BAB I
PENDAHULUAN
Karbon aktif ialah karbon yang mengalami proses pengaktifan menggunakan bahan
pengaktif sehingga pori-pori terbuka, luas permukaan karbon menjadi lebih besar,
dan kapasitas adsorpsinya menjadi lebih tinggi [3]. Aplikasi karbon aktif pada
kehidupan sehari-hari sering digunakan sebagai adsorben untuk penghilang warna
dan bau pada perairan, penyerapan logam berat, pengolahan pupuk, penyulingan
minyak, penghilang sulfur atau gas beracun, dan sebagai katalisator [4,5]. Karbon
aktif dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah sebagai campuran pada
pembuatan kompos agar mendapatkan kualitas dan hasil yang lebih baik. Arang
juga dapat diaplikasikan pada tanah sebagai pembangun kesuburan tanah terutama
pada tanah yang miskin hara [6].
Karbon aktif sering ditemui dalam bentuk serbuk. Karbon aktif berbentuk serbuk
memiliki kelemahan dalam pengaplikasiannya karena mudah terbawa oleh angin
saat digunakan sehingga dapat berbahaya bagi pernapasan manusia [7].
Pengaplikasian karbon aktif berbentuk serbuk juga tidak dapat digunakan kembali
dan akan dibuang ke limbah dengan pengolahan lumpur atau air backwash [8].
Karbon aktif dalam bentuk pelet menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan
karbon aktif dalam bentuk serbuk yang banyak ditemui dalam kegiatan sehari-hari.
Karbon aktif dalam bentuk pelet memiliki regenerasi yang baik sehingga
menguntungkan dalam segi ekonomi dan ramah lingkungan [9]. Ukuran partikel
karbon aktif berbentuk pelet memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan
karbon aktif berbentuk serbuk yaitu 0,8-5 mm sedangkan untuk serbuk kurang dari
0,15-0,25 mm [10].
Pelet karbon aktif dalam pembuatannya diperlukan adanya bahan pengikat, baik
pengikat alami, ataupun sintetis [11]. Bahan pengikat berperan pada proses
produksi pelet karbon aktif, yaitu berfungsi menggabungkan partikel yang tersebar
dari bahan yang berkarbon dan memberikan kekuatan mekanik yang sesuai pada
produk pelet [12]. Pengikat alami memiliki keuntungan antara lain meningkatkan
penyerapan, biodegradable, toksisitas rendah dan biaya rendah. Pengikat alami
memiliki juga kekurangan yaitu sulitnya untuk memperoleh kekuatan partikel yang
baik sehingga memerlukan komposisi yang tepat [13].
Lignin adalah senyawa organik alami dan terbarukan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pengikat. Lignin diperoleh dari hasil samping produksi kertas [14].
Perekat berbasis lignin saat ini dianggap sebagai bahan yang lebih berpotensi
dibandingkan perekat sintetis karena ketersediaan lignin yang luas dan biayanya
yang rendah. Lignin pada pengaplikasiannya telah digunakan sebagai perekat di
berbagai bidang, termasuk industri kimia, elektrokimia, keperluan konstruksi, dan
sektor medis. Lignin dapat diaplikasikan untuk memberikan manfaat yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan [15].
Penelitian yang dilakukan oleh Amaya et al. berfokus pada pembuatan karbon aktif
berbentuk pelet dengan tiga bahan pengikat yang berbeda, yaitu wood tar, molasses,
dan pati [16]. Pelet karbon aktif yang diproduksi dengan bahan pengikat berbeda
memiliki ketahanan mekanis yang baik. Pelet karbon juga menunjukkan nilai kalor
dan kepadatan energi yang lebih tinggi daripada karbon aktif serbuk. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Hu et al. dengan menggunakan bahan pengikat lignin
yang menghasilkan elastisitas yang tinggi dan ikatan yang baik [17]. Pelet karbon
aktif dengan bahan pengikat lignin juga menunjukkan pemakaian energi tekan yang
lebih rendah, dapat menyerap air, kekuatan mekanik yang lebih baik, dan kinerja
pembakaran yang meningkat. Polivinil alkohol (PVA) dan pati yang berfungsi
sebagai bahan perekat juga ditambahkan dalam pembuatan pelet karbon aktif.
Penambahan PVA dalam pelet karbon aktif berfungsi meningkatkan kepadatan
pelet, penyerapan air dan kekuatan tekan [18].
Penelitian ini berfokus pada pembuatan pelet karbon aktif menggunakan lignin,
pati, dan PVA sebagai bahan pengikat. Komponen terbaik dapat diketahui dengan
kekuatan penyimpanan nutrisi pada pelet karbon yang telat dibuat. Produk pelet
karbon aktif yang diperoleh pada penelitian ini kemudian diuji menggunakan uji
tekan bebas, spektrofotometer UV-Vis serta menggunakan instrumen SEM dan
FTIR.
2.4 Lignin
Lignin merupakan salah satu polimer alami yang paling melimpah, dan terlepas dari
struktur kimianya yang multifungsi, sebagian besar telah dibuang sebagai limbah
industri pulp dan kertas. Produk sampingan yang murah dan mudah didapat ini
menunjukkan potensi besar sebagai polimer yang berguna [38]. Modifikasi struktur
kimia lignin dapat menghasilkan bahan dengan sifat yang diinginkan dan
meningkatkan reaktivitas [39]. Gugus fungsi hidroksil, fenol, dan eter dalam
struktur kimia lignin memberikan kemungkinan yang luas untuk modifikasi kimia.
Lignin dapat dimodifikasi secara kimia untuk menghasilkan bahan dengan
karakteristik adsorpsi dan adhesi yang baik, dan dengan kelarutan yang dapat
disesuaikan dalam berbagai pelarut. Lignin yang dimodifikasi secara kimia juga
dapat dimanfaatkan sebagai penguat dalam pembuatan komposit berbasis bio
dengan berbagai polimer sintetik [40]. Struktur lignin dapat dilihat pada Gambar
2.4 berikut:
2.5 Pati
Pati adalah biopolimer yang murah dan mudah didapat yang termasuk dalam kelas
polisakarida. Pati terdiri dari jenis molekul, amilosa linier, heliks dan amilopektin
bercabang. Pati merupakan kandidat ideal sebagai bahan pengikat alami [44].
Amilosa berperilaku sebagai polimer sintetik konvensional dan memungkinkan
pengikatan hidrofobik, sementara itu amilopektin terbukti menjadi kunci untuk
mengatasi kerapuhan dan penyusutan lapisan [45].
Molekul amilosa merupakan polimer dari unit-unit glukosa dengan bentuk ikatan
α-(1,4)-D-glikosidik, berbentuk rantai lurus, tidak bercabang, atau mempunyai
struktur heliks yang terdiri dari 200 – 2000 satuan anhidroglukosa. Amilopektin
merupakan polimer unit-unit glukosa dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik pada
rantai lurusnya dan ikatan α-(1,6)-D-glikosidik pada percabangannya yang terdiri
dari 10.000 – 100.000 satuan anhidroglukosa [46]. Struktur molekul dari amilosa
dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut:
Gambar 2.5 Struktur (a) amilosa dan (b) amilopektin [47]
2.7 Karakterisasi
2.7.1 Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning electron microscope (SEM) adalah teknik mikroskop elektron yang
mampu mencapai gambar visual rinci dari sebuah partikel dengan kualitas tinggi
dan resolusi spasial. SEM digunakan untuk mengamati fenomena permukaan
material serta memberikan informasi tentang topografi, morfologi, komposisi,
kimia, orientasi butir, informasi kristalografi dari suatu material. Morfologi
menunjukkan bentuk dan ukuran, sedangkan topografi menunjukkan fitur
permukaan suatu objek, teksturnya, kehalusan, kekasarannya, dan komposisi
unsur serta senyawa yang menyusun bahan, sedangkan kristalografi berarti
susunan atom dalam bahan [51].
Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau
material dengan berkas elektron yang dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan
material yang disinari atau terkena berkas elektron akan memantulkan kembali
berkas elektron atau dinamakan berkas elektron sekunder ke segala arah. Terdapat
satu berkas elektron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi dari semua berkas
elektron yang dipantulkan. Detektor yang terdapat di dalam SEM akan mendeteksi
berkas elektron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh benda atau material
yang dianalisis [52]. Prinsip SEM dapat diilustrasikan pada Gambar 2.7 berikut:
Ada beberapa sinyal yang penting yang dihasilkan oleh SEM. Pantulan inelastis
akan mendapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik sinar X, sedangkan
dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered electron. Elektron sekunder
menghasilkan topografi dari benda yang dianalisis, permukaan yang tinggi
berwarna lebih cerah dari permukaan rendah. Backscattered electron memberikan
perbedaan berat molekul dari atom-atom yang menyusun permukaan, atom dengan
berat molekul tinggi akan berwarna lebih cerah daripada atom dengan berat molekul
rendah [53].
2.7.2 Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektroskopi inframerah (IR) merupakan metode analitik yang digunakan untuk
mengkarakterisasi struktur ikatan atom berdasarkan interaksi radiasi IR dengan
materi. Spektroskopi inframerah juga digunakan untuk mengukur frekuensi radiasi
di mana zat menyerap dan menyebabkan produksi getaran dalam molekul.
Spektroskopi IR memberikan kecepatan teknik identifikasi dan karakterisasi
struktur kimia untuk memperoleh informasi dari biologis hingga material komposit,
dari sampel cairan hingga gas [54].
FTIR (Fourier transform infrared) merupakan bentuk paling umum dari
spektroskopi inframerah. Semua spektroskopi inframerah bertindak berdasarkan
prinsip bahwa ketika radiasi inframerah (IR) melewati sampel, sebagian radiasi
diserap dan radiasi yang melewati sampel dicatat. Molekul yang berbeda dengan
struktur yang berbeda akan menghasilkan spektrum yang berbeda, spektrum dapat
digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan antar molekul [55]. Prinsip
FTIR tersebut dapat diilustrasikan oleh Gambar 2.8 berikut:
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain, karbon aktif, lignin, pati, polivinil
alkohol (PVA), natrium hidroksida (NaOH), air deionisasi (H2O), kalium dihidrogen
fosfat (KH2PO4, Pudak), natrium nitrat (NaNO3), asam sulfat (H2SO4, Mitra
Wacana Media), amonium molibdat ((NH4)2MoO4, Pudak), asam askorbat, indikator fenolftalein (Merck), asam
klorida (HCl), kalium antimonil tartrat ((K2Sb2(C4H2O6)2, Basic chemical), natrium klorida (NaCl), asam sulfanilat
3.4.3 Karakterisasi
3.4.3.1 Scanning Electron Microscope (SEM)
Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk mengetahui
morfologi dan ukuran partikel pelet karbon aktif. Sampel yang digunakan berupa
pelet, kemudian diletakkan pada holder dengan menggunakan selotip karbon
double tape. Sampel kemudian dimasukkan dalam specimen chamber pada alat
SEM. Sampel pelet karbon aktif diamati dengan berbagai perbesaran untuk dapat
memahami morfologi pelet karbon aktif yang terbentuk [63].
Air DI yang telah digunakan untuk proses perendaman selama 24 jam akan berubah
menjadi pH basa karena adanya pelepasan ion Na+ dan OH- dari larutan di dalam
membran. Air DI yang sudah mencapai pH basa tersebut kemudian diganti dengan
air DI yang memiliki pH netral. Perendaman membran dilakukan selama 7 hari
dengan harapan memperoleh larutan lignin murni yang terdapat di dalam membran.
Hasil dari isolasi lignin setelah 7 hari perendaman dapat dilihat seperti Gambar 4.3.
Gambar 4.4 Produk pelet karbon aktif dengan variasi (a) tanpa penambahan lignin (b) penambahan
0,55
0,50
Absorbansi
0,45
0,40
0,35
y = 0,6294x + 0,0978
0,30 R² = 0,994
0,25
0,20
0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
Konsentrasi Fosfat (ppm)
Langkah serupa dilakukan terhadap kurva standar nitrat dengan konsentrasi 0,1;
0,2; 0,3 dan 0,4 ppm menggunakan panjang gelombang 410 nm. Gambar 4.7
menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (R2) Nitrat 0,9926.
0,24
Absorbansi
0,22
0,20
0,18
Absorbansi
0,16
0,14
y = 0,4299x + 0,0544
0,12
R² = 0,9926
0,10
0,08
0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40
Konsentrasi Nitrat (ppm)
Langkah serupa dilakukan terhadap penentuan kadar nitrat pada pelet karbon aktif
juga dilakukan dengan skala hari yakni pada hari pertama, ketiga, keempat serta
hari ketujuh, dengan kadar nitrat berturut-turut adalah 1,9148; 2,5773; 1,3976; dan
0,6489 mg/L. Waktu optimal pelepasan nutrisi nitrat dari pelet karbon terjadi pada
waktu perendaman selama 3 hari, kadar nitrat yang diperoleh pada hari ketiga yakni
2,5773 mg/L. Waktu optimal tersebut disebabkan karena kadar nitrat yang
terkandung pada pelet karbon telah keluar dan larut sempurna pada waktu
perendaman selama 3 hari. Waktu perendaman yang melebihi waktu optimal tidak
akan melepaskan nitrat kembali atau hanya melepaskan sisa-sisa nitrat dengan
konsentrasi yang sangat sedikit pada pelet karbon. Grafik kadar nitrat dapat dilihat
pada Gambar 4.9 berikut.
Gambar 4.10 Hasil SEM serbuk karbon aktif dengan perbesaran pada layar monitor peralatan SEM
(a) 100x (b) 250k x
Gambar 4.11 Hasil SEM pelet karbon aktif pati/PVA tanpa lignin dengan perbesaran pada layar
monitor peralatan SEM (a) 100x (b) 250k x
Produk pelet karbon aktif pati/PVA dengan penambahan bahan pengikat lignin
menunjukkan hasil serupa dengan pelet karbon aktif pati/PVA tanpa bahan pengikat
lignin. Hal ini ditunjukkan dengan morfologi pelet karbon dengan penambahan
lignin serupa dengan tanpa penambahan lignin yaitu sama-sama memiliki
permukaan halus, tidak berpori, dan tidak ditemukan adanya retakan pada
permukaan [75]. Hasil analisis SEM pelet karbon aktif dengan lignin dapat dilihat
pada Gambar 4.12 berikut.
Gambar 4.12 Hasil SEM pelet karbon aktif pati/PVA lignin dengan perbesaran pada layar monitor
peralatan SEM (a) 100x (b) 250k x
5.1 Kesimpulan
Lignin memiliki kemampuan yang baik sebagai bahan pengikat alami pada
produksi pelet karbon aktif. Hasil uji tekan bebas dan spektrofotometer UV-Vis
menunjukkan bahwa pelet karbon aktif memiliki kekuatan mekanik yang baik dan
penyimpanan nutrisi yang baik. Produk pelet karbon aktif dengan variasi lignin 5
mL memiliki ketahanan yang paling baik dengan nilai 128,16 kg/cm2. Hasil uji
spektrofotometer UV-Vis menunjukkan bahwa kadar fosfat memiliki nilai tertinggi
pada waktu perendaman 7 hari yakni 4,1401 mg/L sedangkan kadar nitrat memiliki
nilai tertinggi pada waktu perendaman 3 hari yakni 2,5773 mg/L.
5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian selanjutnya perlu adanya pengembangan terkait
pemanfaatan pelet karbon aktif yang dihasilkan, sehingga dapat diaplikasikan
dalam berbagai bidang keilmuan seperti adsorben ataupun sebagai bahan bakar
yang ramah lingkungan.