berat yang didahului peledakan.
”Di situlah terjadi insiden berupa penganiayaan ringan oleh warga terhadap anggota peneliti
karena peledakan itu dilakukan di tanah mereka,” ujar Bah Ruskawan, budayawan Cianjur.

Karena khawatir menimbulkan konflik, berbagai unsur masyarakat Sunda yang


memiliki kepedulian atas kelestarian Gunung Padang pun berkumpul di Kabupaten Cianjur.
Mereka menolak penelitian Gunung Padang. Para tokoh Ki Sunda itu juga mengajukan
penangguhan penahanan terhadap ketiga warga yang dituding menganiaya. Permohonan itu
dikabulkan Pengadilan Negeri Cianjur.

Pelestarian cagar budaya

Pernyataan sikap itu dipelopori oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, organisasi
terbesar masyarakat Sunda dan Lembaga Swadaya Masyarakat Ma’soem Peduli Umat
(Mampu), yang diikuti 700 orang dari berbagai unsur komunitas kesundaan, seperti
Sundawani, Kabuyutan, aktivis mahasiswa Cianjur, serta pakar hukum dan budayawan di
Jawa Barat.
Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Didi Turmudzi menyatakan,
keterlibatan Paguyuban Pasundan semata-mata karena kepedulian terhadap kelestarian situs
Gunung Padang sebagai cagar budaya warisan leluhur. ”Sama sekali tak ada kaitannya
dengan keinginan untuk menguasai kekayaan di dalam perut cagar budaya itu,” kata Didi.

Ketua LSM Mampu Asep Sujana menambahkan, kehadirannya di Cianjur untuk


mendukung kelestarian cagar budaya Gunung Padang sebagai aset dan kekayaan budaya
leluhur Ki Sunda. LSM Mampu juga menuntut agar penelitian oleh TTRM dihentikan hingga
proses hukum terhadap tiga warga Gunung Padang tuntas. ”Jika dilanjutkan, kami khawatir
berujung konflik horizontal,” katanya.

Namun, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan justru berpendapat berbeda. Dia
justru berharap semangat mengkaji Gunung Padang terus dilakukan untuk mengungkap
kejayaan masa lalu yang bisa mengubah sejarah Indonesia. ”Saya tegaskan, pembahasan
Gunung Padang harus tuntas agar pro-kontra juga tuntas,” ujar Heryawan saat Festival
Gotrasawala yang digelar di Bandung.

Untuk mendukung penelitian, luas kawasan Gunung Padang yang semula ditetapkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seluas 1,7 hektar, lewat peraturan gubernur
diperluas jadi 25 hektar. ”Jika para ahli bangsa lain begitu peduli, apalagi kita sebagai
pemiliknya,” kata Heryawan.

Mirip Machu-Picchu

Sementara itu, kesimpulan awal TTRM antara lain menyatakan, semula di atas bukit
situs Gunung Padang dianggap berupa teras-teras dari tumpukan batu yang disusun
sederhana, tetapi ternyata tidak demikian. Tim sudah membuktikan, situs Gunung Padang
adalah sebuah struktur punden berundak raksasa yang menutup lereng-lereng bukitnya dan
dibuat dengan desain arsitektur-konstruksi tingkat tinggi. ”Bisa kita bilang setara atau mirip
dengan konstruksi bangunan Machu-Picchu di Peru,” ungkap Boediarto Ontowirjo atas nama
TTRM melalui surat elektronik.

Ahman Sya, budayawan, yang juga Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni
dan Budaya memaklumi reaksi sebagian budayawan terhadap TTRM. Persoalannya, tidak
hanya koordinasi antarberbagai unsur yang terabaikan, tetapi juga aspek etika kultural yang
mungkin terlupakan. Masyarakat di sekitar Gunung Padang punya kepercayaan yang harus
dihormati. ”Sebab itu, diperlukan kesepakatan sebelum kegiatan riset dilanjutkan,” kata
Ahman.

Penelitian boleh saja dilakukan, apalagi untuk mengungkap misteri masa silam.
Namun, tentu tata krama harus diindahkan agar tradisi dan adat istiadat yang berlaku tidak
dilanggar.

Anda mungkin juga menyukai