KELOMPOK 4 – M23.6
Penyusun :
1. Nurul Ilmi (230407500052)
2. Ira Zakiyah (230407500057)
3. Nur adni Azisah (230407501081)
4. Nur Salsabilah Rahman(230407501074)
5. Walid Pramudia(230407501082)
6. Alya Anwar (230407502065)
7. Siti Nur Adhinda(230407500060)
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Sejarah
Taman Arkeologi Leang-Leang Maros” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Pendidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan para
pembaca mengenai Sejarah terbentuknya Taman Arkeologi Leang-leang serta peninggalan
apa saja yang terdapat di dalamnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Nasaruddin, S.Pd., M.Pd. selaku
dosen pengampu mata kuliah Muatan Lokal yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Selain
itu, kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Taman Arkeologi Leang-Leang Maros merupakan sebuah situs arkeologi yang
terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia. Wilayah ini kaya akan sejarah dan
keberagaman budaya, yang tercermin dalam warisan arkeologisnya. Leang-Leang Maros
dikenal sebagai salah satu tempat penelitian arkeologi yang penting di Indonesia, menarik
perhatian para arkeolog dan peneliti dari berbagai belahan dunia.
Situs arkeologi ini terkenal karena gua-gua batu kapurnya yang mengandung lukisan
batu prasejarah. Lukisan-lukisan tersebut menjadi saksi bisu perkembangan kehidupan
manusia prasejarah di daerah ini. Penemuan-penemuan arkeologis di Leang-Leang Maros
memberikan wawasan mendalam mengenai kehidupan manusia purba, mulai dari pola
pemukiman hingga kegiatan keagamaan dan seni. Sejarah Taman Arkeologi Leang-Leang
Maros tidak hanya mencakup zaman prasejarah, tetapi juga melibatkan perkembangan lebih
lanjut di masa kolonial dan modern. Pemahaman akan sejarah ini memberikan perspektif
yang kaya dan komprehensif tentang bagaimana wilayah ini berkembang sepanjang waktu.
Penting untuk dicatat bahwa keberlanjutan dan pelestarian Taman Arkeologi Leang-
Leang Maros menjadi isu krusial. Ancaman terhadap warisan budaya ini bisa berasal dari
berbagai faktor, termasuk pembangunan, perubahan iklim, dan kegiatan manusia modern.
Oleh karena itu, penting untuk menggali sejarah situs ini tidak hanya sebagai bentuk
penghormatan terhadap masa lalu, tetapi juga sebagai upaya untuk memahami dan
melindungi warisan budaya yang tak ternilai ini.
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan
Taman Prasejarah Leang-Leang terletak pada deretan bukit kapur (karst) di Kawasan
Karst Maros Pangkep, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, wilayah
administratif Kabupaten Maros. Secara administratif tepat berada di Lingkungan Leang-
Leang, Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan, Indonesia. Lokasinya dapat ditempuh ± 15–30 menit melalui jalan lingkungan (Jalan
Poros Leang-Leang) dari Jalan Poros Bantimurung yang merupakan jalan utama yang
menghubungkan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone. Sepanjang Jalan Poros Leang-
Leang merupakan jalan yang telah dibeton sehingga memudahkan akses wisatawan. Jarak
taman ini ke Kota Turikale adalah 10 km, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin 19,9 km,
dan 34,9 km sebelah utara Kota Makassar. Kawasan ini dapat dicapai dalam waktu ± 1,5 jam
dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari Kota Makassar melalui
Jalan Poros Bantimurung (Maros-Bone) pada kilometer 7 belok kiri menyusuri jalan
lingkungan kearah utara sampai ke kaki perbukitan karst.
2.3 Sejarah
Pada tahun 1950, H.R. van Heekeren menemukan gambar babirusa yang sedang
meloncat dengan bagian dada terpanah. Sementara Miss Heeren Palm menemukan gambar
telapak tangan wanita dengan cat warna merah. Kedua temuan itu terdapat di Leang
Pettae dan Leang Pettakere. Menurut para ahli arkeologi, gua tersebut dihuni manusia purba
sekitar tahun 8.000-3.000 sebelum Masehi. Sementara gambar atau lukisan prasejarah
tersebut usianya kira-kira 5.000 tahun silam. Gua tersebut dibuka untuk wisatawan pada
tahun 1980 dengan nama Taman Prasejarah Leang-Leang. Di dalam taman ini banyak
peninggalan manusia purba, diantaranya gambar telapak tangan manusia yang berwarna
merah marun. Menurut para ahli tangan, gambar telapak tangan tersebut merupakan tangan
salah satu suku yang telah mengikuti ritual potong jari sebagai tanda berduka cita atas
meninggalnya seseorang. Selain gambar tangan, di dalam gua juga terdapat peninggalan
peralatan manusia purba yang terbuat dari batu, sisa-sisa makanan yang berupa tulang
binatang dan hewan-hewan laut. Di sekitar Taman Prasejarah Leang-Leang terdapat gua-gua
lain yang jaraknya saling berdekatan, antara lain Gua Balang, Leang Cabbu, dan Leang
Sampeang.
Salah satu gua yang termasuk dalam periode awal penemuan lukisan-lukisan dinding
gua di Sulawesi Selatan adalah Leang Pettae dan Pettakere. Berdasarkan pelbagai penelitian
arkeologi yang telah dilakukan sejak tahun 1902 oleh ahli diperkirakan bahwa gua ini telah
dihuni manusia sejak 50.000 tahun sebelum Masehi hingga 6.000 tahun yang lalu. Hal ini
telah memberi kontribusi nyata dalam ilmu pengetahuan, terutama terkait dengan satu periode
kehidupan manusia prasejarah pada masa lampau, yang oleh para ahli diistilahkan
sebagai Kebudayaan Toala. Temuan penting yang menonjol pada gua-gua prasejarah di
kawasan Karst Maros-Pangkep ini adalah lukisan gua yang pertama kali ditemukan pada
tahun 1950 oleh Heeren Palm. Lukisan gua tersebut menggambarkan aspek religi, mata
pencaharian, teknologi, ekologi, dan seni pada masyarakat masa lalu. Peneliti lain yang
tercatat pernah melakukan penelitian tentang gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan antara
lain Van Stein Callenfels, H.D. Noone dan A.A. Cense pada tahun 1933, W.J.A. Willems dan
F.D. Mc'Carthy pada tahun 1936, dan H.R. van Heekeren tahun 1936, 1937, 1947, dan 1950,
D.J. Mulvaney dan R.P. Soejono pada tahun 1969, dan I.C. Glover pada tahun 1973 dan
1975. Pada tahun 1980-an, penelitian gua-gua di Sulawesi Selatan mulai banyak dilakukan
oleh orang Indonesia sendiri, terutama oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit
Arkenas) dan mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2007
dilakukan penelitian oleh peneliti Australia, Mike Morwood bekerjasama dengan Balai
Arkeologi Makassar untuk menulusuri okupasi pada masa plestosen.
2.4 Potensi
Taman Prasejarah Leang-Leang (Nomor Registrasi 168) yang terdiri atas dua gua
prasejarah yang telah terkenal hingga ke mancanegara, yaitu Leang Pettae dan Leang
Pettakere, termasuk dalam Kawasan Karst Maros-Pangkep yang paling sering dikunjungi
oleh wisatawan dan akademisi yang berkepentingan. Kedua situs tersebut saat ini telah
menyatu dalam sebuah areal yang telah dibebaskan dan dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan. Sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai taman,
dilengkapi fasilitas jalan setapak, sanitair, ruang informasi, lahan parkir, dan fasilitas
penunjang lainnya.
Leang Pettae yang berada di sebelah selatan atau sekitar 50 meter dari jalan poros
mengandung temuan berupa artefak batu, sisa-sisa makanan, dan juga lukisan dinding berupa
cap tangan. Sedangkan Leang Pettakere yang berjarak sekitar 400 meter di sebelah utara
berada pada ketinggian tebing gamping dapat disaksikan beberapa lukisan cap tangan dan
lukisan babi rusa berukuran besar, seluruhnya berwarna merah. Untuk menjangkau letak
lukisan di Leang Pettakere, tersedia fasilitas tangga besi, dan dapat diakses oleh pengunjung
dengan pengawasan petugas Juru Pelestari.
Di Taman Arkeologi Leang-Leang terdapat beberapa fasilitas objek wisata, yakni Bola
Leppangeng, Pusat Informasi Gambar Prasejarah, ruang rapat, musala, toilet, taman batu,
Bola Toana, Leang Pettakere, Leang Pettae, sungai purba, bukit karst, dan lain-lain.
Pembangunan dan pengembangan Taman Prasejarah Leang-Leang sebagai objek wisata
berbasis sejarah dan budaya turut meningkatkan angka kunjungan ke tempat wisata ini.
Kemampuan kawasan ini dalam menyesuaikan diri pada pelestarian dan konservasi
lingkungan/sumber daya alam, khususnya potensi sejarah dan budaya berjalan seiring dengan
pengembangan kegiatan pariwisata. Pengembangan pariwisata ini memerlukan kerja keras
disamping strategi yang tepat sesuai dengan kondisi lingkungan. Objek wisata ini memiliki
berbagai potensi alam dan budaya yang dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata.
Nilai penting sejarah yang dikandung oleh Taman Prasejarah Leang-Leang adalah
adanya dua jenis budaya yang pernah berkembang, yaitu Budaya Pra-Austronesia dan
Budaya Austronesia. Kedua jenis budaya tersebut biasa disebut oleh prasejarawan sebagai
Budaya Toala yang berkembang pada masa plestosen sekitar 31.000-19.000 BC, kawasan ini
telah dihuni oleh manusia Pra-Austronesia. Sementara data lukisan di dinding gua adalah
salah satu bukti ekspresi seni lukis tertua di Asia Tenggara. Nilai penting ilmu pengetahuan
yang terkandung di Taman Prasejarah Leang-Leang adalah ilmu arkeologi, geologi, ekologi,
biologi, dan speleogenesis. Dianggap memiliki nilai penting arkeologi karena kompleks gua
di Taman Prasejarah Leang-Leang mengandung data arkeologi yang padat. Jumlah 57 gua
dengan variasi temuan yang tinggi di setiap gua adalah kekayaan luar biasa. Kekayaan
ekologi Kompleks Gua Leang-Leang yang merupakan bagian dari kawasan karst
Bantimurung-Bulusaraung menjadi alasan kuat penetapan kawasan tersebut menjadi kawasan
Taman Nasional. Kompleks Gua Leang-leang memiliki nilai penting ilmu speleogenesis
karena banyaknya gua aktif atau gua yang masih dalam. Kompleks Gua Leang-leang
memiliki nilai penting biologi karena memiliki kekayaan flora dan fauna yang prospektif
untuk penelitian biologi pada masa mendatang. Nilai penting kebudayaan yang dikandung
oleh Kompleks Gua Leang-leang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu nilai etnik, dan nilai
estetik. Kompleks Gua Leang-leang memiliki nilai penting etnik karena ditemukan bukti
keberadaan komunitas Austronesia (ras Mongoloid) pada masa prasejarah di Sulawesi
Selatan.
Bukti arkeologis tersebut merupakan salah satu bukti tertua tentang genealogi dan
budaya, menjadi jati diri (cultural identity) dari Etnis Bugis, Makassar, dan Toraja yang
mendiami Sulawesi Selatan sekarang. Taman Prasejarah Leang-Leang diasumsikan memiliki
nilai penting estetik karena ditemukan banyak lukisan dinding gua, berdasarkan tinggalan
artefaktualnya bisa dikategorikan sebagai hasil pencapaian budaya yang sangat tinggi, karena
pada masa prasejarah masyarakat Sulawesi Selatan sudah mengenal komunikasi verbal
sebagaimana diperlihatkan oleh berbagai lukisan purba di dinding-dinding gua. Tahun 2014,
Maxime Aubert dari Universitas Wollongong, Australia dan tim melakukan penelitian di
Leang Timpuseng. Penelitian ini menjadi perhatian dunia arkeologi internasional karena
berkesimpulan pertanggalan lukisan dinding gua sekitar 40.000 tahun yang lalu, setara
dengan lukisan tertua di Eropa. Metode pertanggalan yang digunakan merupakan metode
baru, yaitu uranium series dating di speleothems (deposit) gua. Keberadaan objek wisata
Taman Prasejarah Leang-leang secara tidak langsung membawa dampak terhadap
perekonomian warga sekitar objek wisata tersebut. Hal ini tampak dari mulai munculnya
berbagai jenis-jenis usaha sampingan dari warga seperti pedagang suvenir, pedagang
asongan, pedagang makanan dan minuman, penginapan, dan sebagainya. Jika semula
pekerjaan utamawarga sekitar objek wisata hanya sebagai petani, pegawai, dan sebagainya,
maka dengan keberadaan objek wisata ini mampu membuka lapangan usaha baru yang bisa
dilakukan di waktu senggang.
a) Potensi sumber daya alam yang dimiliki taman prasejarah ini cukup mengesankan.
Wilayah ini sudah berumur puluhan ribu tahun dan berada di Kawasan Karst Maros-
Pangkep yang diakui sebagai kawasan karst terluas kedua di dunia setelah kawasan
karst yangada di Guangzhou, Cina. Berada di daerah pegunungan karst, Taman
Prasejarah Leang-Leang memiliki situs-situs gua prasejarah dengan tinggalan
arkeologis berupa lukisan seni cadas yang menarik.
b) Adanya potensi sumber daya budaya. Gua-gua di kawasan Taman Prasejarah Leang-
Leang sangat menarik, karena gua-gua tersebut dulunya sebagai tempat tinggal
manusia yang terkenal dengan sebutan Budaya Toala, sekaligus di gua-gua tersebut
tersimpan berbagai lukisan yang masuk 10 besar lukisan tertua di dunia, sehingga
situs purbakala ini penting sebagai media edukatif dan kultural. Terdapat kurang lebih
27 lukisan telapak tangan dengan berbagai posisi, lukisan perahu, hewan, figur
manusia, simbol ekspresi diri melalui bahasa gambar atau bahasa rupa pada masa
prasejarah.
c) Adanya dukungan sumber daya manusia dan dukungan masyarakat lokal. Cukup
banyak masyarakat lokal yang telah berkecimpung pada sektor pariwisata. Demikian
pula dukungan dari pemerintah melalui eksistensi Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA, Balai Taman Nasional Bantimurung-
Bulusaraung, serta perangkat yang ada dibawahnya.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Namun, keberlanjutan Taman Arkeologi Leang-Leang Maros saat ini dihadapkan pada
tantangan serius akibat perkembangan modern dan pembangunan. Ancaman terhadap
pelestarian situs ini membutuhkan perhatian serius dan tindakan perlindungan yang efektif
untuk memastikan bahwa warisan budaya berharga ini dapat dinikmati oleh generasi
mendatang. Seiring dengan itu, upaya pelestarian yang telah dilakukan harus terus
ditingkatkan, dan mungkin perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat setempat,
dan pihak-pihak terkait lainnya. Pelestarian Taman Arkeologi Leang-Leang Maros bukan
hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan sebuah usaha bersama untuk memastikan
warisan berharga ini tetap hidup.
3.2 Saran
Dalam rangka melestarikan dan Taman Arkeologi Leang-Leang Maros, Diperlukan
pengembangan program pendidikan dan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan
pemahaman tentang nilai budaya dan sejarah Taman Arkeologi Leang-Leang Maros. Ini dapat
melibatkan kolaborasi dengan lembaga pendidikan dan organisasi kebudayaan setempat.
Serta mendukung penelitian dan konservasi yang lebih mendalam terhadap lukisan batu
prasejarah dan artefak-arkefak lainnya. Kolaborasi dengan ahli konservasi dan arkeologis
dapat memastikan keberlanjutan situs ini.
DAFTAR PUSTAKA
Siregnas CB Kemendikbud RI. "Taman Prasejarah Leang-Leang". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2021-05-04. Diakses tanggal 18 November 2023
Ratino; Tri Maya Yulianingsih (2010). Jelajah Wisata Nusantara: Berbagai Pilihan Tujuan Wisata di 33 Provinsi.
Yogyakarta: Media Pressindo (MedPress). hlm. 332–333.
Mulyantari, Enny (2018). Pengembangan Objek Wisata Budaya : Taman Prasejarah Leang-Leang, Maros, Sulawesi
Selatan (Jurnal Media Wisata, Vol. 16, No. 1) (PDF). Jurnal Media Wisata. hlm. 684–697.
Suparti (2019). Indonesia nan Indah: Gua di Indonesia. Semarang: ALPRIN. hlm. 12–13.
LAMPIRAN