Anda di halaman 1dari 2

Konsep: Humanitarian Action

Konsep Aksi Humaniter ‘Humanitarian Action’ merupakan salah satu kegiatan


utama bantuan kemanusiaan—bantuan yang didesain untuk menyelamatkan kehidupan,
meringankan kesengsaraan, dan meingkatkan harga diri seorang manusia di tengah
bencana. Barnett (2011) menyatakan bahwa kita tinggal di dunia humaniter, bukan di
tengah keyakinan humaniter itu sendiri. Konsep ini tentu lahir dari keyakinan Henri
Dutant, pendiri Palang Merah Internasional pada 1853. Dutantisme sendiri yakin bahwa
aksi humaniter paling utama ialah menyelamatkan kehidupan manusia dan meringankan
kesengsaraannya sebagai respons dari ancaman yakni membantu setidaknya secara
material, jasa, dan medis. Aksi humaniter didirikan dari prinsip dan keyakinan utama
yakni semua manusia berhak diperlakukan secara manusiawi untuk diselamatkan
kehidupannya kapan saja dan di mana saja. Secara sifat, konsep ini berdasar pada nilai
netralitas, kemandirian, dan adil. Netralitas berarti tidak mengambil spektrum sosial
manapun. Adil berarti tidak pandang bulu bahkan di tengah ancaman manapun.
Kemandirian berarti tidak bergantung terhadap pihak manapun dan tidak berharap
imbalan apapun. Prinsip dasar tersebut memiliki kepentingan lebih besar dari
kepentingan manapun, termasuk politik, agama, dan SARA manapun, bahkan
kepentingan ekonomi atau strategi geopolitik manapun—sebagaimana telah tertulis
dalam Konvensi Geneva yang dilindungi oleh hukum humaniter internasional. Aktor
seperti pemerintah, militer, organisasi keagamaan, dan kelompok derma ‘charities’ tentu
boleh saja turut membantu kepentingan humaniter ini sebagai cara resiliensi local.
Contoh besar organisasi yang dikenal sejauh ini yakni, UNHCR, UNICEF, WFP, dan
ICRC.
Tidak seperti bantuan dana, bantuan humaniter lebih melihat bantuan itu layaknya
short-sighted, dan turut merespons kebutuhan yang harus dilakukan secara cepat dan
sigap. Walaupun begitu, banyak proyek-proyek humaniter yang didesain sedemikian.
Sayangnya, kegiatan tersebut sering terjebak di situasi kompleks yang menyudutkan diri
mereka sendiri seperti, bencana alam, konflik kekerasan yang terulang-ulang, dan
kekerasan yang menyangkut kelompok yang rentan. Situasi tersebut membuat para
pelaku bantuan humaniter kesulitan mencari jalan keluar. Dinamika geopolitik juga
jarang memberi mereka kepastian—terpaksa untuk beradaptasi dengan situasi perang,
warga sipil yang rentan, dll. Gambar besarnya, organisasi humaniter harus membuat
keputusan sulit tentang bagaimana mereka merespons bencana-bencan di dunia. Hal itu
tentu termasuk dengan mandate organisasi, kemampuan merespons, prioritisasi, dan
partisipasi aktor lain (Pringle, et.al. 2015)
Sebuah negara memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan warganya sehat
dan aman, harus dan meningkatkannya pula. Organisasi humaniter di sini secara tak
langsung membebaskan tanggung jawab tersebut dalam konteks darurat kesehatan public.
Sederhananya, ketika organisasi humaniter datang “menyelamatkan”, mereka tak hanya
memudahkan, tetapi juga turut andil dalam kepentingan pribadi, menyehatkan
ketidakadilan sosial, juga mengurus ketahanan skala local. Neoliberalisme sendiri
membuat organisasi humaniter swasta terkadang berlomba untuk memberi donasi kepada
pasar terbuka untuk tetap relevan agar mendapatkan donasi privat agar berkembang—
beda kata dengan organisasi humaniter pemerintahan yang harus terjebak aturan sehingga
kekurangan dana dan tak terurus. Hal ini memengaruhi kesehatan global dengan
“triumphalisme” yang memperlihatkan bahwa kita sudah menang, tetapi hanya
memperbesar kesenjangan kesehatan global (Raich, 2002). Alhasil, diskursus humaniter
sekarang jarang membahas tentang kesenjangan sosial, tetapi focus ke pandangan
ideologi dasar serta profesionalitas. Dengan focus utama yakni, aksi humaniter akan
selalu focus dalam mosi humaniter aktif yang tak hanya focus ke kesengsaraan manusia
tetapi juga mengkritisi perusahaan yang berurusan dengan kemanusiaan juga. Singkatnya,
tentu moralitas semakin minimal—sederhananya menjaga kehidupan manusia, tetapi juga
menjaga penentuan diri, serta harga diri manusia tersebut, walaupun hal yang dilakukan
sangatlah “bare minimum”, humaniterisme setidaknya dapat menghindari alternatif-
alternatif buruk yang disebut tadi (Barnett, 2011).

Anda mungkin juga menyukai