Anda di halaman 1dari 11

BBLR

Akar Penyebab Masalah :


● Demografi
1. Usia Ibu
Ibu hamil usia resti (<20 tahun atau > 35 tahun) memiliki risiko 36.111
kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak
termasuk dalam usia resti. Kehamilan di bawah umur 20 tahun atau lebih 30 tahun
merupakan kehamilan yang berisiko tinggi. Kehamilan pada usia muda
merupakan faktor risiko karena pada umur < 20 tahun kondisi ibu masih dalam
pertumbuhan sehingga asupan makanan lebih banyak digunakan untuk mencukupi
kebutuhan ibu. Kehamilan lebih dari 35 tahun organ reproduksi kurang subur
serta memperbesar resiko kelahiran dengan kelainan kongenital dan berisiko
untuk mengalami kelahiran prematur.
Kesulitan lain kehamilan di atas usia 35 tahun ini yakni bila ibu ternyata
mengidap penyakit seperti di atas yang ditakutkan bayi lahir dengan membawa
kelainan. Dalam proses persalinan sendiri, kehamilan di usia lebih ini akan
menghadapi kesulitan akibat lemahnya kontraksi rahim serta sering timbul
kelainan pada tulang panggul tengah. Faktor umur memegang peranan penting
terhadap derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu serta bayi, maka sebaiknya
merencanakan kehamilan pada usia antara 20-30 tahun.
Peredaran darah menuju serviks dan juga uterus pada remaja masih belum
sempurna sehingga dapat mengganggu proses penyaluran nutrisi dari ibu ke janin
yang dikandungnya. Nutrisi remaja hamil juga berperan karena remaja masih
membutuhkan nutrisi yang akan dibagi pada janin yang dikandungnya
dibandingkan dengan ibu hamil dewasa yang tidak lagi membutuhkan nutrisi
untuk pertumbuhan. Kejadian BBLR juga meningkat seiring dengan penambahan
usia ibu karena dengan meningkatnya usia akan terjadi perubahan-perubahan pada
pembuluh darah dan juga ikut menurunnya fungsi hormon yang mengatur siklus
reproduksi (endometrium).

2. Pengetahuan Ibu
Ibu hamil dengan tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 19.190 kali
lebih besar untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil dengan tingkat
pendidikan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka wawasan yang
dimiliki ibu akan semakin tinggi dan memiliki pola pikir yang terbuka untuk
menerima pengetahuan baru yang dianggap bermanfaat dalam masa
kehamilannya. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mendasari
pengambilan keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima dan
mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan
semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan selama hamil
dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan janinnya. Pendidikan juga
sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan
kehamilan.
Tingkat pendidikan yang dimiliki ibu mempunyai pengaruh kuat pada
perilaku reproduksi, kelahiran, kematian anak dan bayi, kesakitan, dan sikap serta
kesadaran atas kesehatan keluarga. Latar belakang pendidikan ibu mempengaruhi
sikapnya dalam memilih pelayanan kesehatan dan pola konsumsi makan yang
berhubungan juga dengan peningkatan berat badan ibu semasa hamil yang pada
saatnya akan mempengaruhi kejadian BBLR. Ibu yang berpendidikan rendah sulit
untuk menerima inovasi dan sebagian besar kurang mengetahui pentingnya
perawatan pra kelahiran dan mempunyai keterbatasan mendapatkan pelayanan
antenatal yang adekuat, keterbatasan mengkonsumsi makanan yang bergizi
selama hamil.

3. Riwayat Kehamilan
Ibu hamil yang memiliki jarak paritas >2 tahun
memiliki risiko 14.083 kali lebih besar untuk melahirkan
BBLR dibandingkan ibu hamil dengan jarak paritas ≥2
tahun. Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat
menimbulkan anemia karena kondisi ibu masih belum pulih
dan pemenuhan zat-at gizi belum optimal namun sudah
harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung.
Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berpengaruh pada
kehamilan berikutnya karena kondisi rahim ibu untuk
hamil kembali sebelum jarak kehamilan sebelumnya kurang
dari 2 tahun. Ibu juga secara psikologis belum siap untuk
hamil kembali karena anak yang sebelumnya masih
memerlukan perhatian dari ibu, sehingga jika ibu hamil
kembali perhatian ibu tidak lagi fokus kepada anak namun
juga pada kehamilannya. Kehamilan berikutnya lebih baik
dilakukan setelah jarak kelahiran sebelumnya lebih dari 2
tahun.
Jarak persalinan juga berpengaruh terhadap kejadian berat bayi lahir.
Seorang ibu setelah persalinan membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun untuk
memulihkan tubuh dan mempersiapkan diri untuk persalinan berikutnya, karena
jarak kelahiran yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup untuk
memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Ini merupakan
salah satu faktor penyebab kelemahan dan kematian ibu serta bayi yang
dilahirkan.

4. Status gizi ibu hamil


Ibu dengan status gizi kurang lebih banyak yang melahirkan bayi dengan
BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Ibu
hamil dengan gizi kurang akan melahirkan bayi BBLR 10 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu yang gizinya baik. Kurangnya gizi berdampak buruk
terhadap janin seperti prematuritas, kelahiran mati atau kematian neonatal dini
dan gangguan pertumbuhan janin. Status nutrisi ibu mempunyai efek kecil
terhadap pertumbuhan janin selama embriogenesis. Kekurangan gizi saat hamil
akan berakibat buruk terhadap janin seperti prematuritas, gangguan pertumbuhan
janin, kelahiran mati atau kematian neonatal dini.
Pengaruh gizi terhadap kehamilan sangat penting. Peningkatan pendidikan
mengenai gizi dan perolehan gizi yang memadai dari segi susunan menu maupun
jumlah atas kualitasnya, hal tersebut yang perlu diperhatikan bagi ibu hamil
dengan gizi buruk. Karena adanya malnutrisi pada ibu hamil, menyebabkan
volume darah menjadi kurang, aliran darah ke uterus dan plasenta berkurang,
ukuran plasenta berkurang dan transfer nutrient melalui plasenta berkurang
sehingga janin tumbuh lambat atau terganggu. Ibu hamil dengan kekurangan gizi
cenderung melahirkan prematur atau BBLR.
5. Pendapatan Keluarga Rendah
Ekonomi seseorang mempengaruhi dalam pemilihan makanan yang akan
dikonsumsi sehari-hari. Seorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian hamil
maka kemungkinan besar sekali gizi yang dibutuhkan tercukupi ditambah lagi
adanya pemeriksaan membuat gizi ibu semakin terpantau. Ibu hamil dengan
kekurangan zat gizi yang penting bagi tubuh akan menyebabkan anak lahir
dengan berat badan rendah.
Keadaan status gizi ibu yang buruk berisiko melahirkan bayi dengan
BBLR dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan ibu dengan status gizi baik. Hal
senada juga diungkapkan oleh Kardjati (1985) dalam Suriani 2010 bahwa faktor
penghasilan berperan dalam meningkatkan risiko kejadian BBLR. Beberapa
alasan diantaranya adalah kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan kalori, di
samping juga karena ibu-ibu yang miskin sebelumnya juga kurang gizi.
6. Komplikasi Kehamilan
Komplikasi kehamilan merupakan salah satu dari berbagai faktor yang
menjadi penyebab terjadinya Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Komplikasi
kelahiran dapat berupa preeklamsia, eklamsia, anemia maupun previa yang terjadi
pada ibu yang sedang hamil. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyanti
menunjukkan hasil bahwa dari 4.665 ibu bersalin di RSUD Kelas B Kabupaten
Subang, terdapat 773 ibu yang memiliki komplikasi kehamilan. Adapun
persentase komplikasi tersebut yaitu 64,29% ibu dengan preeklamsia, 5,83% ibu
dengan eklamsia, 28,20% ibu dengan plasenta previa, dan 1,68% ibu dengan
anemia. Dari total ibu dengan komplikasi kehamilan tersebut terdapat 29,24% ibu
yang melahirkan bayi dengan BBLR. Disebutkan juga dalam penelitian tersebut
bahwa komplikasi kehamilan secara signifikan memiliki hubungan dengan
kejadian BBLR (Mulyanti, 2015).

● Perilaku
1. Kunjungan ANC tidak Lengkap
Pelayanan Antenatal Care (ANC) merupakan upaya peningkatan derajat
kesehatan Ibu Hamil dan kandungannya. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh
tenaga kesehatan profesional secara teratur dalam rangka memantau dan
mencegah secara dini apabila terdapat kelainan atau risiko pada masa kehamilan
hingga lahir. Pada penelitian Sundani (2020) didapatkan bahwa ibu dengan
frekuensi pemeriksaan ANC kurang, lebih banyak melahirkan bayi dengan BBLR
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Dari
analisis penelitian tersebut menunjukkan nilai OR sebesar 5.227 (95% CI; 1.838 ±
14.868). Dengan demikian dapat diartikan ibu dengan frekuensi pemeriksaan
ANC kurang, memiliki peluang melahirkan bayi dengan BBLR 5.227 kali
dibandingkan ibu dengan pemeriksaan ANC baik.
2. Perilaku Kurang Istirahat
Seorang ibu tidak jarang memiliki beban ganda untuk membantu perekonomian
keluarga. Tidak terkecuali disaat ibu sedang dalam masa kehamilan. Semakin
berat aktivitas kerja ibu hamil akan semakin berisiko pada kandungan. Penelitian
Sundani (2020) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara lama kerja
dengan kejadian BBLR. Diketahui dengan nilai OR=3.843 (95% CI; 1.579 ±
9.355) bahwa ibu yang bekerja lebih dari 5 jam dalam sehari memiliki peluang
melahirkan bayi dengan BBLR 3.843 kali dibandingkan dengan ibu yang bekerja
kurang dari 5 jam dalam sehari.

3. Kurangnya Asupan Nutrisi Ibu Hamil


Makronutrient dan mikronutrient merupakan asupan gizi yang sangat diperlukan
oleh ibu dengan kondisi mengandung atau hamil. Beberapa zat gizi harus
dikonsumsi oleh ibu selama masa kehamilan agar tidak terjadi BBLR pada bayi
yang dilahirkan nantinya. Adapun zat gizi pada makanan tersebut antara lain
vitamin D, asam folat, kalsium, zink dan zat besi. Selain itu, kandungan energi,
protein, lemak, dan karbohidrat juga harus diperhatikan dalam asupan makanan
ibu selama masa kehamilannya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di
Kota Padang, menunjukkan hasil bahwa ketepatan asupan makanan yang
dikonsumsi oleh ibu hamil akan berpengaruh terhadap kejadian BBLR.
Kebutuhan gizi ibu diperkirakan akan meningkat sekitar 15% dari sebelum masa
kehamilan. Peningkatan kebutuhan gizi sangat berhubungan dengan tumbuh
kembang janin yang ada pada rahim ibu dan metabolisme ibu. 40% asupan
makanan yang dikonsumsi oleh ibu akan digunakan dalam proses pertumbuhan
janin dan 60% sisanya digunakan untuk peningkatan metabolisme tubuh ibu
hamil. Jika asupan makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil bukanlah makanan
yang bergizi baik, maka akan membahayakan kesehatan ibu dan janinnya, seperti
halnya menyebabkan kejadian BBLR pada bayi yang dilahirkan nantinya (Pratiwi
dkk, 2017).

● Lingkungan
1. Paparan Asap Rokok
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rasyid et al. (2012), paparan asap rokok
selama kehamilan berpengaruh signifikan sebesar 4,2 kali lebih berisiko
melahirkan bayi BBLR. Pada penelitian lain, menunjukkan bahwa pada ibu hamil
dengan lingkungan perokok berat berisiko melahirkan bayi BBLR sebesar 21 kali
dibandingkan ibu hamil dengan lingkungan perokok ringan. Sedangkan ibu hamil
dengan lingkungan perokok sedang berisiko melahirkan bayi BBLR sebesar 3 kali
dibandingkan ibu hamil dengan lingkungan perokok ringan (Zulardi, 2014).
Paparan asap rokok dapat mempengaruhi perkembangan janin di dalam
kandungan karena ada beberapa zat dalam asap rokok seperti nikotin, timbal,
radikal bebas, dan karbon monoksida yang dapat menghambat distribusi nutrisi
ataupun oksigen dari ibu ke janin. Hal ini akan berdampak pada perkembangan
janin, kondisi dan berat badan lahir bayi pada waktu persalinan.

2. Rendahnya Dukungan Sosisal dari Keluarga


Rendahnya dukungan keluarga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya BBLR.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurahmawati (2017), menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh antara stress psikososial ibu dengan berat badan bayi saat lahir.
Selama masa kehamilan sebaiknya ibu mendapat ketenangan jiwa yang berasal
dari dukungan lingkungan keluarganya, sehingga ibu terhindar dari stres.
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan stres psikologis dan penyakit yang
mendukung antara lain penelitian Schneiderman, (2008) menjelaskan bahwa
pemicu stres kronis pada ibu hamil yang tidak diiringi dengan kemampuan
manajemen stres yang baik dikaitkan dengan kelahiran bayi dengan berat badan
rendah. Hal ini disebabkan menurunnya aliran darah ke rahim yang dapat secara
signifikan memengaruhi tumbuh kembang janin. Menurut Dozier et al, (2012)
pada kelahiran prematur terjadi peningkatkan produksi hormon pelepas
kortikotropin (CRH) oleh plasenta, hormon inilah yang bertugas mengatur durasi
kehamilan, apabila kadar meningkat akan mempercepat durasi kehamilan,
sehingga bayi berisiko lahir prematur dan BBLR.

3. Paparan Pestisida
Pestisida yang umumnya digunakan untuk menekan keberadaan hama atau
penyakit tanaman dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan
terutama ibu hamil karena dapat mengganggu pertumbuhan janin, sehingga pada
saat bayi lahir, bayi dapat berisiko memiliki berat badan lahir rendah (BBLR).
Zat-zat racun yang masuk ke dalam tubuh berasal dari berbagai sumber salah
satunya dari kegiatan pertanian yang banyak menggunakan pestisida, Sektor
pertanian menjadi salah satu lapangan yang paling banyak menyerap tenaga kerja,
peran wanita di sektor pertanian sangat besar, sehingga banyak wanita terkena
paparan pestisida pada saat melakukan kegiatan pertanian. Dengan banyaknya
wanita yang berperan di sektor pertanian dan terpapar pestisida secara langsung,
mengakibatkan perempuan sangat berisiko mendapatkan gangguan kesehatan baik
kesehatan secara umum maupun terhadap organ reproduksi yang dapat
berpengaruh terhadap bayi yang dilahirkannya.
Wanita yang terpapar pestisida secara langsung sangat berisiko mendapatkan
gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan tersebut dapat berupa gangguan
kesehatan secara umum maupun gangguan terhadap organ reproduksi yang akan
sangat berpengaruh terhadap bayi yang dilahirkannya. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang terpapar pestisida
dapat mengalami cacat fisik, keterlambatan mental, kekebalan tubuh rendah dan
juga bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Dewan, 2013).

● Pelayanan Kesehatan
1. Kurangnya Tenaga Kesehatan Profesional
Derajat kesehatan masyarakat suatu negara dipengaruhi oleh keberadaan
sarana kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan,
baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang terdiri dari FKTP/Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(Puskesmas, klinik pratama, praktik mandiri tenaga kesehatan), Laboratorium
Kesehatan, Unit Transfusi Darah, FKTRL / Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan
Lanjut (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), dan Fasilitas Kefarmasian
dan Alat Kesehatan.Pemberdayaan masyarakat bidang Kesehatan sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 8 Tahun 2019 adalah proses untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemampuan individu, keluarga serta
masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya kesehatan yang dilaksanakan
dengan cara fasilitasi proses pemecahan masalah melalui pendekatan edukatif dan
partisipatif serta memperhatikan kebutuhan, potensi dan sosial budaya setempat.
Wahana pemberdayaan masyarakat adalah Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat (UKBM) yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola
oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, dengan pembinaan sektor kesehatan,
lintas sektor dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Sehingga memposisikan
masyarakat tidak hanya sebagai obyek pembangunan melainkan yang lebih
penting sebagai subyek pembangunan Kesehatan yang dapat mengambil
keputusan dalam mengadopsi inovasi di bidang Kesehatan. Penyelenggaraan
Pemberdayaan Masyarakat dilakukan
dengan tahap:
a. pengenalan kondisi desa/kelurahan;
b. survei mawas diri;
c. musyawarah di desa/kelurahan;
d. perencanaan partisipatif;
e. pelaksanaan kegiatan; dan
f. pembinaan kelestarian.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat didampingi oleh Tenaga
Pendamping yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga
kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan, swasta, perguruan tinggi, dan/atau
anggota masyarakat. Tenaga Pendamping dimaksud harus memiliki kemampuan
sebagai Tenaga Pendamping yang didapat melalui pelatihan.UKBM yang akan
diulas adalah Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan Posbindu PTM (Pos
Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular).

2. Penyuluhan tidak terlaksana


Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Dengan
demikian, untuk mendukung fungsi dan tujuan puskesmas diperlukan sumber
daya manusia kesehatan baik tenaga kesehatan maupun tenaga penunjang
kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019
tentang Puskesmas, jenis tenaga kesehatan yang ada di puskesmas paling sedikit
terdiri dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga promosi kesehatan
masyarakat dan ilmu perilaku, tenaga kesehatan lingkungan, nutrisionis, tenaga
apoteker dan/atau tenaga teknis kefarmasian, dan ahli teknologi laboratorium
medik

3. Pelayanan Antenatal Care


Pemeriksaan kehamilan (ANC) merupakan pemeriksaan yang
diberikan kepada ibu hamil oleh tenaga kesehatan selama kehamilannya.
Ibu hamil mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Pelayanan ini dilakukan selama rentang usia kehamilan ibu yang jenis
pelayanannya dikelompokkan sesuai usia kehamilan menjadi trimester pertama,
trimester kedua, dan trimester ketiga. Pelayanan kesehatan ibu hamil yang
diberikan harus memenuhi jenis pelayanan sebagai
berikut.
1. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.
2. Pengukuran tekanan darah.
3. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA).
4. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri).
5. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus sesuai
status imunisasi.
6. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan.
7. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).
8. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan
konseling, termasuk KB pasca persalinan).
9. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah
(Hb), pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila
belum pernah dilakukan sebelumnya).
10. Tatalaksana kasus sesuai indikasi.
Pelayanan kesehatan ibu hamil harus memenuhi frekuensi minimal di tiap
trimester, yaitu minimal satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12
minggu), minimal satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu),
dan minimal dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai
menjelang persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk
menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan janin berupa deteksi dini faktor
risiko, pencegahan, dan penanganan dini komplikasi kehamilan.
Penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil dapat
dilakukan dengan melihat cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 ialah jumlah ibu
hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga
kesehatan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada
kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4 ialah jumlah ibu hamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali
sesuai jadwal yang dianjurkan di tiap trimester, dibandingkan jumlah sasaran ibu
hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut
memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat
kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.

Importance Performance Analysis

Penyebab Masalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Changeable Less Changeable

Important
● Kurangnya asupan ● Paparan pestisida
nutrisi ibu hamil ● Paparan asap rokok
● Kunjungan ANC tidak ● Rendahnya dukungan
lengkap sosial dari keluarga
● Pengetahuan ibu ● Komplikasi kehamilan
● Status gizi ibu hamil ● Kurangnya tenaga
● Jarak kehamilan kesehatan profesional
● Pelayanan antenatal
care
● Usia Ibu
● Perilaku kurang
istirahat
Less Important ● Pendapatan keluarga
● Penyuluhan tidak rendah
terlaksana

MCUA PRIORITAS PENYEBAB MASALAH BBLR

Akar Penyebab BBLR

KURANGNYA
KUNJUNGAN
ASUPAN PENGETAHU STATUS GIZI JARAK
ANC TIDAK
NUTRISI IBU AN IBU IBU KEHAMILAN
LENGKAP
HAMIL
Bobot
Kriteria (%) S SxB S SxB S SxB S SxB S SxB

kegawatan
( urgency ) 40 5 200 4,86 194,4 4,57 182,8 5 200 4,29 171,6
dampak
(seriousne
ss) 35 5 175 4,86 170,1 4,57 159,95 4,86 170,1 4 140
trend
(growth ) 25 4,71 117,75 4,29 107,25 4,29 107,25 4,86 121,5 3,71 92,75
Total 492,75 471,75 450 491,6 404,35

INTERVENSI BBLR

Setelah dilakukan pemrioritasan akar penyebab masalah BBLR dengan metode MCUA, maka
ditemukan bahwa kurangnya asupan nutrisi ibu hamil menjadi prioritas penyebab masalah.

1. Penyuluhan Pentingnya Nutrisi Bagi Ibu Hamil


2. Pemberdayaan Orang Tua meliputi Peningkatan Pengetahuan
3. Penguatan upaya pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam perawatan BBLR
melalui penguatan posyandu balita juga dilakukan. “Perbaikan mutu pelayanan kesehatan
primer sebagai garda depan, juga penanggulangan masalah BBLR perlu upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagai satu kesatuan continuum
4. Pembagian resep makanan yang direkomendasikan untuk dikonsumsi ibu hamil supaya
nutrisi yang dibutuhkan oleh ibu hamil dapat terpenuhi sehingga dapat mencegah
terjadinya BBLR

(DIAGRAM HOW-HOW)

UJI KELAYAKAN ALTERNATIF SOLUSI DENGAN FFA

RINCIAN KEGIATAN/POA (Plan of Action)

Anda mungkin juga menyukai