Anda di halaman 1dari 6

Timer [Jam Penghitung Mundur]

"Tapi kan, sekarang kalian udah gak apa-apa lagi sekarang...” Harry menggerutu, mengambil
makanannya saat mereka duduk di salah satu meja di aula besar. Spanduk rumah masih tergantung di
atas kepala, tapi salah satu aspek yang lebih lumayan untuk kembali ke sekolah untuk apa yang
disebut sebagai 'Tahun Kedelapan' adalah bahwa orang-orang sepertinya tidak peduli dengan batas-
batas yang pernah memisahkan mereka. Karena itu, tidak apa-apa jika mereka makan malam meja
Ravenclaw, berteman dengan murid-murid yang bukan hanya dari Gryffindor dan Ravenclaw, tapi
juga Hufflepuff dan juga Slytherin yang sedikit ganjil.

Namun pikiran Harry tidak berada pada rumah-rumah sekolahnya saat dia mencolek pergelangan
tangannya, nomornya sekarang sudah tidak aktif selama lebih dari tujuh tahun. Sahabatnya duduk
bersamanya dengan simpatik, tapi tetap berpegangan tangan. "Har," kata Ron. "Aku tau ini berat,
tapi, yah..."
"Orang bodoh macam apa yang tidak sadar kapan timer mereka berhenti?" Harry berkata.
"Mungkin yang Ron coba bilang itu,” Hermione bernada tegak. "Apa kamu yakin kamu gak inget
sama sekali bahkan detil sekecil apapun saat jam kamu berhenti?”
'Mereka udah gapapa sekarang. Sudah tidak perlu ada yang dipikirkan.' Harry berpikir kepada
dirinya sendiri. Dia sudah tidak bisa merasa pahit dengan keberuntungan teman-temanya, tapi pada
saat bersamaan ia tahu bahwa mereka tidak mengerti sama sekali tentang masalahnya. Mereka tahu
dari awal saat Hermione bertemu dengan Ron dan Harry saat memasuki kompartemen mereka dalam
perjalanan pertama mereka ke Hogwarts bahwa mereka berdua ditakdirkan untuk bersama.
Walaupun mereka membutuhkan beberapa tahun untuk benar-benar menerima hal itu.

Pada saat itu, jam Harry sudah berhenti. "Aku baru tahu kalau aku seorang penyihir," katanya
sambil mendesah, menjelaskan kepada mereka untuk keseratus kalinya bagaimana hal itu bisa
terlintas dalam pikirannya.

"Hagrid membawaku ke Diagon Alley, dan... aku belum pernah melihat apapun yang lebih
menakjubkan." Dia menusuk kentang mashnya di sekitar piringnya sebelum menyerah dan
menjatuhkan garpunya.

"Semua bajuku dulu kebesaran," dia melanjutkan, menggulung lengan bajunya untuk melihat
timer-nya dengan benar. "Jadi, aku sudah terbiasa menutupinya. Saat aku berpikir untuk
memeriksanya, ternyata udah nol. Aku juga menghabiskan hari itu dengan beratus-ratus orang, jadi
bisa jadi siapa aja.”

Hermione mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, dan Harry tahu apa yang akan dia katakan
sebelum dia mengatakannya. "Tapi? kamu pasti pernah berinteraksi dengan seseorang yang
memperhatikan jamnya dan menyadari kalau kamu adalah jodohnya."
"Jadi, kenapa dia tidak berkata apapun?" Balas Harry, dan Ron mengangkat bahu, melihat ke
sekeliling aula yang ramai penuh dengan murid-murid yang sedang mengoceh.

"Sebelas kan masih lumayan muda untuk ketemu jodohmu," kata Ron dengan nada simpatik.

Harry menyandarkan kepalanya ke tangannya. "Ya, tapi kan kalian akhirnya bersama dan baik-baik
aja, “ katanya, berusaha tidak marah.

Mereka melihat sesama dengan pandangan yang saling mengetahui. "Iya,” kata Ron. "Setelah
mengabaikanya selama bertahun-tahun dan berantam seperti kucing dan anjing.”

Hal itu setidaknya bisa membuat Harry tersenyum. "Oke," dia setuju. "Tapi kalian berdua emang
selalu menyebalkan seperti itu.”

"Aku tidak perlu berdebat kalau tentang hal itu," terdengar suara ceria. Harry menengok dan
melihat Draco Malfoy mengayunkan kaki panjangnya untuk duduk di sampingnya, menarik piring
untuk makan malam sendiri.

"Ha ha," Ron tertawa dengan nada datar. "Oke Malfoy, terserah kamu."

Kejadian yang mungkin paling mengejutkan saat mereka kembali ke sekolah adalah sikap Draco
yang berubah secara total. Dia mencari Harry pada malam pertama untuk meminta maaf atas tingkah
lakunya yang mengerikan selama bertahun-tahun. Setelah Harry (yang pada saat itu dalam keadaan
syok) menerima permintaan maafnya, ia melakukan hal sama kepada Ron dan Hermione. Terkadang,
Harry masih bertanya-tanya jika Draco benar-benar ikhlas melakukan hal tersebut, tapi setelah
berbulan-bulan tanpa permusuhan, dia dan Draco, melawan segala kemungkinan, menjadi teman.
Bukan teman seasal kenal aja, tapi teman sebenarnya.

Harry masih merasakan sesuatu yang aneh saat Draco ada di sekitarnya, dan dia mengatakannya
pada kenyataan bahwa mereka telah lama menjadi musuh; Masih ada bagian naluriah kecil dari
dirinya yang sangat sadar akan setiap gerakannya. Terkadang terasa seperti ada listrik di antara
mereka, tidak ada cara lain untuk menggambarkannya.

"Jadi, apa yang kita bicarakan?" Tanya Draco tanpa malu-malu. Dia selalu pandai memotong
intinya.

"Soulmate-nya Harry," kata Ron dengan pengunduran diri yang murung. "Harry tidak tahu
siapa dia. Dia tidak menyadari jam nya berhenti sampai kita berada di Hogwarts pada tahun
pertama.”

Hanya karena dia selalu begitu sadar dengan cara yang dilakukan Draco, Harry menangkap sedikit
jemarinya tersentak. "Iya kah?" Katanya, menatap Ron.
Hermione menggelengkan kepalanya. "Bisa saja ada orang yang dia temui dalam perjalanan
pertamanya ke Diagon Alley."

Draco mengangguk, menatap kuah daging yang dituangkannya ke sosis dan kentangnya. Harry
tidak mengetahui mengapa Draco mendadak terlihat lebih berkeringat.

Ron membantu dirinya untuk beberapa detik. "Tapi, aneh dia tidak berkata apapun.”
"Mungkin saja dia berkata sesuatu," kata Draco, meletakkan garpu yang tidak terpakai. "Dan kamu
tidak menyadarinya?" Dia hanya melirik Harry saat dia berbicara, senyum kecil di sudut mulutnya.
Dia tampak hampir rapuh, dan Harry merasakan desakan tiba-tiba untuk meremas bahunya atau
semacamnya. Dia menolak meskipun; Draco mungkin telah berubah tapi sentuhan seperti itu akan
melintasi batas.
"Tapi, Ron benar, sebelas masih lumayan muda," kata Hermione. "Mungkin dia lebih tua dan
hanya menyapanya karena tak ingin membuat kamu takut. Bisakah kamu ingat siapa saja yang kau
temui hari itu?”

Harry tertawa. "Astaga Hermione, aku berbicara dengan hampir semua asisten toko di jalan dan
Hagrid mengenalkan aku pada belasan dan puluhan orang, aku bahkan sudah lupa." Dia menghela
napas dan menggosok wajahnya.

Mungkin dia tidak akan pernah bertemu dengan orang yang alam semesta telah memutuskan harus
menjadi belahan jiwa, atau soulmate-nya. . Dia sudah mencoba menangani masalah ini dengan
tangannya sendiri sebelumnya bersama Cho dan Ginny, tapi dengan jam mereka yang masih
berdetik, kedua hubungan itu tidak lebih dari sekedar kecerobohan.

“Berapa lama lagi yang tersisa di jam mu itu, Malfoy?" Tanya Ron ketika kesunyian itu
menatapnya tidak nyaman, tapi jika wajah Draco lebih pucat lebih jauh lagi.

"Aku," katanya, matanya membalik antara Ron dan Hermione di depannya, dan akhirnya Harry
berada di sampingnya. "Itu uh... Jam ku… sudah habis."

Alis Harry terangkat kaget, dan sesuatu yang dingin dan tak terbantahkan dipicu olehnya.
"Sungguh?" katanya, suaranya sedikit tegang dikarenakan oleh alasanya yang bahkan Harry tidak
terlalu tahu. Dia batuk untuk mencoba dan kembali ke suara biasanya. "Kapan, dan siapa jodohmu?"

Draco hampir terlihat sakit, dan dia menyingkirkan makanannya yang tak tersentuh. Dia menarik
napas, dan mengangkat matanya yang lebar dan perak untuk bertemu dengan Harry sesaat. "Aku
harus pergi," bisiknya, dan berdiri sebelum ada yang bisa menghentikannya.

Harry berkedip, memerhatikannya dengan bingung, sebelum kembali menengok kepada Ron dan
Hermione. Ron memakai ekspresi yang mungkin hampir sama dengan Harry, tapi Hermione tidak
terlalu terlihat terkejut. "Apa?" Tanya Harry.
Mulutnya terbuka dan tertutup saat dia melirik antara Draco yang sudah jauh dan Harry.

"Apa Hermione?" Harry menuntut lagi dengan sedikit desakan lagi. "Jangan ngomong kepada
dirimu sendiri. Gunakan mulutmu untuk berbicara," tambahnya sambil tertawa, tetapi Hermione
terlihat sangat serius. Saat Harry menyadari matanya terlihat sedikit bergemilang, dia tahu bahwa
Hermione mengetahui sesuatu yang Harry tidak.

"Harry," katanya menyeringai. "Siapa lagi yang kamu temui hari itu?"

Harry mendengus kesal. "Sudah aku katakan," dia memulai, tapi dia menggelengkan kepalanya,
memotongnya.

"Pikirkan!" Desaknya, hampir melempar meja. "Kamu bertemu dengan siswa lain, dan kamu
berbicara dengan nya. Kamu bahkan memberi tahu kami!"

Ron mengerutkan kening padanya seolah dia tidak tahu sama sekali yang mereka bicarakan. Tiba-
tiba, seperti petir, Harry mengerti apa maksud Hermione. "Madam Malkin's," katanya
murung. Mungkin saja dia berkata sesuatu, Draco berkata. Dan kamu tidak menyadarinya?
“Sialan.”

"Apa," kata Ron kepalanya tersentak di antara mereka berdua. "Apa!"

Hermione mengusir Harry dari meja. "Tunggu apa lagi?" Dia menuntut. "Pergi ambil dia!"

Harry melompat berdiri dan lari, tidak menghirau berapa banyak orang yang menonton nya, dia
hanya tahu dia harus mencari Draco. Dia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya lagi.

Lorong pintu masuk kosong, tapi naluri Harry menyuruhnya berlari ke luar, dan tentu saja, Harry
mengenal sesosok yang sedang berjalan menuju danau, tangannya berada di sakunya, kepalanya
tertunduk saat dia mengusap kakinya di rumput.

Draco. Hati Harry berdetak dengan kencang. Semua perkelahian yang mereka alami, seperti yang
selalu mereka lakukan satu sama lain. Dan sekarang, persahabatan mereka, gesekan yang selalu
dirasakan Harry saat mereka saling berdekatan.

Dia sangat bodoh.

Dia langsung berlari lagi, berlari melintasi lapangan dengan rasa ringan di dalam hatinya yang
tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Draco bahkan tidak melihatnya datang sampai dia menepuk
bahunya, memintanya untuk menghadapinya. "Kamu tahu," dia bernapas dengan campuran
kebahagiaan dan ketidakpercayaan. "Selama ini... Kamu tahu itu aku."
Draco berdiri diam, matanya lebar dan bersinar. "Dan kamu tidak tahu sama sekali?" Katanya,
suaranya kecil.

Harry menenangkan dirinya. Ia menatap Draco, mencoba melihatnya dengan mata baru. "Kamu....
Kamu pikir aku tahu? Kamu pikir aku tahu saat jam ku berhenti?"

Draco menunduk menatap sepatunya, sedikit melemas di bawah pegangan Harry. "Aku pikir kamu
hanya tidak menginginkanku," katanya, suaranya retak.

Harry memejamkan matanya, tujuh tahun terakhir berlalu dari pikirannya. "Itulah mengapa kamu
dulu begitu jahat terhadap aku," katanya dengan pasti. "Selama ini kamu memprovokasi aku, kamu
pikir aku akan menolak kamu."

Draco menggelengkan kepalanya, satu air mata menelusuri pipinya dan matanya masih di atas
rumput. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi."

Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, Harry menariknya ke pelukan, ingin menebus begitu banyak
kehilangan waktu di antara mereka. Perasaan lega menyapu dirinya saat Draco langsung
membalasnya, meremas Harry sedekat mungkin melawan tubuhnya. "Maafkan aku," bisik Harry di
lehernya, tubuhnya merasa geli saat aroma yang sangat khas Draco seperti menelanya, , kulit mereka
terasa seperti hampir terbakar saat mereka akhirtnya bestentuh. Salah satu tangan Draco berada di
rambut Harry, dan satunya lagi membelai punggungnya dengan posesif. Harry memegangnya erat,
jari-jarinya seolah menggali pakaian Draco.

"Tidak," kata Draco. "Akulah yang seharusnya menyesal. Seharusnya aku tanya kepadamu, tapi
aku hanya berpikir bahwa kamu tidak menginginkanku, dan yang bisa kupikirkan hanyalah bersikap
kejam. Aku tidak tahu, apa kau bisa- "

"Aku memaafkanmu," Harry memotongnya dengan tergesa-gesa. Dia menariknya kembali untuk
melihat mata Draco, yang hanya beberapa sentimeter dari tubuhnya sendiri. Harry menaruh tanganya
di pipi Draco, mengusap tulang pipinya yang tajam itu dengan jempolnya. "Aku tidak ingin
memikirkan apa yang seharusnya kita lakukan, bagaimana keadaan bisa saja berubah. Itu sudah di
masa lalu. Itu sudah berakhir. Tapi sekarang … Sekarang kita memiliki seluruh hidup kita untuk
bersama. "

Akhirnya wajah Draco terbelah menjadi seringai lebar yang tak tahu malu, yang dalam beberapa
detik menjadi tawa meski air mata yang berjatuhan dari matanya. Dia menaruh wajah Harry
diantaranya kedua tanganya, sikapnya mendesak tapi sentuhannya lembut. "Aku sudah lama
menginginkan ini," katanya, beban besar yang telah diangkat darinya jelas bahkan dalam senja yang
redup.
Harry ingin mengatakan kepadanya bahwa dia menyesal lagi, bahwa semuanya akan baik-baik saja
sekarang, sehingga mereka berdua bisa berhenti bertanya-tanya, berhenti mencari. Tapi kata-kata
sepertinya tidak cukup. Jadi Harry mencondongkan tubuh ke depan, jantungnya berdegup kencang di
dadanya, dan dengan lembut menekan bibirnya ke bibir Draco.

Ini. Inilah yang sebelumnya hilang. Dia tahu itu tidak benar dengan Ginny atau dengan Cho, tapi
ini semua yang dia tidak pernah tahu dia inginkan.

Tanpa diduga, tubuh mereka datang lebih dekat lagi dan ciuman itu semakin dalam. Kebahagiaan
dan kepuasan seperti yang Harry tidak pernah tahu mengalir melalui pembuluh darahnya sampai dia
merasa berenang di dalamnya.

Dia melepaskan ciumannya, ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini benar-benar terjadi,
menatap Draco dengan ketidakpercayaan yang tidak layak. "Aku menemukanmu," bisiknya.

Draco mengangguk. "Dan sekarang aku tidak akan membiarkanmu pergi."

Anda mungkin juga menyukai