Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Maloklusi merupakan deviasi yang signifikan dari oklusi normal dimana terdapat relasi
yang menyimpang dari normal akibat ketidaksesuaian antara hubungan ukuran gigi-geligi
dengan ukuran rahang sehingga terjadi ketidakteraturan. Maloklusi harus dianggap sebagai
kondisi perkembangan dan tidak mewakili satu entitas tunggal. Melainkan ciri-ciri oklusal
yang kompleks dan menunjukkan etiologi multifaktorial.1
Meskipun dalam kasus tertentu, keadaan patologi juga dapat diidentifikasi sebagai
penyebab maloklusi. Pada setiap individu terdapat interaksi yang erat antara genetika dan
lingkungan selama perkembangan dan pertumbuhan rahang dan gigi. 2 Abnormalitas jaringan
lunak dan perubahan posisi gigi muncul karena adanya kebiasaan buruk seperti menghisap
jari jempol yang terus menerus, bernapas melalui mulut, dan aktifitas pergerakan otot lainnya.
Selain itu, maloklusi juga dapat disebabkan karena kondisi patologis seperti adanya penyakit
periodontal, dental trauma, dan kehilangan gigi geligi dini.
Moyers mengklasifikasikan etiologi maloklusi ke dalam enam kategori: keturunan,
penyebab perkembangan yang tidak diketahui asalnya, trauma, agen fisik, kebiasaan, dan
penyakit. Etiologi maloklusi dapat menjadi penyebab kelainan pada perkembangan tulang,
gigi, dan jaringan lunak pada anak-anak. Mengidentifikasi etiologi maloklusi dan masalah
ortodontik yang dominan serta deteksi dini dapat membantu dalam perawatan, manajemen,
dan perencanaan kesehatan yang efektif di masa depan. 3
Maloklusi Angle kelas I memiliki angka insidensi tertinggi dibandingkan kelas II,
sedangkan kelas III menunjukkan angka insidensi terendah. Distribusi global untuk maloklusi
Angle kelas I, kelas II, dan kelas II pada fase gigi bercampur masing-masing adalah 72.74%,
23.11%, dan 3.98%. 4
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2013,
terdapat 14 provinsi yang mengalami masalah gigi dan mulut sebesar 25.9%. Prevalensi
maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 80% dari jumlah penduduk dan
merupakan salah satu msalah utama kesehatan gigi dan mulut.5
Panwinru AS dan Bahar M IA (2021) melakukan penelitian purposive sampling pada
siswa sekolah dengan tingkat ekonomi rendah di SD Inpres Kera-Kera dan sekolah dengan
tingkat ekonomi tinggi di SDIT Al-Biruni Makassar dengan kriteria inklusi anak berusia 9-12
tahun dan belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti. Kriteria eksklusi adalah siswa
yang pernah mengalami trauma maksilofasial dan anak yang memiliki kelainan jumlah atau
bentuk gigi. Anak yang menjadi subjek penelitian diberikan kuisioner yang menanyakan
tentang tingkat pengetahuan, sikap anak, dan gaya hidup yang berhubungan dengan
terjadinya maloklusi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan rongga mulut dengan melihat ada
atau tidaknya maloklusi yang dilanjutkan dengan pengambilan foto ekstra oral dan intra oral
pada subjek penelitian. 6
Prevalensi berdasarkan klasifikasi Angle di SD Inpres Kera-Kera sebanyak 28 orang
(63.6%) dengan klasifikasi maloklusi kelas I tipe 1 Angle sebanyak 3 orang (6.8%).
Sedangkan di SDIT Al-Biruni Makassar sebanyak 48 orang (81.4%) dengan distribusi
maloklusi kelas I tipe 1 Angle sebanyak 18 orang (30.5%). Dapat dilihat bahwa prevalensi
maloklusi lebih tinggi di SDIT Al-Biruni Makassar (81.4%) dibandingkan di SD Inpres Kera-
Kera (63.6%). Statistik dengan uji Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan angka
prevalensi yang bermakna antara SDIT Inpres Kera-Kera dengan SDIT Al-Biruni Makassar
(p>0.05). 6
Penelitian oleh Xin Yu, Hao Zhang, et.al dengan teknik cluster random sampling di
lima distrik administratif di kota Shanghai dan dua sekolah dasar di setiap kabupaten dipilih
secara acak. Kriteria inklusi berupa anak berusia 7-9 tahun, tanpa riwayat perawatan
ortodontik, tanpa penyakit kraniofasial, dan persetujuan oleh anak dan orang tuanya. Secara
keseluruhan, direkrut 2.810 anak, termasuk 1.479 anak laki-laki dan 1.331 anak perempuan. 7
Prevalensi keseluruhan maloklusi pada anak sekolah usia 7-9 tahun di Shanghai
adalah 79.4% (2.231/2.810), dan hanya 20.6% dari mereka yang memiliki oklusi normal.
Anak laki-laki memiliki tingkat maloklusi yang mirip dengan anak perempuan. Tidak ada
perubahan signifikan yang diamati antara kelompok umur (p>0.05). 42,3% anak
menunjukkan hubungan kelas I klasifikasi Angle. Prevalensi gigi berjejal anterior >2 mm
pada gigi rahang atas atau rahang bawah masing-masing adalah 13.3% dan 22.5%, Secara
keseluruhan, 28.4% anak mengalami gigi berjejal anterior. Jarak spacing anterior >4 mm
pada gigi rahang atas adalah 8.0% dan pada gigi rahang bawah adalah 3.0%. Kecenderungan
meningkat seiring bertambahnya usia diamati pada kasus gigi berjejal anterior rahang atas.
Kemungkinan gigi berjejal anterior anak laki-laki, baik gigi rahang atas atau rahang bawah
lebih rendah daripada anak perempuan (p<0.001).7
WHO mengungkapkan maloklusi sebagai salah satu masalah kesehatan rongga mulut
paling penting setelah karies dan penyakit periodontal. Prevalensinya sangat bervariasi dan
diperkirakan antara 39% dan 93% pada anak-anak dan remaja, Kisaran prevalensi ini sangat
luas dan beragam. Keberagaman ini dikarenakan perbedaan etnis dan usia pasien (Cenzato
et.al., 2021). 8
Penelitian oleh Cenzato et.al. menunjukkan maloklusi kelas 1 memiliki prevalensi
paling tinggi, dengan rentang antara 34,9% hingga 93,6%. Populasi di Italia menunjukkan
nilai prevalensi hingga 86,3%. 8
Dari penelitian Ridder et.al, yang melibatkan jurnal
berbahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Spanyol dan Portugis menunjukkan nilai rata-
rata prevalensi maloklusi kelas I adalah 51,9%. 9 Prevalensi maloklusi kelas I pada penelitian
anak sekolah di Cina menunjukkan nilai 30,1%. 9
Penelitian oleh Devanna et.al., di Saudi
Arabia menunjukkan nilai 66,51%. 10
dan penelitan oleh Mehta et.al., di India menunjukkan
nilai 51,3% . 11
Studi menunjukkan, maloklusi dapat mempengaruhi penampilan seseorang hingga
mengurangi kepercayaan diri. Maloklusi menyebabkan kesulitan dalam menjaga kebersihan
mulut, mengunyah, menelan, bicara, bernapas hingga menimbulkan rasa sakit dan tidak
nyaman. Maloklusi juga menimbulkan gangguan pada otot rahang, pemicu terjadinya karies
dan penyakit periodontal. 12

Penanganan maloklusi kelas I yaitu dengan perawatan orthodonti. Dalam perawatan

ortodonti maloklusi Klas I, terdapat dua pendekatan utama yaitu dengan pencabutan dan
tanpa pencabutan. Untuk menilai perlu tidaknya dilakukan pencabutan, ada beberapa variabel
yang perlu dinilai, diantaranya adalah analisis sefalometri, analisis model, kondisi
periodontal, restorasi, ada tidaknya gigi yang impaksi, congenital missing, dan gigi yang

sudah dicabut. 13
Menurut Konstantonis dkk yang melakukan penelitian mengenai keputusan

pencabutan dan identifikasi dari prediksi perawatan pada maloklusi Kelas I, ada 4 kunci
pengukuran yang harus diperhatikan oleh ortodontis, yaitu derajat crowded maksila, profil
wajah, overjet, derajat crowded mandibula. 14
Dalam perawatan ortodontik, ekstraksi secara tradisional sangat diperdebatkan dan
persentasenya telah menunjukkan variasi yang cukup besar selama bertahun-tahun tergantung
pada tren perawatan dan berbagai faktor lainnya. Dalam penelitian Konstantonis dkk , tingkat
ekstraksi maloklusi Kelas I adalah 26,8%, oleh karena itu relatif sesuai dengan temuan serupa
dari penulis lain. 14
Perawatan maloklusi kelas I tipe 1 tergantung pada usia pasien, potensi pertumbuhan,
tingkat keparahan maloklusi, dan kepatuhan pasien dalam perawatan. Prosedur modifikasi
pertumbuhan dapat dilakukan untuk mengoreksi maloklusi kelas I tipe I disertai diastema
anterior atas individu yang sedang tumbuh kembang selama gigi campuran dengan
menggunakan alat fungsional dapat didefinisikan sebagai alat ortodontik yang menggunakan
gaya yang dihasilkan oleh otot untuk mendapatkan perubahan dental dan skeletal. Pada
makalah laporan kasus ini, akan memaparkan mengenai latar belakang kasus, paparan kasus,
pembahasan, dan simpulan dari perawatan komprehensif ortodonti maloklusi kelas I tipe 1
diserai diastema anterior rahang atas pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cameron A, Widmer R. Handbook of Pediatric Dentistry. 4th ed. Elsevier; 2013.
2. Cobourne M, Dibiase A. Handbook of Orthodontics. 2nd ed. Elsevier; 2016.
3. Rapeepattana S, Thearmontree A, Suntornlohanakul S. Etiology of malocclusion and
dominant orthodontic problems in mixed dentition: A cross-sectional study in a group
of Thai children aged 8-9 years. J Int Soc Prev Community Dent. 2019;9(4):383-389.
doi:10.4103/jispcd.JISPCD_120_19
4. Mahendra P, Pradopo S, Puteri MM. Pubertal Growth Spurt Peak in Angle Class I and
II Malocclusions Using Cervical Vertebrae Maturation Analysis in Deutero-Malay
Children. Acta Medica Philippina. 2022 56(10): 57-61
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 19 Oktober 2018, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20
6. Pawinru AS dan Bahar MIA. Comparison of Malocclusion Prevalence in Elementary
School Children with Different Economic Levels (Case Study in SDN Inpres Kera-
Kera and SDIT Al-Biruni Makassar). Journal of Dentomaxillofacial Science. 2022;
6(2): 110-113.
7. Yu X, Zhang H, Sun L, Pan J, Liu Y, Chen L. Prevalence of maloclussion and occlusal
traits in the early mixed dentition in Shanghai, China. PeerJ. 2019; e6630
8. Cenzato, Niccolo, Anna Nobili, Cinzia Maspero. Prevalence of Dental Malocclusions
in Different Geographical Areas: Scooping Review. Dentistry Journal. 2021;9(71) : 1-
10
9. Ridder, Lutgart De, Antonia Aleksieva, Guy Willems, Dominique Declerck dan Maria
Cadenas de Llano-Perula. Prevalence of Orthodontic Malocclusions in Healthy
Children and Adolescents: A Systematic Review. International Journal of Enviromental
Research and Public Health. 2022; 19:1-31
10. Devanna, Raghu, Nayef H. Falemban, Yousef Althomali, Prashant M.Battepati, Ahmed
Ali Alfawzan, Puneet Gupta. Prevalence of Malocclusion among Children of the
Kingdom of Saudi Arabia-A Systemic Review.Saudi Dental Journal.2021;33:826-834.
11. Mehta, Abhishek, Anurag Negi, Aditi Verma, Kittu Jain. Pooled Prevalence Estimates
of Malocclusion among Indian Children and Adolescents: a Systemic Review and
Meta-Analysis. International Journal of Adolescent Medicine and Health. 2022; 34(6):
371–380.
12. Elyaskhil, Marghana, Noor Ayuni Ahmad Shafai, Norehan Mokhtar. Effect of
Malocclusion Severity on Oral Health related Quality of Life in Malay Adolescents.
Health and Quality of Life Outcomes Journal.2021;19(71):1-5
13. Singh G. Textbook of orthodontics. 2nd edition. New Delhi: Jaypee; 2007. p. 53, 77,
88-9, 159-63,170-1, 230-52.)
14. Konstatonis D, Anthopoulu C, Makou M. Extraction decision and identification of
treatment predictors in Class I Malocclusions. Springer Open Journal Orthodontics.
2013; 14(47): 1-8.)

Anda mungkin juga menyukai