Anda di halaman 1dari 20

PERANAN AMDAL DALAM PEMBANGUNAN

DI INDONESIA

Disusun Oleh :

RISDAYANTI
C21039

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES BINA BANGSA MAJENE

TA 2022
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul
“Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.”
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah yang
telah membimbing serta memberikan ide serta telah memberikan kepercayaan
kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu sesuai dengan yang diharapkan.
Begitu juga kepada saudara atau rekan-rekan yang telah mendukung dan
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami masih merasa memiliki kekurangan.
Olehnya itu kami sangat mengharapkan saran-saran dan kritikan dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pembaca sekalian.

Majene, Desember 2022

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR..............................................................................iii

DAFTAR ISI..............................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................1

C. Tujuan Penulisan................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................2

A. MENGENAL AMDAL......................................................................2

1. Pengertian AMDAL.........................................................................2

2. Sejarah AMDAL..............................................................................2

3. Perkembangan AMDAL...................................................................4

B. PENERAPAN AMDAL.....................................................................7

1. Penerapan AMDAL Di Internasional...............................................7

2. Penerapan AMDAL Di Indonesia..................................................10

3. Kendala dalam penerapan AMDAL...............................................11

BAB III PENUTUP..................................................................................14

A. Kesimpulan.......................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................15

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan jelas menyebutkan bahwa
sumber daya alam dan budaya meruakan modal dasar dalam pembangunan.
Sebagai arahan pembangunan jangka panjang, GBHN menyebutkan bahwa:

“Bangsa Indonesia menghendaki hubungan selaras antara manusia dengan


Tuhan, dan antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.”

Dengan demikian, diperlukan adanya usaha agar hubungan rakyat


Indonesia dengan lingkungan alam dapat semakin selaras. Sebagai modal dasar,
sumber daya alam harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, haruslah
diupayakan agar meminimalisir kerusakan lingkungan. Hal ini dapat terwujud jika
analisis mengenai dampak lingkungan dapat diterapkan pada setiap kegiatan yang
diperkirakan berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut;

1. Apa yang dimaksud dengan AMDAL?


2. Bagaimana sejarah AMDAL?
3. Bagaimana perkembangan AMDAL?
4. Bagaimana penerapan AMDAL di dunia Internasional dan di Indonesia?
5. Apa kendala penerapan AMDAL di Internasional dan Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian AMDAL?


2. Untuk mengetahui sejarah AMDAL?
3. Untuk mengetahui perkembangan AMDAL?
4. Untuk mengetahui penerapan AMDAL di dunia Internasional dan di
Indonesia?
5. Untuk mengetahui penerapan AMDAL di Internasional dan Indonesia?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. MENGENAL AMDAL
1. Pengertian AMDAL
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), AMDAL merupakan
penilaian dampak positif dan negatif dari perencanaan sebuah proyek
(pembangunan) yang melingkupi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012, AMDAL


merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi suatu proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa AMDAL


adalah suatu kajian atau penilaian mengenai dampak yang ditimbulkan dari
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha terhadap kondisi
lingkungan, sosial dan ekonomi di sekitarnya.

2. Sejarah AMDAL
Awal mulanya, AMDAL berasal dari negara Amerika serikat sekitar tahun
1969 pada organisasi The National Environmental Policy Act of 1969, atau lebih
dikenal dengan sebutan NEPA 1969. Dengan kehadiran NEPA 1969, sebuah
sistem untuk mengendalikan dampak dari berbagai macam kegiatan yang dapat
merusak lingkungan hidup. Sistem tersebut dibuat ke dalam bentuk aturan atau
kebijakan. Sampai saat ini, sistem yang mengatur mengenai dampak
pembangunan yang dapat merusak lingkungan hidup tersebut mulai diadaptasi
dan digunakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.

Pada saat sistem amdal mulai masuk ke Indonesia, Pemerintah Indonesia


mulai menyusun Undang-Unfang tentang Pokok-Pokok Pengolahan Lingkungan
Hidup. Namun, sebelum menerapkan undang-undang ini, pemerintah Indonesia
masih menggunakan suatu kebijakan pembangunan berupa perencanaan program
yang diawasi dengan sistem Top Down Policy, Planning, Exexution, dan Control.

2
Pada masa itu, sistem pembangunan di Indonesia berjalan dengan baik. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu, secara perlahan kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah mulai terjadi. Kesenjangan tersebut dapat terlihat pada
daerah-daerah di perbatasan yang dimana aksesnya masih belum memadai.

Pada tahun 1969, ditetapkanlah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
sebuah kebijakan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.. Jangka pendek merupakan pembangunan yang dilakukan selama 5
tahun, jangka menengah adalah rencana pembangunan selama 15 tahun, dan
jangka panjang itu adalah pembangunan selama 25 tahun. Pada saat itu,
pemerintah Indonesia yang hanya berfokus pada kebijakan pembangunan demi
kemajuan ekonomi dan pembangunan fisik mulai menyadari pentingnya
memperhatikan lingkungan hidup saat melakukan pembangunan. Dnegan
kesadaran tersebut, pemerintah Indonesia mulai membentuk suatu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengolahan Lingkungan
Hidup.

Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah Indonesia mulai memperbaiki


kebijakan mengenai AMDAL dengan membuat Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Setelah
menggunakan PP tersebut untuk melakukan pembangunan, pemerintah Indonesia
mulai mempertimbangkan lebih dalam ketika melakukan pembangunan. Dengan
kata lain, pemerintah Indonesia ingin mengembangkan serta memperluas
pembangunan bukan hanya sekedar berwawasan lingkingan saja, tetapi juga
pembangunan yang berkelanjutan.

Maka dari itu, dibentuklah suatu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun


1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dibentuknya PP ini juga
berdasarkan pada rumusan dari Panitia Konferensi Dunia yang dilaksanakan di
Rio de Jeneiro pada tahun 1992. Dari konferensi itu juga, panitia UNCED (United
Nation Conference on Enviromental Development) memberikan sebuah gagasan
berupa tema pembangunan berkelanjutan. Dalam tema pembangunan
berkelanjutan tersebut, terdapat beberapa hal yang harus dicapai, di antaranya

3
berwawasan lingkugan, memberdayakan masyarakat, mengembangkan ekonomi
lokal, dan memperkuat budaya.

Keinginan Indonesia untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan


memunculkan sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan pemerintah tersebut menggantikan PP
Nomor 51 Tahun 1993 dan menghapus Amdal Regional atau wilayah. Kebijakan
AMDAL perlahan semakin kuat seiring dengan adanya kebijakan pemerintah
reformasi dan desentralisasi. Dengan kata lain, pemerintah daerah (kabupaten,
kota, dan provinsi) menjadi memiliki peran yang sangat penting dalam
melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang ada di daerahnya.

3. Perkembangan AMDAL
Pada saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 merupakan landasan hukum dalam
pelaksanaan AMDAL. Dalam pelaksanaannya di Indoensia dibagi dalam empat
periode, yaitu:

a) Tahap Implementasi: pra-1987, UU 4/1982 dan periode 1987 – 1993, PP


No. 29/1986

AMDAL mulai diterapkan di Indonesia secara formal pada tahun


1982 melalui penerapan Undang Undang nomor 4/1982 namun belum
dilaksanakan secara luas karena belum adanya pedoman pelaksanaan yang
lebih rinci walaupun pada periode ini sudah ada yang melakukan studi
AMDAL sebagai pemenuhan persyaratan bantuan luar negeri dan
permintaan lembaga donor. Pada periode ini implementasi AMDAL masih
terbatas karena masih kurangnya pemahaman AMDAL oleh para
stakeholder. Barulah pada tahun 1986 ketika Peraturan Pemerintah nomor
29/1986 tentang AMDAL mulai diberlakukan, AMDAL secara sistematis
mulai dilaksanakan dan bahkan cenderung sangat ekstensif karena banyak
sekali kegiatan yang diwajibkan menyusun AMDAL dan melakukan
evaluasi lingkungan melalui Studi Evaluasi Mengenai Dampak
Lingkungan, SEMDAL. Dapat dilihat bahwa pengenalam AMDAL di
Indonesia pada tahun 1980an merupakan suatu hasil perkembangan

4
kepedulian lingkungan secara internasional sebagai imbas dari Konferensi
Stockholm. Hal ini didorong pula oleh bantuan program dari Pemerintah
Kanada dalam penyusunan perangkat peraturan AMDAL sejak tahun 1983
(BAPEDAL & EMDI, 1994: 29). Berbagai panduan disusun untuk
melaksanakan AMDAL termasuk panduan teknis dari berbagai instansi
sektoral. Namun demikian koordinasi antar lembaga pelaksana AMDAL
belum demikian terjalin dengan baik pada periode ini. Demikian pula
Sekretariat dan Komisi AMDAL sebagai badan yang melakukan proses
administrasi dan mengkaji secara teknis belum terlalu berkembang.

b) Tahap Pengembangan: antara 1993 – 2000, PP No. 51/1993

Tahap ini memberi penekanan pada penyederhanaan proses


AMDAL sejalan dengan deregulasi birokrasi pemerintahan. Muatan
deregulasi mencakup penghilangan proses SEMDAL dan pengenalan
berbagai pendekatan dalam proses AMDAL (proyek tunggal, terpadu,
kawasan, dan regional). Dengan hilangnya proses SEMDAL, beban kerja
instansi yang melaksanakan AMDAL menjadi lebih proporsional,
demikian pula jumlah kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih sedikit dan
lebih tepat sasaran. Menurut laporan Bapedal (2000) terdapat sekitar 7.000
dokumen yang diproses hingga awal tahun 2000 atau 4.507 dokumen yang
dinilai pada kurun waktu 1993 hingga 1997. Pada masa ini pula institusi
Bapedal mulai beroperasi dengan baik dan memiliki otoritas untuk
pentaatan AMDAL dan pengawasan kualitas dari dokumen yang
dihasilkan. Hal yang cukup menarik pada periode ini adalah
diperkenalkannya berbagai pendekatan studi AMDAL yang semula hanya
dikenal melalui pendekatan proyek (seperti di negara asalnya). Pada
periode ini paling tidak terdapat empat pendekatan dalam studi AMDAL
yaitu AMDAL proyek, regional, kawasan, dan terpadu. Dengan
pendekatan ini diharapkan proses AMDAL menjadi lebih efektif dan
berbagai isu seperti dampak kumulatif atau dampak yang lebih strategis
dapat diantisipasi.

5
c) Tahap Perbaikan (Refi nement): pasca-2000, UU 23/1997 dan PP No.
27/1999

Tahap ini memberikan penekanan pada prosedur pelibatan


masyarakat, sentralisasi kewenangan dari sektoral kepada Bapedal dan
redesentralisasi pelaksanaan AMDAL kepada pemerintah daerah
(propinsi) serta adanya pendekatan AMDAL lintas batas. Periode ini
ditandai dengan pembubaran Komisi Penilai AMDAL di departemen
sektoral dan pemusatan pelaksanaan AMDAL oleh Bapedal. Bapedal
mendistribusikan kewenangan AMDAL ini ke tingkat propinsi. Dari sisi
positif dapat dikatakan bahwa penilaian AMDAL diharapkan menjadi
lebih obyektif dan tidak bias dengan kepentingan pembangunan oleh
instansi sektoral. Di samping itu, desentralisasi kewenangan AMDAL ke
tingkat propinsi menunjukkan berjalannya prinsip akuntabilitas daerah
dalam pembangunan berkelanjutan. Dari sisi negatif dapat dikatakan
bahwa perubahan ini menghilangkan sumber daya manusia AMDAL di
departemen sektoral dan menurunkan perhatian lingkungan oleh instansi
teknis pelaksana pembangunan fisik. Dari sisi kemajuan sistem AMDAL,
selain pendekatan lintas batas, periode ini juga mengenalkan mekanisme
pelibatan masyarakat yang lebih intensif di dalam proses AMDAL.
Demikian pula proses AMDAL menjadi lebih sederhana dan kegiatan
wajib AMDAL menjadi lebih sedikit dan proporsional hanya untuk
rencana kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting. Namun
demikian, pada masa ini terdapat kemunduran yang sangat berarti karena
perubahan kondisi politik di tanah air. Institusi Bapedal yang menjadi
ujung tombak pelaksanaan AMDAL dibubarkan pada tahun 2002 dan
fungsi tugasnya digabungkan ke dalam KLH. 14 Di sisi lain, kebijakan
otonomi daerah telah memberikan kewenangan pemerintahan seluas-
luasnya kepada tingka kabupaten dan kota. Hal ini termasuk kewenangan
untuk proses AMDAL. Dikatakan kemunduran karena pelaksanaan
AMDAL oleh pemerintah kabupaten dan kota tidak dipersiapkan secara
matang secara peraturan atau pun secara teknis. Sebagai bukti, hingga saat

6
ini Peraturan Pemerintah nomor 27/1999 hanya memberikan kewenangan
proses AMDAL hingga tingkat propinsi.

d) Tahap Revitalisasi AMDAL: setelah 2004-2007

Para praktisi AMDAL menyadari masih banyaknya kekurangan di


dalam sistem pengelolaan lingkungan, termasuk di dalam sistem AMDAL.
Untuk itu terdapat keinginan untuk meningkatkan beberapa hal seperti
adanya wacana akan perlunya undang-undang AMDAL tersendiri (seperti
NEPA) yang memberikan klausal sanksi hukum yang jelas terhadap
pelanggar proses AMDAL, reformasi mekanisme AMDAL, pengaturan
wewenang proses AMDAL  sejalan dengan revisi UU Pemerintahan
Daerah dan perlunya perangkat pengelolaan lingkungan lainnya
pendukung AMDAL (Kajian Lingkungan Strategis KLS, Kajian Risiko
Lingkungan KRL atau Environmental Risk Assessment ERA, Sistem
Manajemen Lingkungan SML atau Environmental Management System
EMS, Audit Lingkungan) di dalam perangkat pencegahan. Hal ini
bermuara pada perubahan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
23/1997) yang hingga saat ini masih dibahas. Tendensi yang ada saat ini
adalah bahwa kewenangan AMDAL tetap didistribusikan hingga tingkat
pemerintah kabupaten dan kota. Sementara itu, perdebatan untuk
pemberian sanksi hukum masih terus bergulir untuk dicantumkan dalam
Rancangan Undang Undang Lingkungan Hidup yang baru. Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang AMDAL pun sedang dikaji dan disusun.
Beberapa ide seperti penyederhanaan proses AMDAL (lebih cepat) dan
perubahan mekanisme AMDAL masih terus dikaji untuk perubahan ke
arah yang lebih baik.

B. PENERAPAN AMDAL
1. Penerapan AMDAL Di Internasional
a) Penerapan AMDAL di Kanada

Penilaian Undang-Undang Lingkungan Kanada (The Canadian


Environmental Assessment Act (CEAA)) adalah dasar hukum untuk
penilaian proses lingkungan federal (Environmental Assessment (EA)).

7
CEAA mulai berlaku pada tahun 1995. Amandemen legislatif
diperkenalkan pada tahun 2001 dan mulai berlaku pada tanggal 30
Oktober 2003. EA adalah didefinisikan sebagai alat perencanaan untuk
mengidentifikasi, memahami, menilai dan mengurangi, jika mungkin, efek
lingkungan dari sebuah proyek.

Di bawah CEAA, semua departemen pemerintah federal dan


badan-badan yang diperlukan untuk melakukan EA untuk proyek-proyek
yang berkaitan dengan pekerjaan fisik dan untuk setiap aktivitas fisik yang
diusulkan tercantum dalam Peraturan Inklusi Daftar tempat latihan satu
atau lebih dari CEAA berikut pemicu:
• Mengusulkan atau melakukan proyek
• Hibah uang atau bentuk lain dari bantuan keuangan untuk proyek
• Hibah minat di tanah untuk memungkinkan proyek yang akan
dilaksanakan
• Latihan kewajiban regulasi dalam kaitannya dengan proyek, seperti
menerbitkan izin atau lisensi yang disertakan dalam Peraturan Hukum
Daftar.

Jika sebuah departemen pemerintah federal atau lembaga latihan


satu atau lebih dari yang disebutkan di atas memicu, itu menjadi Otoritas
yang Bertanggung Jawab (Responsible Authority (RA)) di bawah CEAA.
Sebagai RA, departemen federal atau lembaga yang bersangkutan harus
memastikan bahwa EA dilakukan sesuai dengan CEAA dan harus
mempertimbangkan temuan EA sebelum keputusan dibuat yang dapat
memungkinkan proyek untuk melanjutkan.

b) Penerapan AMDAL di Cina

Hukum Penilaian Dampak Lingkungan (AMDAL UU)


memerlukan penilaian dampak lingkungan harus diselesaikan sebelum
proyek konstruksi. Namun, jika pengembang yang benar-benar
mengabaikan persyaratan ini dan membangun proyek tanpa mengirimkan
pernyataan dampak lingkungan, satu-satunya hukuman adalah bahwa biro
perlindungan lingkungan (the Environmental Protection Bureau (EPB))

8
mungkin memerlukan pengembang untuk melakukan penilaian make-up
lingkungan.

Jika pengembang tidak menyelesaikan make-up penilaian dalam


waktu yang ditetapkan, hanya kemudian adalah EPB yang berwenang
untuk pengembang baik. Meskipun demikian, denda mungkin adalah
dibatasi pada maksimum sekitar, US $ 25.000 sebagian kecil dari biaya
keseluruhan proyek-proyek besar yang paling. Kurangnya mekanisme
penegakan yang lebih ketat telah menghasilkan persentase yang signifikan
dari proyek tidak menyelesaikan secara hukum diharuskan penilaian
dampak lingkungan sebelum konstruksi. Administrasi Perlindungan
Lingkungan Negara Cina (State Environmental Protection Administration
(SEPA)) digunakan undang-undang untuk menghentikan 30 proyek pada
tahun 2004, termasuk tiga hidro-pembangkit listrik di bawah Tiga Ngarai
Proyek Perusahaan.

Meskipun satu bulan kemudian (Catatan sebagai titik acuan, bahwa


AMDAL khas untuk sebuah proyek besar di Amerika Serikat memakan
waktu satu sampai dua tahun.), Sebagian dari 30 proyek dihentikan
kembali konstruksi mereka, dilaporkan lulus penilaian lingkungan,
kenyataan bahwa pembangunan proyek-proyek kunci 'yang pernah
ditangguhkan adalah penting. Sebuah penyelidikan bersama oleh SEPA
dan Departemen Tanah dan Sumber Daya pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa 30-40% dari proyek pertambangan konstruksi pergi melalui
prosedur penilaian dampak lingkungan yang diperlukan, sementara di
beberapa daerah hanya 6-7% yang melakukannya.

Ini sebagian menjelaskan mengapa Cina telah menyaksikan begitu


banyak kecelakaan tambang dalam beberapa tahun terakhir. SEPA saja
tidak dapat menjamin penegakan hukum lingkungan penuh dan peraturan,
mengamati Profesor Wang Canfa, direktur pusat untuk membantu korban
lingkungan di Cina Universitas Ilmu Politik dan Hukum. Bahkan, menurut
Wang, tingkat hukum lingkungan hidup China dan peraturan yang benar-
benar ditegakkan diperkirakan hampir 10%.

9
c) Penerapan AMDAL di Korea

Environment Impact Assesment (EIA) telah digunakan secara luas


di seluruh penjuru dunia sebagai instrumen hukum administrasi untuk
mencegah polusi dari berbagai kegiatan yang berpotensi besar
menyebabkan degradasi atau polusi terhadap lingkungan. Masalah
lingkungan hidup di Korea ditimbulkan oleh pencemaran udara dan
pencemaran kebisingan yang terutama disebakan oleh kendaraan
bermotor, tenaga pembangkit listrik serta pabrik.

Peraturan perundang-undangan di Korea dapat dibagi dalam tiga


kategori yaitu peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam,
peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian dan pencegahan
pencemaran serta pertauran perundang-undangan di bidang pencegahan
bencana alam. Meskipun EIA tidak diatur dalam undang-undang atau
peraturan tersendiri, pelanggaran terhadap ketentuannya bisa diajukan ke
pengadilan dan dapat dijatuhi sanksi yang berat. Pelaksanaan secara serius
telah membuat EIA berhasil dilaksanakan di Korea.

2. Penerapan AMDAL Di Indonesia


Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan
lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri.
Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan
penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat.
Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama
melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De
Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan
lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat
“bottom up”.

Karena kondisi sosial yang berbeda, tindakan pemerintah tidak dapat


sepenuhnya didukung, sehingga penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah
di negara barat. Meskipun banyak isu lingkungan yang menjadi agenda
masyarakat, namun masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung

10
mengandalkan sumber daya alam untuk bertahan hidup daripada mengambil
tindakan untuk melindungi satwa liar, spesies yang terancam punah, dan
keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan juga
lemah, dengan sedikit peluang ditempatkan dalam agenda politik. Kemiskinan,
buta huruf, minimnya informasi, elite politik dan ekonomi yang sangat kuat,
sistem politik yang terlalu mengontrol dan otoriter menjadi faktor penyebab
situasi ini. Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan antar lembaga
karena mencakup multidisiplin.

Agar AMDAL menjadi efektif, lembaga lingkungan dan departemen


pemerintah harus berkoordinasi, berbagi informasi, dan bekerja sama untuk
menerapkan AMDAL selama siklus proyek, mengevaluasi AMDAL dan upaya
perencanaan, dan merumuskan rekomendasi. 13 Implementasi AMDAL di
Indonesia tampaknya kurang memiliki kerjasama semacam itu. Panitia AMDAL
yang berada di setiap kementerian dan departemen provinsi bekerja secara
independen dalam penyusunan rancangan program. Komite dapat menyetujui
laporan AMDAL tanpa berkonsultasi dengan departemen lain yang bertanggung
jawab atas penentuan lokasi proyek, pengendalian interferensi, dan perizinan
aktivitas. Akibatnya, program AMDAL memberikan sedikit atau tidak ada
kesempatan formal bagi staf pemerintah untuk bekerja sama menghindari atau
mengurangi dampak lingkungan selama rancangan proyek dan kesepakatan
pelaksanaan proyek.

Umumnya, pelaksanaan AMDAL tidak melibatkan partisipasi masyarakat


dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi masyarakat
resmi tentang proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan selama survei
untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting
karena dianggap semua setuju. Bahkan jika suatu komunitas memiliki keinginan
untuk menolak proposal proyek, sifat budaya yang ada dapat mencegah ekspresi
keinginan tersebut. Sebaliknya, di negara-negara Barat, pemerintah memprakarsai
konsultasi masyarakat di hampir setiap proposal pembangunan, dan dapat terjadi
kontroversi dan perdebatan, semuanya demi tujuan atau kepentingan bersama.

11
3. Kendala dalam penerapan AMDAL
a) Di Internasional

AMDAL adalah kepanjangan dari Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan, yaitu suatu proses yang dilakukan di Indonesia untuk
mengevaluasi dampak suatu proyek atau kegiatan terhadap lingkungan.
AMDAL merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan atau pihak yang akan melakukan kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak lingkungan.

Di tingkat internasional, terdapat beberapa kendala dalam


penerapan AMDAL, diantaranya:

Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya AMDAL:


Masyarakat seringkali tidak memahami manfaat AMDAL bagi
lingkungan, sehingga tidak terlalu memperhatikan proses AMDAL yang
dilakukan.

Persoalan biaya: Proses AMDAL cukup mahal, terutama untuk


proyek-proyek besar. Beberapa perusahaan merasa terbebani oleh biaya
yang dikeluarkan untuk melakukan AMDAL.

Kurangnya koordinasi antarinstansi: Dalam penerapan AMDAL,


terkadang terjadi kendala dalam koordinasi antarinstansi yang terlibat,
seperti antara pemerintah dengan perusahaan atau antara pemerintah
dengan masyarakat.

Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten: Sumber daya


manusia yang kompeten dan terlatih dibutuhkan dalam proses AMDAL,
namun terkadang sulit untuk menemukan orang-orang yang memiliki
kemampuan tersebut.

Persoalan kepatuhan terhadap peraturan: Beberapa perusahaan atau


pihak tidak selalu patuh terhadap peraturan yang berlaku dalam penerapan
AMDAL, sehingga proses AMDAL tidak berjalan dengan lancar.

12
b) Di Indonesia

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah suatu


proses yang dilakukan untuk mengevaluasi dampak yang mungkin terjadi
pada lingkungan hidup akibat suatu kegiatan atau proyek. Di Indonesia,
penerapan AMDAL diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun,
meskipun AMDAL merupakan suatu kewajiban bagi proyek-proyek yang
memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap lingkungan, masih
terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam penerapannya di
Indonesia, diantaranya adalah:

Kurangnya kapasitas teknis dan sumber daya manusia di bidang


AMDAL: Di Indonesia, masih terdapat kurangnya tenaga ahli di bidang
AMDAL yang memiliki kemampuan teknis yang cukup untuk mengelola
proses AMDAL secara efektif. Hal ini terkait dengan kurangnya program
pendidikan di bidang ini dan kurangnya minat masyarakat untuk
mengikuti pendidikan terkait AMDAL.

Masalah koordinasi antar instansi: Penerapan AMDAL di


Indonesia seringkali mengalami hambatan karena kurangnya koordinasi
antar instansi yang terkait. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya konflik
kepentingan dan tidak tercapainya konsistensi dalam penerapan AMDAL.

Kurangnya dukungan finansial: Penerapan AMDAL membutuhkan


biaya yang cukup besar, terutama untuk mengelola proses studi dampak
lingkungan secara efektif. Namun, di Indonesia, masih terdapat kendala
dalam mendapatkan dukungan finansial yang cukup untuk menjalankan
proses AMDAL.

Masalah pemahaman masyarakat terkait AMDAL: Selain itu,


masih terdapat kurangnya pemahaman masyarakat terkait pentingnya
AMDAL dalam mengelola lingkungan hidup. Hal ini dapat menyebabkan

13
adanya resistensi dari masyarakat terhadap proyek-proyek yang
memerlukan AMDAL.

Masalah implementasi: Selain itu, masih terdapat masalah


implementasi dari hasil studi AMDAL yang telah dilakukan. Implementasi
dari hasil studi AMDAL seringkali tidak dilakukan secara efektif,
sehingga dampak yang diidentifikasi dalam studi AMDAL tidak dapat
dihindari atau diminimalkan.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
AMDAL adalah suatu kajian atau penilaian mengenai dampak yang
ditimbulkan dari pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha terhadap
kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi di sekitarnya.

Sejarah AMDAL pada mulanya berasal dari negara Amerika serikat


sekitar tahun 1969 pada organisasi The National Environmental Policy Act of
1969, atau lebih dikenal dengan sebutan NEPA 1969. Dengan kehadiran NEPA
1969, sebuah sistem untuk mengendalikan dampak dari berbagai macam kegiatan
yang dapat merusak lingkungan hidup. Sistem tersebut dibuat ke dalam bentuk
aturan atau kebijakan. Sampai saat ini, sistem yang mengatur mengenai dampak
pembangunan yang dapat merusak lingkungan hidup tersebut mulai diadaptasi
dan digunakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.

Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan
lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri.
Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan
penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat.
Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama
melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De
Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan
lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat
“bottom up” .

15
DAFTAR PUSTAKA
https://eticon.co.id/pengertian-amdal/. Diakses pada 31 Desember 2022.
https://www.gramedia.com/literasi/amdal/#Pengertian_AMDAL. Diakses pada 31
Desember 2022.
http://deejieta.blogspot.com/2014/02/perkembangan-amdal-di-indonesia.html.
Diakses pada 31 Desember 2022.
http://referensigeography.blogspot.com/2014/04/amdal-di-beberapa-negara-
maju.html. Diakses pada 31 Desember 2022. Diakses pada 31 Desember
2022.
https://indonesiaforest.webs.com/masalah_amdal.pdf. Diakses pada 31 Desember
2022.
http://repository.ut.ac.id/4339/1/PWKL4404-M1.pdf. Diakses pada 31 Desember
2022.
https://mahasiswa.ung.ac.id/442417041/home/2019/11/11/makalah-amdal-
analisa-dampak-lingkungan-lengkap-nama-siti-humairoh-npm-
4118217007008.html. Diakses pada 31 Desember 2022.

16

Anda mungkin juga menyukai