Anda di halaman 1dari 6

Detention

Seorang anak berambut pirang berjalan angkuh di depan mereka. Anak itu–Draco Malfoy–masih
menggerutu tentang poin asramanya yang dipotong oleh Professor McGonagall karena melanggar
aturan.

Harry, Ron dan Hermione sama kesalnya. Namun, mereka hanya menggerutu dalam hati. Toh,
mereka pun salah. Terlebih Hermione, Harry bisa merasakan kesedihan di raut wajahnya. Mungkin,
baru pertama kali Hermione menjadi penyebab terpotong poin asrama mereka. Membuatnya merasa
bersalah.

Ron disampingnya malah mengoceh tentang kedua kakak kembarnya. Fred dan George. Ron
mengatakan kalau Fred dan George sering mendapat detensi. Mungkin, itulah yang membuatnya
tampak agak tenang dari yang lain.

Di depan Malfoy, terdapat Mr. Filch yang tengah memimpin barisan. Pria tua yang memiliki kucing
itu membawanya ke pondok Hagrid, yang mana membuat mereka bertiga merasa sedikit lega.

Hagrid berdiri saat melihat kedatangan mereka. Di tangan kanannya terdapat sebuah lentera.

"Aku tidak kaget kalau kau Harry, tapi Malfoy?" kata Hagrid dengan agak cemas. Harry melihat
Malfoy menatap Hagrid dengan agak menghina.

Setelah mengantar mereka, Mr. Filch pergi mengundurkan diri.

Hagrid kini memimpin di depan dengan lenteranya. Di belakang terdapat Malfoy yang berjalan tidak
seperti biasanya, kedua kakinya menyatu dan kepalanya agak menunduk. Sedangkan Harry, Ron dan
Hermione berbaris menyamping, seperti biasa.

"Kita akan kemana?" tanya Malfoy pelan, menatap pemandangan di depannya dengan takut.

"Hutan Terlarang," jawab Hagrid enteng.

Malfoy berjengit pelan, lalu dengan perlahan ia mundur. Kini mereka berbaris menyamping dengan
sempurna.

"H-hutan?" ulang anak berambut pirang itu, nada suaranya tidak seangkuh biasanya. "Kupikir murid
tidak boleh masuk kesana pada malam hari–ada macam-macam–manusia serigala, kudengar,"
beritahunya.

"Ya, memang. Minerva pikir hukuman seperti ini pantas untuk kalian yang suka melanggar aturan,"
kata Hagrid galak.
Mereka semua sudah sepenuhnya masuk ke dalam hutan. Pohon-pohon tinggi, gemuk dan rimbun
tumbuh sehat disekeliling mereka. Gelapnya langit ditambah kabut agak tebal menambah kesan
mengerikan.

Mendadak Hagrid berhenti tepat di antara dua jalan setapak. Hagrid memajukan lenteranya tinggi-
tinggi, seakan sedang mencari sesuatu dalam kegelapan sana.

"Lihat disana, 'kan?" kata Hagrid. "Lihat yang berkilau di tanah itu?"

Malfoy dan Ron berjinjit dan sedikit memajukan kepalanya ke depan. Tertarik dan penasaran dengan
apa yang Hagrid bahas. Sedangkan Hermione berdiri kaku di sebelah Ron.

Hagrid berbalik. "Yang keperakan itu darah unicorn. Di dalam ada unicorn yang luka parah digigit
entah apa, ini kedua kalinya dalam seminggu."

"Kasihan," gumam Hermione pelan.

"Aku temukan satu unicorn mati hari rabu lalu. Kita akan cari makhluk malang itu, mungkin kita
harus bebaskan dia dari penderitaannya," jelas Hagrid.

Harry bisa merasakan Malfoy bergidik.

"Dan bagaimana kalau entah apa yang menggigit unicorn itu lebih dulu menemukan kita?" kata
Malfoy, tak sanggup menyembunyikan rasa takut.

Hagrid terkekeh pelan. "Tak ada satu pun di hutan yang akan melukaimu kalau kau bersamaku atau
Fang."

Harry bahkan tak menyadari kalau Hagrid membawa anjing peliharaan miliknya–Fang. Anjing itu
duduk santai di samping Hagrid, seakan tur seperti ini sudah biasa baginya.

"Dan ikuti jalan ini," Hagrid menunjuk dua jalan setapak yang tersedia. "Baik, sekarang kita bagi
menjadi dua rombongan dan kita ikuti jejak ke dua arah yang berlainan. Ada bercak darah dimana-
mana, paling tidak si unicorn sudah berkeliaran kesakitan sejak semalam."

"Aku mau bersama Fang," pinta Malfoy sambil menatap Fang penuh harap.

Hagrid menyerahkan anjingnya. "Ya boleh, asal kau tahu, dia pengecut."

Fang menggonggong pelan, berjalan memutari Malfoy sebelum duduk di samping Harry, menjilat
tangannya.

"Jadi aku, Hermione dan Ron ke arah kanan, sedangkan Fang, Harry dan Malfoy ke arah kiri sana,"
Malfoy melirik tajam Harry, sebelum mengalihkan pandangannya ke Hagrid. "Nah, kalau salah satu
dari kita menemukan unicorn itu, kita kirim bunga api hijau dan kalau ada kesulitan, kirim bunga api
merah, paham?"
Mereka semua mengangguk paham mendengar penjelasan Hagrid, kecuali Malfoy.

"Um, maaf? kenapa aku harus berpasangan dengan Potter?" tanya Malfoy menatap Harry sinis. Harry
menghela napas lelah.

"Ini perintah Minerva. Tapi kalau kau ingin bertukar, kau boleh tukar dengan Ron."

Ron menatap sengit Hagrid, sedangkan Malfoy menatap Ron jijik sebelum berbalik dan menghampiri
Harry.

"Ayo berangkat!" Hagrid menyerahkan salah satu lentera ditangannya pada Harry. "Berhati-hatilah,"
bisik Hagrid sebelum berbalik ke arah lain bersama Hermione dan Ron.

Harry, Fang dan Malfoy melanjutkan perjalanan ke arah kanan jalan. Di tangannya terdapat lentera,
sebelum diambil paksa oleh anak pirang itu. Mengatakan kalau ia yang seharusnya memegang. Harry
hanya menatap pasrah, toh tak penting siapa yang memegang lentera, yang penting bisa menerangi
jalan mereka di antara kegelapan hutan yang semakin mencekam.

"Ayahku pasti akan mendengar tentang ini." gumam Malfoy pelan. Napasnya agak tersenggal karena
menaiki akar-akar besar yang menghalangi sepanjang jalan.

Suara lolongan serigala dari kejauhan membuat bulu kuduk Harry berdiri. Malfoy beringsut
mendekat.

"Kau dengar itu?" Malfoy mengangkat lentera tinggi-tinggi, menyinari sisi gelap hutan. Harry hanya
menatap Malfoy dalam diam.

"Takut, Potter?" Seringai jailnya kembali terulas di bibir, namun raut wajahnya berkata lain.

"Kau yang sepertinya takut, Malfoy." balas Harry.

Malfoy menatap Harry angkuh. "Omong kosong, Malfoy tidak pernah takut."

Suara lolongan serigala kembali terdengar, tapi kali ini lebih kencang dari yang sebelumnya.

"Akui saja." Harry tersenyum menang ketika bahu Draco menempel pada bahunya. Punggung tangan
mereka hampir bersentuhan.

"Kalau kau takut, kau boleh memegang tanganku, Malfoy." Draco meliriknya tajam. "Jangan malu-
malu."

Sebuah tangan mengenggam tangan kanannya. Tangan milik Draco!–tetapi dingin sekali. Harry pun
balas mengenggam. Berharap bisa menghangatkan tangan anak pirang itu.
Draco membulatkan matanya terkejut. Tak tahu kalau reaksi Harry akan sehangat ini, membuatnya
malu. Kedua pipinya merah merona, kemudian Draco memalingkan pandangannya ke samping agar
Harry tidak bisa melihat pipinya yang merona.

Harry tertawa dalam hati. Padahal Draco tidak menyembunyikan wajahnya pun Harry masih bisa
melihat rona di pipinya.

Harry menghentikan langkah, tak percaya apa yang baru saja ia lihat. Draco menggerutu.

"Lihatlah!" seru Harry sambil menujuk sesuatu yang keperakan di tanah. Darah Unicorn!

Harry tanpa ragu mengikuti jejak keperakan itu, sedangkan Draco membuntuti dari belakang.
Genggaman mereka terlepas, tetapi Harry bisa merasakan ujung jubahnya ditarik pelan.

Tetesan keperakan itu menuntun mereka ke sisi gelap hutan. Mereka semua meneruskan perjalanan.
Kini Harry yang memimpin dengan Fang di samping dan Draco di belakang.

Di ujung sana terdapat dataran rendah dengan akar-akar besar di sekelilingnya. Membentuk sebuah
cekungan. Dan di sana ada objek putih yang tergeletak di tanah, berbaring tak berdaya. Cairan
keperakan mengalir di bawahnya, hingga membentuk sebuah kubangan.

"H-harry ... " bisik Draco pelan saat Harry mendekati objek mencurigakan tersebut. Draco tak lagi
mengikuti.

"Hei lihat, ini bangkai unicorn!" kata Harry. Tangannya memegang tongkat sihirnya, siap memberi
sinyal hijau ke udara. Tetapi, Draco menariknya kencang ke belakang, menjauhi bangkai unicorn
tersebut.

Harry menatap anak itu penuh tanya. Namun kebingungannya hilang tergantikan dengan cemas saat
Draco menatap ngeri pemandangan di hadapan mereka.

Sesosok hitam berkerudung mengerikan merangkak dari balik semak. Bergerak menuju bangkai
unicorn tersebut, kemudian Harry bisa mendengar suara sesapan. Makhluk mengerikan itu meminum
cairan putih keperakan tepat pada bekas luka sayatan di bangkai unicorn itu.

Harry dan Draco terpaku. Fang berlari pergi, meninggalkan mereka.

"Harry! Ayo!" teriak Draco kencang sambil menarik jubah Harry agar segera pergi menjauhi tempat
tersebut. Namun apa daya, Harry benar-benar terpaku, seakan kakinya tertancap di bumi. Tak bisa
bergerak.

Seperti ada koneksi, makhluk hitam berkerudung itu mengalihkan perhatiannya pada Harry. Menatap
Harry lapar. Kini makhluk itu tidak merangkak, melainkan melayang di udara. Sosoknya yang hitam
besar membuat Harry merasa terintimidasi.
Mendadak luka di dahinya panas, nyeri dan pedih bersamaan. Spontan jarinya menekan bekas luka
tersebut, berharap rasa sakit itu berkurang.

Harry berjalan mundur, hingga ia benar-benar terpojok. Di belakang terdapat banyak akar besar
menyelimuti sekeliling. Harry bersembunyi di balik akar tersebut. Walaupun ia tahu itu sia-sia.

Tiba-tiba terdengar sebuah letusan. Langit berubah menjadi merah. Tapi Harry tak tahu itu berasal
darimana.

Sosok mengerikan itu melayang cepat  mendekatinya, sebelum sesuatu yang besar melompat dan
menerjang makhluk itu. Harry tidak bisa menebak itu siapa.

Bukan sosok hitam berkerudung yang berhasil mendekatinya, melainkan bunyi tapak kuda.

"Kau tak apa-apa?" kata suara yang di depannya.

Harry menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. "Ya, terimakasih. Tadi itu apa?"

"Siapa namamu?"

Harry mendongak, menatap makhluk besar tinggi di hadapan. Seekor kuda tetapi berkepala manusia–
Centaurus. Harry pernah lihat makhluk itu di buku dongeng Dudley.

"Harry Potter." kata Harry sambil berdiri.

Centaurus itu kaget. "Kau Harry Potter," katanya. "Sebaiknya kau kembali pada Hagrid. Hutan tidak
aman pada saat ini–terutama untukmu."

Centaurus itu menyuruh Harry untuk naik ke punggungnya. Namun suara berisik di belakang,
membuat Harry menoleh. Hagrid, Ron dan Hermione muncul dan menghampirinya.

"Harry, kau tak apa-apa?" kata Hagrid, sebelum menyadari ada makhluk Centaurus di dekatnya.
Mereka berbincang, namun Harry tidak bisa memastikan topik apa yang mereka bicarakan.

"Harry, apa ada yang terluka?" tanya Hermione cemas, sampai meraba-raba tangan dan bahunya.

"Apa kau melihat sesuatu yang aneh, Mate?" kali ini Ron bertanya. Menatap kelakuan Hermione
dengan aneh.

Harry hanya mengangguk dan menggeleng untuk menjawab pertanyaan mereka semua. Ia menatap
lurus ke belakang. Draco berdiri di sana, menatap Harry ngeri bercampur cemas.

Setelah Hagrid selesai berbincang dengan Centaurus yang bernama Firenze itu, ia mengajak mereka
semua untuk meninggalkan hutan. Malfoy masih terdiam di belakang mereka. Harry menduga kalau
anak pirang itu masih shock dengan kejadian tadi, jadi mereka membiarkannya.
"Kita harus membawanya ke Madam Pomfrey!" kata Hermione pada Hagrid. Mereka semua sudah
berada di tepi hutan. Harry bisa melihat kastil Hogwarts dari kejauhan yang berdiri dengan megah.

"Tidak, kupikir Harry tak menginginkan itu," bantah Ron yang ada benarnya.

"Tapi–"

"Aku ingin ke pondokmu saja, Hagrid," kata Harry. Hermione menatapnya kecewa.

"Tuhkan."

***

Harry, Ron dan Hermione pamit pergi. Teh buatan Hagrid memang sungguh manjur membuat
kondisinya baik kembali. Draco sudah jalan terlebih dahulu, meninggalkan mereka dibelakang, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun pada Hagrid.

Hagrid ternyata kenal dengan Centaurus yang menolongnya tadi. Ia pun menceritakan pertemuan
pertamanya dengan Firenze–yang mana Harry tak tertarik untuk memasang telinga. Hagrid pun
memberitahu kalau Draco pelaku yang membuat langit di atas Hutan Terlarang memerah.

Entahlah, saat Harry mendengar pernyataan itu, ia ingin melakukan ini sejak tadi.

Harry berteriak, "Hey, Malfoy!"

Draco yang sudah jauh didepan mereka berbalik, memandang Harry dengan penuh tanya.

Tanpa menjelaskan apapun, Harry berlari menghampiri anak pirang itu dan memeluknya dengan erat.

Ron dan Hermione yang berada jauh dari mereka, menatap kelakuan temannya itu tak percaya.

"Terimakasih," bisik Harry. Wajah Draco memerah.

"U-untuk apa?" Kali ini Draco bersuara dan ia sangat menyesalinya. Suaranya sangat aneh di dengar.
Ia tak pernah mencicit gugup seperti ini. Memalukan, rasanya ia ingin mengubur dirinya ke dalam
tanah.

"Untuk segalanya." Harry tersenyum lebar lalu melepaskan pelukan. Harry melesat pergi disusul Ron
dan Hermione, meninggalkan Draco sendiri yang masih merona merah bercampur kebingungan.

Anda mungkin juga menyukai