Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi penghasil karbon
aktif yang cukup besar. Hal ini didukung dengan potensi bahan baku atau sumber
daya alam untuk menunjang produksi karbon aktif di Indonesia. Produksi karbon
aktif dapat memanfaatkan limbah pertanian, limbah perkebunan, limbah
peternakan, limbah pertambangan, dan limbah kayu [1]. Karbon aktif yang sering
ditemukan dalam kehidupan sehari hari adalah karbon dari kayu, tempurung kelapa,
dan batu bara [2].

Karbon aktif ialah karbon yang mengalami proses pengaktifan menggunakan bahan
pengaktif sehingga pori-pori terbuka, luas permukaan karbon menjadi lebih besar,
dan kapasitas adsorpsinya menjadi lebih tinggi [3]. Aplikasi karbon aktif pada
kehidupan sehari-hari sering digunakan sebagai adsorben untuk penghilang warna
dan bau pada perairan, penyerapan logam berat, pengolahan pupuk, penyulingan
minyak, penghilang sulfur atau gas beracun, dan sebagai katalisator [4,5]. Karbon
aktif dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah sebagai campuran pada
pembuatan kompos agar mendapatkan kualitas dan hasil yang lebih baik. Arang
juga dapat diaplikasikan pada tanah sebagai pembangun kesuburan tanah terutama
pada tanah yang miskin hara [6].

Karbon aktif sering ditemui dalam bentuk serbuk. Karbon aktif berbentuk serbuk
memiliki kelemahan dalam pengaplikasiannya karena mudah terbawa oleh angin
saat digunakan sehingga dapat berbahaya bagi pernapasan manusia [7].
Pengaplikasian karbon aktif berbentuk serbuk juga tidak dapat digunakan kembali
dan akan dibuang ke limbah dengan pengolahan lumpur atau air backwash [8].

Karbon aktif dalam bentuk pelet menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan
karbon aktif dalam bentuk serbuk yang banyak ditemui dalam kegiatan sehari-hari.
Karbon aktif dalam bentuk pelet memiliki regenerasi yang baik sehingga
menguntungkan dalam segi ekonomi dan ramah lingkungan [9]. Ukuran partikel
karbon aktif berbentuk pelet memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan
karbon aktif berbentuk serbuk yaitu 0,8-5 mm sedangkan untuk serbuk kurang dari
0,15-0,25 mm [10].

Pelet karbon aktif dalam pembuatannya diperlukan adanya bahan pengikat, baik
pengikat alami, ataupun sintetis [11]. Bahan pengikat berperan pada proses
produksi pelet karbon aktif, yaitu berfungsi menggabungkan partikel yang tersebar
dari bahan yang berkarbon dan memberikan kekuatan mekanik yang sesuai pada
produk pelet [12]. Pengikat alami memiliki keuntungan antara lain meningkatkan
penyerapan, biodegradable, toksisitas rendah dan biaya rendah. Pengikat alami
memiliki juga kekurangan yaitu sulitnya untuk memperoleh kekuatan partikel yang
baik sehingga memerlukan komposisi yang tepat [13].

Lignin adalah senyawa organik alami dan terbarukan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pengikat. Lignin diperoleh dari hasil samping produksi kertas [14].
Perekat berbasis lignin saat ini dianggap sebagai bahan yang lebih berpotensi
dibandingkan perekat sintetis karena ketersediaan lignin yang luas dan biayanya
yang rendah. Lignin pada pengaplikasiannya telah digunakan sebagai perekat di
berbagai bidang, termasuk industri kimia, elektrokimia, keperluan konstruksi, dan
sektor medis. Lignin dapat diaplikasikan untuk memberikan manfaat yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan [15].

Penelitian yang dilakukan oleh Amaya et al. berfokus pada pembuatan karbon aktif
berbentuk pelet dengan tiga bahan pengikat yang berbeda, yaitu wood tar, molasses,
dan pati [16]. Pelet karbon aktif yang diproduksi dengan bahan pengikat berbeda
memiliki ketahanan mekanis yang baik. Pelet karbon juga menunjukkan nilai kalor
dan kepadatan energi yang lebih tinggi daripada karbon aktif serbuk. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Hu et al. dengan menggunakan bahan pengikat lignin
yang menghasilkan elastisitas yang tinggi dan ikatan yang baik [17]. Pelet karbon
aktif dengan bahan pengikat lignin juga menunjukkan pemakaian energi tekan yang
lebih rendah, dapat menyerap air, kekuatan mekanik yang lebih baik, dan kinerja
pembakaran yang meningkat. Polivinil alkohol (PVA) dan pati yang berfungsi
sebagai bahan perekat juga ditambahkan dalam pembuatan pelet karbon aktif.
Penambahan PVA dalam pelet karbon aktif berfungsi meningkatkan kepadatan
pelet, penyerapan air dan kekuatan tekan [18].
Penelitian ini berfokus pada pembuatan pelet karbon aktif menggunakan lignin,
pati, dan PVA sebagai bahan pengikat. Komponen terbaik dapat diketahui dengan
kekuatan penyimpanan nutrisi pada pelet karbon yang telat dibuat. Produk pelet
karbon aktif yang diperoleh pada penelitian ini kemudian diuji menggunakan uji
tekan bebas, spektrofotometer UV-Vis serta menggunakan instrumen SEM dan
FTIR.

1.2 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian yang diangkat adalah untuk
mengetahui kemampuan lignin sebagai bahan pengikat pada pelet karbon aktif.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup kegiatan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian ini berfokus pada pembuatan pelet karbon aktif
2. Pelet karbon aktif menggunakan bahan pengikat lignin, pati dan PVA
3. Karakteristik pelet karbon aktif diuji menggunakan instrumen Scanning
Electron Microscope (SEM), Fourier Transform Infrared (FTIR), uji tekan
bebas dan spektrofotometer UV-Vis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karbon aktif


Karbon aktif adalah bahan berbiaya rendah dengan sifat yang dapat dibedakan
seperti luas permukaan spesifik yang tinggi, porositas tinggi, dan fungsionalisasi
permukaan yang diinginkan. Karbon aktif dapat digunakan secara beragam untuk
aplikasi yang efektif dalam adsorpsi, penghilangan polutan, pengolahan air, energi,
dan lain-lain [19].
Karbon aktif mengandung bahan karbon yang berasal dari arang. Karbon aktif
diproduksi dengan pirolisis bahan organik yang berasal dari tumbuhan. Biomassa
pertanian yang meliputi sekam padi, pupuk kandang, sisa-sisa kayu, dan sisa
tanaman adalah berbagai macam bahan baku yang tersedia untuk produksi karbon
aktif [20]. Karbon aktif yang sering ditemui di kehidupan sehari hari meliputi
karbon dari kayu, tempurung kelapa, dan batu bara [2].
Karbon aktif adalah senyawa karbon amorf, yang dapat diproduksi dari bahan yang
mengandung karbon atau dari arang yang diolah dengan cara khusus untuk
mendapatkan permukaan yang lebih luas [21]. Luas permukaan dan porositas
adalah sifat fisik penting dari karbon, memainkan peran penting dalam banyak
aplikasi karbon, seperti pengolahan air limbah dan remediasi tanah [22]. Struktur
halus karbon aktif meningkatkan luas permukaan pori-pori (>1000 m2/g) sehingga
memiliki sifat adsorptif yang tinggi. Karbon aktif diaplikasikan dalam berbagai
bentuk, seperti bubuk, granular, pelet, sarang lebah dan serat karbon aktif (ACF),
dan masing-masing jenis memiliki aplikasi spesifiknya sendiri [23]. Semakin kecil
ukuran partikel maka semakin banyak pori-pori yang dihasilkan dan menyebabkan
luas permukaan semakin besar [22].

2.2 Macam-macam karbon aktif


2.2.1 Karbon aktif serbuk
Karbon aktif serbuk didefinisikan sebagai partikel karbon aktif dimana fraksi
dominan melewati saringan 80 mesh dengan bukaan 0,30 mm, ukuran ini lebih
disukai karena ukuran partikelnya yang kecil memungkinkan kinetika adsorpsi
lebih cepat karena jalur difusi yang lebih pendek. Adsorpsi yang lebih cepat seperti
melalui pengurangan ukuran partikel tidak hanya bermanfaat untuk menghilangkan
kontaminan dalam waktu kontak yang lebih singkat, tetapi juga berguna untuk
menumbangkan adsorpsi kompetitif oleh molekul non-target yang lebih besar,
seperti bahan organik alami [24]. Karbon aktif serbuk digunakan secara luas dalam
proses pengolahan air karena kemampuannya untuk menghilangkan polutan terlarut
yang tidak dapat dihilangkan dengan proses konvensional koagulasi, sedimentasi,
dan penyaringan pasir [25]. Karbon aktif berbentuk serbuk juga dapat secara efektif
menghilangkan mikropolutan organik, tetapi produksi powdered activated carbon
(PAC) membutuhkan banyak energi dan mahal [26]. Contoh karbon aktif serbuk
dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Karbon aktif serbuk [27]

2.2.1 Karbon aktif granular


Granular activated carbon (GAC) adalah partikel dari karbon aktif yang berbentuk
tidak beraturan dengan ukuran 0,2-5 mm dan memiliki aplikasi fase cair dan gas
[28]. Pemilihan granular karbon aktif yang tepat dapat meningkatkan kinerja filter
karbon aktif melalui kombinasi adsorpsi dan biodegradasi [29]. Karbon aktif
granular dalam bidang industri dapat digunakan untuk menghilangkan senyawa
organik yang mempengaruhi kualitas dan rasa minuman dalam produksi minuman
beralkohol dan minuman keras [30]. Gambar 2.2 merupakan contoh dari karbon
aktif granular.
Gambar 2.2 Karbon aktif granular [27]

2.2.3 Karbon aktif pelet


Karbon aktif pelet berbentuk silinder dan memiliki diameter 0,8-5 mm [31].
Kegunaan utamanya adalah untuk aplikasi fasa gas karena mempunyai tekanan
rendah, kadar abu rendah, dan kekuatan mekanik tinggi [32]. Karbon aktif
berbentuk pelet juga digunakan untuk pemurnian udara, kontrol emisi, penghilang
bau kotoran, tromol otomotif, dan pengontrol emisi pada gas buang [33]. Proses
adsorpsi berbasis industri pelet karbon aktif menguntungkan karena penanganannya
yang mudah, kapasitas adsorpsi volumetrik yang besar dan sifat mekanik yang
baik [34]. Contoh pelet karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Pelet karbon aktif [27]

2.3 Bahan pengikat


Pembuatan pelet karbon aktif diperlukan adanya bahan pengikat, baik pengikat
organik, anorganik, dan gabungan [11]. Bahan pengikat organik meliputi pati,
lignin, tetes tebu, dan protein [35]. Bahan pengikat anorganik meliputi batu kapur,
tanah liat, semen, natrium silikat, oksida besi, magnesium oksida, kalsium oksida
dan kalsium hidroksida. Bahan pengikat gabungan merupakan pengikat senyawa
terdiri dari dua atau lebih bahan, yang menggabungkan sifat yang berbeda [36].
Bahan pengikat anorganik secara umum memiliki keuntungan dalam sumber daya
yang melimpah, biaya rendah, termostabilitas yang baik, dan hidrofilisitas. Bahan
pengikat anorganik juga memiliki kekurangan antara lain kadar abu yang tinggi,
panas yang rendah, sifat kedap air yang buruk, dan ketahanan air yang buruk. Bahan
pengikat organik memiliki kelebihan yaitu ikatan yang baik, hasil pembakaran
dengan generasi abu yang rendah, dan mudah terbakar saat dipanaskan. Kerugian
bahan pengikat organik adalah buruknya kekuatan mekanik dan stabilitas termal
pelet [37].

2.4 Lignin
Lignin merupakan salah satu polimer alami yang paling melimpah, dan terlepas dari
struktur kimianya yang multifungsi, sebagian besar telah dibuang sebagai limbah
industri pulp dan kertas. Produk sampingan yang murah dan mudah didapat ini
menunjukkan potensi besar sebagai polimer yang berguna [38]. Modifikasi struktur
kimia lignin dapat menghasilkan bahan dengan sifat yang diinginkan dan
meningkatkan reaktivitas [39]. Gugus fungsi hidroksil, fenol, dan eter dalam
struktur kimia lignin memberikan kemungkinan yang luas untuk modifikasi kimia.
Lignin dapat dimodifikasi secara kimia untuk menghasilkan bahan dengan
karakteristik adsorpsi dan adhesi yang baik, dan dengan kelarutan yang dapat
disesuaikan dalam berbagai pelarut. Lignin yang dimodifikasi secara kimia juga
dapat dimanfaatkan sebagai penguat dalam pembuatan komposit berbasis bio
dengan berbagai polimer sintetik [40]. Struktur lignin dapat dilihat pada Gambar
2.4 berikut:

Gambar 2.4 Struktur lignin [41]


Lignin adalah polimer amorf kompleks dengan komponen alifatik dan aromatik
yang memberikan kekakuan pada tanaman. Lignin terdiri dari gugus siringil,
guaiasil, dan p-hidroksifenil yang dihubungkan bersama oleh berbagai ikatan C-O-
C dan C-C sebagai blok bangunan utama. Komponen hidrofobik tanaman
lignoselulosa ini dianggap sebagai termoplastik dengan suhu transisi gelas dan suhu
leleh masing-masing sekitar 90°C dan 170°C [42].
Penelitian serupa yang menggunakan lignin sebagai pengikat dilakukan oleh Hu et
al. yang membuat pelet karbon aktif dengan sekam pati. Lignin digunakan sebagai
bahan pengikat pada penelitian tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar
abu yang lebih rendah dan kadar karbon yang lebih banyak jika dibandingkan
dengan pelet anorganik [17]. Penelitian lignin sebagai bahan pengikat telah
dikembangkan oleh Boschetti et al. menggunakan lignin sebagai bahan pengikat
dalam produksi briket kayu. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatan densitas
energi dan kekuatan mekanik briket [43].

2.5 Pati
Pati adalah biopolimer yang murah dan mudah didapat yang termasuk dalam kelas
polisakarida. Pati terdiri dari jenis molekul, amilosa linier, heliks dan amilopektin
bercabang. Pati merupakan kandidat ideal sebagai bahan pengikat alami [44].
Amilosa berperilaku sebagai polimer sintetik konvensional dan memungkinkan
pengikatan hidrofobik, sementara itu amilopektin terbukti menjadi kunci untuk
mengatasi kerapuhan dan penyusutan lapisan [45].
Molekul amilosa merupakan polimer dari unit-unit glukosa dengan bentuk ikatan
α-(1,4)-D-glikosidik, berbentuk rantai lurus, tidak bercabang, atau mempunyai
struktur heliks yang terdiri dari 200 – 2000 satuan anhidroglukosa. Amilopektin
merupakan polimer unit-unit glukosa dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik pada
rantai lurusnya dan ikatan α-(1,6)-D-glikosidik pada percabangannya yang terdiri
dari 10.000 – 100.000 satuan anhidroglukosa [46]. Struktur molekul dari amilosa
dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut:
Gambar 2.5 Struktur (a) amilosa dan (b) amilopektin [47]

2.6 Polivinil Alkohol


Polivinil alkohol (PVA) merupakan polimer yang memiliki sifat hidrofilik dan
dapat digunakan sebagai perekat. Polivinil alkohol (PVA) memiliki beragam
bentuk yang dapat digunakan sebagai bahan aditif dalam proses sintesis produk
kimia. Polimer ini merupakan perekat yang baik serta memiliki ketahanan terhadap
minyak dan pelumas. PVA berwarna putih, berbentuk seperti serbuk, tembus
cahaya, memiliki rasa hambar, tidak berbau, dan larut dalam air [48]. Polivinil
alkohol memiliki sifat biokompatibel, biodegradable, permeabilitas yang baik
sebagai penghalang oksigen, dan tidak beracun, yang membuatnya cocok untuk
banyak aplikasi industri [49]. Struktur PVA dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Struktur PVA [50]

2.7 Karakterisasi
2.7.1 Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning electron microscope (SEM) adalah teknik mikroskop elektron yang
mampu mencapai gambar visual rinci dari sebuah partikel dengan kualitas tinggi
dan resolusi spasial. SEM digunakan untuk mengamati fenomena permukaan
material serta memberikan informasi tentang topografi, morfologi, komposisi,
kimia, orientasi butir, informasi kristalografi dari suatu material. Morfologi
menunjukkan bentuk dan ukuran, sedangkan topografi menunjukkan fitur
permukaan suatu objek, teksturnya, kehalusan, kekasarannya, dan komposisi
unsur serta senyawa yang menyusun bahan, sedangkan kristalografi berarti
susunan atom dalam bahan [51].

Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau
material dengan berkas elektron yang dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan
material yang disinari atau terkena berkas elektron akan memantulkan kembali
berkas elektron atau dinamakan berkas elektron sekunder ke segala arah. Terdapat
satu berkas elektron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi dari semua berkas
elektron yang dipantulkan. Detektor yang terdapat di dalam SEM akan mendeteksi
berkas elektron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh benda atau material
yang dianalisis [52]. Prinsip SEM dapat diilustrasikan pada Gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Prinsip kerja Scanning electron microscope (SEM) [53]

Ada beberapa sinyal yang penting yang dihasilkan oleh SEM. Pantulan inelastis
akan mendapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik sinar X, sedangkan
dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered electron. Elektron sekunder
menghasilkan topografi dari benda yang dianalisis, permukaan yang tinggi
berwarna lebih cerah dari permukaan rendah. Backscattered electron memberikan
perbedaan berat molekul dari atom-atom yang menyusun permukaan, atom dengan
berat molekul tinggi akan berwarna lebih cerah daripada atom dengan berat molekul
rendah [53].
2.7.2 Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektroskopi inframerah (IR) merupakan metode analitik yang digunakan untuk
mengkarakterisasi struktur ikatan atom berdasarkan interaksi radiasi IR dengan
materi. Spektroskopi inframerah juga digunakan untuk mengukur frekuensi radiasi
di mana zat menyerap dan menyebabkan produksi getaran dalam molekul.
Spektroskopi IR memberikan kecepatan teknik identifikasi dan karakterisasi
struktur kimia untuk memperoleh informasi dari biologis hingga material komposit,
dari sampel cairan hingga gas [54].
FTIR (Fourier transform infrared) merupakan bentuk paling umum dari
spektroskopi inframerah. Semua spektroskopi inframerah bertindak berdasarkan
prinsip bahwa ketika radiasi inframerah (IR) melewati sampel, sebagian radiasi
diserap dan radiasi yang melewati sampel dicatat. Molekul yang berbeda dengan
struktur yang berbeda akan menghasilkan spektrum yang berbeda, spektrum dapat
digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan antar molekul [55]. Prinsip
FTIR tersebut dapat diilustrasikan oleh Gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.8 Prinsip kerja FTIR (Fourier transform infrared) [56]

2.7.4 Spektrofotometer UV-Vis


Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau
kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan
hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini.
Konsentrasi analit pada larutan ditentukan dengan cara mengukur absorban pada
panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert Beer. Sinar
ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak
berada pada panjang gelombang 400-800 nm [57]. Prinsip kerja spektrofotometri
adalah sebuah sinar ditembakkan pada sampel yang akan diuji. Sinar yang melewati
suatu sampel akan ditangkap oleh detektor [58]. Prinsip UV-Vis tersebut dapat
diilustrasikan oleh Gambar 2.9 berikut:

Gambar 2.9 Prinsip kerja spektrofotometri UV-Vis [58]

Secara sederhana, spektrofotometer UV-Vis terdiri dari [59] :


1. Sumber cahaya, berupa cahaya polikromatis dari lampu tungsten atau wolfram
pada daerah visible (400-800 nm) dan lampu deuterium pada daerah ultraviolet
(0-400 nm).
2. Monokromator untuk menyeleksi panjang gelombang.
3. Kuvet/sel sampel sebagai tempat sampel. Berbentuk persegi panjang lebar 1
cm, memiliki permukaan lurus dan sejajar secara optis, transparan, tidak
bereaksi terhadap bahan kimia, tidak mudah rapuh, dan memiliki bentuk yang
sederhana namun solid.
4. Detektor untuk menangkap sinar yang melewati sampel.
5. Read Out yaitu suatu sistem yang menangkap isyarat listrik yang berasal dari
detektor dan mengeluarkannya dalam bentuk angka transmitans atau
absorbansi yang ditampilkan pada display alat.

2.7.5 Uji Tekan Bebas


Unconfined Compression Test (UCT) atau Uji Tekan Bebas merupakan salah satu
pengujian untuk mengetahui parameter kekuatan dan kekakuan pada suatu sampel
padat digunakan secara luas karena kesederhanaannya. Untuk menentukan
parameter, gaya yang diterapkan dan deformasi vertikal sampel perlu diukur.
Pengukuran dapat dilakukan secara manual (menggunakan proving ring dan
manual dial gauge) atau secara otomatis (menggunakan transduser digital dan data
logger) [60].
Uji kompresi penting untuk mengukur sifat patah elastis dan tekan dari bahan rapuh
atau bahan dengan daktilitas rendah. Uji tekan juga digunakan untuk menentukan
modulus elastisitas, batas proporsional, titik leleh tekan, kuat leleh tekan, dan kuat
tekan. Sifat-sifat ini penting untuk menentukan apakah bahan tersebut cocok untuk
aplikasi tertentu atau akan gagal di bawah tekanan tertentu [61].
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Material dan Lingkungan-Program
Studi Kimia, Gedung Laboratorium Teknik 3, Institut Teknologi Sumatera,
Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan pada bulan Desember 2021 -
Juni 2022.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain, gelas kimia (Pyrex), spatula,
batang pengaduk, gelas ukur (Pyrex), hotplate, pipet tetes, pipet volum, neraca
analitik (Ohaus AX224), pH meter (Ohaus AX224), oven (Memmert 30-1060),
sentrifuga (PLC-05), tabung sentrifugasi, Spektrofotomoter UV-Vis (Thermo
scientific genesys 150), mikropipet (Scilogex 1000 μL), Unconfined Compressive
Test, Fourier Transform Infra Red (Cary 630 Agilent) dan Scanning Electron
Microscope (SEM TM3000).

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain, karbon aktif, lignin, pati, polivinil

alkohol (PVA), natrium hidroksida (NaOH), air deionisasi (H2O), kalium dihidrogen

fosfat (KH2PO4, Pudak), natrium nitrat (NaNO3), asam sulfat (H2SO4, Mitra
Wacana Media), amonium molibdat ((NH4)2MoO4, Pudak), asam askorbat, indikator fenolftalein (Merck), asam

klorida (HCl), kalium antimonil tartrat ((K2Sb2(C4H2O6)2, Basic chemical), natrium klorida (NaCl), asam sulfanilat

(H3NC6H4SO3, Merck), brusin (C23H26N2O4, CDH).

3.3 Diagram Alir


Diagram alir secara keseluruhan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Diagram alir

3.4 Prosedur Penelitian


3.4.1 Isolasi lignin
Proses isolasi lignin dihasilkan dari limbah lindi hitam, kemudian lindi tersebut
disaring menggunakan kain. Larutan H2SO4 20% ditambahkan hingga pH 2 dan
didiamkan selama 8 jam, kemudian disaring dengan kertas saring. Endapan hasil
saringan dimasukkan dalam gelas beaker dan dilarutkan dengan larutan natrium
hidroksida (NaOH) 1 N 100 mL. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam membran
dialisis yang direndam dengan air DI selama 7 hari. Larutan air DI diganti secara
berkala tiap 24 jam [62].

3.4.2 Preparasi pelet karbon aktif


Karbon aktif serbuk sebanyak 5 gram ditambahkan dengan 2,63 gram KH2PO4,
3,64 gram NaNO3, dan lignin dengan variasi 0, 3, 5, 7 mL. Kemudian ditambahkan
dengan pati PVA 5 gram. Produk yang dihasilkan kemudian disimpan pada oven
dengan suhu 100oC hingga kering.

3.4.3 Karakterisasi
3.4.3.1 Scanning Electron Microscope (SEM)
Karakterisasi Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk mengetahui
morfologi dan ukuran partikel pelet karbon aktif. Sampel yang digunakan berupa
pelet, kemudian diletakkan pada holder dengan menggunakan selotip karbon
double tape. Sampel kemudian dimasukkan dalam specimen chamber pada alat
SEM. Sampel pelet karbon aktif diamati dengan berbagai perbesaran untuk dapat
memahami morfologi pelet karbon aktif yang terbentuk [63].

3.4.3.2 Fourier Transform Infrared (FTIR)


Gugus fungsi pada pelet karbon aktif dianalisis menggunakan FTIR. Sampel
diambil 1,00 mg kemudian dicampur dengan KBr sebanyak 9,00 mg, kemudian
dimasukkan ke dalam press holder dan ditekan hingga dihasilkan pelet setipis
mungkin. Pelet yang dihasilkan dimasukkan ke dalam compartment dan diamati
dengan spektrum inframerah [64].

3.4.3.3 Uji pelepasan nutrisi


Karbon aktif pelet direndam pada air DI selanjutnya disaring dan larutan digunakan
untuk mengetahui fosfor dan nitrogen. Kandungan fosfor (PO43-) ditentukan dengan
metode spektofotometer secara asam askorbat. Prinsip dari metode ini didasarkan
pada pembentukan senyawa kompleks fosfomolibdat yang berwarna biru.
Kompleks tersebut selanjutnya direduksi dengan asam askorbat membentuk warna
biru kompleks Molybdenum. Warna biru yang timbul diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 700-880 nm. Kandungan nitrogen (NO3-
) ditentukan dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm
menggunakan metode brusin [65].

3.4.3.4 Uji tekan bebas (Unconfined Compressive Test)


Prinsip pengujian kuat tekan adalah mengukur kekuatan tekan pelet karbon aktif
dengan memberikan penekanan sampai pelet karbon aktif mengalami perubahan.
Pengujian kuat tekan dilakukan dengan menggunakan alat Unconfined
Compression Test (UCT) dimana beban maksimum yang diberikan adalah 1 ton.
Penekanan yang diberikan secara perlahan-lahan sampai pelet karbon aktif tersebut
mengalami perubahan dalam waktu 10 menit [66].
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Lignin


Proses isolasi dilakukan dengan penambahan H2SO4 20% pada cairan limbah lindi
hitam hingga pH 2. Penggunaan H2SO4 bertujuan untuk proses pengendapan isolat
lignin dari lindi hitam karena lignin tidak larut dalam larutan asam. Proses
pengendapan isolat lignin ditandai dengan pembentukan partikel dengan ukuran
yang lebih besar dan menggumpal di dalam lindi hitam, partikel tersebut
mengindikasikan lignin yang mengendap akibat penambahan asam. Cairan lindi
hitam yang sudah mencapai pH 2 kemudian disentrifugasi dengan tujuan
memisahkan lignin dengan bagian pengotor yang terdapat pada cairan limbah lindi
hitam. Proses pengendapan lignin dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Proses pengendapan isolat lignin

Endapan yang diperoleh dari proses sentrifugasi kemudian ditambahkan NaOH.


Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan lignin yang memiliki sifat mudah
larut dalam kondisi basa [67]. Larutan kemudian dimasukkan pada membran
dialisis yang direndam dengan larutan air DI hingga pH netral. Dialisis adalah
proses pemisahan molekul yang berbeda, molekul kecil dipisahkan dari molekul
besar dengan difusi selektif dalam larutan melalui membran semipermeabel dengan
ukuran pori yang kecil. Molekul yang lebih besar akan tertinggal di kantong
membran karena tidak dapat melewati dinding membran sehingga dapat
dipisahkan. Sementara molekul kecil, buffer, garam, dan ion dengan mudah
melewati membran semipermeabel selama dialisis [68]. Proses dialisis dengan
membran ditampilkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Dialisis dengan membran

Air DI yang telah digunakan untuk proses perendaman selama 24 jam akan berubah
menjadi pH basa karena adanya pelepasan ion Na+ dan OH- dari larutan di dalam
membran. Air DI yang sudah mencapai pH basa tersebut kemudian diganti dengan
air DI yang memiliki pH netral. Perendaman membran dilakukan selama 7 hari
dengan harapan memperoleh larutan lignin murni yang terdapat di dalam membran.
Hasil dari isolasi lignin setelah 7 hari perendaman dapat dilihat seperti Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Hasil isolasi lignin

4.2 Preparasi pelet karbon aktif


Bubuk karbon aktif sebanyak 5 gram dicampurkan dengan pati PVA 5 gram dan
lignin dengan variasi 0, 3, 5 dan 7 mL. Dalam pembuatan pelet karbon aktif juga
ditambahkan dengan KH2PO4 dan NaNO3. Penambahan NaNO3 sebagai sumber
nitrogen (N) dalam bentuk ion nitrat (NO3–), sedangkan penambahan KH2PO4
digunakan sebagai sumber fosfor. Nitrogen merupakan nutrisi penting pada proses
fotosintesis yang mana nitrogen berperan dalam pembentukan zat hijau daun
(klorofil). Sumber nitrogen merupakan penentu utama yang membatasi
pertumbuhan tanaman hijau dan alga dalam berbagai ekosistem, termasuk
lingkungan darat dan akuakultur [69].
Fosfor adalah nutrisi yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak pada tanaman
selain nitrogen dan memainkan peran penting dalam proses pertumbuhan tanaman
termasuk perkecambahan biji, pembungaan dan pembentukan buah [70]. Campuran
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dan dikeringkan pada suhu 100oC
selama 24 jam. Variasi konsentrasi lignin dilakukan pada penelitian ini dengan
tujuan untuk mengetahui kekuatan dari pelet karbon aktif yang telah dibuat. Produk
hasil pelet karbon aktif yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut.

Gambar 4.4 Produk pelet karbon aktif dengan variasi (a) tanpa penambahan lignin (b) penambahan

3 mL lignin (c) penambahan 5 mL lignin (d) penambahan 7 mL lignin

4.3 Analisis Unconfined Compressive Test


Uji tekan bebas (Unconfined Compressive Test) dilakukan untuk mengetahui
kekuatan pelet karbon aktif dengan analisis Unconfined Compressive Test. Pelet
karbon aktif yang mengalami gaya tekan dari analisis tersebut tentunya
menimbulkan tegangan (stress) di dalam pelet. Penggunaan bahan pengikat lignin
memberikan kekuatan mekanik yang baik pada produk pelet karbon dengan cara
mengisi celah, retakan, dan pori ada pada produk [71]. Lignin memiliki struktur
fenolik yang dapat meningkatkan kemampuannya bertindak sebagai pengikat untuk
menghubungkan karbon berbentuk bubuk menjadi produk pelet karbon [72].
Hasil dari produk pelet karbon aktif dengan menggunakan variasi penambahan
lignin sebanyak 5 mL memiliki ketahanan tekan paling baik dibandingkan variasi
lainnya. Ketahanan tekan pada pelet karbon aktif dengan variasi penambahan lignin
7 mL lebih rendah jika dibandingkan dengan variasi 5 mL. Kemungkinan
disebabkan karena daya ikat lignin dalam pelet karbon aktif tersebut kurang
optimal. Faktor yang mempengaruhi daya ikat lignin dapat disebabkan karena
ukuran partikel, kadar air serta komposisi pada pelet karbon aktif [17]. Produk
dengan ketahanan tekan paling rendah dimiliki oleh produk karbon aktif dengan
variasi tanpa penambahan lignin. Grafik tegangan yang diperoleh dari uji tekan
bebas dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut.

Gambar 4.5 Grafik hasil uji tekan bebas

4.4 Analisis Spektrofotometer UV-Vis


4.4.1 Penentuan kurva kalibrasi Fosfat dan Nitrat
Penentuan kurva kalibrasi fosfat dilakukan dengan membuat larutan standar fosfat
menggunakan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm. Tahapan selanjutnya adalah
penentuan panjang gelombang maksimum larutan standar fosfat dengan rentang
panjang gelombang 400-1000 nm. Hasil yang diperoleh dari pengukuran
menggunakan spektofotometer menunjukkan nilai absorbansi maksimum larutan
standar fosfat pada panjang gelombang 826 nm. Hasil absorbansi yang diperoleh
dari spektrofotometer tersebut didapatkan nilai koefisien korelasi (R2). Kalibrasi
fosfat memiliki nilai koefisien korelasi (R2) 0,994 yang dapat dilihat pada Gambar
4.6.
0,65
Absorbansi
0,60

0,55

0,50

Absorbansi
0,45

0,40

0,35
y = 0,6294x + 0,0978
0,30 R² = 0,994

0,25

0,20
0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
Konsentrasi Fosfat (ppm)

Gambar 4.6 Kurva kalibrasi Fosfat

Langkah serupa dilakukan terhadap kurva standar nitrat dengan konsentrasi 0,1;
0,2; 0,3 dan 0,4 ppm menggunakan panjang gelombang 410 nm. Gambar 4.7
menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (R2) Nitrat 0,9926.

0,24
Absorbansi
0,22

0,20

0,18
Absorbansi

0,16

0,14

y = 0,4299x + 0,0544
0,12
R² = 0,9926
0,10

0,08
0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40
Konsentrasi Nitrat (ppm)

Gambar 4.7 Kurva kalibrasi Nitrat

4.4.2 Penentuan kadar Fosfat dan Nitrat


Penentuan kadar pelepasan nutrisi pada pelet karbon aktif menggunakan pelet
karbon aktif dengan variasi lignin 5 mL, hal ini didasari dari uji pelepasan nutrisi
pelet karbon aktif dengan variasi lignin 5 mL menggunakan instrumen UCS
memiliki kuat tekan paling besar yang dapat dilihat pada gambar 4.5. Penentuan
kadar fosfat pada pelet karbon aktif dilakukan dengan skala hari yakni pada hari
pertama, ketiga, keempat serta hari ketujuh, dengan kadar yang diperoleh berturut-
turut adalah 0,0639; 0,6989; 1,8983 dan 4,1491 mg/L. Waktu optimal pelepasan
nutrisi fosfat dari pelet karbon terjadi pada waktu perendaman selama 7 hari, kadar
fosfat yang diperoleh pada hari ketujuh yakni 4,1401 mg/L. Waktu optimal tersebut
disebabkan karena kadar fosfat yang terkandung pada pelet karbon telah keluar dan
larut sempurna pada waktu perendaman selama 7 hari. Waktu perendaman yang
melebihi waktu optimal tidak akan melepaskan fosfat kembali atau hanya
melepaskan sisa-sisa fosfat dengan konsentrasi yang sangat sedikit pada pelet
karbon. Grafik kadar fosfat dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut.

Gambar 4.8 Grafik Kadar Fosfat

Langkah serupa dilakukan terhadap penentuan kadar nitrat pada pelet karbon aktif
juga dilakukan dengan skala hari yakni pada hari pertama, ketiga, keempat serta
hari ketujuh, dengan kadar nitrat berturut-turut adalah 1,9148; 2,5773; 1,3976; dan
0,6489 mg/L. Waktu optimal pelepasan nutrisi nitrat dari pelet karbon terjadi pada
waktu perendaman selama 3 hari, kadar nitrat yang diperoleh pada hari ketiga yakni
2,5773 mg/L. Waktu optimal tersebut disebabkan karena kadar nitrat yang
terkandung pada pelet karbon telah keluar dan larut sempurna pada waktu
perendaman selama 3 hari. Waktu perendaman yang melebihi waktu optimal tidak
akan melepaskan nitrat kembali atau hanya melepaskan sisa-sisa nitrat dengan
konsentrasi yang sangat sedikit pada pelet karbon. Grafik kadar nitrat dapat dilihat
pada Gambar 4.9 berikut.

Gambar 4.9 Grafik Kadar Nitrat

4.5 Analisis Scanning Electron Microscope (SEM)


4.5.1 Analisis morfologi permukaan serbuk karbon aktif
Morfologi serbuk karbon aktif yang digunakan diamati menggunakan instrumen
SEM. Hasil yang diperoleh menunjukkan morfologi serbuk karbon aktif sangat
berpori di permukaan seperti pada Gambar 4.10 b [73]. Serbuk karbon aktif juga
dapat diamati memiliki morfologi menyerupai sarang lebah dengan bentuk dan
ukuran yang berbeda [74]. Hasil analisis SEM serbuk karbon aktif dapat dilihat
pada Gambar 4.10 berikut.

Gambar 4.10 Hasil SEM serbuk karbon aktif dengan perbesaran pada layar monitor peralatan SEM
(a) 100x (b) 250k x

4.5.2 Analisis morfologi permukaan pelet karbon aktif


Produk pelet karbon aktif dengan bahan pengikat pati, pva, dan lignin yang
dihasilkan diamati morfologi menggunakan instrumen SEM. Preparasi pelet karbon
aktif pati/PVA tanpa bahan pengikat lignin menunjukkan morfologi permukaan
yang halus, tidak berpori, dan tidak ditemukan adanya retakan pada permukaan
yang ditandai dengan garis putus-putus pada gambar 4.11 b [75]. Pati/PVA
memiliki kekuatan ikatan antarmuka yang kuat, sehingga dapat meningkatkan
kemampuan komponen dapat terikat, serta mengurangi zat yang tidak larut
sehingga meningkatkan kehalusan permukaan [76]. Hasil analisis SEM pelet
karbon aktif tanpa lignin dapat dilihat pada Gambar 4.11 berikut.

Gambar 4.11 Hasil SEM pelet karbon aktif pati/PVA tanpa lignin dengan perbesaran pada layar
monitor peralatan SEM (a) 100x (b) 250k x

Produk pelet karbon aktif pati/PVA dengan penambahan bahan pengikat lignin
menunjukkan hasil serupa dengan pelet karbon aktif pati/PVA tanpa bahan pengikat
lignin. Hal ini ditunjukkan dengan morfologi pelet karbon dengan penambahan
lignin serupa dengan tanpa penambahan lignin yaitu sama-sama memiliki
permukaan halus, tidak berpori, dan tidak ditemukan adanya retakan pada
permukaan [75]. Hasil analisis SEM pelet karbon aktif dengan lignin dapat dilihat
pada Gambar 4.12 berikut.
Gambar 4.12 Hasil SEM pelet karbon aktif pati/PVA lignin dengan perbesaran pada layar monitor
peralatan SEM (a) 100x (b) 250k x

4.6 Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR)


4.6.1 Analisis gugus fungsi pada serbuk karbon aktif
Serbuk karbon aktif yang digunakan dianalisis menggunakan instrumen FTIR untuk
mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada serbuk karbon aktif. Pita serapan pada
3600-3200 cm-1 disebabkan oleh vibrasi ulur gugus hidroksil (O-H). Pita serapan
pada 1600-1400 cm-1 disebabkan oleh vibrasi regangan C=O, gugus C=O tersebut
merupakan gugus khas yang terdapat pada karbon aktif. Pita serapan 2100-1500
cm-1 disebabkan oleh regangan C=C, regangan tersebut menandakan adanya
senyawa aromatik yang disebabkan oleh karbonisasi dan aktivasi karbon. Puncak
pita serapan pada 1300–800 cm-1 dikenali dari getaran C–C, yang dihasilkan dari
gugus ester pada permukaan serbuk karbon aktif [77,78]. Hasil analisis FTIR serbuk
karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 4.13 berikut.

Gambar 4.13 Hasil FTIR serbuk karbon aktif

4.6.2 Analisis gugus fungsi pada pelet karbon aktif


Produk pelet karbon aktif dengan bahan pengikat pati, PVA, dan lignin yang
diperoleh kemudian dilakukan analisis menggunakan instrumen FTIR. Pita serapan
pada 3500-3000 cm-1 disebabkan karena vibrasi regangan gugus hidroksil bebas
(OH), pita serapan tersebut dapat disebabkan oleh kehadiran senyawa lignin, pati,
dan PVA pada produk pelet karbon aktif. Adanya pita serapan pada 1720-1750 cm-
1
berhubungan dengan vibrasi ulur karbonil (C=O), yang mana gugus C=O tersebut
merupakan gugus khas yang terdapat pada karbon aktif [79]. Pita serapan pada
1433-1409 cm−1 terkait dengan getaran cincin aromatik C-H. Pita serapan pada
1163 cm-1 disebabkan oleh adanya ikatan H antar molekul OH dan CH2 dalam
CH2OH pada pati [80].

Gambar 4.14 Hasil FTIR pelet karbon aktif


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Lignin memiliki kemampuan yang baik sebagai bahan pengikat alami pada
produksi pelet karbon aktif. Hasil uji tekan bebas dan spektrofotometer UV-Vis
menunjukkan bahwa pelet karbon aktif memiliki kekuatan mekanik yang baik dan
penyimpanan nutrisi yang baik. Produk pelet karbon aktif dengan variasi lignin 5
mL memiliki ketahanan yang paling baik dengan nilai 128,16 kg/cm2. Hasil uji
spektrofotometer UV-Vis menunjukkan bahwa kadar fosfat memiliki nilai tertinggi
pada waktu perendaman 7 hari yakni 4,1401 mg/L sedangkan kadar nitrat memiliki
nilai tertinggi pada waktu perendaman 3 hari yakni 2,5773 mg/L.

5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian selanjutnya perlu adanya pengembangan terkait
pemanfaatan pelet karbon aktif yang dihasilkan, sehingga dapat diaplikasikan
dalam berbagai bidang keilmuan seperti adsorben ataupun sebagai bahan bakar
yang ramah lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai