Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HUKUM PERKREDITAN PERBANKAN


“Proses Dan Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit Berdasarkan Peraturan Internal
Dan External”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum perkreditan perbankan

DOSEN PENGAMPU:
ANGGER WANGSITALA

KELOMPOK 1– B3B

ANGGOTA KELOMPOK
NENG FATIMAH /223141514111103
WAYAN JUNITA D. W. S /223141514111111
AISH NADDIYAH /223141514111132

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS VOKASI
PROGRAM STUDI KEUANGAN DAN PERBANKAN
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. 
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
hukum perkreditan perbankan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang proses dan prinsip-prinsip pemberian kredit berdasarkan peraturan internal dan exteral
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah hokum
perkreditan perbankan yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami juga berterimakasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu kritik
dan saran sangat diharapkan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Malang, 29 Agustus 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
MAKALAH................................................................................................................................................1
HUKUM PERKREDITAN PERBANKAN.............................................................................................1
“Proses Dan Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit Berdasarkan Peraturan Internal Dan External” 1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................5
1.3 Tujuan..............................................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
2.1 Pengertian Hukum Perbankan......................................................................................................7
2.2 Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank...................................14
2.3 Peraturan Bank Indonesia Dan Otoritas Jasa Keuangan..........................................................16
BAB III.....................................................................................................................................................20
STUDI KASUS........................................................................................................................................20
BAB IV.....................................................................................................................................................21
PENUTUP................................................................................................................................................21
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................................21
4.2 Saran...............................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini kredit bukan merupakan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari- hari di
masyarakat, sebab sering dijumpai adanya transaksi jual beli barang dengan kredit. Jual beli
tersebut dilakukan tidak dengan menggunakan uang tunai, tetapi dengan cara mengangsur
atau secara dicicil.
Kredit dapat diberikan oleh koperasi maupun bank sesuai dengan kebutuhan para nasabah
peminjamnya. Kredit juga biasa disamakan dengan utang, karena setelah jangka waktu
tertentu mereka harus membayar lunas atau utangnya dinyatakan lunas.
Kegiatan perbankan yang menyediakan jasa perkreditan dapat dilakukan oleh Bank Umum
maupun Bank Perkreditan Rakyat yang tidak terlepas dari adanya risiko yang dapat
merugikan pihak bank itu sendiri maupun pihak nasabah baik nasabah penyimpan dana dan
nasabah debitur. Karena itu, bank benar-benar harus melaksanakan prinsip-prinsip yang
wajib diterapkan dalam praktek perbankan terkait dengan nasabah yaitu prinsip kepercayaan
(Fiduciary Principle), prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), dan prinsip kerahasiaan
(Confidential Principle). Karena penyaluran dana melalui kredit mengandung resiko yang
tinggi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum secara spesifik mengatur
hubungan antara bank dan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur,
khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan kredit bank.
Perjanjian kredit bank dibuat dengan klausula-klausula tertentu yang tidak dinegosiasikan
terlebih dahulu kepada nasabah debitur dapat memberikan keamanan bagi pihak bank karena
dana masyarakat yang disimpan pada bank perlu dilindungi dan harus pula dapat melindungi
nasabah selaku debitur yang dalam batas-batas tertentu sering berada pada posisi yang lemah
bila berhadapan dengan pihak bank sebagai kreditur.
Pasal 1313 KUHPerdata mengartikan perjanjian bahwa: “Perjanjian sebagai suatu
perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Selain itu, Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu
bentuk perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Dalam prakteknya asas kebebasan
berkontrak khususnya pada syarat kesepakatan tak lebih dari sekedar terima atau tinggalkan
(take it or leave it) karena bank telah membuat syarat-syarat yang tidak bisa ditawar oleh
calon debitur nasabah. Sehingga sangat mungkin debitur nasabah menerima syarat-syarat
perjanjian kredit dengan terpaksa. Saat ini jumlah orang yang membutuhkan kredit masih
jauh lebih banyak dari jumlah kredit yang dapat ditawarkan oleh bank, maka bank lebih
memilih untuk melayani calon nasabah debitur yang menerima klausula-klausula yang sudah
ditetapkan oleh bank tanpa perubahan dibanding melayani calon nasabah debitur yang tidak
bersedia menerima klausula-klausula tersebut baik sebagian maupun seluruhnya. Calon

4
nasabah debitur yang terdesak akan kebutuhannya beranggapan bahwa tidak perlu untuk
bersusah payah merundingkan klausula-klausula perjanjian kredit dari kredit yang
diterimanya.
Contoh klausula dalam perjanjian kredit yang memberatkan nasabah debitur adalah
kenaikan suku bunga sewaktu-waktu yang dilakukan oleh pihak bank tanpa persetujuan dari
nasabah debitur terlebih dahulu, memberikan kuasa kepada bank untuk
memblokir/mendebetkan rekeningnya hingga jumlah tersebut dapat melunasi seluruh hutang
nasabah debitur. Hal tersebut dapat memberatkan nasabah debitur dalam membayar utangnya
atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur menyetujui segala keputusan sepihak
yang diambil oleh bank.
Bunga sendiri tidak diatur didalam Undang-Undang Perbankan, namun dapat diartikan
sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) dan harga yang harus dibayar nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh
pinjaman).2
Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 29 angka 4 menyebutkan bahwa
”Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank.” Namun pada prakteknya, tidak jarang bank tidak memberikan informasi secara
lengkap mengenai informasi produk bank tersebut kepada nasabahnya.
Demi terlindungnya kepentingan konsumen termasuk di dalamnya nasabah debitur, maka
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, yang
dalam hal ini adalah para nasabah bank antara lain nasabah yang berkedudukan sebagai
kreditur, nasabah yang berkedudukan sebagai debitur dan nasabah yang berkedudukan
sebagai walk in customer.
Dengan demikian, adanya klausula baku yang menyebutkan bahwa bank dapat menaikan
suku bunga sewaktu-waktu tanpa persetujuan nasabah dan kuasa kepada bank atas
pemblokiran/pendebetan rekening nasabah dengan jumlah yang tidak terbatas bertentangan
dengan Undang-Undang Perbankan dan bank juga melanggar hak-hak nasabah menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, penulis tertarik meneliti masalah ini dan memberi
judul “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Dalam Penggunaan Klausula Baku Pada
Perjanjian Kredit Bank”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum perbankan?
2. Apa saja sumber-sumber hukum perbanka?
3. Apa saja asas-asas hukum khusus dalam penyelenggaraan perbankan?
4. Bagaimana fungsi dan tujuan utama hukum perbankan?
5
5. Apa saja pedoman penyusunan kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank?
6. Bagimana peraturan Bank Indonesia mengenai kredit?
7. Bagiamana peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kredit perbankan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu hukum perbankan.
2. Untuk memahami sumber-sumber hukum perbankan.
3. Untuk memahami asas-asas hukum khusus dalam penyelenggaraan perbankan.
4. Untuk memahami fungsi dan tujuan utama hukum perbankan.
5. Untuk memahami pedoman penyusunan kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank.
6. Untuk memahami peratura Bank Indonesia mengenai kredit.
7. Untuk memahami peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kredit perbankan.

6
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Perbankan
Sekitar 32 tahun yang lalu, kita menyadari bahwa pembangunan ekonomi adalah prioritas
utama dan mengabaikan pembangunan hukum. Akibatnya, dalam proses pembangunan semua
sektor ekonomi, banyak permasalahan dan persoalan hukum yang berbeda-beda bermunculan di
seluruh negeri. Permasalahan dan permasalahan hukum ini merupakan kebijakan politik
(ekonomi) yang tidak berguna dan tidak bersifat intrinsik karena mengutamakan langkah-
langkah penerapan dan pengoperasian hukum. Oleh karena itu, wajar jika kita harus
menyempurnakan diri dalam menghadapi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang pesat
dengan melakukan penyesuaian dan perubahan seperlunya terhadap berbagai instrumen hukum
dan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur bidang perekonomian.
Bahkan, untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah sejak tahun 1988 telah melakukan
serangkaian langkah deregulasi di sektor keuangan, moneter, dan perbankan. Sejak saat itu,
dunia perbankan semakin bergairah, seiring dengan bermunculannya bank-bank baru di mana-
mana pada musim hujan. Di sisi lain, dunia perbankan mengalami tragedi yang membuatnya
terlupakan, dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Prinsip-prinsip Perbankan dan
beberapa undang-undang lain yang berlaku di bidang perbankan nampaknya sudah tidak lengkap
lagi dan tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian dalam negeri maupun internasional.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaharuan tatanan hukum dengan menyusun undang-undang
baru di bidang perbankan. Dan undang-undang baru yang disahkan Presiden pada tanggal 25
Maret 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan
demikian, sejak saat itu, undang-undang perbankan mengalami perubahan mendasar.
Selanjutnya enam tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 untuk
pertama kalinya diubah. Perubahan ini merupakan bagian dari program pelaksanaan reformasi
perbankan, yaitu penyempurnaan perangkat regulasi industri perbankan dan pembentukan dana
pendukung simpanan, yang akan mengembalikan kepercayaan masyarakat domestik dan
internasional terhadap sistem perbankan kita. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini telah disetujui
oleh Presiden pada tanggal 10 November 1998.
Secara sederhana hukum perbankan adalah hukum positif yang mengatur segala sesuatu
yang berkaitan dengan perbankan. Bank adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya
menghimpun dan mendistribusikan modal masyarakat. Artinya tentang undang-undang yang
berlaku yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan. Namun peraturan
lama tentang perbankan masih dikaji sebagai dokumen sejarah perkembangan dan pembentukan
hukum perbankan di negara kita. Dari sejarah terbentuknya undang-undang perbankan, kita
dapat membandingkan ketentuan-ketentuan undang-undang perbankan sebelumnya yang berlaku
di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perbankan adalah kumpulan

7
ketentuan hukum positif yang mengatur segala kegiatan yang berkaitan dengan bank, termasuk
organisasi, kegiatan usaha dan metode dan proses melakukan bisnis.
1. Berdasarkan hal tersebut di atas maka unsur-unsur yang terkandung dalam undang-
undang perbankan adalah:
a. Serangkaian regulasi positif (perbankan).
Adanya peraturan perbankan dengan diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan,
baik dalam bentuk hukum. Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Bank
Indonesia, Keputusan Direksi dan Surat Edaran Bank Indonesia serta peraturan pelaksanaan
lainnya. Seluruh peraturan perundang-undangan perbankan terikat menjadi suatu sistem yang
diikat oleh asas-asas hukum tertentu.
b. Hukum aktif (perbankan)
Didasarkan pada peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tertulis adalah peraturan yang
diundangkan oleh pejabat yang berwenang dan berwenang, berupa peraturan asli (asli) dan
peraturan turunan (derivatif); dan perjanjian tidak tertulis adalah perjanjian yang timbul dan
dipelihara dalam praktek perbankan.
c. Ketentuan undang-undang perbankan mengatur tentang organisasi dan kepengurusan
bank.
Ini mengatur persyaratan untuk mendirikan bank, termasuk perizinan, bentuk hukum,
manajemen, dan kepemilikan bank. Sekaligus mengatur struktur organisasi untuk menunjang
kegiatan perbankan. Di dalamnya juga memuat ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan
Bank Indonesia serta rahasia perbankan.
d. Undang-undang perbankan juga mengatur aspek-aspek tertentu dari bisnisnya. Secara
umumfungsi utama bank adalah memobilisasi modal masyarakat. Dana masyarakat dihimpun
dalam bentuk tabungan. Dana yang diperoleh kemudian akan direalokasikan dalam bentuk
kredit atau hibah berdasarkan prinsip syariah dan proyek perbankan lainnya. Selain itu, bank
juga menjalankan usaha penyediaan jasa perbankan yang bukan merupakan fungsi utama bank.
Memang, berdasarkan revisi undang-undang perbankan, bank juga dapat melakukan kegiatan
yang tidak lazim dilakukan oleh bank, sepanjang kegiatan lain tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari sudut pandang sistem hukum nasional, hukum perbankan telah berkembang menjadi
hukum industri dan hukum fungsional. Dengan demikian, hukum perbankan dalam penelitian
kami telah menghilangkan perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, sehingga cakupan
penerapannya sangat luas. Jika mau dirinci, ruang lingkup hukum perbankan mencakup banyak
bidang hukum seperti hukum administrasi, hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana dan
hukum internasional.
2. Sumber-sumber hukum perbankan
Sumber hukum perbankan dibedakan menjadi sumber hukum dalam arti formil dan
sumber hukum dalam arti materiil. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum
menentukan isi hukum itu sendiri dan hal ini tergantung dari sudut pandang mana ia

8
dipertimbangkan, apakah dari segi ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain-lain. Seorang
pakar perbankan cenderung berpendapat bahwa kebutuhan lembaga perbankan dalam suatu
masyarakatlah yang menentukan isi undang-undang tersebut. Sumber hukum materil baru
dipertimbangkan apabila dipandang perlu untuk mengetahui asal usul hukum (Muhammad
Djumhana 1993: 14). Sedangkan sumber hukum dalam arti formal adalah tempat ditemukannya
ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, baik tertulis maupun tidak
tertulis.
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
Dengan kata lain, suatu hukum yang harus ditaati dalam segala keadaan atau suatu
hukum yang mengikat secara mutlak. Namun hukum yang berlaku adalah hukum yang dalam hal
tertentu dapat dibatalkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jika kedua belah pihak
dapat menyelesaikan permasalahannya dengan mengeluarkan peraturan sendiri, maka tidak perlu
melaksanakan ketentuan hukum yang terdapat dalam klausul terkait. Hukum yang berlaku
biasanya berlaku apabila tidak ada pihak yang membuat peraturannya sendiri, atau peraturan itu
sendiri, namun peraturannya belum lengkap. Hukum yang mengatur disebut juga dengan hukum
pelengkap (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1980: 21-26 dan E. Utrecht 1983: 28-
30).
Hakikat undang-undang perbankan kita bersifat memaksa, artinya bank dalam
menjalankan kegiatannya harus patuh dan patuh terhadap asas-asas yang tertuang dalam undang-
undang tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perbankan tersebut, Bank
Indonesia berhak menindak bank yang bersangkutan dengan mengenakan sanksi administratif,
seperti pencabutan izin usaha. Namun dalam rangka pengendalian internal, bank diperbolehkan
untuk menetapkan peraturan internal perbankan sendiri (self-reguring) berdasarkan kebijakan
umum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Peraturan internal Bank dirancang sebagai standar
atau langkah pengendalian internal bank yang jelas dan tegas, sehingga bank diharapkan dapat
melaksanakan kebijakannya secara tepat dan bertanggung jawab.
Undang-Undang Perbankan yang direvisi merupakan sumber utama hukum perbankan di
Indonesia. Oleh karena itu, seluruh pengaturan perbankan di Indonesia harus diatur oleh undang-
undang perbankan yang telah direvisi. Dengan berlakunya revisi Undang-Undang Perbankan
tersebut, selain menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perbankan sudah tidak berlaku lagi, juga disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan lain tidak
berlaku lagi, dengan rincian:
a. Staatsbald 1929 No. 357 tanggal 14 September 1929 tentang peraturan tentang lembaga
perkreditan desa di provinsi Jawa dan Madura di luar wilayah kotamadya.
b. Undang-undang Bank Pembangunan Swasta Nomor 12 Tahun 1962 (Undang-undang
Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2489);
c. Peraturan Tentang Usaha Perkreditan yang diselenggarakan oleh Kelurahan di Kerajaan
Paku Alaman (Rijksblaad wilayah Paku Alaman sejak tahun 1937 Nomor 9).

9
Terlihat bahwa peraturan perbankan tersebut belum sejalan dengan perkembangan
perekonomian domestik dan internasional. Oleh karena itu, undang-undang perbankan yang baru
kemudian dirancang dan direvisi.
Perubahan di sektor perbankan yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Perbankan tahun
1992 merupakan landasan bagi industri perbankan kita yang sedang menghadapi masa lepas
landas. Hal ini menciptakan lingkungan dalam dunia perbankan yang tidak hanya memfasilitasi
perkembangan industri perbankan, namun juga menciptakan transformasi untuk mencapai tujuan
kesejahteraan sosial. Selain itu, tindakan langsung telah diambil untuk mempercepat
modernisasi industri perbankan. Hal ini juga menggambarkan kaidah-kaidah tertib hubungan
yang disepakati bersama dan diperlukan dalam dunia perbankan untuk menjalankan fungsi
produktifnya (Muhammad Djumhana 1993:30)
2. UU Nomor 7 Tahun 1992 diubah pertama kali dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Jika kita
melihat pada pembukaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, terdapat dua faktor utama
yang menjadi penyebab dan landasan penyempurnaan perangkat hukum di bidang perbankan,
yaitu:
a. Dalam menghadapi pesatnya perkembangan perekonomian nasional yang terus berkembang,
berdaya saing dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks dan sistem keuangan
yang semakin maju, maka perlu dilakukan penyesuaian kebijakan di bidang perekonomian,
termasuk perbankan. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Perbankan tahun 1992
bertujuan agar lebih sejalan dengan perkembangan dan kebijakan sektor perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum menyatakan:
“Perkembangan perekonomian negara saat ini menunjukkan tren semakin terintegrasi
dengan perekonomian regional dan internasional, baik yang mendukung maupun memberikan
dampak negatif. Sementara itu, perkembangan perekonomian negara terus tumbuh pesat dengan
tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan
di bidang perekonomian, termasuk perbankan, untuk diharapkan dapat meningkatkan dan
memperkuat perekonomian nasional. Industri perbankan dengan posisi strategisnya sebagai
intermediasi dan penunjang sistem pembayaran menjadi faktor yang sangat menentukan dalam
proses penyesuaian tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya pembenahan sistem
perbankan dalam negeri, yang tidak hanya mencakup upaya pembenahan individual bank, namun
juga perbaikan sistem perbankan secara keseluruhan. Upaya menghidupkan kembali perbankan
nasional merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, perbankan itu sendiri, dan
masyarakat perbankan. Adanya tanggung jawab bersama ini dapat berkontribusi dalam menjaga
stabilitas Bank Nasional agar dapat berperan maksimal dalam perekonomian nasional.”
b. Memasuki era globalisasi dan dengan diratifikasinya sejumlah perjanjian internasional di
bidang perdagangan dan jasa, maka diperlukan penyesuaian peraturan hukum di bidang
perekonomian khususnya sektor perbankan. Oleh karena itu, amandemen undang-undang
perbankan tahun 1992 harus lebih menyesuaikan dengan perkembangan perdagangan dunia di
era globalisasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum menyatakan:

10
“Melihat perkembangan tersebut, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional
seperti World Trade Organization (WTO), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dan
Association of South East Asian Nations (ASEAN) memerlukan berbagai penyesuaian dalam
regulasi perbankan, termasuk akses pasar yang terbuka dan perlakuan non-diskriminatif
terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di sektor perbankan dilaksanakan dalam arah
peningkatan efisiensi operasional perbankan dalam negeri. Oleh karena itu, pihak asing harus
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk ikut serta dalam kepemilikan. perbankan dalam
negeri untuk selalu menjalin kerja sama dengan pihak dalam negeri.”
3. Dalam melaksanakan kemitraan antara bank dan nasabah, untuk menciptakan sistem
perbankan yang sehat, penyelenggaraan perbankan harus didasarkan pada beberapa asas hukum
(khusus), yaitu:
1) Asas demokrasi ekonomi Prinsip demokrasi ekonomi tercantum dalam Pasal 2 UU Perbankan
yang telah diubah. Pasal tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan Indonesia dalam
menjalankan aktivitasnya didasarkan pada demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
hedging. Artinya, fungsi dan kegiatan perbankan ditujukan untuk melaksanakan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sehubungan
dengan itu, penjelasan umum UU Perbankan Tahun 1992 menyatakan:
“Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, kesinambungan dan peningkatan penyelenggaraan pembangunan nasional yang
berdasarkan kekeluargaan harus senantiasa dijaga dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pelaksanaan pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keselarasan dan keseimbangan
antara faktor pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional. Industri
perbankan mempunyai peranan strategis dalam menyelaraskan dan menyeimbangkan setiap
elemen perekonomian. trio pengembangan. Peran strategis tersebut terutama disebabkan oleh
fungsi utama bank sebagai sarana yang efektif dan efisien, berdasarkan demokrasi ekonomi,
untuk membantu terwujudnya pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan dan
pembangunan, serta stabilitas perekonomian dan nasional, dalam arti meningkatkan taraf hidup
masyarakat”.
Oleh karena itu, jelas bahwa industri perbankan dalam menjalankan fungsi dan
kegiatannya harus memperhatikan prinsip demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Sebelumnya, GBHN menganggap demokrasi ekonomi sebagai landasan pembangunan.
Disebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
dikembangkan untuk mencapai demokrasi ekonomi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a) Perekonomian disusun sebagai usaha patungan berdasarkan asas kekeluargaan.
b) Industri manufaktur yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup seluruh
penduduk dikuasai oleh negara.
c) Dibandingkan dengan Tanah, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya
yang merupakan penopang utama kesejahteraan rakyat dikuasai dan dimanfaatkan oleh
negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

11
d) Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan secara bijaksana Persetujuan
mengenai badan-badan perwakilan rakyat dan pengawasannya Politik juga ada pada
lembaga-lembaga yang mewakili rakyat.
e) Perekonomian daerah berkembang secara harmonis dan seimbang antar daerah dalam
kesatuan perekonomian nasional, dengan memanfaatkan potensi dan peran serta daerah
secara optimal dalam rangka mewujudkan visi nusantara dan kemandirian negara.
f) Warga negara mempunyai hak untuk bebas memilih pekerjaan yang diinginkannya dan
berhak untuk bekerja dan hidup layak untuk kemanusiaan.
g) Hak milik pribadi diakui dan penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat.
h) Potensi, inisiatif, dan kreativitas setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam
batas-batasnya tanpa merugikan kepentingan umum.
2) Asas Kepercayaan (Fiduciary principle) merupakan asas yang mengatur jalannya suatu bank
berdasarkan hubungan saling percaya antara bank dengan nasabahnya. Bank pada dasarnya
bekerja sama dengan dana masyarakat yang disimpan di sana atas dasar kepercayaan, sehingga
setiap bank harus terus menjaga kesehatannya dengan menjaga dan menjaga kepercayaan
masyarakat terhadapnya. Kesediaan masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya di bank
semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa mereka dapat memperolehnya kembali pada saat
mereka menginginkannya atau dengan kesepakatan dan imbalan. Jika kepercayaan nasabah
untuk menyimpan uang di bank menurun, semangat kerja dapat terwujud dalam uang yang
mereka timbun. Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan nasabah kehilangan kepercayaan
terhadap suatu bank.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa hubungan bank dan deposan adalah hubungan
pinjam meminjam antara debitur (bank) dan kreditur (nasabah penyimpan). berdasarkan prinsip
kepercayaan. Dengan kata lain, menurut hukum perbankan, hubungan antara bank dan
penyimpan bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitur dan kreditur, dengan
tunduk pada asas-asas umum hukum kontrak, tetapi juga terdapat hubungan kepercayaan. ,
berdasarkan prinsip kepercayaan. Undang-undang tersebut dengan jelas mengakui bahwa
hubungan antara bank dan deposan adalah hubungan kepercayaan, yang menyebabkan bank
tidak hanya peduli pada kepentingan deposan (Sutan Remy Sjahdeini 1993:167).
Ia menambahkan, hubungan antara bank dan debitur juga merupakan hubungan
kepercayaan, yang membebankan nasabah suatu kewajiban fidusia kepada bank. Oleh karena itu,
perbankan dan dunia usaha Indonesia meyakini bahwa hubungan antara bank dan debitur juga
didasarkan pada kepercayaan. Dilihat dari konsep perkreditan, hubungan antara bank dan debitur
bukan hanya hubungan kontraktual tetapi juga hubungan kepercayaan. Dalam bisnis, apa yang
diberikan atau diterima dengan imbalan uang, barang atau jasa adalah kepercayaan. Dengan
demikian, bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah yang berhutang berdasarkan
keyakinan bahwa nasabah yang berhutang mampu dan bersedia membayar kembali. Demikian
pula hubungan antara bank dengan nasabah debitur – khususnya hubungan kontraktual kredit –
bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga merupakan
hubungan saling percaya dan dapat diandalkan (Sutan Remy Sjahdeini 1993: 167-168).

12
3) Asas Kerahasiaan (confidential principle)
Asas Kerahasiaan adalah asas yang mewajibkan atau mewajibkan bank untuk
merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan dan hal-hal lain milik nasabah
bank, yang menurut prakteknya bersifat rahasia.. Kerahasiaan ini menguntungkan bank itu
sendiri karena memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uang di bank
tersebut. Masyarakat hanya akan menitipkan uangnya pada bank atau menggunakan jasa
perbankan jika bank menjamin tidak akan terjadi penyalahgunaan pengetahuan yang dimilikinya
mengenai tabungannya. Oleh karena itu, bank harus menghormati kerahasiaan perbankan.
Undang-undang Perbankan tahun 1992 menjaga kerahasiaan keadaan keuangan nasabah
penyimpan dan debitur. Kedua nasabah bank ini dilindungi kerahasiaan bank. Pada saat yang
sama, undang-undang perbankan yang direvisi membatasi kerahasiaan perbankan hanya pada
situasi keuangan unik para deposan. Pasal 40 UU Perbankan yang diamandemen mengatur
bahwa bank wajib merahasiakan informasi tentang nasabah penyimpan dan simpanannya.
Kerahasiaan perbankan ini dapat dikesampingkan dalam keadaan tertentu, terutama untuk
keperluan perpajakan, penyelesaian pengaduan bank, peradilan pidana, perselisihan perdata
antara bank dan nasabah, pertukaran informasi antar bank atas permintaan, persetujuan atau
otorisasi nasabah. menyetorkan. Dengan demikian, menurut undang-undang perbankan, tidak
semua aspek yang dikelola bank merupakan hal yang direvisi dan dijaga kerahasiaannya. Namun
kerahasiaan perbankan merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank dalam
menjalankan fungsinya sebagai perwalian masyarakat yang mengelola dana masyarakat.
Komitmen bank terhadap syarat atau kewajiban menjaga kerahasiaan keadaan keuangan
nasabah menunjukkan bahwa hubungan antara bank dan penyimpan didasarkan pada prinsip
kerahasiaan. Oleh karena itu, hubungan antara bank dan nasabah merupakan hubungan rahasia .
4) Asas kehati-hatian (prudential principle) adalah asas yang menyatakan bahwa suatu bank
dalam menjalankan fungsi dan kegiatan komersialnya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
untuk melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini tertuang dalam Pasal 2
revisi undang-undang perbankan yang menyatakan bahwa industri perbankan Indonesia dalam
menjalankan usahanya mengandalkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-hatian.
Kemudian, dalam Pasal 29 UU Perbankan yang diubah juga disebutkan bahwa bank wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan asas.
5) Asas Mengenal Nasabah (Know the customer principle)
Peraturan Bank Indonesia No. 5/23/PBI/tahun 2003 tanggal 23 Oktober 2003 merupakan
salah satu upaya penerapan prinsip kehati-hatian yang merupakan asas hukum dari Undang-
Undang Perbankan.
Oleh karena itu, penting agar prinsip mengenal pelanggan diterapkan tidak hanya di dalam
negeri tetapi juga internasional. Hal ini bahkan direkomendasikan oleh Komite Basel tentang
Pengawasan Perbankan, sebagaimana dicatat oleh Komite Penyelenggara Bank untuk
Penyelesaian Internasional. Prinsip kenali nasabah tidak hanya relevan bagi bank yang “paling
aman”, namun juga berguna dalam mencegah transaksi mencurigakan yang berujung pada
pencucian uang nasabah.

13
4. Fungsi dan Tujuan utama hukum perbankan
Fungsi pokok pengelolaan perbankan tercermin dalam Pasal 3 Undang-Undang Perbankan
yang menyatakan bahwa “fungsi pokok perbankan Indonesia adalah menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat” kepada pihak yang membutuhkan (kekurangan dana).
Pada saat yang sama, tujuan perbankan Indonesia tidak hanya tertuju pada permasalahan
ekonomi, namun juga permasalahan non-ekonomi yang berkaitan dengan stabilitas nasional,
termasuk stabilitas politik dan stabilitas sosial. Hal ini selengkapnya diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Perbankan sebagai berikut:
“Tujuan industri perbankan di Indonesia adalah mendukung terwujudnya pembangunan
nasional guna meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
kesejahteraan masyarakat.
2.2 Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan, suatu bank harus mempunyai keyakinan
berdasarkan analisa yang mendalam terhadap niat, kemampuan dan kesanggupan peminjam
untuk mengembalikan kredit atau pembiayaan yang telah disepakati.
Kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank pada hakikatnya mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya Bank harus memperhatikan prinsip-prinsip kredit atau
pendanaan yang sehat. Untuk meminimalisir risiko tersebut maka penting untuk memberikan
jaminan kredit atau pembiayaan dalam arti mempercayai kesanggupan dan kesanggupan debitur
untuk melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan, yang harus diperhatikan oleh
bank.
Untuk memperoleh kepastian tersebut, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan,
bank harus melakukan penilaian menyeluruh terhadap karakter, kapasitas, permodalan,
penjaminan, dan prospek usaha debitur. Sehubungan dengan itu, bank wajib memperoleh dan
melaksanakan pedoman kredit atau pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan, dengan pokok-pokok syarat dan ketentuan pendukung kredit atau
pembiayaan, antara lain:
 Pemberian Kredit atau Pembiayaan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;
 Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur yang
diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha dari debitur;
 Kewajiban Bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian Kredit atau
Pembiayaan;
 Kewajiban Bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan
persyaratan Kredit atau Pembiayaan;
 Larangan Bank untuk memberikan Kredit atau Pembiayaan dengan persyaratan yang
berbeda kepada debitur dan/atau pihak terafiliasi; dan
 Penyelesaian sengketa.

14
1. Peranan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
Untuk mendukung upaya kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank, peran Kebijakan
Perkreditan Bank (KPB) atau Kebijakan Pembiayaan Bank (KPB) sangat penting karena
berperan sebagai pedoman bagi seluruh aktivitas perkreditan atau permodalan yang sehat dan
mendatangkan keuntungan bagi Bank. Dengan adanya KPB yang terstandarisasi, diharapkan
Bank mampu menerapkan prinsip-prinsip kredit atau keuangan yang sehat secara lebih konsisten
dan berkelanjutan.
2. Sasaran Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
Kebijakan perkreditan bank juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendapatan dan
mengendalikan risiko perbankan dengan menerapkan prinsip keuangan atau kredit yang sehat.
Lebih lanjut, melalui penerapan dan penerapan CDE secara konsisten dan konsekuen, diharapkan
Bank mampu menghindari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab dalam pemberian kredit atau pembiayaan.
3. Kewajiban Memiliki Dan Menggunakan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
Kebijakan perkreditan bank dapat berbeda-beda pada setiap bank tergantung faktor-faktor
yang mempengaruhinya berbeda-beda. Sehubungan dengan itu, untuk memastikan bahwa bank
yang memiliki dan melaksanakan KPB memenuhi pedoman perkreditan atau keuangan yang
sehat, maka setiap bank harus mempunyai KPB tertulis yang sekurang-kurangnya mencakup
seluruh aspek yang termasuk dalam pedoman pembentukan kredit atau keuangan tersebut. kredit
bank. Kebijakan Pendanaan (PPKPB) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
4. Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
PPKPB ini merupakan pedoman bagi bank dalam menyusun KPB dengan tujuan:
a. KPB harus mampu memantau seluruh portofolio kredit atau pembiayaan dan
menetapkan standar dalam proses kredit atau pembiayaan secara individu.
b. KPB harus memiliki standar atau langkah-langkah yang mengandung unsur pengendalian
internal pada seluruh tahapan proses kredit atau pembiayaan.

5. Penggunaan Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank


Penggunaan PPKPB oleh bank ditetapkan sebagai berikut:
a. Penyesuaian KPB terhadap PPKPB
Bank hendaknya memeriksa kembali apakah seluruh aspek PPKPB telah tercantum
dalam KPB dan Bank wajib melakukan penyesuaian atau perbaikan apabila ada aspek
yang masih belum tercantum.
b. Hubungan PPKPB dan KPB
PPKPB memberikan pedoman mengenai aspek dan standar minimal yang diperlukan
dalam KPB. Dalam hal ini bank dapat memperpanjang CDE sesuai dengan kebutuhan
masing-masing bank.

15
6. Penerapan Dan Kajian Berkala Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
KPB sekurang-kurangnya memuat aspek-aspek yang tercantum dalam PPKPB dan harus
mendapat persetujuan Dewan Pengawas Bank. KPB juga harus menjadi acuan dan tercermin
dalam pedoman praktik kredit atau pembiayaan yang digunakan setiap bank.
a. Penerapan KPB
KPB wajib digunakan, diterapkan dan dilaksanakan oleh seluruh pejabat Bank yang berkaitan
dengan perkreditan atau keuangan, termasuk anggota Direksi, anggota dewan komisaris , dan
anggota Dewan Pengawas syariah, secara konsisten dan konsekuen.
b. Kajian Berkala KPB
Untuk tetap menjaga efektivitas KPB, paling lama setiap 3 (tiga) tahun sekali Bank harus
melakukan kajian berkala (periodical review) terhadap KPB. Perubahan atau perbaikan terhadap
KPB yang dilakukan atas dasar hasil kajian berkala harus tetap mengacu pada PPKPB.
7. Cakupan Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank
 Cakupan Umum PPKPB menetapkan panduan agar KPB paling sedikit mengatur
mengenai:
a. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan atau pembiayaan;
b. organisasi dan manajemen perkreditan atau pembiayaan;
c. kebijakan persetujuan Kredit atau Pembiayaan;
d. dokumentasi dan administrasi Kredit atau Pembiayaan;
e. pengawasan Kredit atau Pembiayaan;
f. penyelesaian Kredit atau Pembiayaan bermasalah; dan
g. pemenuhan prinsip syariah dalam Pembiayaan bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
 Cakupan Khusus
Dalam konteks ini, PPKPB mengatur bahwa pengertian kredit atau pembiayaan yang
dimaksud dalam KPB tidak terbatas pada pemberian fasilitas kredit atau keuangan yang lazim
dibukukan dalam pos kredit atau keuangan pada neraca bank. Tetapi juga mencakup pembelian
surat-surat berharga yang disertai dengan perjanjian pembelian surat-surat berharga, perjanjian
kredit atau pembiayaan, pembelian surat-surat berharga lainnya yang diterbitkan oleh nasabah,
pengambilan tagihan dalam rangka njak piutang, dan pembentukan bank garansi, termasuk
penerimaan, memvalidasi, dan memvalidasi header.

16
2.3 Peraturan Bank Indonesia Dan Otoritas Jasa Keuangan
1. Peraturan Bank Indonesia (BI)

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 24/17/PBI/2022 tentang Pencabutan Peraturan


Bank Indonesia Mengenai Kredit Likuiditas Bank Indonesia Terkait Kredit Program
dan Peraturan Pelaksanaannya  

Tanggal : 14 Desember 2022


berlaku     

I. Peraturan Bank Indonesia ini merupakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 24/17/PBI/2022
tentang Pencabutan Peraturan Bank Indonesia Mengenai Kredit Likuiditas Bank Indonesia Terkait Kredit
Program dan Peraturan Pelaksanaannya.
II. Latar belakang penerbitan PBI ini yaitu:

 Bank Indonesia tidak dapat lagi memberikan kredit likuiditas Bank Indonesia terkait kredit
program sebagaimana Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Menjadi Undang-Undang; dan
 beberapa jenis kredit likuiditas Bank Indonesia terkait kredit program telah jatuh tempo dan
dilunasi.

III. Peraturan Bank Indonesia yang dicabut dengan PBI ini yaitu:

 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/67/KEP/DIRtanggal 26 Juli 1996 tentang
Kredit Pembiayaan Tenaga Kerja Indonesia dengan Pola Kredit kepada Koperasi Primer untuk
Anggotanya sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/91/KEP/DIR tanggal 9 September 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 29/67/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang Kredit Pembiayaan Tenaga Kerja
Indonesia dengan Pola Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/69/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang
Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat
Transmigrasi Dalam Rangka Pembukaan Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan Timur
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/92/KEP/DIR tanggal 9 September 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 29/69/KEP/DIR tanggal 26 Juli 1996 tentang Kredit kepada Koperasi Primer
untuk Anggotanya dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi Dalam Rangka Pembukaan
Pemukiman Transmigrasi Baru di Kawasan Timur Indonesia;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/44/KEP/DIRtanggal 10 Juni 1998 tentang
Kredit kepada Koperasi sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/292/KEP/DIR tanggal 16 Maret 1999 tentang Perubahan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/44/KEP/DIR tanggal 10 Juni 1998 tentang Kredit kepada
Koperasi;

17
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/93/KEP/DIR tanggal 9 September 1998
tentang Kredit Pemilikan Rumah Sederhana dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana dan
peraturan pelaksanaannya;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/112A/KEP/DIRtanggal 30 September 1998
tentang Pembentukan Tim Khusus Perkreditan;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/127/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1998
tentang Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Perkreditan Rakyat;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/128/KEP/DIRtanggal 20 Oktober 1998
tentang Pembiayaan kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Perkreditan
Rakyat Syari'ah;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/156/KEP/DIR tanggal 23 November 1998
tentang Persyaratan Bank Pelaksana Kredit Program;
 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/165A/KEP/DIR tanggal 11 Desember 1998
tentang Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya Dalam Rangka Pembiayaan Usaha
Nelayan; dan
 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003 tanggal 17 September 2003 tentang Pengalihan
Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam Rangka Kredit Program (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4322) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/19/PBI/2012 tanggal 30 November 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia Dalam
Rangka Kredit Program (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 262,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5370) dan peraturan pelaksanaannya.
 Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42 /Pojk.03/2017 Tentang Kewajiban Penyusunan Dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum

I.UMUM
Bank harus menjaga kepentingan dan kepercayaan masyarakat mengingat sebagian besar
dana yang digunakan Bank untuk menjalankan kegiatan usahanya berasal dari simpanan
masyarakat yang dipercayakan kepada Bank. Sebagai salah satu kegiatan usaha utama yang
dijalankan oleh Bank, perkreditan atau pembiayaan mengandung risiko yang relatif tinggi yang
dapat merugikan keuangan Bank serta berpengaruh terhadap kesehatan dan kelangsungan usaha
Bank.

Untuk mengurangi potensi risiko yang dihadapi, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian dan asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat dalam melaksanakan kegiatan usaha
perkreditan atau pembiayaan sejak dalam proses pemberian Kredit atau Pembiayaan,
pengawasan setelah Kredit atau Pembiayaan diberikan, maupun prosedur penyelesaian dalam hal
terdapat Kredit atau Pembiayaan yang bermasalah. Termasuk juga di dalamnya penyusunan
organisasi dan manajemen perkreditan atau pembiayaan serta pengelolaan dokumentasi dan
administrasi dalam rangka menjalankan usaha perkreditan atau pembiayaan Bank.

18
Untuk itu diperlukan suatu kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank secara tertulis
sebagai acuan standar dalam pelaksanaan pemberian Kredit atau Pembiayaan Bank sehingga
diharapkan dapat membantu

Bank dalam menghadapi berbagai potensi risiko yang ada dan terhindar dari kerugian yang
mungkin dialami.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

19
BAB III

STUDI KASUS
Pemberian Kredit dengan Dokumen Palsu (KPR Bank Mendung Cabang Bengkulu)

3.1 Latar Belakang


Pada tahun 2023, Bank Mendung Cabang Bengkulu terlibat dalam kasus memberikan
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada beberapa nasabah dengan menggunakan dokumen palsu.
Hal ini melibatkan penggunaan informasi palsu, pemalsuan dokumen, dan penyalahgunaan
wewenang. Tindakan ini tidak hanya merugikan bank secara finansial, tetapi juga melanggar
beberapa aspek hukum perbankan, pedoman perbankan, pedoman perusahaan, serta peraturan
dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
3.2 Aspek Hukum Perbankan
Penipuan dan Pemalsuan Dokumen: Tindakan memberikan kredit dengan dokumen palsu
merupakan tindakan penipuan dan pemalsuan dokumen, yang melanggar hukum pidana. Ini bisa
mengakibatkan tindakan hukum terhadap individu atau pihak yang terlibat dalam tindakan
tersebut.
Pelanggaran Kewajiban: Bank memiliki kewajiban hukum untuk mematuhi regulasi
perbankan dan melaksanakan prosedur yang benar. Melanggar kewajiban ini dapat menyebabkan
konsekuensi hukum dan sanksi yang diberikan oleh pihak berwenang.
3.4 Pedoman Perbankan
Prinsip Kepatuhan: Bank diwajibkan untuk mematuhi pedoman dan regulasi yang
ditetapkan oleh OJK dan BI. Tindakan memberikan kredit dengan dokumen palsu jelas
melanggar prinsip kepatuhan ini.
Prosedur Identifikasi Pelanggan: Pedoman perbankan mengharuskan bank untuk
melakukan identifikasi pelanggan secara cermat dan memverifikasi informasi yang diberikan
oleh pelanggan sebelum memberikan kredit. Tindakan memberikan kredit dengan dokumen
palsu melanggar prinsip ini.
3.5 Pedoman Perusahaan
Etika dan Integritas: Bank memiliki pedoman etika dan integritas yang mengharuskan
karyawan dan manajemen bertindak secara jujur dan etis. Penggunaan dokumen palsu melanggar
prinsip ini dan dapat mengakibatkan tindakan disiplin atau pemecatan
Manajemen Risiko: Pedoman perusahaan biasanya mengharuskan pengelolaan risiko
yang baik. Tindakan memberikan kredit dengan dokumen palsu meningkatkan risiko operasional
dan reputasi.

20
3.6 Peraturan Bank Indonesia (BI) dan OJK
Peraturan Pemberian Kredit: BI dan OJK memiliki peraturan yang mengatur proses
pemberian kredit, termasuk verifikasi dokumen dan kelayakan penerima kredit. Tindakan
melanggar peraturan ini dapat mengakibatkan sanksi dan denda.
3.7 Dampak dan Tindakan Selanjutnya
 Kerugian Finansial dan Reputasi: Bank akan mengalami kerugian finansial akibat
tindakan ini, serta reputasi yang rusak dalam mata nasabah dan pasar.
 Penyelidikan dan Penuntutan: Otoritas hukum akan menyelidiki kasus ini dan dapat
melakukan tindakan hukum terhadap individu atau pihak yang terlibat.
 Pengawasan Lebih Ketat: OJK dan BI mungkin akan memperketat pengawasan terhadap
bank ini untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
3.8 Penanganan masalah
Tindakan memberikan kredit dengan dokumen palsu oleh Bank Mendung Cabang
Bengkulu melanggar banyak aspek hukum perbankan, pedoman perbankan, pedoman
perusahaan, dan peraturan dari BI serta OJK. Ini dapat mengakibatkan tindakan hukum, sanksi
administratif, dan kerugian finansial serta reputasi bagi bank. Tindakan ini mengingatkan
pentingnya kepatuhan pada regulasi perbankan, etika, dan prinsip-prinsip integritas dalam
operasi bisnis perbankan.
Pihak bank harus lebih selektif dalam melakukan analisis pemberian kredit kepada nasabah agar
tidak mengakibatkan kredit macet. Pemberian kredit kepada nasabah harus dilakukan

21
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam hal akad kredit biasanya disertai dengan akad penjaminan yang dianggap sebagai
akad lanjutan setelah akad pokok. Dalam dunia perkreditan perbankan, jaminan sering juga
disebut dengan jaminan. Agunan ini biasanya berupa tanah atau rumah, meskipun agunannya
bisa berupa harta benda atau benda lain tergantung kebijakan masing-masing bank pemberi
pinjaman. Untuk menilai besaran penjaminan, bank memiliki standar tersendiri yang
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi penjaminan. Selain itu, dalam menilai
agunan, bank seringkali tidak melihat dari satu sisi saja ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Faktanya, nilai agunan tidak selalu meningkat, bahkan ada aset agunan yang
mengalami penurunan nilainya. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Penurunan nilai ini
mempengaruhi posisi kreditur bank dan juga mempengaruhi kesempatan debitur untuk
membayar kembali bank tersebut.
Bank wajib mempertimbangkan berbagai kebijakan terkait penyaluran kredit. Oleh
karena itu, dalam mengadakan suatu kontrak kredit, bank biasanya mempersiapkan tindakan
pengendalian kredit termasuk tindakan preventif dan hukuman. Metode lindung nilai yang biasa
dilakukan bank antara lain dengan penerapan prinsip 5 C (character, capacity, capital, condition
of economy, collateral). Selain itu, bank juga menilai agunan. Sedangkan untuk tindakan represif
bank, apabila terdapat ketentuan yang mengatur mengenai penggantian agunan apabila terjadi
penurunan nilai agunan, maka ketentuan tersebut mengikat kedua belah pihak, sedangkan apabila
tidak ada klausula yang mengatur, dapat melihat apakah ada itikad baik untuk melunasi sisa
hutangnya. Apabila ada maka bank dapat mengupayakan restrukturisasi kredit dengan melihat
usaha dari nasabah debitor tersebut. Apabila tidak ada itikad baik dari nasabah debitor, maka
bank dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan dasar wanprestasi.
4.2 Saran
Dalam kontrak kredit, sebagian besar bank selalu memposisikan dirinya sebagai kreditur
preferen, karena kreditur preferen harus mendapat prioritas dibandingkan kreditur lainnya agar
dapat memenuhi tagihannya. Oleh karena itu, dalam menilai agunan, bank perlu mengevaluasi
dan memperhitungkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan nilai agunan.
Diharapkan bank lebih berhati-hati dalam menilai dan memilih penempatan agunan, sehingga
bank dapat memperkirakan apakah nilai agunan akan menurun di masa mendatang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Usman, Rachmadi. (2003). Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama
D. Haddad, Muliaman. (2017). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017
Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank
Bagi Bank Umum. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan
Bank Indonesia. (2022). Peratura Bank Indonesia Nomor 24/17/PBI/2022 Tentang Pencabutan
Peraturan Bank Indonesia Mengenai Kredit Likuiditas Bank Indonesia Terkait Kredit Program
dan Peraturan Pelaksanaannya: Departemen Komunikasi
Gramedia Blog. (2021). Hukum Perbankan: Pengertian, Ruang Lingkup, Prinsip, Fungsi dan
Tujuannya: Gramedia Literasi

23

Anda mungkin juga menyukai