Anda di halaman 1dari 38

KEGIATAN BELAJAR 4:

Makna Tata Susila


Dalam Kehidupan

CAPAIAN DAN SUB CAPAIAN PEMBEAJARAN

Capaian Pembelajaran:
Memahami Makna Tata Susila dalam Kehidupan
Sub Capaian Pembelajaran:
Makna Tata Susila Dalam Kehidupan
Implementasi Tata Susila dalam Kehidupan Sehari–hari
URAIAN MATERI

URAIAN MATERI

A. MAKNA TATA SUSILA DALAM KEHIDUPAN

4.1 Tingkah Laku Manusia


Tingkah laku manusia dapat terpaksa atau terikat karena kekuatan lahiriah, dapat juga
karena kekuatan batiniah kodratnya serta kemauan yang memerintahkan, yang akhir ini adalah
keharusan moril. Dalam tingkah laku manusia dan memperdalam ajaran Tata Susila terdapat tiga
pertanyaan mendasar; Apakah yang benar? Apakah yang baik? Apakah yang adil? (Zubair 1990:
71). Jika ia menjadi manusia yang etis, maka titik tolaknya adalah: Ia percaya kepada kebenaran,
kebaikan, dan keadilan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berbuat secara benar, baik, dan adil.
Sedangkan, kewajiban moril tidak datang dari sendiri, juga tidak dari sesama manusia, karena
semua manusia menurut kodratnya adalah sama dan tidak seseorangpun dapat menghalangi tujuan

1
orang lain. Jadi kewajiban moril tersebut berasal dari Tuhan, yang merupakan sumber segala
kewajiban. Dengan lain perkataan, kewajiban yang merupakan keharusan moril hanya dapat
datang dari tujuan yang mengharuskan itu. Satu-satunya tujuan, mutlak yang merupakan keharusan
moril bagi manusia adalah tujuan tersebut, yang disebut pula kebaikan tertinggi, yakni Hyang
Widhi. Pengarahan segala makhluk ketujuan akhir adalah rencana kebijaksanaan Tuhan, yang
harus dilaksanakan menurut kehendaknya. Kewajiban moril yang dilaksanakan dengan baik akan
memberikan hak kepada pelaksananya. Sedangkan Magnis-Suzeno (1987:141) menyebutkan
dalam tingkah laku manusia terdapat sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Diantaranya: (1)
kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3) kesediaan bertanggung jawab, (4) kemandirian moral, (5)
keberanian moral (6) kerendahan hati, (7) realistik dan kritis. Dalam memaknai tata susila Hindu
hal ini seringkali menjadi moralitas dan tatanan utama bertingkah laku.

4.2 Hak
a. Hak terhadap diri sendiri
Hak adalah wewenang moril untuk mengerjakan, menanggalkan memiliki dan
mempergunakan sesuatu. Segala sesuatu dimana mempunyai hak dan terhadapnya, dinamakan hak
subyektif. Adanya hak itu seperti telah disinggung di atas, ialah karena adanya kewajiban. Kita
tidak hanya berhak untuk hidup, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mencapai tujuan akhir
yang didahulukan dengan wajib hidup sesuai dengan hukum moral. Untuk menjalankan kewajiban
itu diperlukan kebebasan manusia memiliki alat yang dibutuhkan, tanpa mendapatkan rintangan
dari orang lain. Oleh karena hanya manusia yang dapat hidup bebas atau sukarela dan hidup
bersusila, maka dapat dibedakan empat unsur sebagai berikut :
1) Subyek bukan hanya seseorang, tetapi golongan dapat pula menjadi subyek, dapat menjadi
bahan hukum, misalnya masyarakat. manusia sebagai subyek mempunyai hak untuk
mempertahankan dirinya dalam masyarakat, sebaliknya sesuatu masyarakat dapat
mewajibkan seseorang untuk mentaati peraturan dalam masyarakat yang bersangkutan,
misalnya masyarakat Hindu, seorang pemeluk agama Hindu secara moril wajib tunduk dan
patuh kepada masyarakat sebab manusia itu tidak hanya merupakan makhluk pribadi,
melainkan juga sebagai makhluk sosial. Dalam hidup masyarakat itulah seseorang dapat
meninggikan martabatnya.

2
2) Hak setiap orang menimbulkan kewajiban orang lain untuk memenuhinya, sebab itu setiap
orang bersangkutan dengan orang lain dalam hubungan hak. Ajaran Tat Twam Asi cukup
memberikan penjelasan dalam hal hubungan hak dan kewajiban ini. Kalau kita ingin
menghormati orang lain, maka kita wajib menghormati orang lain terlebih dahulu.
3) Materi hak ialah yang menjadi tujuan hak manusia, tidak mungkin ada orang lain
menghalanginya, karena tujuan setiap orang adalah di dalam dirinya, sebab kebahagiaan
sempurna di depan bahwa untuk mewujudkan cita-citta mencapai tujuan akhir, setiap orang
harus tekun melaksanakan perintah-perintah agama seperti yang telah digariskan dalam kitab
suci.
4) Tidak mengakui segala hak berarti mengingkari segala hukum karena apabila tidak ada hak,
tidak dapat ada hukum duniawi, karena hal itu juga menjadi hak azasi. Hal ini mengandung
pengertian bahwa manusia diberikan kesempatan menjelma menjadi manusia adalah untuk
memperbaiki hidupnya, agar akhirnya mencapai kesempurnaan. Maka itu perlu diciptakan
hukum duniawi agar setiap orang secara baik dapat mencapai tujuannya tanpa diganggu orang
lain. Manusia sebagai pribadi oleh Tuhan diberikan Tri Pramana (Bayu, Sabda, Idep),
sehingga ia dapat memelihara dirinya dengan baik sebagai yang dikehendaki oleh Tuhan,
tanpa mendapatkan gangguan orang lain. Tri Pramana itulah yang memungkinkan setiap
orang dapat melaksanakan perintah Tuhan dalam memenuhi kebutuhan dirinya sebagai
pribadi sebagai makhluk sosial budaya, makhluk sosial ekonomis dan makhluk hamba Tuhan.

b. Hak Milik Perorangan


1) Hak milik perorangan adalah hak untuk memperoleh barang duniawi, mengatur dan
memakainya untuk diri sendiri. Hak milik akan sempurna apabila pemiliknya mempunyai
kekuasaan langsung atas barang itu, atas hak pemakainya dan atas penikmatan hasilnya.
Manusia yang mempunyai hak untuk hidup tidak mungkin dapat hidup secara baik tanpa
barang-barang duniawi, yang dapat dipergunakan untuk menumbuhkan jasmaninya,
sehingga terpeliharanya perkembangan yang harmonis antara rohani dan jasmani.
2) Sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, manusia harus dapat bertanggung jawab atas
kehidupannya. Sebagai penghasil, karena manusia adalah makhluk kerja, ia harus
meletakkan cap kepribadiannya (pemikiran, kegiatan) atas segala yang dihasilkan dan
dengan demikian mempunyai hak atas hasil usahanya. Hal ini mengandung maksud
3
bahwa orang harus bekerja dengan baik agar segala yang dihasilkan itu baik adanya.
Bekerja secara wajar untuk dapat menghasilkan barang-barang yang baik berarti
mengakui hak perorangan orang lain untuk menikmati barang yang baik. Sebaliknya
bekerja untuk menghasilkan barang-barang yang kurang baik, berarti memperkosa hak
orang lain yang mempergunakan barang itu. Ajaran agama mengharuskan kita bekerja
secara baik, agar hak orang untuk mempergunakan barang baik dapat terpenuhi. Orang
yang sengaja menghasilkan barang tidak baik, adalah orang yang mengingkari kodrat
kemanusiaannya, melanggar hukum Tuhan dan dapat dikatakan dosa.
3) Pada galibnya manusia tidak selamanya hidup sendirian, melainkan pada suatu saat ia
wajib membangun rumah tangga (grahastha). Grahastha adalah tingkat kedua dari Catur
Asrama Dharma, maka mendirikan rumah tangga termasuk hak setiap orang. Sebagai
kepala keluarga, orang harus dapat memelihara keluarganya dengan baik sesuai dengan
perintah agama. Memelihara anggota secara baik adalah kewajiban kepala keluarga,
karena ia mempunyai hak untuk menghormati hak hidup dari anak-anaknya. Melepaskan
tanggung jawab sebagai kepala keluarga berarti melanggar hukum Tuhan yang tersimpul
dalam pengertian PITRA YAJNA dan MANUSA YAJNA.
4) Cara mempergunakan hak milik secara konkrit dan tepat diatur oleh hukum positif, agar
pelaksanaannya dapat tetap dan hasilnya nyata bisa dinikmati.
a. Hak dasar asli dipergunakan untuk memperoleh hak milik perorangan. Tetapi ini
harus terjadi dengan tujuan untuk memiliki sesuatu sebagai milik sendiri. Hak dasar
asli ini adalah juga pekerjaan asal bahan mentah yang sebelumnya telah menjadi milik
untuk diskerjakan dan pekerjaan itu harus dapat menambah nilai-nilai baru. ini berarti
bahwa hak milik perorangan tidak boleh dipergunakan untuk merugikan orang atau
melanggar hak orang lain, melainkan harus dipergunakan untuk meninggikan
martabat kemanusiaan, martabat insan hamba Tuhan.
b. Hak dasar tidak asli ialah pemindahan seperti pemberian, penukaran dan pemberian.
Dasar yang skebanyakannya ditentukan oleh Hukum positif adalah tambahan, yaitu
hak penambahan yang disebabkan oleh alam atau oleh manusia. Ini berarti bahwa
orang boleh berusaha untuk menambah miliknya, asal hak milik itu dispergunakan
untuk mencapai tujuan akhir.

4
5) Hak waris adalah hak atas peninggalan seseorang, yang telah meninggal dunia. hak itu
diatur dimasa hidup orang yang bersangkutan sebagai wasiat atau hukum. Orang yang
dapat membuat aturan dalam lapangan kesusilaan dan aturan tentang miliknya. Hak waris
menunjukkan ketentuan penghematan dan mempunyai fungsi sosial karena bertambah
teguhnya kesejahteraan keluarganya. Oleh karena itu meskipun tidak ada surat waris.
Hidup keluarga termasuk kewajiban untuk melaksanakan hukum Tuhan, yang di
dalamnya tercantum pengertian untuk mendapatkan kebahagiaan rohani dan jasmani.
Kelahiran anak dari perkawinan yang sah adalah phala hak orang tuanya, maka anak-
anaknya atas hak dasar asli berhak mendapatkan cinta kasih dan sebaliknya, maka orang
wajib memberikan bimbingan kepada anaknya. Orang tua tidak hanya berhak
mendapatkan pembalasan kasih si anak, tetapi harus mendidiknya, sehingga rasa kasih
kepada orang tua tumbuh sebagai akibatnya.
c. Hak hidup orang lain
1. Menurut hukum kodrat, membunuh itu dilarang keras, karena merupakan
pelanggaran hak perorangan untuk mempergunakan hidupnya dan pelanggaran
hak negara atas ketertiban umum. Contoh kejahatan pembunuhan antara lain :
a). Pembunuhan anak dengan membiarkan anak-anak mati karena mereka tidak
dipelihara sebagaimana mestinya. Membiarkan anak mati kelaparan adalah
merupakan pelanggaran terhadap hak hidup orang lain,
b). Pengguguran (abortus) merupakan pembunuhan langsung bayi dalam
kandungan, karena itu merupakan pelanggaran hak hidup dan sekaligus
merupakan kejahatan, suatu perbuatan dosa.
2. Pembelaan diri terjadi apabila orang yang diserang itu menghelakan kekerasan
dengan mempergunakan kekerasan juga. Syarat yang membolehkan melakukan
pembelaan diri adalah :
a). Alasan yang sah, adalah membela diri semata. Kekerasan hanya diperolehkan
pada saat penyerangan dan tidak ada jalan untuk menghelakannya.
b). Hukum alam memberikan hak hidup, sehingga memperbolehkan melindungi
hidupnya itu dengan mempergunakan cara yang menurut kodratnya tidak
boleh, akan tetapi bila hak itu terjadi dalam usaha membela diri, maka tidak
merupakan suatu dosa. usaha untuk menyelamatkan diri berarti tindakan
5
dalam rangka mempertahankan hak untuk hidup dan dilihat dari sudutnya
yang melakukan harus dipandang reaksi itu secara wajar, sebab bagi
penyerang keharusan membela diri itu mestinya dipandang sebagai
pengakuan terhadap hak hidup orrang lain, maka itu setiap tindakan yang
tidak adil, tidak wajar tentu akan mendapatkan perlawanan. Bagi yang
dilawan karena tidak adil, harus menyadari keadaan diri sendiri sebab segala
reaksi tentu merupakan akibat dari suatu aksi. Selama keadilan yang berupa
hak itu tidak diberikan kepada orang yang mempunyai hak untuk
menerimanya, maka selama itu mereka yang kebetulan mempunyai
wewenang untuk memelihara ketertiban masyarakat harus selalu bertindak
adil dan benar. “Utamakanlah benar-benar dharma melindungi dunia ini,
ikutilah tauladan orang budiman, yang tidak terikat pada harta, nafsu dan
kemashuran. Kesaktian/keutamaan orang budiman adalah sebagai pelindung
dharma (kebenaran dan skeadilan)”.
(Ramayana sarga XXIV,81)

4.3 Kewajiban
Kewajiban dalam arti obyektif adalah keharusan moril untuk melakukan sesuatu atau
meningggalkannya. Kewajiban dalam arti subyektif adalah suatu yang harus ditinggalkan atau
dilaksanakan. Hak dibatasi oleh kewajiban dan lain sebagainya. Tuhan hanya mempunyai hak dan
makhluknya mempunyai kewajiban. Hak berdasarkan hukum dibedakan menjadi hak azasi dan
hak positif, hak ke Tuhanan (ber Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa), hak kemanusiaan. Dipandang
dari hukum kodrat yang merupakan Hukum Abadi Tuhan, tidak ada pertentangan antara hak dan
kewajiban, menurut orang untuk berbuat dengan baik dan teguh iman.
“walaupun menderita karena dharma
Hendaknya jangan memalingkan diri
Dan pikiran ke arah kejahatan”
(Manu Smrti IV, 171)
“Duty is the grandest of ideas, because
It implies the idee of God, of the sold,
Ofiberty, of responsibility, or immortality”
6
Artinya :
Kewajiban adalah cita-cita yang termulia karena kewajiban itu merupakan ide dari Tuhan,
dari jiwa, dari kebebasan, dari pertanggung jawab dan dari pada kekekalan”.

“Duty is a power that rises with us in the morning and goes to rest with us at night. It is
co-existensy with the action of our intelligence. It is the shadow that cleaves to us, go the
will.
Artinya :
“Kewajiban adalah suatu kekuatan yang timbul bersama kita diwaktu pagi bersama kita
untuk istirahat di waktu malam. Ia sama-sama meluas dengan kemampuan kecerdasan kita.
Ia seperti bayangan yang selalu mengikuti kita ke mana saja kita akan pergi!

a. Kewajiban terhadap diri sendiri


1) Hukum kodrat mengharuskan orang mencari tujuan akhir dengan melakukan
perbuatan berlandaskan moral yang baik. Untuk melaksanakan orang harus hidup, jadi
orang itu berhak atas hidup sendiri di bumi ini. Tuhan adalah pengemudi tertinggi
seluruh alam semesta dan ia yang menentukan apakah manusia telah mengadakan
sejumlah perbuatan baik yang cukup untuk mencapai tujuan akhir. Oleh sebab itu
manusia tidak mempunyai kekuasaan langsung terhadap diri pribadinya.
Dalam II, 31 disebutkan : “Svadharma apicha vekshya, yang artinya : “Hendaknya
sadar akan kewajibanmu”. Dalam hal ini perkataan svadharma berarti budi pekerti
seseorang menurut kewajiban hidupnya sendiri. Seseorang harus menyadari tentang
kebenarannya dan untuk itu harus menyadari tentang kebenarannya dan untuk ini
orang harus dapat menjawab pertanyaan ada apa, dimana dan mengapa ? selanjuttnya
dalam II, 33 dikatakan : “Tatah svadharman kirtimcha, hitava papam avapsyasi”, yang
berarti “Bila meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu, maka dosa papalah
bagimu”.
“Tidak bapak, tidak ibu, tidak anak, tidak istri atau teman sendiri yang akan
mengantar ke dunia lain, yang tetap akan mengikutinya hanya dharmamu”.
(Manu Smrtti IV, 239)

7
“Makhluk lahir sendiri, maka sendiri pula ia akan mati, sendiri ia akan
menikmati hasil perbuatannya, yang baik dan buruk”.
(Manu Smrtti IV, 240)
2). Manusia diperbolehkan memperpanjang hidupnya, karena dengan demikian ia dapat
melaksanakan kekuasaan tidak langsung. Kekuasaan tidak langsung itu berarti bahwa
hidup ini hanya dipinjamkan oleh Tuhan kepada manusia untuk dipergunakan
memperbaiki perbuatan dan mencapai tujuan akhir. Mempergunakan bukan identik
dengan boleh menghancurkan, melainkan menuntut pemeliharaan sepatutnya untuk
menyelamatkannya. Penderitaan dari diri sendiri, maupun untuk orang lain. Kebaikan
yang dapat dicapai harus dapat dibandingkan dengan kematian sendiri, artinya segala
perbuatan hendaknya dipikirkan untung ruginya atau besar kecilnya pengorbanan.
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa kebaikan yang dapat dicapai harus
dibandingkan bukan dengan kematian sendiri, melainkan dengan bahaya kematian itu.
Baha itu adalah biasa, dekat atau jauh, pasti atau boleh jadi atau hanya merupakan
keharusan, karena kewajiban hidup, di dunia ini adalah untuk bekerja. Dalam II, 47
dikatakan :
“Karmany eva dhikasa te” yang berarti : “Kewajiban hidup di dunia ini adalah
untuk melaksanakan kerja”. Tanpa kerja orang tidak dapat memelihara
hidupnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk, keluarganya”.
b. Kewajiban terhadap Tuhan
Seluruh kewajiban untuk hidup susila adalah kewajiban terhadap Tuhan, Pencipta
Alam Semesta, Pencipta Hukum Yang Tertinggi. Siapa yang mengakui bahwa Tuhan ada
dengan sendirinya harus pula bertanya kepada diri sendiri. “Kewajiban apakah yang harus
dilakukan terhadap Tuhan?” Kewajiban terhadap Tuhan itu disebut AGAMA dan dapat
diketahui soleh kodrat kita sendiri.
Manusia terkait kepada Tuhan, yakni dalam segala-galanya tergantung kepadanya.
Etika menuntut supaya manusia mengakui kenyataan itu dalam tingkah lakunya. Agama
sebagai rumusan kewajiban terhadap Tuhan dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu secara
obyektif dan subyektif. Dipandang dari sudut obyektif, agama terdiri dari kebenaran, yaitu
manusia harus memuja Tuhan Yang Maha Esa sebagai kesempurnaan tanpa hingga; ia
harus mengabdi kepada Tuhan sebagai pertama dan harus pula mengasihi Tuhan sebagai
8
kasih balas. Dalam Bhagavadgita II, 49 dikatakan : “Budha saranam anvichocha”, artinya
: “serahkan dirimu kepada Yang Maha Kuasa”. Dipandang secara subsyektif, agama
merupakan kewajiban dalam mana kita melaksanakan ketiga kebenaran tersebut di atas.
Kewajiban itu disebut pemujaan Tuhan. Pemujaan Tuhan merupakan pengakuan terhadap
Tuhan dan kekuasaan yang mutlak, yang taat bersembahyang dan beryajna (melaksanakan
korban suci). Pemujaan terhadap Tuhan merupakan perbuatan, yang bersifat rohaniah dan
jasmaniah, karena setiap perbuatan manusia berdasarkan pada tindakan yang timbul dari
kemauan. Pemujaan bersifat lahiriah karena manusia berjasmani, sehingga jiwa menurut
kodratnya memberitahukan diri dengan badan, sebaliknya keadaan sekelilingnya
mempengaruhi jiwa. Pemujaan Tuhan harus pula dilaksanakan oleh masyarakat,
dikendalikan oleh Tuhan dan juga tergantung kepada-Nya. Pemujaan kepada Tuhan bukan
merupakan pergantian hidup susila melainkan sebagai inti dari hidup susila. Rasa
keagamaan yang mendalam dapat merupakan suatu pertolongan atau gejala tambahan,
akan tetapi harus didasarkan atas pengetahuan tentang kenyataan obyektif.
Memang Tuhan sendiri tidak membutuhkan pemujaan tersebut dan karena itu tidak
pula membutuhkan perbuatan lahiriah, namun demikian kita harus mengakui kenyataan
obyektif dengan jalan yang sesuai menurut kodrat kita. Suara hati nurani kita selalu
bergema agar kita selalu melakukan yang baik dan suci, sebab pada dasarnya manusia itu
adalah suci.
c. Kewajiban terhadap Negara
Semua umat manusia di dunia meskipun berbeda agama, namun pada hakekatnya
hanya mengagungkan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam
semesta, yang telah memberkahi ketentuan-ketentuan dalam bentuk kaidah/norma yang
mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan serta hubungan antara sesama umat
manusia. Bagi bangsa Indonesia yang memiliki, Falsafat Pancasila, yang sila pertamanya
menyebutkan ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka kehidupan keagamaan merupakan salah
satu prinsip yang sila pertamanya menyebutkan ke Tuhanan yang harus kita wujudkan.
Maka jelaslah kiranya bahwa kita mempunyai kewajiban luhur terhadap negara, yaitu
mentaati segala peraturan, Undang-undang yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah.

9
4.4 Tanggung Jawab
Pertanggung jawab atas kewajiban yang baik dinamai jasa. Jasa yang sesungguhnya berhak
atas hadiah, adalah jasa dalam kata yang sebenarnya. Apabila hanya selayaknya kalau hadiah
diberikan maka itu adalah jasa dalam arti sekunder (arti kedua). Jasa dalam arti luas adalah jasa
yang patut manusia berjasa kepada Tuhan, karena dapat dengan sukarela melakukan perbuatan
baik yang oleh Tuhan selalau disetujui. Tuhan menjanjikan akan memberikan hadiah kepada orang
yang berhak menerimanya, yaitu mereka yang selalu cubha karma. Jasa kepada Tuhan adalah jasa
yang sesungguhnya. Tuhan sebagai Maha karya, akan memberikan hadiah (pahala) kepada mereka
yang cubha karma. Tuhan menciptakan alam semesta agar manusia dapat mengolahnya menjadi
alat-alat yang berguna untuk meningkatkan taraf hidupnya. Manusia pasti mampu mengolahnya,
sebab telah diberikan Tri Pramana oleh Tuhan, yaitu bayu, sabda dan idep. Apakah manusia
mempergunakan kemampuannya itu untuk mengolah isi ala mini, hla itu tergantung kepada
tanggung jawab terhadap hidup dna kehidupannya. Tanggung jawab sebagai suatu pernyataan ikut
memiliki di dasarkan kepada hati nurani kebaikan, keadilan, cinta kasih.

a. Suara Hati Nurani


Patokan obyektif kesusilaan dan harus dipergunakan oleh setiap orang terhadap
perbuatannya sendiri adalah suatu hati nurani. Suara hati nurani adalah fungsi budi praktis, yaitu
keputusan tentang kebaikan atau keburukan moral. Orang tidak boleh berbuat sesuatu, kalau suara
hatinya masih bimbnag, sangsi/ragu saja. Sebelum melaksanakan suatu perkerjaan orang harus
mengadakan penyelidikan terlebih dahulu, sehingga dengan demikian ia dapat menentukan suara
hati. Suara hati adalah dorongan kehendak untuk melakuakn suatu perbuatan, sebab dengan
bertindak demikian itu, ia merasa ikut bertanggung jawab, misalnya orang itu bukan karena
dorongan-dorongan atau dipaksa melainkan karena ikut merasa bertanggung jawab atas perbaikan
kampung itu.
Menurut Magnis-Suseno (1987: 77) suara hati adalah kesadaran dalam batin saya bahwa
saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab saya, bahwa dari kehendak itulah tergantung kebaikan saya sebagai manusia dan bahwa
saya sendirilah yang dapat berhak untuk mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab saya. Suara hati adalah pusat kemandirian manusia. Terhadap segala macam perintah,
peraturan, larangan dan kebiasaan yang berasal dari berbagai pihak masyarakat, serta terhadap
10
segala tuntutan ideologis, begitu pula terhadap perasaan moral kita sendiri (superego) manusia
secara moral hanyalah berkewajiban untuk menaati sejauh sesuai dengan suara hatinya. Suara hati
adalah pangkal otonomi manusia. Suara hati membuat kita sadar bahwa kita selalu berhak untuk
mengambil sikap sendiri, dan bahwa kewajiban untuk taat terhadap pelbagai otoritas dalam
masyarakat selalu terbatas: suatu perintah melawan suara hati, darimanapun datangnya wajib kita
tolak.

b. Kebajikan
Kebiasaan adalah kualitas daya kewajiban, keadaan yang tetap sehingga memudahkan
pelaksanaan suatu perbuatan atau kewajiban. Oleh karena itu kebiasaan disebut kodrat yang kedua.
Kebiasaan yang sejati hanya ditemukan pada manusia, karena hanya manusia yang dapat dengan
sengaja mengarahkan kegiatannya. Kebiasaan yang dipandang dari sudut kesusilaan baik, dinamai
kebijakan. Kebijakan menyempurnakan akal menjadi alat untuk pengetahuan. Bagi budi
spekulatif, kebijakan disebut pengertian, pengetahuan dan hikmah. Bagi budi praktis, kebijakan
merupakan kepandaian dan kebijaksanaan. Kebijakan kesusilaan menyempurnakan keinginan,
baik budiman maupun ke indriaan.
Kebijakan itu tetap menjaga jalan tengah antara yang melalui batas. Kebijakan itu tidak
bersifat mutlak, tetapi selaras dengan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan harus
dibimbing oleh akal yang disebut kebiasaan.
“Meninggal di dalam tanah, bagaikan sepotong kayu, para keluarga meninggalkan dengan
memalingkan muka, hanya dharma kebijakan yang harus mengikutinya”
(Manu Smrti IV, 241)

“Oleh karena itu untuk mendapatkan teman yang baik dan setia, pupuklah dharma itu.
Dengan bertemankan dharma, akan dapat menembus kegelapan yang sukar dilalui”.
(Manu Smrti IV, 242)

Tetapi kebajikan itu sendiri harus dijalankan sepenuhnya dan tidak setengah-tengah saja.
Kebajikan adalah kebajikan susila dan terpenting. Menjalankan kebijakan menurut keputusan budi
yang benar, adalah untuk memilih alat dengan tepat guna mencapai tujuan yang berharga.
Kebajikan meluhurkan manusia, sebab itu ada keharusan bagi umat Hindu untuk memegang teguh
11
dan menjalankan kebajkan dalam hidup bermasyarakat, baik sebagai makhluk budaya, makhluk
sosial ekonomisnya, maupun sebagai insane hamba Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menumbuhkan
dan memupuk kebajikan, orang harus rajin dan taat melaksanakan Panca Yajna bertujuan untuk
mempuku disiplin pribadi dari masing-masing orang. Bagi mereka yang taat melaksanakan ibadah
sembahyang akan dianugerahi kekuatan iman oleh Tuhan, kekuatan berarti hidup maka itu kuatlah.

c. Keadilan
Pergolakan dunia, kegoncangan dalam masyarakat dan kekruhan dalam rumah tangga,
disamping disebabkan adanya faktor ekonomi yang labil, juga sebagian disebabkan oleh
ketidakadilan. Apakah keadilan itu? Keadilan pada pokoknya adalah suatu kebajikan yang berdiri
dengan orang lain. Dikatakan demikian karena bila kita berkata adil sellau kita harus memberikan
sesuatu yang sama nialinya kepada orang lain. Pemberian itu disebabkan karena kita mmepunyai
kewajiban untuk memberikan sesuatu kepadanya, yang dapat lahir dari bermacam-macam sumber.
Jika sekali waktu kita memberikan sesuatu kepada orang lain dengan penilaian yang sama, maka
itu kita disebut adil dalam pembuatan itu. Dan supaya kita mendapat sebutan adil/berlaku adil,
maka tindakan itu tidaklah cukup sekali dua kali dilaksanakan, teatpi harus dilaksanakan setiap
ada kesempatan untuk berbuat itu. Oleh karena itu adil adlaah memberikan sesuatu wajib kpeada
orang lain.
Dalam hubungan yang luas, terutama bila dihubungkan dengan kehidupah manusia ditinjau
dari sudut moralitas. Arti ini tidak langsung mengenai kewajiban yang harus diberikan menurut
perjanjian akan tetapi merupakan suatau keadaan keseluruhan manusia, jika dilihat dari sudut
keselarasan human secara lengkap. Dalam arti yang luas ini dapatlah kita berkata bahwa yang
bersusila tinggi terhadap sesama dan terhadap Tuhan dapat dikatakan pula adil. Manusia adalah
suatu “bling” (ada) yang tidak mengadakan dirinya sendiri. Ia dalam adanya mengakui suatu ada
mutlak yang menyebabkan adanya manusia.Ada mutlak itu yang memberikan segala daya kepada
manusia dengan jalan alam. Manusia wajib mengakui dengan segala daya dan kekuatan akal
asalnya. Jika manusia dalam adanya mengakui adanya dengan segala daya dan ekuatan akal
asalnya dengan sendirinya ia akan melaksanakan apa saja yang wajar pada manusia dalam
hubungan dengan Sang Pencipta. maka ia akan menduduki tempat yang seimbang dalam
kemanusiaannya dan dengan penciptanya. Pembuatannya itu disebut adil.

12
Keadilan dapat diwujudkan dalam pemberian sesuatu kepada orang lain, pemberian sesuatu
bisa diberikan kepada diri sendiri, tetapi harus kepada orang lain. Berdasarkan uraian diatas
dapatlah dikemukakan suatu definisi keadilan sebagai berikut : “keadilan adalah suatu habitat
(disposisi) jiwa yang mendorong manusia memberikan hak kepada siapapun yang berhak”.
Bertolak dari pengertian ini kita dapat membedakan beberapa macam keadilan, antara lain :
keadilan pertukaran distributip, keadilan hukum, keadilan sosial, yang secara singkat dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Keadilan pertukaran adalah keadilan dalam arti sebenarnya antara dua belah pihak
yang dalam hal tertentu sama haknya dan menuntut kembalian, apabila ada
pelanggaran.
2. Keadilan distributip adalah keadilan dalam mengatur hubungan antara suatu gabungan
dan anggota-anggotanya dengan membagikan untung malang selaras dengan keadaan
anggotanya, jika terdapat pelanggaran, maka distribusi tidak dapat lagi dilaksanakan.
3. Keadilan hukum (umum) yang mengatur antara anggota dan gabungannya, sehingga
setiap orang membantu kesejahteraan umum selaras dengan keadaannya.
4. Keadilan sosial merupakan kebajikan tingkah laku manusia di dalam hubungan
masyarakat, untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu yang
menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari
masyarakat atau negara.
Keadilan itu kerap kali disebut keadilan sosial. Keadilan ini tidak dimasukkan ke dalam
kebajikan pokok keadilan, karena bersifat terlalu umum dan di dalam lapangannya termasuk segala
yang mempunyai arti sosial. Fondamen daripada keadilan adalah pribadi manusia. Pribadi yang
sebenarnya ialah hanya terdapat pada manusia existensial, sedangkan kumpulan manusia-manusia
dianggap mempunyai persona atau pribadi, maka tidaklah mengherankan, bahwa moral itu dapat
mengadakan tindakan-tindakan yang dianggap mempunyai akibat dalam masyarakat, meskipun
tindakan-tindakan itu kadang-kadang terbatas, tidak sehias seperti tindakan manusia existensial
yang berpribadi.
Setiap manusia exixtensial mempunyai pribadi, karena manusia exixtensial mmepunyai
akar yang menyebabkan ia dapat menemukan dirinya sendiri dna mengerti akan dirinya sendiri.
Manusia disamping mempunyai alam yang individual ia memiliki segi hakiki sosial. Dalam
kenyataan hidup ia hidup bersama dengan orang lain. Hal ini menimbulkan hubungan timbal balik,
13
yang dinyatakan dalam realitas, misalnya kewajiban memberikan disatu pihak dna hak menerima
dipihak lain. Kewajiban dan hak atas kewajiban antar pribadi dapat ditukar dalam bentuk nilai, ini
menimbulkan keadilan tukar menukar. Pribadi moral yang lain yang keluar dari alam manusia
adalah masyarakat atau Negara. Negara ada karena ada manusia-manusia. Masing-masing pribadi
mempunyai hubungan dengan Negara dan pribadi Negara itu dipersonifikasikan dalam pemegang
kekuasaan. Banyaklah kewajiban yang harus diberikan pribadi-pribadi kepada masyarakat dan
sebaliknya banyak pula kewajiban Negara terhadap perorangan dan keluarga-keluarga. Keadilan
yang melintang antara pribadi perorangan disebut keadilan kemasyarakatan (keadilan sosial).
Tujuan Negara adalah untuk kebaikan perorangan dan masyarakat pada umumnya, maka
sebagian besar dari kewajiban dalam membagi-bagikan badan dna manfaat kepada pribadi dan
golongan. Karena keadilan itu disebut keadilan distributif. Jadi jelaslah kiranya bahwa dalam
tujuan mencapai masyarakat bahagia dan sejahtera, maka harus didasari dengan pelaksanaan
keadilan seperti keadilan distributif, keadilan sosial (keadilan hukum) dan sebagainya lagi. Tanpa
adanya keadilan, masyarakat akan goncang sebab mereka yang merasakan ketidakadilan akan
menuntut terus menerus perlakuan adil itu.

d. Cinta Kebenaran
Yang mendorong orang melaksanakan keadilan adalah kebaikan. Kebaikan adalah segala
yang diinginkan orang banyak, karena akan membawa manfaat baginya, baik ia sebagai anggota
masyarakat, warga Negara maupun sebagai insan hamba Tuhan. Menururt Plato dalam Franz
Magnis- Suseno (1997 : 19), orang itu baik apabila ia DIKUASAI oleh AKAL BUDI, buruk
apabila ia dikuasai oleh KEINGINAN dan HAWA NAFSU. Dilihat dari eksistensinya, kebaikan
adalah identik dengan kebenaran. Maka itu cinta kebaikan berarti cinta akan kebenaran, sebab
kebajikan yang tertinggi adalah Tuhan. Tuhan adalah yang maha benar, karena ia mengatasi
segalanya. Tuhan mengadakan manusia agar hidup berdampingan secara damai (nanti). Oleh
karena itu harus menjaga ketertiban dan ucapan terhadap orang lain. Manusia juga berkewajiban
dapat menyimpan rahasia, yang dapat dibedakan :
a. Rahasia alam merupakan kebenaran yang menurut sifatnya harus tetap tersimpan dalam
lingkungan tertentu.
b. Rahasia yang dijanjikan adalah rahasia harus disimpan karena perjanjian yang diadakan
setelah orang diberitahukan atas soalnya.
14
c. Rahasia yang dipercayakan merupakan rahasia setelah orang berjanji untuk merahasiakan
kebenaran itu, misalnya rahasia jabatan. Orang berkewajiban mengatakan yang sebenarnya
apabila orang lain atau apabila pemberitahuan itu perlu untuk memenuhi kewajiban.
Kebenaran harus dapat disimpan dalam lingkungan dimana ia seharusnya ada. Daya
pengucapan diberikan kepada manusia baik untuk mengutarakan kebenaran atau
menyimpannya (merahasiakan), atau dengan perkataan lain untuk menempatkan kebenaran
ditempat yang sebenarnya.
Jadi jelaslah kiranya bahwa cinta kebenaran tercermin dalam tindakan untuk
memperlakukan misalnya adalah benar apabila seseorang wajib memberikan atau
melaksanakan tugasnya memberikan kepada seseorang sesuai dengan hak yang wajib ia
terima, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila orang berhak menerima seratus rupiah, tetapi
hanya diberikan kepadanya hanya Sembilan puluh rupiah, maka hal ini tidak benar, berarti
pula tidak adil menurut hukum moral.

e. Kasih terhadap Sesama Manusia


Cinta kebenaran adalah landasan untuk menumbuhkan kasih terhadap sesama manusia.
Dalam keadilan pertukaran kita melihat bahwa kewajiban pertukaran mewajibkan memberikan
kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Kewajiban kasih bersifat lebih luas dan bukan
merupakan kewajiban yuridis. Kasih atau cinta memandang manusia sebagai sebagaimana kita
mencintai diri sendiri dan sesama manusia sebagaimana kita mencintainya, yang secara landasan
telah tercantum dalam ajaran TAT TWAM ASI. Kasih kepada sesama manusia berarti juga kepada
Tuhan, yang dijabarkan dalam ajaran BRAHMA ATMA AIKYAM. Atman dan Brahman itu
sesungguhnya tunggal, artinya kekuatan hidup yang dipancarkan Tuhan kepada manusia yang
disebut Atman itu merupakan sinar saktinya Hyang Widhi. Jadi kasih kepada Tuhan, juga harus
kasih kepada sesama manusia. Tuhan melarang kebencian, sebab kebencian itu bertentangan
dengan kasih. Kebencian berarti mengharapkan kecelakaan orang, oleh karena itu harus
dihilangkan. Hal ini bertentangan pula dengan kodrat sosial kita dan kodrat kemanusiaan. Tuhan
bersabda :
“Haywa kita amuti-mutani Sang Hyang
Atma tang tamalahri hatinta”,

15
Artinya :
“Janganlah hendaknya engkau
membohongi atman yang ada pada dirimu”.
Tuhan yang melarang kita membenci musuh kita, karena dengan demikian kita sama
buruknya dengan mereka itu. Kita wajib memberikan perlakuan yang wajar terhadap musuh yang
telah menyerah sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan Memaafkan tidak berarti
meniadakan kekuasaan umum untuk menghukum. Agama Hindu mengajarkan bahwa dosa tetap
dosa. Penebusan dosa berarti berbuat baik selalu, sehingga kebaikan yang diadakan dibandingkan
dengan dosa yang telah dilakukan relatif kebaikan lebih banyak, jadi penebusan dosa adalah
berbuat baik sebanyak-banyaknya.

5.5 Kesalahan
a. Kesalahan Rohani
Kesalahan rohani adalah lawan jasa menuntut hukuman. Fungsi hukum ada tiga yaitu :
pembatasan, pencegahan dan perbaikan. Kesalahan diperbaiki dan orang lain dicegah untuk
melakukan kejahatan. Perbuatan jahat (adharma) di dunia ini tidak menimbulkan akibat
dengan segera, melainkan secara perlahan-lahan akan tetapi merongrong sampai keakar-
akarnya, orang yang melakukan kejahatan atau adharma itu (Manu Smrti IV, 172). Dalam
ajaran Karma Phala disebutkan bahwa orang salah jika :
1. mengingini sesuatu yang tidak halal, sesuatu yang tidak kekal.
2. berpikir buruk terhadap orang lain
3. mengingkari Hukum Karma Phala
Orang yang ingkar terhadap ajaran ini disebut melakukan kesalahan, apalagi sampai berbuat
ingkar. Dalam Sarasamuccaya 73 dikatakan : “Tidak ingin, tidak dengki terhadap kepunyaan
orang lain”.
Terdapat juga kesalahan atau dosa utama manusia, apabila ia lupa berterima kasih pada alam
semesta yang telah memberikan oksigen untuk bernafas, pertiwi yang telah memberikan
makanan.

16
b. Kesalahan Jasmani
Kesalahan jasmani adalah perbuatan kejam (sadis) yang dilakukan terhadap makhluk hidup.
Menurut ajaran Karma Phala, perbuatan yang dilarang adalah:
1. Himsa Karma, yaitu melakukan penyiksaan terhadap makhluk yang tiada bersalah.
2. Melakukan kecurangan terhadap harta benda (korupsi) atau mencuri.
3. Berbuat serong (zinah).
Bagi mereka yang melakukan kesalahan jasmani ini akan mendapatkan asab sengsara
di neraka dan mengalami reinkarnasi yang tiada henti-hentinya.

5.6 Sangsi
Sangsi adalah janji menganugrahi atau ancaman hukuman, yang dilakukan terhadap
makhluk hidup. Maksud hukuman adalah memperbaiki susunan keadaan obyektif yang dilanggar.
Sangsi itu dapat dibedakan menjadi sangsi rohani dan sangsi jasmani.
a. Sangsi Rohani
Sangsi yang sempurna harus mencukupi untuk meleksanakan hukum, dan selaras
dengan jasa atau kesalahan; dengan perkataan lain, snagsi harus bersifat tepat dan adil.
Tuhan selalu mengawasi apakah hukumannya diindahkan atau tidak. Bagi mereka
yang tidak mentaati hukumannya akan diberi sangsi berupa hukuman akhirat sesuai
dengan besarnya keslaahan itu.

b. Sangsi Jasmani
Sangsi jasmani adalah imbalan perbuatan terhadap siapa yang melakukan pelanggaran
peraturan atau Undang-Undang. Sangsi ini diberikan oleh alat Negara di dunia ini. Ini
adalah sangsi yang langsung.

B. Implementasi Tata Susila dalam Kehidupan Sehari-hari

4.7 Etika Sosial


Manusia hanya dapat hidup sebaik-baiknya dan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-
sama manusia lainnya. Apabila manusia terpaksa harus hidup sendiri, maka sifat kesendiriannya
itu tidak mutlak dan langsung, melainkan bersifat relatif dan sementara. Semenjak lahir sampai
17
meninggal dunia, manusia perlu bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Dalam jaman yang
makin maju ini, maka pada hakekatnya secara langsung manusia memerlukan hasil karya atau jasa
orang banyak dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya mulai dari hal-hal yang kecil sampai
hal yang besar. Dari kondisi seperti inilah, maka demi kelangsungan hidupnya manusia perlu
mendapat bantuan atau bekerjasama dengan orang lain dalam masyarakat.
Menurut kodratnya, manusia merupakan makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial.
Oleh karena itu manusia lain dalam masyarakat. Tanpa ada manusia lainnya atau tanpa hidup
bermsayarakat, seseorang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dalam mempertahankan hidup dan
usaha mengejar kehidupan yang lebih baik, kiranya tidak mungkin hal itu dikerjakan sendiri tanpa
bantuan dan bekerja sama dengan orang lain. Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak
pada kemampuan fisiknya atau kemampuan jiwanya semata-mata, melainkan kekuatan manusia
terletak dalam kemampuannya untuk bekerja sama dengan manusia lainnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan usaha untuk mencapai kemajuan, manusia acapkali
bergulat dengan alam sekitarnya atau manusia lainnya dalam bersaing bebas yang kadang-kadang
kejam, yang tidak jarang, menimbulkan penindasan dan pemborosan terhadap hak orang lain.
Kesadaran untuk mengatasi penderitaan yang ditimbulkan oleh kekejaman itu melahirkan sikap
dasar untuk mewujudkan kesadaran dalam keselarasan keserasian dan keseimbangan dalam
hubungan sosial, antara manusia pribadi dan masyarakat.
Disamping itu diperlukan kesadaran dari masing-masing pribadi untuk mau mengendalikan
diri. Kemauan dan kemampuan mengendalikan diri dan kepentingan pribadi adalah suatu sifat
yang mempunyai arti sangat penting, bahkan merupakan suatu yang sangat diharapkan untuk
menimbulkan dan membina keseimbangan dan stabilitas kehidupan masyarakat. Pandangan sosial
yang berdiri diatas faham keseimbangan tidaklah mengingkari bahwa masyarakat itu senantiasa
bergerak, berubah dan berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan
pesatnya mempercepat perubahan dalam masyarakat.
Agama Hindu tidak menolak ilmu pengetahuan dan teknologi, asal dipergunakan untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Masyarakat yang dicita-citakan dalam Agama
Hindu adalah masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir dan bathin serta damai (santi).

18
4.8 Damai dalam Kehidupan Bermasyarakat
“Brahma Atman Aikyam”, artinya “Brahma dan Atman itu pada hakekatnya adalah
tunggal”. Ajaran ini menunjukkan bahwa sumber hidup dan kehidupan manusia berasal dari Tuhan
(Brahman). Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia karena cinta kasihnya. Tuhan
mencintai segala ciptaan-Nya, maka itu manusiapun harus mencintai Tuhan sebagai kasih balas
pada-Nya. Dalam cinta kasih itu akan terwujud rasa persaudaraan yang mendalam. “Love God,
and He will you’ obey God and He will to you the truth of deepest teaching”, artinya : “Cintailah
kepada Tuhan dan ia akan berada bersamamu; taatlah kepada Tuhan dan ia akan memperlihatkan
kepadamu ajaran-Nya yang suci”.
Tuhan sangat cinta kepada mereka yang mendalam cintanya kepada Tuhan. “Mayy avesya
yam am, nitya yukta upasate, sradhaya parayo ‘petes, teme yuktama metah”, artinya : yang
menyatakan pikiran berbakti kepada KU, menyembah KAU dan pujastawa (bertaqwa) selalu
kepada KU, memiliki iman yang sempurna, merekalah KU pandang terbaik dalam melaksanakan
ajaran suci” (bhgd. XII, 2). Berbakti kepada Tuhan dilahirkan oleh cinta kasih yang mendalam dan
menyeluruh. Bakti kepada Tuhan harus dinyatakan pula kepada ciptaaannya. Cinta kasih setulus
hati tidak diterima oleh Tuhan. Maka itu dalam ajaran suci ditegaskan : “There, however, who
controlling all their sences, and ever minded towzrds all, and devoted to doing good to all cratures,
constanly, adore astheir very self the unthinkable, all pervading, imperishable, ineffable, eternal,
immobile, unmanifest and immutable Brahma, they too come” (bhgd. XIII.3-4). Artinya : “Mereka
yang selalu mengawasi indranya, bersikap baik terhadap semua orang dan berbuat baik terhadap
semua makhluk, orang yang selalu memuja yang kekal abadi, yang tak termusnahkan, yang tak
nyata, yang tak berubah, kekal abadi dan menguasai segalanya, mereka itu pasti datang kepada
KU”.
“Sada samahitam citta naro bhutesu dharayat, nabhidhya yenne sprhayenne badham,
cintayed asat” (Sas, 89), artinya : “Inilah hendaknya orang berbuat, perasaan antti cinta kasih
kepada segala makhluk hendaknya supaya diperbuat, jangan engkau dengki, jangan menghendaki
engkau yang tidka mungkin didapat ataupun yang tidak halal, janganlah engkau berangan-angan”.
Ajaran ini menekankan agar hidup dan kehidupan di dunia ini dilandasi tat twam asi, yaitu
mengasihi sesama manusia dan segala makhluk sebaagi mengasihi diri sendiri”. Kehidupan
masyarakat yang damai (santi) terdapat dalam lingkungan orang-orang yang mengamalkan cinta
kasih Tuhan, sebaliknya mejauhkan rasa dengki, iri hati, krodha, nrsangsya, madat, madon dan
19
sebagainya. Walaupun seseorang selalu jaya terhadap lawannya, tak terhitung musuh yang dapat
dibasminya, setiap yang dibencinya dimusnahkannya selama hidupnya; orang yang selalu
menuruti nafsu marahnya itu tidak akan habis musuhnya, tetapi orang yang benar-benar dapat
membasmi musuhnya adalah orang yang mampu mengekang sifat pemarahnya” (Sas. 96). Orang
yang suka bertengkar dan senantiasa resah hatinya, hidupnya tidak akan tentram (Sas. 99). Dan
orang yang tidak tentram hidupnya dan tidak enak tidur adalah yang sakit, orang yang ketakutan,
orang yang dibenci, orang yang sedang memikirkan pekerjaan yang amat berat atau yang sedang
dimabuk asmara (Sas. 100). Orang yang demikian itu keadaaannya sangat jauh dari hidup damai
(shanty). Apalagi jika orang tidak menjadikan Weda (kitab Suci Weda) sebagai pegangan untuk
memperoleh kebenaran, tidak percaya kepada ajaran yang terdapat di dalam dharmasastra, tidak
melaksanakan ajaran agama, dan kesengsaraan, berkali-kali mengalami kelahiran (Sas. 153).
Jangan nastika (munafik), sebab nastika adalah orang niskarya, yaitu orang yang tidak
mentaati ajaran agama (Sas. 115). Kebiasaan orang nastika hanya badan kasarnya saja
dipeliharanya baik-baik, ia giat berusaha untuk pertumbuhan darah daging tubuhnya, setiap
perbuatan yang menguntungkan dirinya waktu sekarang ini saja dilakukannya, adapaun perbuatan
yang menyebabkan tercapainya sorga (kebahagiaan akhirat), tidak disadarinya dan tidak pula
dihiraukannya (Sas. 116).
Timbulnya kekacauan dan lenyaplah kedamaian dalam masyarakat dan dunia disebabkan
oleh orang-orang yang suka memuji jika berhadapan, tetapi mencela sesudah dibelakangi; “yan ri
harep yan pengalem, angupat yan ri wuri (Sas. 125). Maka itu kata-kata yang patut diucapkan
adalah kata yang mengandung kebenaran (Sas. 132). Senantiasa cinta kasih kepada segala makhluk
(Sas. 135). Kebahagiaan tertinggi akan dicapai oleh orang yang tidak menyakiti, membunuh,
menyiksa makhluk lain, tetapi sebaliknya senantiasa memelihara keselamatan segala makhluk
(Sas. 141).
Orang yang melakukan perbuatan jahat dinamakan orang yang tidak sayang kepada
dirinya, karena kejahatan itu akan menimpa dirinya pula (Sas. 324). Kejahatan itu seperti
penyakit menular. Apabila orang berkawan dengan penjahat, akan terbawa pula dia oleh dosa
perbuatan jahat itu seperti pohon kayu yang hidup akan turut terbakar, jika bercampur menjadi
satu dengan kayu yang kering, oleh karena itu janganlah berkawan, apalagi bersekutu dengan
orang yang perbuatannya jahat itu (Sas. 326). Biarpun menyedapkan telinga dan manis keluarnya

20
kata-kata jika kita menerimanya ibarat keindahan bunga yang mekar tidak pada musimnya,
merupakan pertanda yang menimbulkan bahaya (Sas. 333).
OM, Shanti ! Shanti ! Shanti ! OM ! Artinya : Ya Tuhan, semoga damai, damai dihati,
damai di bumi, dan damai selama-lamanya ! Hidup damai dalam masyarakat sebenarnya
merupakan cita-cita manusia. Tetapi cita-cita itu sulit dicapai, sukar diwujudkan karena ulah
manusia sendiri. Manusia karena sifat rajas dan tamasnya (loba dan malasnya) lebih banyak
meminta dari pada mau memberi, mau mengoreksi orang lain, tetapi tidak mau dikoreksi orang
lain.
Seharusnya dhindari segala dosa yang diakibatkan oleh kelobaan itu (Sas. 401).
Sebenarnya penderitaan dan dosa disebabkan oleh kelobaan dan kemlasan, kelemahan dan
kebodohan. “Kunang ikang apunggung, niyata juga ya himidep ikang kaprihati (Sas. 404).
Artinya, “adapun orang bodoh, tak tersangsikan lagi, ia selalu merasa kepedihan hati”. Badan
dibersihkan dengan air diwaktu mandi, kebodohan dibersihkan dengan ilmu pengetahuan.
Kelemahan ilmu dikuatkan dengan berkali-kali memusatkan pikiran kepada Tuhan. Tuhan akan
membimbing orang yang pujastawa dan sradha kepada-Nya. SRADHA tentang adanya Tuhan
dapat membantu memberikan semangat kepada manusia dalam menjalankan tugasnya sehari-hari,
membantu membatasi kesukaran dan berusaha mengakhirinya.
4.9 Gotong Royong dan Musyawarah Dalam Bermasyarakat
Agama Hindu telah memainkan peranan sebagai pembebas, tidak saja dalam arti
perorangan, tetapi juga dalam arti kemasyarakatan. Agama Hindu menggerakkan manusai dari
kelompok kesukuan yang sikapnya antagonistis menuju komunitas keyakinan yang lebih besar dan
membantu menciptakan unit sosial yang lebis besar. Kiranya mustahillah kita berpikir secara
konstruktif mengenai program baru, metode baru dan masa depan yang lebih cerah tanpa
memperhatikan dimensi agama. Agama Hindu yang mengandung unsur transcendental dan
fungsinya menjaga survival (keabadian) dan relasi kodrati, bertujuan menjaga keseimbangan
ekologi dan nilai-nilai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia
dengan sesamanya. Dalam Reg-Weda X, 191, 4 disebutkan : “Samalah hendaknya tujuanmu,
samalah hendaknya hatimu, samalah hendaknya pikiranmu, dengan demikian, semoga semua
hidup bersama-sama. “Gunamanta sang Dasarata, wruh sira ring Weda bhakti ring dewa,
tarmalupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh”, Artinya “Kebijaksanaan dan kewibawaan
raja Dasarata, karena Widhi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama, bhakti kepada Hyang
21
Widhi, menghormati dan memuliakan orang tua/leluhur, serta hidup dalam suasana cinta kasih
dengan sesame anggota masyarakat (Kekawin Ramayana).
Manusia itu pribadi (Personal), akan tetapi pribadi yang masih harus mempribadikan diri,
sehingga menjadi kepribadian. Pemribadian itu dilaksanakan bersama-sama dengan sesama
manusia. Ini memperlihatkan bahwa bentuk dari cara manusia berada sedemikian rupa, sehingga
ia merupakan kesatuan dengan orang lain. Cara manusia berada itu harus kita sebut berada
bersama, karena berada bersama merupakan kerja sama. Manusia oleh kodrtanya di dorong untuk
selalu berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain.
Ada bersama seharusnya berarti bersama dengan hormat dan cinta kasih. Jika manusia taat
kepada wujud manusia sebagai cinta kasih, maka itu berarti taat kepada Tuhan. Hidup
bermasyarakat adalah salah satu pelaksanaan cinta kasih manusia kepada Tuhan di dunia.
Disamping yang penting pula artinya ialah masing-masing anggota masyarakat dapat dipercaya,
sehingga timbul suasana saling mempercayai. Kehidupan dapat dipercaya itu harus dipelihara dan
dikembangkan terus menerus sehingga terdapat suatu jiwa yang mengakibatkan dapat dipercaya
di dalam hubungan kemasyarakatan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan.
Di dalam masyarakat apabila orang sulit memgang apa yang dikatakan orang lain, maka
kehidupan masyarakat itu akan menjadi sulit. Hidup tanpa kepercayaan tidaklah sehat. Kawan
dalam masyarakat mempunyai hak sosial, maka ia mempunyai hal pelayanan sosial, maka ia
mempunyai hal pelayanan sosial. Pihak lain mempunyai kewajiban memberkan pelayanan sosial.
Salah satu pelayanan sosial itu adalah berbicara kebenaran. Dalam segala bidang hidup
kemasyarakatan berbicara benar sangat diperlukan. Dari mulai bisa berbicara sampai menduduki
jabatan tertinggi diharuskan oleh agama Hindu untuk berbicara benar agar dapat dipercaya.
Pengamanan desa mmisalnya tidak akan berjalan baik, apabila petugas yang dibebani menjaga
keamanan desa itu tidak dapat dipercaya.
Yudhistira dari keluarga Panca Pandawa pernah berkata yang mempunyai dua arti, yaitu
dapat diartikan benar dan dapat salah: “Aswatama gugur”. Setelah perkataan itu diucapkan, maka
roda keretanyapun lepas. Ini menunjukkan bahwa orang harus selalu berkata benar dan tepat, tidak
menimbulkan salah faham pihak lain. Perkataan yang tidak tepat menimbulkan tanda tanya dan
bisa salah tafsir, menimbulkan keraguan, kebenarannya disangsikan, sehingga timbul rasa tidak
percaya.

22
Agama Hindu mengajarkan Tri Kaya Parisudha, yaitu kayika (bertingkah laku benar),
wacika (berkata benar), manacika (berpikiran benar). Orang yang terpuji dalam kehidupan
masyarakat adalah orang yang tidak mengucapkan kata-kata kasar, tidak memikirkan hal-hal yang
tidak layak (Sas. 117). “Abhyawahati kalyanam wiwidham wak subhacita, saiwa durbhacita
pumsamanartha yopapadyarta (Sas. 119), artinya, “perkataan itu jika maksudnya baik dan dengan
cara baik pula diucapkan, maka kesenangan yang ditimbulkan olehnya; meskipun baik maksudnya,
jika diucapkan secara, tidak baik akan menimbulkan kesusahan”.
Tingkah laku yang baik menimbulkan simpati orang lain, rasa simpati merupakan modal
utama untuk bekerja sama, gotong royong dalam masyarakat. Kelahiran manusia adalah suci dan
awidya. Maka manusia menurut koderatnya akan mengejar yang baik dan menghindari yang jahat.
Demikian pula dorongannya yang bersifat sosial atau kemasyarakatan seharusnya tidak
bertentangan dengan kodrat manusia itu. Jadi dalam hidup bersama, bergotong royong akan
mengejar kebaikan bersama yang dikejar dalam kehidupan bermasyarakat adalah kesejahteraan
bersama. Kesejahteraan bersama itu bukan semata-mata dalam bidang harta benda (materiil), akan
tetapi pula dalam bidang rohani, karena manusia adalah makhluk rohani-jasmani yang harus
berkembang secara seimbang.
Manusia selalu mempunyai dua unsur yang pokok, ialah rohani dan jasmani, yang kedua-
duanya itu menjadi satu wujudnya. Kedua segi itu selalu berdampingan dan selalu ada bersamabila
manusia mau hidup utuh sebagai manusia.
Sebelum manusia ada, Tuhantelah ada terlebih dahulu. Ia mengadakan diri sendiri
(swayambhu). Maka itusecara hierarkhis, kepentingan rohani harus ditempatkan diatas
kepentingan jasmani. Manusia adalah suatu “ada” (being) yang tidak mengadakan dirinya sendiri.
Manusia dalam adanya menuntut suatu ada mutlak yang menyebabkan adanya manusia.
Ada mutlak itu memberikan kekuatan kepada manusia melalui kodrtanya sebagai makhluk
rohani dan jasmani.
Manusia wajib mengakui dengan segalanya dayanya akna asal, sumber adanya. Jika
manusia mengakui akal asalnya, maka dengan sendirinya ia akan melaksanakan apa yang wajar
pada manusia dalam hubungan dengan sumber asalnya, yaitu Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Dalam
keadaan demikian ia menduduki tempat yang seimbang dalam kemanusiaannya dan oleh
karenanya ia akan memberikan apa yang menjadi wajib kepada sesama. Manusia mempunyai
kewajiban moral kepada sesama dalam hidup bermasyarakat.
23
Hidup bermoral dalam masyarakat berarti warga masyarakat saling memangdang,
menghormati dan menerima serta bekerja sama dalam kesatuan, sehingga masyarakat bertindak
sebagai suatu subyek yang menyelenggarakan kepantingan bersama. Dalam hidup bersama harus
dilaksanakan secara musywarah agar masing-masing pihak merasa tidak dirugikan, akan tetapi
sebaliknya merasa ikut membuat, memiliki dan menikmati. Dalam Kitab Suci Weda, Samhita Rig
Weda, Mandala X, Sukta 19, Mantra 2-4 disebutkan : “Sam gacchadhwan Sama Wadadhwan,
samwo manamsi janatam, dewa bagam yatha purwa, samjanana upasate” (Rig-Weda X, 19, 2),
artinya : “Berkumpul, berbicara satu dengan yang lain, bersatulah dalam semua pikiranmu
sebagaimana halnya para Dewa pada jaman dahulu bersatu”. “Samano mantarah samitih samini,
samanam manah saha sitta mesam samanam mantramabhi mantrayewah, samanena wi sawisa
juhomi (Rig-Weda X, 19, 3), artinya :

“Samani wa akutih, samana hrdayani wah, samana mastu wo, mana yatha wah, susaha sati (Rig-
Weda X, 19, 4). Artinya “Samalah tujuanmu, sama pula hatimu, hendaklah pikiramnu satu, semoga
engkau dapat hidup bersama dengan bahagia”.

Mufakat dan bersatulah, demikianlah dasar hidup bermasyarakat. Keputusan yang diambil
dalam musyawarah dan mufakat harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Dasar kebenaran yang sejati adalah dharma, karena dharma merupakan hukum yang Widhi Wasa
dengan dharma itu semua mahluk diatur.

4.10. Spesialisasi Dalam Kehidupan Masyarakat


Chatur Warnyam maya sristham guna karma wibhagasah (Bhgd. IV. 13), artinya : catur
warna adalah ciptaanku menurut kwalitas dan kemampuan atau lapangan kerja”. Catur warna yang
dimaksudkan disini adalah warna brahmana (rohaniwan, pemuka agama), ksatria (ABRI dan
pegawai), waisia (pedagang dan petani) dan sudra (pelayan, buruh). Pembagian warna
(penggolongan) ini didasarkan pada kemampuan (Guna) seseorang dalam masyarakat. tujuannya,
agar dengan spesialisasi pekerjaan ini masyarakat menjadi maju, sejahtera dan bahagia lahir batin
sebagai dimaksudkan dalam ajaran “moksartham jagaddita ya ca iti dharmah”.

24
Agama Hindu mengajarkan bahwa tujuan manusia menjelma ke dunia adalah untuk
memuliakan nama Tuhan, memperbaiki karma agar nantinya dapat mencapai moksha
(kebahagiaan abadi) Sarwesam tusa namani karmanica prthak prthak, wedaçabhebhya ewadau
prthak samsthacca nirname (M. Dh. I, 21).
Artinya : Semenjak semula Tuhan telah menciptakan nama perbuatan dan keadaan dari semua
ciptaannya itu sesuai dengan ajaran dalam Kitab Suci Weda.
Pembagian warna berdasarkan kemampuan dan spesialisasi kerja di samping untuk
meningkatkan kemakmuran, juga bertujuan untuk menegakkan ketertiban, kebenaran dan keadilan
serta kejujuran. Kebenaran, keadilan dan kejujuran mempunyai hubungan timbal balik dan saling
melengkapi. “Lokanam tu wiwrrddhyartham mukhabahu rupa datah, brahmanam ksatryam
waçinam ca çudram ca nirawartayat (M. Dh.I, 31), artinya : “Demi keamanan dan kemakmuran
dunia, Tuhan menciptakan brahmana, ksatria, waisia dan sudra sesuai dengan fungsi-fungsi badan,
yaitu mulut, tangan, perut dan kaki”. Dwidha krtawatno deham ardhena puru so’ bhuwat (M.Dh.I,
32), artinya : “Dengan membagi-bagi dirinya sendiri Tuhan menjadikan pri dan wanita. Tuhan
menjelmakan wiraja”.
Kewajiban yang berbeda-beda itu ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan untuk melindungi
segala ciptaannya (M. Dh. I, 89). Kepada para brahmana, Tuhan menetapkan kewajiban
mempelajari dan mengajarjan Weda, melaksanakan yadnya (korban suci) untuk diri sendiri dan
masyarakat dan sebagai imbalannya, brahmana berhak menerima pada dunia (M. Dh. I, 88). Pada
ksatria diperintahkan untuk melindungi rakyat, menegakkan tertib sosial, tertib hukum, tertib
ekonomi, memberikan hadiah, melakukan upacara korban suci, mempelajari Weda dan
mengendalikan hawa nafsu (M. Dh. I, 89). Para waisia ditugasi memelihara ternak memberikan
hadiah (dana punia), melaksanakan yadnya, mempelajari Weda berdagang, meminjamkan uang
dan bertani (M. Dh. I, 90).
Para sudra diperintahkan melayani tiga warna lainnya, brahmana, kesatria dan waisia
secara jujur dan setia (M. Dh. I,91) Brahmana, Ksatria dan Sudra yang lalau mengucapkan mantra
Rig-Weda dan melaksanakan yadnya akan mendapatkan cemoohan (M. Dh. II, 80).
Seseorang diapandang sebagai brahmana karena pengetahuan dan perbuatan sucinya ;
dipandang sebagai ksatria karena kemampuannya dan kekuatannya; dipandang sebagai waisia
karena kekayaannya dan dipandang sebagai pelayan karena pelayanannya yang baik (M. Dh. II,
155).
25
5.11 Ketertiban Dalam Masyarakat
Ketenangan dalam kehidupan di dunia akan tercapai apabila tiap orang menyadari dirinya
sebagai insan hamba Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, menyadari tugas kewajiban
yang dibebankan kepadanya, baik kewajiban menurut catur warna maupun kewajiban catur asrama
dharma. Manusia harus hidup Rta (tertib), dalam Reg Veda I, 90. 60-7 dikatakan : “Untuk dia yang
hidup menuruti Rta, angin akan penuh dengan rasa manis, begitu banyak pohon penuh rasa manis
untuk kita. Malam terasa manis demikianpun pula fajar, debu bumipun manis, manislah Bapa
Langit bagi kita”.
Demikianlah gambaran rasa & nikmat hidup dalam Hindu Dharma bagi mereka yang
senantiasa mengikuti Rta (tertib). Dharma mengendalikan orang menuju kepada kewajiban,
kebahagiaan dan akhirnya mendapatkan kelepasan ikatan duniawi (dunia fana). Karena manusia
adalah mahkluk yang mulia, mahluk yang mempunyai pikiran dan dapat berfikir, maka ia harus
dapat menjauhi asubha karma dan memilih subha karma.
Kehidupan masyarakat membutuhkan kejujuran, kebenaran, keadilan. Dharma ewo hato
hanti dharma raksati raksatah tasmaddharma na hantawyo mano dhamo hato’ wadhit (M. Dh. VIII
15), artinya : “Keadilan yang dilanggar menghancurkan, oleh karena itu keadilan jangan dilanggar,
melanggar keadilan menghancurkan kita sendiri”. Maka itu kesaksian (dalam pengadilan) yang
diberikan karena loba, kebingungan karena persahabatan, karena nafsu, karena marah, kebodohan,
kekanak-kanakan dinyatakan tidak saha” (M. Dh. VIII, 118).
Hukum yang tidak adil menyebabkan hancurkan nama baik seseorang, bahkan setelah ia
meninggal dunia tidak dapat mencapai sorga (M. Dh. VIII. 27). Tingkat hukuman adalah pertama-
tama memberikan tegoran, kemudian bapru dengan memarahi yang keras, ketiga dengan jalan
mengancam denda dan kemudian dengan ancaman hukuman badan (M.Dh.VIII,129).
Bila ternak merusak lapangan yang telah dipagari atau merusak ladang orang lain, maka
pemiliknya dikenakan denda. Setiap lapangan, sawah, ladang, pekarangan harus diberi pagar.
Orang yangg memasuki daerah atau tempat yang telah dipagari itu tanpa ijin pemiliknya dapat
dijatuhi hukuman. Demikian pula pencuri atau orang lain dengan sengaja merusak milik orang lain
dikenakan hukuman. Pencuri biasa dikenakan hukuman potong tangan, hukuman mati, hukuman
denda (M. Dh, 321-323).

26
Demikian pula perbuatan zinah dikenakan hukuman (M.Dh.VIII,352-358). Orang yang
memperkosa wanita yang tidak mau dihukum badan langsung (M.Dh.VIII,364). Bila seorang laki-
laki dengan maksud menghina mencemari wanita dengan kekerasan, dua jari tangannya dipotong
dan di denda (M.Dh.VIII, 367).

5.12 Etika Sosial Budaya


Dr. H. Th. Fisher dan Werthaim berpendapat bahwa terbentuknya suatu kebudayaan
dipengaruhi oleh faktor Ketuhanan, geografis, pertemuan antara bangsa-bangsa dan kejiwaan.
Faktor kejiwaan dan bangsa itu dapat pula dikatakan faktor manusia. Manusia pada hakekatnya
adalah mahkluk sosial dan padanya terdapat dorongan untuk bergaul, hasrat untuk meniru,
demikian dikatakan oleh Vallaux. Seperti yang dikatakan Aristoteles, manusia cenderung selain
berfilsafat juga melakukan praxis. Praxis dilakukan dalam partisipasi kehidupan bersama
komunitas. Dalam praxis manusia merealisasikan diri sebagai mahkluk sosial, (Magnis-Suseno
1997: 34). Disamping itu manusia mempunyai tiga kemampuan yang disebut Tri-sakti yaitu Iccha-
sakti (kemauan), Krya-sakti (prana) dan Jenana-sakti (instelek), yang biasanya disebut cipta, rasa
dan karsa atau bayu-sabda-idep.
Tuhan menciptakan manusia (Bhgd. III, 10) dislengkapi dengan akal-pikiran, kemauan
bebas dan perasaan, hukum dan peraturan yang harus ditaati oleh manusia dalam perkembangan
hidup yang baik dan mewujudkan kebahagiaan abadi. Manusia harus mencari dan membina hidup
bahagia. Aksi (perbuatan) manusia itu datangnya dari dalam diri manusia sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia merupakan mahkluk yang termulia dann martabatnya di dunia
(Mayapada).
Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga mengatasi dunia, karena ia adalah roh
(pribadi). Manusia tidak sadar akan perbuatannya akan tetapi juga sadar akan caranya berbuat.
Manusia dapat menentukan dan mengatur hidupnya. Dengan akal-pikirannya manusia mampu
mengelola alam ini untuk dijadikan barang-barang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk
menolong hidupnya manusia yang mempunyai kelebihan akal-pikiran dan estetika itu senantiasa
menciptakan peralatan untuk meringankan beban dan menyenangkan dirinya. Hasil ciptaan
manusia itu disebut KEBUDAYAAN.

27
5.13 Masalah Kebudayaan
Perkataan kebudayaan berasal dari perkataan Sanskerta : BUDAYA, yaitu bentuk jamak
dari kata BUDI yang berarti roh atau akal.
Jadi perkataan kebudayaan mengandung pengertian : “segala sesuatu yang diciptakan oleh
budi manusia”. Kebudayaan adalah istilah paling tepat dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan
pengertian CULTURE (kultur).
Perkataan kultur berasal dari kata kerja bahasa latin; Cole, Colere. Dari kata kerja ini
terbentuk kata benda : CULTURA. Colere berarti membuat, mengelola, mengerjakan, menanam,
menghias, menyiram tanaman, bangsa Romawi mempergunakan istilah itu baik hubungan dalam
mengerjakan tanah maupun dengan pemeliharaan, pengembangan, penyemaian bakat-bakat rohani
tertentu. Cicero, seorang ahli pikir romawi sering mempergunakan perkataan Cultura baik dalam
hubungan dengan mengerjakan tanah dengan bajak, menyiangi pohon anggur, maupun dalam
hubungan membuang perbuatan yang tidak sopan dan kasar dari pergaulan hidup. Kultur ada
hubungan dengan pengerjaan dan pemeliharaan sawah, ladang, batu, tubuh manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan. Cicero membedakan antara pertanian (agricultura) dan pekerjaan rohani atau
PERADABAN (Cultura-enimic).
Perkataan PERADABAN berasal dari perkataan Arab : ADAB. Perkataan peradaban
dipakai untuk menunjukkan pengertian CIVILISASI (Civilization). Arti civilisasai lebih sempit
dari pada cultur. Dalam kamus umum Poerdarminto ditunjukkan bahwa kata itu berarti
KESOPANAN, kehausan dan kebaikan budi pekerti peradaban adalah suiatu perkataan yang
sering dipakai dalam pembiacaraan mengenai sopan santun, ramah tamah, tingkah laku yang baik.
Dimana manusia mengubah dan mengusahakan (mengerjakan) kemungkinan-
kemungkinan jasmani dan rohani dari pada alam yang diciptakan oleh Hyang Widhi, disitulah
terdapat kebudayaan. Maka dapatlah dikatakan bahwa sawah, ladang, seni tari, seni suara adalah
unsur kebudayaan. Di dalam kebudayaan berbuatlah manusia sebagai manusia terhadap alam, ia
membedakan diri dari pada alam dan menundukkan alam terhadap dirinya sendiri. Manusia
membuat sawah, bendungan, pesawat terbang, alt-alat pertanian, maka dengan demikian itu
manusia menguasai alam.
Uraian di atas menunjukkan relevansi dengan definisi yang dikemukakan oleh Prof. E.
Kant : “Kebudayaan adalah usaha mempertinggi kemampuan mahkluk yang berbudi untuk
mencapai tujuan yang bebas”. Dalam kebudayaan itu terlihat betapa tingginya daya pikir manusia.
28
Maka itu Kongsres kebudayaan itu terlihat betapa tingginya daya pikir manusia. Maka itu Kongres
kebudayaan di Jakarta pada tahun 1950 merumuskan kebudayaan sebagai berikut : “Kebudayaan
adalah terkembangnya segala kemungkinan-kemungkinan dan kekuatan alam, lebih-lebih pada
manusia dengan laras dan teratur, diusahakan oleh manusia itu.”

5.14 Agama dan Kebudayaan


Antara agama dan kebudayaan terdapat hubungan timbal balik. Namun demikian, agama
dan kebudayaan itu tidak sama. Toynbee (ahli sejarah Inggris) mengatakan bahwa kebudayaan
lebih mudah berubah dari pada agama. Ia mengemukakan bahwa keruntuhan kebudayaan tertentu,
kerap kali mempercepat pertumbuhan dan perluasan agama tertentu. Tetapi ini tidak berarti bahwa
agama bangun dan runtuh bersama dengan kebudayaan yang timbul di bawah pengaruh agama itu,
misalnya jatuhnya agama Hindu pada kerajaan Majapahit abad ke-15.
Hubungan antara agama dengan kebudayaan tidak statis, tetapi hubungan yang bergerak
(dinamis). Tuhan minta kepada manusia agar insaf akan panggilan dan tanggung jawabnya kepada
kebudayaan. Tidak ada kegiatan kebudayaan yang tidak memerlukan anugrah Tuhan, dengan
perkataan lain bahwa setiap kegiatan kebudayaan selalu membutuhkan anugrah Tuhan. Dalam
sarasamusccaya 12 ditegaskan sebagai berikut : “Demikianlah, apabila hendak mencari artha dan
kama, maka dharma jugalah hendaknya dilaksanakan terlebih dahulu, keinginan untuk
mendapatkan artha dna kama pasti akan tercapai nantinya. Tidak akan ada artinya artha dan kama
itu bila diperoleh menyimpang dari dharma.
Pada kodratnya manusia mempunyai berbagai kerinduan, kekuatan, daya/tenaga yang
harus diwijudkan dan disempurnakan, yaitu 1). Kemungkinan badan, panca indra apabila
diwujudkan dapat melahirkan olah raga, kesenian ; 2). Kemungkinan pikiran menciptakan ilmu
pengetahuan, tehnik, filsafat ; 3) kemungkinan kehendak apabila disalurkan ke jalan yang benar
akan menimbulkan tata susila.
Manusia mempunyai kerinduan, yaitu kerinduan kepada sesama dan kepada Hyang Widhi
Wasa. Jika kerinduan terhadap manusia diwujudkan, maka akan melahirkan hidup bahagia, adat
istiadat, bangsa dan negara. Bilamana kerinduan kepada Tuhan (kesadaran keagamaan)
disempurnakan, maka timbul sembahyang, iman (sradha) dan dharma sedana atau dana punia
sesama manusia dan bhakti kepada Hyang Widhi.

29
5.15 Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Ajaran Isac Newton (1642-1725), yang disebut Philosophiae Prinsipis Matematika (1687)
atau filsafat alam berdasarkan atas azas matematika merupakan pokok berpikir ilmiah dan
melahirkan “scientific determination”. Dengan berkembangnya ajaran isac Newton itu, maka ilmu
pengetahuan meningkat dan menonjol kedepan dalam kegiatan rohani manusia, hingga
memberikan ciri khusus kepada abad ke-18, yang lazim Umat manusia menjadi optimis dan
percaya bahwa dengan ilmu pengetahuan manusia sanggup menerobos dan menjabarkan segala
rahasia alam, termasuk di dalamnya rahasia hidup.
Melalui penerapan tehnik dan teknologi dalam insudtri ternyata manusia mampu
menghasilkan alat perlengkapan hidup yang makin banyak dan makin sempurna, sehingga
memudahkan cara hidup manusia. Hal ini melahirkan pandangan hidup yang berorientasi kepada
alat perlengkapan hidup bahwa kesejahteraan hidup ditentukan oleh banyak atau sedikitnya alat
perlengkapan hidup, misalnya jumlah mobil, video kaset, kulkas dan sebagainya. Demikianlah
lahirnya materialisme di dunia, yang sering disebut The Age of Progress dan The Age Optimism.
Tetapi kemudian ternyata bahwa tecnologi dan industri disamping memberikan
kelengkapan dan kemudahan hidup manusia, juga ternyata menimbulkan bencana, yaitu
meletusnya perang dunia I (1914-1918) dan perang dunia II. Hal ini menyebabkan manusia baru
setarap untuk mengetahui dan menguasai alam yang berada di luar dirinya. Tetapi manusia banyak
yang mengabaikan pengetahuan dan usaha penguasaan batinnya. Dengan pengalaman yang getir
dari perang dunia I dan II manusia memperbaiki wawasan yang berat sebelah dan mulai menaruh
perhatian terhadap soal spiritual.

5.16 Agama dan Ilmu Pengetahuan


Kleper mengatakan bahwa alam itu adalah pantulan dari pada keselarasan ketuhanan,
karena Tuhan menciptakan alam semesta sesuai dengan cita-penciptanya (Tuhan) yang berupa
keselarasan tertinggi. Karena manusia diciptakan citra spiritual ketuhanan, maka seharusnya
manusia dapat mengetahuinya. Demikianlah dikemukakan alam adalah pantulan manusiawi
terhadap cita-penciptanya Tuhan, oleh sebab itu alam adalah wujud pengabdian manusia terhadap
Tuhan. Pendapat Resi Krishna dalam VII, 4-14 + 6 tentang penciptaan alam semesta relevan
dengan pendapat Kleper.

30
W. Heisenberg mengatakan bahwa sesungguhnya setiap cabang ilmu pengetahuan itu
selalu bermula dengan filsafat untuk kemudian meningkat kepada pengetahuan ilmiah dan
akhirnya bermuara pada seni. Dalam kaitan dengan pendapat ini, Will Durant mengatakan
demikian : “every science begins as philosophy and ends as art; it arises in hypotheses and flows
into achievement”.
Apabila orang tidak menepati aturan, maka dikatakan orang itu tidak menurut aturan
kesusilaan (etik), sebaliknya bila orang mengikuti aturan hidup, maka orang itu disebut baik
(susila). Meskipun pengertian itu belum bermutu ilmu pengetahuan seperti dimaksudkan oleh ahli,
namun hal itu telah menunjukkan adanya gejala menuju keilmu pengetahuan. Manusia mempunyai
dorongan untuk berbuat baik dan menyempurnakan diri. Kesmpurnaan adalah soal pokok sebagai
manusia, meskipun dalam prakteknya tidak semua manusia sama dalam memberikan realisasi
kepada dorongan penyempurnakan ciri itu. Pada dasarnya manusia akan berusaha sekuat tenaga
mengelakkan menjauhkan segala sesuatu yang bertentanggan dengan kodratnya, berusaha
menjauhkan segala sesuatu yang merugikan kodratnya, yang telah dipertimbangkan menurut akal
budinya, yang berlangsung selama hidupnya dimaya pada. Manusia harus berbuat baik dan
keharusan itu adalah keharusan susila (moral).
Manusia tidak bisa menyempurnakan diri tanpa menyempurnakan dunianya. Kegiatan
manusia itu menyatukan manusia dengan dunianya dan dunia yang bersatu dengan manusia itu
berupa DUNIA KEBUDAYAAN, yang mempunyai macam-macam cabangg. Demikianlah
kegiatan manusia itu mengarah kepada kesempurnaan manusia, atau dengan perkataan lain dapat
diskemukakan bahwa manusia dengan segala kegiatannya itu mencari kemutlakan, tetapi dia tidak
akan menjadi mutlak. Dia hanya akan mempunyai kelangsungan dengan yang mutlak, yaitu Tuhan
jadi manusia itu dengan Tuhan, supaya ia ikut serta dalam kemutlakan itu (Be in harmony with
God). Jadi kegiatan manusia sebagai pribadi yang masih harus menjadi sempurna, yang akhirnya
merupakan kegiatan ke Tuhan. Maka itu semua kemampuan manusia itu harus dipergunakan
dalam mengabdi kepada Hyang Widhi (Tuhan).

5.17 Agama dan Seni


Dalam agama Hindu, kesenian mempunyai kedudukan penting. Dalam prasasti Marakata
disebutkan : “kap ning hulu warak, tan kene phabhara tkap pemadani tan kena apabhare tkap ning

31
juru suling”, yang artinya : “Para Pegawai dilarang memungut / mengenakan pajak kepada juru
kendang, juru suling dan penari”.
Seni adalah suatu keindahan, yang berdasarkan suatu keselarasan/keharmonisan dan
keteraturan. Hyang Widhi menyatakan diri melalui keindahan alam maya ini, maka itu untuk dapat
membayangkan adanya Hyang Widhi, umat Hindu mempergunakan sesaji yang disusun rapi
sebagai sarana dalam berdo’a/sembahyang. Sarana itu disamping menggambarkan keindahan, juga
melambangkan kekuatan dari Hyang Widhi, misalnya dupe (Brahma), air (Wisnu), kembang
(Siwa).

5.18 Etika Sosial Ekonomi


a. Tuhan menyatakan diri. “Aku adalah asal mula dan pelebur alam semesta ini (Bhgd. VII,6).
Tiada yang lebih tinggi dari pada KU, yang ada ini semua terikat pada KU bagaikan rangkaian
mutiara pada seutas tali (Bhgd. VII,7) Aku adalah rasa, cahaya dibulan dan matahari, pranawa
dalam Weda, suara suci diather dan kemanusiaan pada manusia (Bhgd. VII,8). Aku adalah
harum sucinya tanah dan benderang nyalanya api, aku adalah nyawanya semua insani dan
semangat tapa bratanya petapa (Bhgd. VII, 9). Aku adalah benih abadi dari semua mahkluk,
akal pikiran kaum intelektual dan cemerlangnya sinar cahaya (Bhgd. VII, 10) Alam Semesta
ini diliputi oleh Ku dengan Wujudnya yang tak nyata (Bhgd. IX, 4). Aku adalah Bapak, Ibu,
pelindung dan kakek alam semesta ini, Aku adalah obyek ilmu pengetahuan penyuci, aksara
Rik Sema, Yayur dan AUM (Bhgd. IX, 17).
b. Tuhan menciptakan alam semesta. Sebelum alam semesta ini ada, Tuhan telah ada terlebih
dahulu. Tuhan tidak diciptakan, melainkan menciptakan dirinya sendiri, maka ia tidak
mempunyai awal dan akhir, selalu ada, lenggeng, maha ada dan maha karya. Tuhan
menyatakan diri dengan kekuatan meyanya dan menciptakan alam semesta ini. Dalam IV,6
disebutkan sebagai berikut : “Walaupun Aku tidak terlahirkan, tak termusnahkan, Aku adalah
pencipta segala mahkluk hidup dan segala yang ada”.
Dalam Menawa Dharmasastra I,8 dikatakan : “Tuhan menciptakan dari dirinya sendiri semua
mahkluk hidup yang beraneka ragam”.

32
5.19 Etika Dalam Masalah Kerja
a. Tuhan merupakan maha karma (kerja). Tuhan adalah spencipta.
(Utpati), Pemelihara (Sthiti) dan pelebur (Pralina). Ini menunjukkan bahwa Tuhan
merupakan maha karma. Apabila Tuhan berhenti kerja, maka dunia akan hancur lebur.
Dalam II, 12 dikatakan : “Tidak pernah saat di maka Aku, engkau dan para raja ini tidak
ada dan tidak pernah ada saat dimana kita berhenti ada, sekalipun sesudah ini”. Kata
“AKU” di sini sebenarnya adalah SABDA TUHAN, yang disampaikan oleh Awatara
Krishna. Jadi Krishna bukan Tuhan melainkan hanya merupakan penjelmaan dari
Tuhan, yang disebut dengan AWATARA. Tuhan sering menjelmakan diri-Nya ke dunia
sebagai Awatara untuk menolong Pandawa menegakkan kejujuran, kebenaran dan
keadilan. Dalam IV, 7-8 dikatakan : “Manakala dharma hendak sirna dan adharma
hendak merajalela, saat itu aku sendiri turun ke dunia. demi untuk melindungi kebajikan,
demi untuk memusnahkan kelaliman dan demi untuk menegakkan dharma, Aku lahir ke
dunia dari masa ke masa”.
Tuhan selalu bekerja, karena ia merupakan maha karya (maha kerja) walaupun
tidak membutuhkan hasil kerjanya. Dalam III, 22 disebutkan “Tiada sesuatu yang Aku
ingin capai dalam ketiga dunia ini, namun Aku tetap melaksanakan kerja”. Apabila Aku
berhenti bekerja dunia ini akan hancur lebur dan Aku jadi penciptta keruntuhan dan
kemusnahan manusia semua”. (Bhgd. III, 24).
b. Hakekat hidup adalah kerja. Dalam hidup di dunia, manusia tidak menghindarkan diri
dari kegiatan kerja berjalan, berkata, berfikir dan semacamnya merupakan suatu
kegiatan kerja. Kerja itu adalah kodrat manusia. Maka itu manusia benar-benar tidak
bisa menghindarkan diri dari hakekatnya sebagai mahkluk kerja (karmenem). Resi
Krishna mewejangkan : “Tiada seorangpun yang tidak bekerja walaupun untuk sesaat
saja, karena dengan tiada berdaya, manusia selalu dibuat bekerja oleh hukum kodrat
(III,5). Apakah kerja itu ? orang harus tahu artinya kerja, demikian pula kerja yang salah
dan juga makna dari tak kerja (Bhdg. IV, 17). Kerja (karma) yang dilaksanakan tanpa
mengharapkan imbalan, tiadalah mengikat, misalnya orang ikut gotong royong
membuat jalan agar lalu lintas menjadi lancar atau membantu tetangga membangun
rumah. Gotong royong adalah pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas, maka orang
tidak diikat oleh kehendak mendapatkan imbalan. Sebaliknya kerja yang dilaksanakan
33
dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan, maka pekerjaan itu akan mengikat, yaitu
orang diikat oleh harapannya untuk mendapatkan pahala yang setimpal dengan jerih
payah yang dicurahkan dalam pekerjaan itu.
Kerja meskipun dilakukan secara aktif oleh orang yang bijaksana, akan tetapi
tanpa disertai kepentingan pribadi, maka hal itu sama halnya dengan tak kerja. Orang
bodoh mengatakan tak kerja (akarma) itu sama dengan tidak mengakibatkan diri pada
hasil kerja, sebab kerja seperti itu merupakan hakekat hidup; jadi menurut kodrat
sebagai manusia. Resi Krrishna mewejangkan : “tanpa mengharapkan hasil kerja, selalu
gembira, bebas dari segalanya, walaupun terus bekerja sesungguhnya itu tidak berbuat
apa-apa” (Bhdg. IV, 20).
c. Kerja sebagai perintah Tuhan. “Dahulu kala Prajapati (Tuhan)
menciptakan manusia bersama bhakti persembahannya dn berkata : “Dengan ini engkau
berkembang baik dan biarlah ini menjadi sapi perahanmu” (Bhdg. III, 10). Disini obyek
kerja diggambarkan sebagai sapi perahan. Mengapa justru sapi? Sapi dalam pandangan
Hindu adalah mahkluk yang berguna karena apabila hewan itu dipelihara dengan baik
akan menghasilkan susu yang merupakan minuman bergisi dan sangat besar faedahnya
bagi spertumbuhan dan kesehatan jasmani. Disamping itu dapat dipergunakan sebagai
pembantu untuk mengerjakan sawah (membajak).
Ajaran diatas menunjukkan bahwa tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia adalah tugas kerja : esha vo’stvisthe kemaduk (biarlah ini menjadi sampi
perahanmu). “Karena makanan mahkluk hidup, karena hujan turun makanan tumbuh,
karena persembahan hujan turun dan persembahan lahir dari kerja” (Bhdg. III, 14).
“Ketahuilah bahwa kegiatan kerja lahir dari Brahman dan Brahman adalah Tuhan Yang
Maha Esa, oleh sebab itu Brahman yang melindungi semua selalu ada di sekitar
persembahan (Bhdg. III, 15). Ini menunjukkan bahwa kerja harus dilaksanakan sebagai
bakti kepada Hyang Widhi (Tuhan), karena Tuhan selalu menampakkan diri dihadapan
orang yang bhakti kepadaNya.
Perintah kerja (Titah Karma) itu berlaku bagi setiap orang, baik remaja, pemuda,
orrang tua, wanita, pria, rohaniwan, pehawai, pedagang, petani, pesuruh, pelayan atau
buruh. Hyang Widhi tidak menyukai orang hidup berfoya-foya dan bermalas-malasan.
Titah Widhi itu merupakan wajib bagi tiap-tiap orang untuk melakukan kerja yang
34
produktif dan berguna. Demikian pula kerja yang diiringi persembahan sebagai tanda
bakti, jauh lebih mulia dari pekerjaan yang mempunyai kepuasan perorangan. Semua
itu dapat mengangkat orang ketingkat yang lebih tinggi, lebih baik, suci dan sempurna.
Janaka, raja dari negeri Mithila, ayah dari Dewi Sita dan mertua Rama, adalah contoh
nyata dalam soal membawakan kebahagiaan bagi rakyatnya dan selalu memupuk
kemanusiaan yang luhur pada jamannya. Pada masa hidupnya, Raja Janaka mencapai
kesadaran jiwa dan kebagagiaan abadi sengan segala aktifitasnya kerjanya, tanpa motif
kepentingan diri pribadinya.
Tuhan menciptakan alam semesta dengan gaya mayanya dan menjadikan Awatara
untuk menolong manusia, karena cinta kasihnya. Tuhan telah mencintai dan mengasihi
manusia terlebih dahulu, maka manusiapun harus mencinatai dan mengasihi Tuhan
sebagai cinta kasih balas kepadanya. Cinta kasih manusia kepada Tuhan dinyatakan
melalui YADNYA (korban suci), bakti persembahan dan selalu mengerjakan sesuatu
atas anugrahnya. Swami Vivekananda mengatakan : “Demikianlah hendaknya orang
hidup di dunia, dengan tanggannya selalu bekerja, tetapi hatinya ditautkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan sangat kasih kepada orang yang kasih kepadaNya. Dalam VII, 17
disebutkan : “Diantara mereka yang berbudi selalu memusatkan pikiran dan berbakti
kepada yang satu adalah mulia, sebab itu dialah yang aku sangat kkasihi, karena ia kasih
kepada Ku”.
Selanjutnya di dalam VII, 18 disebutkan sebagai berikut “semua manusia adalah
mulia, akan tetapi yang berbudi Ku pandang sebagai diri Ku, sebab jiwanya seimbang
dengan sempurna dan tujuannya yang tertinggi hanya berlindung kepadaKu”.
Orang yang bekerja hanya didorong keinginan mendapatkan kebahagiaan dunia
semata (jagadita), tanpa di landasi bakti kepada Hyang Widhi, hanya akan mendapatkan
kebahagiaan sementara. Akan tetapi orang yang bekerja di landasi cinta kasih dan bhakti
kepada Hyang Widhi dan tujuannya yang tertinggi menyatukan Atmanya kepada
Brahman, maka akan mendapatkan kebahagiaan abadi (sukan tan pawali duka). Mereka
yang pikirannya selalu diliputi selubung materi, tidak mengetahui Hyang Widhi yang
menampakkan diri melalui keindahan dan keajaiban alam maya ini. Mereka selalu
gelisah, sebab di dalam maateri tidak terdapat ketenangan hati dan kebahagiaan sejati.
35
Tetapi orang yang menyadari bahwa materi itu hanya sekedar merupakan alat
untuk menata diri (mengatur diri), mereka tidak mententakan materi dan kaidah suci,
karena keduanya tersusun secara hierarkhis. Materi merupakan fondasi dan sarana hidup
di bumi dan kaidah suci adalah naungan abadi dari Hyang Widhi, yang melindungi
manusia dari perbuatan nista dan keji. Mereka yang mengetahui ini akan selalu beriman
(aradha) dan berlindung kepada Hyang Widhi, mempercayai kebenaran Hukum Karma
phala. Mereka yang mengetahui Hyang Widhi memangku segala aspek alam semesta,
meskipun disaat ajal mereka sudah sampai, mereka tetap memuja Hyang Widhi (Bhdg.
VII, 29-30). Kesalahan terbesar tidak ditimbulkan oleh adanya pelanggaran undang-
undang, hukum, peraturan yang dibuat manusia, melainkan sumber pada kedunguan dan
kepisikan pikiran manusia yang dikuasai oleh egonya. Ego yang mencekam manusia
menyebabkan manusia selalu cemburu kesenangan dan kepuasan diri sendiri dengan
mengorbankan orang lain. Hyang Widhi menyadarkan manusia agar mencari
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat dengan selalu menempuh jalan suci
(Bhakti-marga). Dalam Bhdg. VIII, 7 dikatakan : “Ingatlah selalu kepada KU, berjuang
terus maju dengan pikiran dan budi tetap kepada KU, engkau pasti datang kepada KU”.
Cinta kepada Hyang Widhi dinyatakan dalam tindakan (kayika), perkataan
(wacika) dan pikiran (manacika). Karena itu apapun yang dilakukan dikerjakan, di
makan, dipersembahkan dan disiplin dari apapun yang dilakukan, hendaknya semuanya
itu dilaksanakan sebagai bhakti kepada Hyang Widhi (Bhdg. IX, 27). Menyerahkan
segala kerja, pengabdian dan seluruh hidup kepada kesucian dan kebajikan, maka atman
akan terlepas dari belenggu ego yang menghalangi usaha mencapai kebahagiaan
tertinggi.
d. Tujuan Kerja. Tujuan kerja adalah untuk memuliakan Hyang Widhi, mensejahterakan
hidup manusia dan menyelaraskan lingkungan. Lingkungan dalam kaitan ini adalah apa
yang ada di sekitar manusia. Sekitar manusia itu sesungguhnya amat luas. Manusia
mempunyai kemampuan mengubah lingkungannya, yang meliputi lingkungan pisik,
biologis dan lingkungan sosial.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan itu adalah supaya dapat bertahan
hidup. Kebutuhan pokok hidup manusia untuk bereksistensi adalah makan, minum,
pakaian dan perumahan (sandang, pangan, panggonan). Kebutuhan manusia itu
36
merupakan persyaratan utama, oleh sebab itu kebutuhan manusia itu merupakan
persyaratan utama, oleh sebab itu kebutuhan tersebut merupakan suatu persyaratan
“vital” dalam arti kata jika kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi, maka akan mengganggu
kelangsungan eksistensi manusia sebagai mahkluk hidup. Resi Krishna mewejangkan :
“Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik dari pada tidak
bekerja, sebab apabila engkau tidak bekerja, maka hidup sehari-haripun tidak mungkin
kecuali untuk tujuan berbakti, dunia ini dibelenggu oleh kaum kerja, oleh sebab itu
bekerjalah demi berbakti tanpa kepentingan pribadi (Bhgd. III, 8-9).
Tujuan kerja yang lebih tinggi adalah kerja yang bertujuan untuk melenyapkan
dosa (klesa) dan Resi Krishna mewejangkan : “Dia yang bekerja dengan
mempersembahkan kerjanya kepada Brahman (Hyang Widhi) tanpa motif keinginan
apa-apa, tidak terjemah oleh disa papa” (V,10) “Orang yang dosanya telah dilebur,
keraguannya dihapus, pikirannya dipusatkan untuk berbuat kebajikan kepada semua
mahluk, akan mencapai moksa, atmanya bersatu kepada Brahhman (Bhgd. V,25).
Salah satu tugas kewajiban setiap umat beragam yang maha penting dan tidak
boleh dilupakan ialah berbakti kepada Hyang Widhi Wasa. Oleh karenanya Hyang
Widhi-lah kita harus tetap berpegangan dengan menyatukan diri kepadanya.
e. Kerja dan Upah
Resi Wararuci mewejangkan : “Janganlah engkau bersenang-senang ; pekerjaan
yang mestinya dikerjakan esok hari sebaiknya dikerjakan sekarang juga; yang
semestinya dikerjakan petang hari, sebaiknya pagi engkau kerjakan, sebab maut sekali-
kali tidak akan menantikan, ia tidak memperhatikan apakah pekerjaan belum selesai
ataupun sudah selesai (Sas.364).
Hakekat hidup adalah kerja, maka itu janganlah orang mengangankan dan
memikirkan untuk menghindarkan diri dari kegiatan kerja. Manusia hanya dapat
menyelamatkan dirinya melalui kegiatan kerja.
Dalam Bhdg. III, 4 dikatakan : “Orang tidak akan mencapai kebebasan karena
diam, tiada bekerja, juga ia tidak mencapai kesmpurnaan karena menghindari kegiatan
kerja”. Kehidupan yang layak dan kesejahteraan masyarakat hanya dapat diwujudkan
melalui kegiatan kerja sesuai dengan swadharma masing-masing. Dalam III, 8 dikatakan
: “Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik dari pada yang
37
telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik dari pada tidak bekerja, maka untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-haripun tidak mungkin”.
Hukum Karma Phala mengatakan bahwa setiap perbuatan tentu adal akibatnya
(Phalanya). Demikianlah apabila orang yang mengerjakan itu wajib mendapatkan
imbalan yang layak dari yang menyuruh itu, yaitu yang disebut, UPAH-KERJA. Resi
Wararuci mewejangkan : “Itulah hakekat suatu dana, bukan si bapak, ibu yang akan
menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kewajiban itu, ia yang
berhak menikmati pahala dari berbuat dana punia itu.

38

Anda mungkin juga menyukai