Anda di halaman 1dari 103

FAKTOR RISIKO RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM

(RDS) PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH SIDIKALANG
KABUPATEN DAIRI
TAHUN 2019

HASIL PENELITIAN

Oleh :

JOJOR SILABAN, SST, M. Kes


NIP. 197304182003122001

AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN DAIRI
2019
Judul Penelitian : Faktor Risiko Respiratory Distress
Syndrom (RDS) Pada Bayi Baru Lahir Di
Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang
Kabupaten dairi Tahun 2019

Nama Peneliti : Jojor Silaban, SST, M. Kes

Menyetujui

DIREKTUR KETUA LPPM


AKPER PEM. KAB DAIRI AKPER PEM. KAB DAIRI

ROBERTH H. SILALAHI, SKM SELAMAT TARIGAN, SST, M. Kes


NIP. 19661225 199003 1 006 NIP. 19661225 199003 1 006
HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk keperluan apa pun

baik di Akademi Keperawataan Pemerintah Kabupaten Dairi maupun di

perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian kami, tanpa

bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Lembaga Peneltian dan Pengabdian

Masyarakat Akper Pem. Kab Dairi.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara jelas tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang

dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka kami

bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang

berlaku.

Sidikalang, Oktober 2019


Yang membuat pernyataan

Peneliti

i
ABSTRAK

Respiratory Distress Syndrome (RDS) biasa juga disebut Hyaline Membrane


Disease (HMD) atau disebut juga dengan Penyakit Membran Hialin (PMH) adalah
gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda
takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar yang menetap atau
memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. RDS
disebabkan kekurangan surfaktan. Ada empat faktor penting penyebab defisiensi
surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.
PMH juga berhubungan dengan berat badan lahir dan bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. Sekitar 1 dari 20.000-30.000 bayi baru lahir di Amerika Serikat mengalami
PMH . Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada
bayi prematur adalah RDS. Berdasarkan data rekam medik dari di Rumah Sakit Umum
Daerah Sidikalang pada tahun 2019 periode Januari sampai Juni jumlah pasien bayi baru
lahir yang dirawat di ruang perinatologi sebanyak 366 (tiga ratus enam puluh enam) bayi,
dan sekitar 60 % mengalami gangguan pernafasan berupa RDS.
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional di mana penelitian melakukan analisis bagaimana hubungan variable bebas
terhadap variable terikat. Populasi penelitian ini adalah seluruh bayi baru lahir yang
dirawat di ruang perinatologi RSUD Sidikalang sejak Januari s.d Juni 2019 sejumlah 320
orang. Penarikan sampel dilakukan secara total sampling. Maka jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 320 orang.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa yang menjadi factor risiko kejadian
Respiratory Distress Syndrome pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidikalang adalah usia kehamilan dengan nilai p 0,000 , jenis persalinan dengan nilai p
0,005 dan asfiksia neonatorum dengan nilai p 0,000, sedangkan berat badan lahir dan
jenis kelamin tidak terbukti menjadi factor risiko kejadian RDS.
Saran : Kepada tenaga penolong persalinan yang utama di Indonesia yaitu bidan
meningkatkan peran dimulai saat dilakukannya prenatal care, yaitu dengan pencegahan
prematuritas, termasuk menghindarkan seksio sesarea yang tidak perlu, manajemen yang
tepat terhadap kehamilan dan kelahiran berisiko tinggi dan ramalan akan kemungkinan
diperlukannya pengobatan imaturitas paru dalam uterus. Sedangkan pada periode natal
melingkupi pencegahan stres dingin, asfiksia lahir dan hipovolemia.

Kata kunci : Respiratory Distress Syndrome, Faktor Risiko Respiratory Distress


Syndrome

ii
ABSTRACT

Respiratory Distress Syndrome (RDS), also called Hyaline Membrane Disease


(HMD) is a respiratory disorder that often occurs in premature infants with signs of
takipnue (> 60 x / min), chest retraction, cyanosis in room air that persists or worsens in
48-96 hours of life with specific x-ray thoracic. RDS is caused by a lack of surfactant.
There are four important factors causing surfactant deficiency in RDS that is premature,
perinatal asphyxia, maternal diabetes, cesarean section. HMD is also associated with
birth weight and premature infants of men or white babies. About 1 in 20,000-30,000
newborns in the United States have HMD. In Southeast Asia the most cause of morbidity
and mortality in premature infants is RDS. Based on medical record data from Sidikalang
District General Hospital in 2019 period January to June number of newborn patients
treated in perinatology room as much as 366 (three hundred sixty six) infant, and about
60% have respiratory disorder in the form of RDS .
This research is an analytic observational research with cross sectional
approach where the research do analysis how the relation of free variable to dependent
variable. The population of this study were all newborns who were treated in
perinatology room of Sidikalang District General Hospital from January to June 2019 of
320 people. Sampling was done in total sampling. So the number of samples in this study
is 320 people.
The results of this study indicate that the risk factors of Respiratory Distress
Syndrome occurrence in newborns at Sidikalang District General Hospital are
gestational age with p value 0,000, type of labor with p value 0.005 and asphyxia
neonatorum with p value 0.000, while birth weight and sex is not proven to be a risk
factor for RDS occurrence.
Suggestions: To the primary maternal delivery aids in Indonesia, midwives
increase the role when prenatal care is started, ie prevention of prematurity, including
avoidance of unnecessary cesarean section, proper management of high-risk pregnancy
and delivery and forecast for possible pulmonary imaturative treatment in the uterus.
While in the natal period covers the prevention of cold stress, birth asphyxia and
hypovolemia.

Keywords: Respiratory Distress Syndrome, Risk Factors Respiratory Distress Syndrome

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, atas

anugrahNYA yang sangat besar, selama proses penulisan karya tulis ini, penulis

sungguh merasakan pertolongan Tuhan sehingga karya tulis ini dapat

diselesaikan. Karya tulis ini berjudul Faktor Risiko Kejadian Respiratory Distress

Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang

Kabupaten Dairi tahun 2019, dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas pokok

dosen selain melaksanakan pembelajaran adalah melaksanakan penelitian. Kami

menyadari sepenuhnya, karya tulis ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan

berbagai pihak, baik dukungan moril, dana dan sumbangan pemikiran, untuk itu

penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Roberth Harnat Silalahi, SKM, M.K.M selaku direktur Akper Pem.

Kab Dairi.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi yang telah bersedia memberikan

dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk penelitian.

3. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang yang memberikan ijin

kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian di RSUD Sidikalang.

4. Kepala Bidang Rekam Medik yang berkenaan membantu peneliti dalam

memberikan dokumen yang dibutuhkan dan dalam pengambilan

data/pengkajian data penelitian dari data rekam medic pasien.

5. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Akper Pem. Kab Dairi yang telah

memberikan dukungan selama Kami melaksanakan penelitian sampai kepada

penyusunan karya tulis ini.


iv
6. Teristimewa keluarga yang sangat Kami cinta dan banggakan, dukungan

kalian kepada kami peneliti tidak terlukiskan dengan kata-kata, tanpa

dukungan mustahil rasanya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Kami

menyampaikan pengharagaan setulus-tulusnya untuk kesabaran, kasih sayang,

dan doa-doa kalian.

Akhir kata Kami berharap Tuhan akan membalaskan segala kebaikan dan

bantuan yang telah diberikan oleh siapapun kepada Kami selama penulisan karya

tulis ini, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan secara khusus dalam pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan

Jiwa.

Sidikalang, Desember 2019

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ i


ABSTRAK ...................................................................................................... ii
ABSTRACT ..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 7


2.1 Respiratory Distress Syndrome (RDS) ........................................... 7
2.1.1 Pengertian Respiratory Distress Syndrome (RDS) ................. 7
2.1.2 Penyebab Respiratory Distress Syndrome (RDS)................... 8
2.1.3 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome (RDS) .............. 12
2.1.4 Tanda dan Gejala Respiratory Distress Syndrome (RDS) ...... 14
2.1.5 Pencegahan Respiratory Distress Syndrome (RDS) ............... 17
2.1.6 Penanganan Respiratory Distress Syndrome (RDS) ............... 18
2.17 Komplikasi Respiratory Distress Syndrome (RDS) ................ 23
2.2 Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome (RDS) ...................... 25
2.2.1 Berat Lahir Rendah ................................................................. 26
2.2.2 Premuritas ............................................................................... 27
2.2.3 Bayi Laki-Laki ........................................................................ 31
2.2.4 Persalinan Sectio Caesarea ..................................................... 32
2.2.5 Asfiksia Perinatal .................................................................... 34
2.3 Kerangka Konsep Penelitian............................................................. 37
2.4 Hipotesis ........................................................................................... 38

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 39


3.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 39
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 39
3.2.1 Lokasi Penelitian .................................................................... 39
3.2.2 Waktu Penelitian .................................................................... 39
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................ 39
3.3.1 Populasi Penelitian ................................................................. 39
3.3.2 Sampel Penelitian ................................................................... 40
3.4 Metode Pengumpulan Data............................................................... 40
vi
3.5 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel` .............................. 40
3.6 Metode Analisa Data ........................................................................ 42

BAB IV HASIL PENELITIAN ..................................................................... 44


4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................................ 44
4.2 Analisa Univariat ................................................................................ 46
4.2.1 Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir..................................... 46
4.2.2 Distribusi Frekuensi Usia Kehamilan ........................................ 47
4.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin ........................................... 47
4.2.4 Distribusi Frekuensi Jenis Persalinan ........................................ 48
4.2.5 Distribusi Frekuensi Asfiksia Neonatorum ................................ 48
4.2.6 Distribusi Frekuensi Kejadian Respiratory Distress Syndrome . 49
4.3 Analisis Bivariat .................................................................................. 50
4.3.1 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 50
4.3.2 Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 51
4.3.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 52
4.3.4 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 53
4.3.5 Hubungan Asfiksia Neonatorum dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 54

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 56


5.3.1 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 56
5.3.2 Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 59
5.3.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 65
5.3.4 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 68
5.3.5 Hubungan Asfiksia Neonatorum dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome...................................................................... 70

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 74


6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 74
6.2 Saran.................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 78

LAMPIRAN .................................................................................................... 82

vii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe..................... 16

2.2 Bagan Penanganan Gangguan Pernafasan Bayi Baru


Lahir…………………………………………………………… 23

4.1 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Berat Badan Lahir di 46


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2016…………

4.2 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Usia Kehamilan di


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2016…………..

4.3 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Jenis Kelamin di 47


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2016…………

4.4 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Jenis Persalinan di 48


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2016……

4.5 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Asfiksia Perinatal di 49


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2016……

4.6 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Kejadian Respiratory 49


Distress Syndrome di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang
tahun 2016………………………………

4.7 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory 51


Distress Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit
Umum Daerah Sidikalang tahun 2016………

4.8 Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Respiratory 52


Distress Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit
Umum Daerah Sidikalang tahun 2016……………………...

4.9 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Respiratory 53


Distress Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit
Umum Daerah Sidikalang tahun 2016…………………………

viii
4.10 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory 54
Distress Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit
Umum Daerah Sidikalang tahun 2016…………………………

4.11 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory 55


Distress Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit
Umum Daerah Sidikalang tahun 2016…………………………

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuisioner Penelitian................................................................... 82

2 Hasil Uji Statistik…………………………………………… 83

3 Master Data Penelitian………………………………………… 88

4 Surat Permohonan Ijin Penelitian …………………………….. 93

5 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian……………………... 94

6 Dokumentasi Penelitian……………………………………… 95

x
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Respiratory Distress of the Newborn (RDN) atau biasa juga disebut

Respiratory Distress Syndrome (RDS) biasa juga disebut Hyaline Membrane

Disease (HMD) atau disebut juga dengan Penyakit Membran Hialin (PMH)

adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan

tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar yang

menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang

spesifik. Sekitar 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu mengalami RDS.

RDS merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada bayi prematur,

biasanya setelah 3 – 5 hari. Prognosanya buruk jika support ventilasi lama

diperlukan, kematian bisa terjadi setelah 3 hari penanganan (Betz, Lyn, dan Linda,

2009)

Berdasarkan survei Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi

baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya

angka kematian balita (AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran

hidup terenggut nyawanya dalam rentang waktu 0-12 hari pasca kelahirannya.

Parahnya, dalam rentang 2002-2007 (data terakhir), angka neonatus tidak pernah

mengalami penurunan. Penyebab kematian terbanyak pada periode ini, menurut

Depkes, disebabkan oleh sepsis (infeksi sistemik), kelainan bawaan, dan infeksi

saluran pemapasan atas.

1
2

Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid

dan postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup

periode 1998 - 1987. Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum

pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian

RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987.

Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1%

di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan

kematian pada bayi prematur adalah RDS. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi

kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian

berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan

surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh

neonatus. Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang

kejadian RDS (WHO, 2012).

Lemons et all, 2001 menyebutkan kejadian asfiksia RDS terjadi pada 5-10

% bayi kurang bulan (premature) dan 50 % pada bayi dengan berat badan 501-

1500 gr. Kejadian RDS juga berhubungan dengan gestasi (kehamilan), makin

muda kehamilan makin besar kemungkinan terjadinya RDS (Ngastiyah, 2005).

Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau

komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,

menyebutkan angka kematian bayi di Indonesia sebesar 32 kematian per 1000

kelahiran hidup pada tahun 2012. Kematian neonatal menyumbang sebagian

besar dalam kematian bayi di Indonesia. Menurut SDKI angka kematian neonatal
3

di Indonesia adalah 19 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian bayi baru

lahir 7-28 hari antara lain; sepsis sebesar 20,5%, cacat

bawaan/kelainan kongenital sebesar 19%, pneumonia 17%, prematuritas dan

penyakit membran hialin/PMH masing-masing menyumbang (14%) (Bappenas,

2007).

Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu kasus penyebab

gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi prematur. Sekitar 1 dari

20.000-30.000 bayi baru lahir di Amerika Serikat mengalami PMH. Penyakit

membran hialin (PMH) menjadi penyebab tersering pada 48 jam pertama

kelahiran bayi dengan infeksi, sindroma aspirasi mekonium, dan asfiksia. Hampir

50% bayi yang lahir dengan berat 500-1500 gram (<34minggu umur

gestasi) dapat mengalami PMH dan insidensinya berbanding terbalik dengan

masa gestasi dimana semakin prematur bayi baru lahir semakin meningkat

isidensinya. Penyakit membran hialin (PMH) dapat menyebabkan gejala

gawat napas yang memburuk dalam waktu 48-96 jam7 dan merupakan

penyebab utama kematian bayi prematur (50- 70%) (Wahyuningsih, 2009)

Selain berhubungan dengan usia kehamilan, angka kejadian PMH juga

berhubungan dengan berat badan lahir. Lima puluh sampai enam puluh persen bayi

yang lahir kurang dari usia kehamilan 29 minggu menderita PMH, dan 44% kasus

didapatkan pada bayi dengan berat lahir antara 501–1500 gram. Penelitian yang

dilakukan Wardhani dkk menyebutkan bahwa PMH meningkatkan risiko kematian

bayi dengan berat lahir 1000-<2500 gram yang dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta (OR: 3,98, IK 95% 1,439 – 10,613) (Wardhani, 2009).


4

Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab terbanyak

angka kesakitan dan kematian pada neonatus prematur. Menurut Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, angka kematian

neonatus di Indonesia adalah 19/1000 kelahiran hidup, dengan penyebab utama

kematian adalah asfiksia, BBLR, dan infeksi neonatal. Sedangkan menurut

penelitian Anggraini et al. proporsi kematian neonatus dengan penyakit membran

hialin di RSUP dr.Sardjito selama tahun 2007- Oktober 2011 adalah 52%,

dengan asfiksia merupakan faktor resiko independen kematian neonatus dengan

penyakit membran hialin (Anggraini, 2013). Insiden tertinggi didapatkan pada

bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda

terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel

pneumosit tipe II. (Williams, 2012).

Ada empat faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu

prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Insufisiensi

pernapasan juga dapat disebabkan oleh sepsis, pneomonia, aspirasi mekonium,

pnoumotoraks, sirkulasi janin persisten, gagal jantung, dan malformasi yang

melibatkan struktur toraks seperti hernia diafragmatika (Ngastiyah, 2012).

Upaya preventif kematian bayi baru lahir yang menderita penyakit

membran hialin di negara berkembang belum terdapat banyak informasi.

Penggunaan surfaktan sebagai preventif atau intervensi pada bayi baru lahir yang

mengalami penyakit membran hialin dapat menurunkan mortalitas namun,

penggunaan surfaktan masih tergolong mahal untuk negara berkembang seperti

Indonesia (Bobak, 2005).

Berdasarkan data rekam medik dari di Rumah Sakit Umum Daerah

Sidikalang Kabupaten Dairi pada tahun 2019 sampai periode Juni jumlah pasien
5

bayi baru lahir yang dirawat di ruang perinatologi sebanyak 366 (tiga ratus enam

puluh enam) bayi, dan sekitar 60 % mengalami gangguan pernafasan berupa RDS.

Berdasarkan data diatas maka Penulis tertarik untuk meneliti tentang Faktor

Risiko Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Bayi Baru Lahir di Rumah

Sakit Umum Daerah Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan data di atas maka rumusan masalah dalam penelitian adalah

“Apakah Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Bayi Baru

Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2019”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan Faktor Risiko

Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit

Umum Daerah Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari Penelitian ini adalah :

1. Pendidikan Keperawatan

Sebagai sumber informasi bagi pendidikan keperawatan tentang factor risiko

Distress Syndrome (RDS) pada Bayi Baru Lahir.

2. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan sebagai masukan untuk

tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang


6

tentang factor risiko Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Bayi Baru

Lahir dengan harapan dapat mengurangi angka kematian bayi baru lahir.

3. Bagi Peneliti

Menjadi bahan referensi dan bahan perbandingan untuk Peneliti selanjutnya

yang akan meneliti tentang Respiratory Distress Syndrome (RDS).


7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respiratory Distress Syndrome (RDS).

2.1.1 Pengertian Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah suatu sindroma kegawatan

pada pernafasan yang terdiri dari gejala dispneu, pernafasan cepat lebih dari 60

kali per menit, sianosis, merintih pada saat eksprirasi, terdapat retraksi dada pada

suprasternal, intercostals dan epigastrium (Yuliani, 2001)

Sindrom gangguan pernafasan (respiration distress syndrome/RDS)

adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus.

Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan

perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah sulfaktan dalam paru.

Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membrane desease (HMD)

atau penyakit membran hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan

membran hialin yang melapisi alveoli. (Marmi, Rahardjo,2012)

Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory

distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis

yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang

kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas.

Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling

bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).

RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline

membrane disease merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana

7
8

terjadi gangguan pertukaran gas. Brdasarkan perkiraan 30 % dari kematian

neonatus diakibatkan oleh RDS atau komplikasi yang dihasilkannya (Leifer

2007).

2.1.2 Penyebab Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan

menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari

6% dari seluruh neonatus. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh

Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS.

RDS sering terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena

kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan

minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan

terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu

prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual sesaria.. Surfaktan

biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar

kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur

dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru

kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul

segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat (Wahyuningsih, 2009).

Penyakit membran hialin disebabkan oleh penurunan fungsi dan

pengurangan jumlah surfaktan. Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein

yang terdiri dari fosfolipid seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan

apoprotein (protein surfaktan; PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epithelial

alveolar tipe II dan sel Clara yang semakin banyak jumlahnya seiring dengan
9

umur kehamilan yang bertambah. Komponen-komponen ini selanjutnya disimpan

di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk

mengurangi tegangan permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu

mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur

kehamilan 35 minggu. Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka

fungsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas pada bayi

prematur, jumlah surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi

kebutuhan saat lahir. Surfaktan yang jumlahnya tidak mencukupi atau tidak ada

ini, menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus

dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang dan bayi

berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di antara

upaya pernapasan. Bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan hipoventilasi.

Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi prematur yang

mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan dinding dada lemah

dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia sehingga menyebabkan peningkatan

gagal napas25 sehingga, dapat disimpulkan bahwa penyakit membran hialin

disebabkan oleh adanya atelektasis dari tiga faktor yang saling berhubungan : a)

tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal dan

defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan b) fungsi unit pernapasan yang

masih kecil, dan c) Dinding dada bayi yang masih lemah.

Ester, 2003 menyebutkan RDS merupakan penyebab utama kematian

bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar
10

paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom neonatus yang

terdiri faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan:

1. Faktor Ibu

Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih

dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit

pembuluh darah ibu yang menggangu pertukaran gas janin seperti hipertensi,

penyakit jantung,diabetes mellitus, dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta

Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil,

plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.

3. Faktor Janin

Faktor janin atau neonates meliputi tali pusat menumbung,tali pusat melilit

leher,kompresi tali pusat antara jaanin daan jalan lahir,gemeli premature,kelainan

kongenital, pada neonates dan lain-lain.

4. Faktor Persalinan

Faktor persalinan meliputi partus lama,partus dengan tindakan dan lain-lain.

Meskipun sebagian besar bayi dengan penyakit Membran Hialin (HMD)

adalah bayi premature (Anik ,2009). Terdapat faktor-faktor lain yang bisa

menyebabkan timbulnya penyakit ini, seperti :

1. Bayi Caucasian atau bayi laki-laki

2. Bayi yang lahir sebelumnya juga mengalami HMD

3. Persalinan Sectio Caesari

4. Asfiksia perinatal
11

5. Stress dingin/ cold stress (suatu kondisi yang menekan produksi surfaktaan)

6. Infeksi perinatal

7. Kelahiran Kembar (bayi-bayi yang dilahirkan kembar biasanya prematur)

8. Bayi dari ibu yang menderita Diabetes Melitus (terlalu banyak insulin dalam

sistem tubuh bayi yang disebabkan karena diabetes pada ibu dapat

memperlambat produksi surfaktan)

9. Bayi dengan kelainan jantung PDA (Patent ductus Arteriosus)

10. Pada prematuritas :

1) Produksi surfaktan masih sedikit (defisiensi surfaktan). Komponen utama

surfaktan adalah lesitin, yang terdiri dari cytidine diphosphate cholin

(C.D.P cholin) dan phosphatidyldimethy etanolamine (P.M.D.E).

2) Surfaktan diproduksi oleh sel ponemosit tipe II yang dimulai tumbuh pada

gestasi 22-24 minggu, mulai aktif pada gestasi 24-26 minggu.

3) Surfaktan mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu

4) Rasio lesitin/spingomielin dalam cairan amnion.

The Regents of the University of California 2004 mengemukakan

penyebab RDS berhubungan erat dengan berat badan lahir. Berat Lahir 501-750

gr berisiko terhadap RDS sebesar 86%, Berat Lahir 751-1,000 gr berisiko

terhadap RDS sebesar 79%, Berat Lahir 1,001-1,250 gr berisiko terhadap RDS

sebesar 48%, Berat Lahir 1,251-1,500 gr berisiko terhadap RDS sebesar 27%.

Faktor risiko lain untuk RDS adalah prematuritas, jenis kelamin laki-laki, riwayat

keluarga, persalinan section caesarea, asfiksia perinatal, bayi dari ibu penderita diabetes,

Non-Immune hydrops fetalis dan infeksi selaput ketuban (Cunningham, 2005).


12

2.1.3 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Pada penyakit ini terjadi perubahan paru yaitu berupa pembentukan

jaringan hialin pada membrane paru yang rusak. Kerusakan timbul akibat

kekurangan komponen surfaktan pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang

memberikan pelumasan pada ruang antar alveolar sehingga dapat mencegah

pergesekan dan timbulnya kerusakan pada alveoli yang selanjutnya akan

mencegah terjadinya kolaps paru (Yuliani, 2001)

Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan

pernafasan yang dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa

kerusakaa otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem

pernafasan adalah terjadinaya kekurangan oksiggen (hipoksia) pada tubuh bayi

akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolism

anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama,metabolism anaerob

akan menghasilkan asam laktat.(Marmi dan Rahardjo, 2012)

Dengan memburukya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah keotak

maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia.

Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada

keadaan ini bayi tampak sianosis,tetapi sirkulasi darah relative masih baik. Curah

jantung yang meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan

peninggkatan tekanan darah dan reflek bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada

saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan implus aferen seperti perangsangan

pada kulit. Apneu normal berlangsung sekitar 1-2 menit. Apnea primer dapat

memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi. Hipoksia


13

miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi,vasokontraksi dan

hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit dan kemudian terjadi apneu

sekunder. Selama apneu sekunder denyut jantung,tekanan darah dan kadar

oksigen dalam darah terus menurun.bayi tidan bereaksi terhadap rangsangan dan

tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi

kecuali pernafasan buatan dan pemberian oksigen segera dimulai .(Marmi dan

Rahardjo, 2012).

Wong, 2004 menyebutkan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya

RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan

berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih

lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan

mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal

tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan

paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting

intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang

menyebabkan asidosis respiratorik.

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%

protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga

agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak

berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru

memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara

histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal

menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga


14

menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli,

tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini (Sudarti dan

Khoirunnisa, 2010)

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau

volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan

epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi

matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli

dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan

surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini

adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan

bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi

Bronchopulmonal Displasia (BPD) (Surasmi, 2003).

2.1.4 Tanda dan Gejala Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat

dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia

kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan.

Penyakit membran hialin didiagnosis dengan memperhatikan perjalanan klinis,

radiologi (rontgen dada), nilai gas darah, serta status asam basa. Tanda klinis

berupa kegagalan bayi dalam bernapas yang semakin berat pada beberapa jam

pertama kelahiran. Tanda khas berupa suara mendengkur, sianosis, retraksi

sternum dan interkosta, serta takipneu (frekuensi napas > 60 x/menit).


15

Gambaran radiologi paru pada bayi baru lahir dengan penyakit membran

hialin adalah gambaran serbuk kaca (ground glass) atau retikulogranuler yang

difus dan halus, volume paru kecil, serta bronkogram udara yang sering lebih jelas

pada lobus bagian bawah dan pada jam pertama kelahiran, mungkin didapatkan

gambaran yang normal. Tanda khas tersebut biasanya ada pada 6-12 jam

berikutnya. Apabila diberikan CPAP kemungkinan terdapat variasi pada foto

paru. Neontaus yang diberikan CPAP dapat mempunyai gambaran yang lebih

baik, paru terisi udara dengan tanpa bronkogram udara. Bayi baru lahir yang

mempunyai satdium yang lebih berat, mungkin tidak mampu mengembangkan

parunya yang terlihat lebih opak. Ukuran jantung pada umumnya normal, tetapi

bisa tampak membesar karena berkurangnya volume paru dan bayangan timus

yang masih besar.

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan

kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam

alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul

menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir yaitu (Wong, 2004) :

1. Adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir

2. Takipnea (> 60 x/menit)

3. Pernafasan cuping hidung

4. Grunting, retraksi dinding dada

5. Sianosis

6. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
16

1) Pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram

udara

2) Kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan

gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke

perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

3) Ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru

terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,

bronchogram udara lebih luas

4) Keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak

dapat dilihat

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe (Ester, 2003) digambarkan

pada table di bawah ini :

Tabel 2.1 Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe

1 2 3
Frekuensi Nafas < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walaupun diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Penurunan berat
udara masuk udara masuk
Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Dikutip dari : Wong

Klassifikasi Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :

1. Skor <4 : gangguan pernafasan ringan

2. Skor 4 – 6 : gangguan pernafasan sedang

3. Skor > 7 : Ancaman gagal nafas


17

2.1.5 Pencegahan Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi

pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah

tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan

manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.

Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah (Bobak, 2005) :

1. Mencegah kelahiran < bulan (premature).

2. Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.

3. Management yang tepat.

4. Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.

5. Optimalisasi kesehatan ibu hamil.

6. Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.

7. Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus

Contoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5

mg/ml) Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500

ml dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn

monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan

diturunkan atau obat dihentikan

8. Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg

setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)

9. Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio

lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function)


18

2.1.6 Penanganan Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Upaya untuk menurunkan kematian neonatal merupakan kunci utama

dalam keberhasilan penurunan kematian bayi. Salah satu target dari Millenium

Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian balita (AKBA)

sebesar dua-pertiganya dalam kurun waktu 1990-2015. Untuk mendukung

terlaksananya MDGs perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang

berperan dalam kematian neonatus agar dapat dikembangkan upaya pencegahan

dan tata laksana yang sesuai. Penyakit membran hialin (PMH) merupakan target

terbanyak pengembangan terapi dan teknologi perawatan intensif neonatus.

Sebelum tahun 1950 belum ada intervensi spesifik untuk PMH. Oksigen mulai

digunakan dalam intervensi PMH pada tahun 1950-1960, dan setelah tahun 1990

intervensi spesifik untuk PMH mulai dengan kortikosteroid antenatal, surfaktan,

dan teknologi perawatan lanjut, seperti high-frequency oscillation dan

extracorporeal membrane oxygenation.(Ngastiyah, 2005)

Data mengenai penyebab angka kematian bayi yang tinggi dengan PMH

di negara berkembang sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan Fidanovski dkk9

mendapatkan bahwa faktor risiko kematian bayi dengan PMH yang menggunakan

ventilasi mekanik adalah air-leak syndrome, berat badan lahir ≤1,5 kg, dan

bronchopulmonary dysplasia (BPD). Penelitian lain yang serupa menunjukkan

bahwa usia kehamilan <30 minggu, presentasi bokong dan skor APGAR 5 menit

≤7 merupakan faktor risiko kematian bayi PMH. Bhutta dan Yusuf mendapatkan

hasil yang serupa bahwa skor APGAR menit pertama yang rendah merupakan

salah satu faktor risiko kematian bayi dengan PMH. (Depkes R.I, 2005)
19

Tammela, 2004 menyebutkan ada dua bagian besar penanganan

Respiratory Distress Syndrome (RDS) yaitu manajemen umum dan manajemen

khusus. Manajemen umum meliputi :

1. Jaga jalan napas tetap bersih dan terbuka.

2. Terapi oksigen sesuai dengan kondisi :

1) Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang

cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50-70 mmHg.

2) Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg pada konsentrasi

oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuos

Positive Airway Pressure) terindikasi. Penggunaan NCPAP sedini

mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi

sejak di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps

Alveoli. Pada pemakaian nasal prong, perlu lebih hati-hati karena

pemakaian yang terlalu ketat dapat merusak septum nasi.

3) Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau

komplikasi yang menimbulkan apneu persisten. Indikasi rasional untuk

penggunaan ventilator adalah:

(1) PH darah arteri <7,2

(2) pCO2 darah arteri 60 mmHg atau lebih

(3) pO2 darah arteri 50 mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70-

100% dan tekanan CPAP 6-10 cmH2 O, atau

(4) Apneu persisten


20

3. Jaga kehangatan

4. Pemberian infus cairan intravena dengan dosis rumatan.

5. Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI.

6. Antibiotik: diberikan antibiotik dengan spektrum luas, biasanya dimulai

dengan ampisilin 50mg/kg intravena tiap 12 jam dan gentamisin, untuk berat

lahir <2 kg dosis 3 mg/kgBB per hari. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian

antibiotik dihentikan.

7. Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan

parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg, paCO2 diperbolehkan antara 45 -

60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap di atas 7,25 dengan

saturasi oksigen antara 88-92%.

Manajemen khusus pada Respiratory Distress Syndrome (RDS) meliputi :

1. Pemberian sufaktan dilakukan bila memenuhi persyaratan, obat tersedia, dan

lebih disukai bila tersedia fasilitas NICU. Syarat pemberian surfaktan adalah :

1) Diberikan oleh dokter yang memiliki kualifikasi resusitasi neonatal dan

tata laksana respiratorik serta mampu memberi perawatan pada bayi

hingga setelah satu jam pertama stabilisasi.

2) Tersedia staf (perawat atau terapis respiratorik) yang berpengalaman

dalam tata laksana ventilasi bayi berat lahir rendah.

3) Peralatan pemantauan (radiologi, analisis gas darah, dan pulse oximetry)

harus tersedia.

4) Terdapat protokol pemberian surfaktan yang disetujui oleh institusi

bersangkutan.
21

Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami

penyakit membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa

endotrakea setiap 6-12 jam untuk total 2-4 dosis, tergantung jenis preparat yang

dipergunakan. Survanta (bovine survactant) diberikan dengan dosis total 4

mL/kgBB intratrakea (masing-masing 1mL/kg berat badan untuk lapangan paru

depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa

kali pemberian, biasanya 4 kali (masing-masing ¼ dosis total atau 1 ml/kg). Dosis

total 4 ml/kgBB dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam pertama kehidupan

dengan interval minimal 6 jam antar pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke

kanan atau ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar

sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi

obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat

berupa perdarahan dan infeksi paru.

2. Bedah

Tindakan bedah dilakukan jika timbul komplikasi yang bersifat fatal seperti

pneumotoraks, pneumomediastinum, empisema subkutan. Tindakan yang

segera dilaksanakan adalah mengurangi tekanan rongga dada dengan pungsi

toraks, bila gagal dilakukan drainase.

3. Suportif

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll)

Bila terjadi apneu berulang atau perlu bantuan ventilator maka harus dirujuk

ke Rumah Sakit dengan fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia

fasilitas NICU.
22

4. Pemantauan Terapi

1. Efektifitas terapi dipantau dengan memperhatikan perubahan gejala klinis

yang terjadi.

2. Setelah BKB/BBLR melewati masa krisis yaitu kebutuhan oksigen sudah

terpenuhi dengan oksigen ruangan/atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil

diluar inkubator, bayi dapat minum sendiri /menetek, ibu dapat merawat

dan mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan tidak ada komplikasi atau

penyulit maka bayi dapat berobat jalan.

3. Pada BBLR, ibu diajarkan untuk melakukan perawatan metode kanguru

(PMK).

4. Rekomendasi pemeriksaan Retinopathy of Prematurity (ROP) :

1) Bayi dengan berat lahir ≤1500 g atau usia gestasi ≤34 minngu

2) Pemeriksaan pada usia 4 minggu atau pada usia koreksi 32-33 minggu

5. Tumbuh kembang

1) Bayi yang menderita gangguan napas dan berhasil hidup tanpa

komplikasi maka proses tumbuh kembang anak selanjutnya tidak

mengalami gangguan.

2) Apabila timbul komplikasi (hipoksia serebri, gagal ginjal, keracunan

O2 , epilepsi, komplikasi palsi serebral, dll) maka tumbuh kembang

anak tersebut akan mengalami gangguan dari yang ringan sampai yang

berat termasuk gangguan penglihatan, sehingga diperlukan

pemantauan berkala pada masa balita.

Saifuddin, 2009 mengemukakan Bagan Penanganan Gangguan

Pernafasan Bayi Baru Lahir seperti tabel di bawah ini :


23

Tabel 2.3 Bagan Penanganan Gangguan Pernafasan Bayi Baru Lahir

Tanda-tanda Pernafasan cuping hidung, sianosis atau pucat, tarikan kedalam


dinding iga bagian bawah, merintih, pernafasan cepat > 60/menit,
aktivitas menurun sidertai atoni atau hipotonoi.
Kategori Gngguan pernafasan sedang Gangguan pernafasan berat
Penilaian 1. >60/menit
1. Pernafasan 2. Biru disekitar mulut 1. 0(apnu) - <40/menit
2. Biru (sianosis) 2. Biru sentral, lidah biru
Puskesmas 1. Bersihkan jalan nafas 1. Berikan jalan nafas
2. Pertahankan tetap hangat 2. Pertahankan tiap hangat
3. Beri O2, kalau perlu dengan 3. Ventilasi tekanan positif
masker dengan pernafasan dari mulut
4. Lanjutkan pemberian ASI ke mulut atau menggunakan
dengan cara diteteskan atau balon dan sungkup dengan
dengan sonde bila tidak mau oksigen
menelan 4. Bila perlu pijat jantung luar
5. Beri antibiotic ampisilin dan 5. Beri antibiotic ampisilin dan
gentamisin gentamisin
6. Perawatan tali pusat bersih 6. Perawtan tali pusat bersih
7. Amati terhadap tanda-tanda 7. Amati terhadap tanda-tanda
kegawatan/sakit berat (rujuk gawatan/sakit berat (rujuk ke
ke rumah sakit) rumah sakit)
Puskesmas Bila terpaksa tidak dirujuk :
1. Beri antibiotic
2. Bila perlu beli oksigen
3. ASi diteruskan
4. Infuse bila ada masalah minum
Rumah Sakit 1. X-ray toraks 1. X-ray toraks
2. Infuse 2. VTP : balon-sungkup
3. Cegah hipotermi ventilator
4. Oksigen 3. Infuse
5. Antibiotic 4. Cegah hipotermi
5. Antibiotic
Dikutip dari : Ester

2.1.7 Komplikasi Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Bayi-bayi dengan penyakit Membran Hialin (HMD)/ syndrome Gawat

Nafas Kadang-kadang dapat mengalami komplikasi penyakit atau masalah

sebagian efek samping dari tindakan. Beberapa komplikasi yang berhubungan

dengan Penyakit Membran Hialin (HMD) adalah bocornya udara pada jaringan

paru-paru, seperti (Muslihatun, 2010) :


24

1. Pneumomediastinum-bocornya udara ke dalam mediatinum (ruang dalam

rongga thorak dibelakang sternum dan antara dua kantung pleura yang melapisi

paru-paru).

2. Pneumothoraks-bocornya udara ke dalam ruang antara dinding dada dan

jaringan paling luar dari paru-paru.

3. Pneumoperikardium-bocornya udara kedalam lambung katung sekitar jantung.

4. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)-bocornys udsrs sehingga terperngkap

diantara alveoli, suatu kantung udara tipis pada paru-paru.

5. Penyakit paru-paru kronik, kadang-kadang disebut “Bronhopulmonary

dysplasia”.

Wong, 2004 menyebutkan komplikasi Respiratory Distress Syndrome (RDS) ada

dua jenis yaitu berupa komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang.

Kosim, 2005 menyebutkan komplikasi RDS ada dua jenis yaitu

komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi jangka

pendek dapat terjadi berupa :

1. Kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (

pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema

intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala

klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya

perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana

tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat

respirasi.
25

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan

intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi

terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,

tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen

yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering

terjadi :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang

disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu.

BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan

pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan

defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa

gestasi.

2. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi

yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi

intrakranial, dan adanya infeksi.

2.2 Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Masa gestasi, asfiksia, gawat janin, diabetes saat hamil, placenta previa,

preeklamsia, solusio plasenta, berat lahir, premature rupture of membranes

(PROM), oligohidramnion, jenis kelamin, dan cara persalinan merupakan faktor

risiko yang mempengaruhi PMH (Dwiristyan, 2011).


26

2.2.1 Berat Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan neonatus yang lahir dengan

memiliki berat badan kurang dari 2500 gram atau sampai dengan 2499 gram

(Hidayat, 2009). Penyakit yang sering menyertai bayi baru lahir dengan berat

badan lahir rendah antara lain sindrom gangguan pernafasan idiopatik yang

disebut juga dengan penyakit membrane hialin yang melapisi alveolus paru

(Mitayani, 2011). Bayi berat lahir rendah merupakan bayi lahir dengan berat

kurang dari 2.500 gram tanpa harus memandang masa gestasi. Prevalensi BBLR

diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran dunia dengan batasan 3,3%-38%, namun

lebih banyak di negara berkembang. Secara statistik, angka morbiditas dan

mortalitas pada neonatus di negara berkembang masih tinggi yang berhubungan

dengan BBLR. Salah satu permasalahan yang mengakibatkan angka morbiditas

dan mortalitas tinggi adalah masalah respirasi antara lain PMH. Bayi berat lahir

rendah dapat mempengaruhi kejadian PMH karena BBLR terjadi imaturitas sistem

neurologi, ketidakoptimalan fungsi motorik, dan autonom. (Dwiristyan, 2011)

Pada pengkajian keperawatan ditemukan tanda-tanda RDS berupa

takipnoe lebih dari 60 kali per menit, adanya riwayat asfiksia, terjadi pada bayi

premature dan dengan berat badan 1000-2000 gram. Bayi yang lahir dengan berat

badan 2000-2500 gram masih sangat mungkin untuk hidup tanpa dampak sisa

yang berat, dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan 1000-1500

gram dan 1500-2000 gram sangat sulit untuk hidup dan memerlukan perawatan

yang intesif. Bayi ini sering mengalami komplikasi hiportermi, ikterik, anemia,

infeksi, hipoglikemia, Respiratory Distress Syndrome (RDS), dan daya hisap yang
27

lemah. Hal ini disebabkan karena fisik bayi yang kurang sempurna (Hidayat,

2009).

Selain berhubungan dengan usia kehamilan, angka kejadian PMH juga

berhubungan dengan berat badan lahir. Lima puluh sampai enam puluh persen bayi

yang lahir kurang dari usia kehamilan 29 minggu menderita PMH, dan 44% kasus

didapatkan pada bayi dengan berat lahir antara 501–1500 gram (Gomella, 2001).

Penelitian yang dilakukan Wardhani dkk 2009 menyebutkan bahwa PMH

meningkatkan risiko kematian bayi dengan berat lahir 1000-<2500 gram yang

dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (OR: 3,98, IK 95% 1,439 – 10,613).

2.2.2 Prematuritas

Penyakit Membran Hialin (PMH) atau disebut juga dengan RDS


seringkali terjadi pada bayi premature karena produksi surfaktan dimulai pada
minggu ke 22 kehamilan dan mencapai jumlah cukup pada akhir kehamilan.
Makin muda usia kehamilan makin besar kemungkinan terjadinya PMH atau RDS
dan hal ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (Ngastiyah,
2005). Bobak, Lodewik dan Jensen, 2005 menyebutkan bahwa komplikasi yang
sering terjadi pada bayi premature adalah sindrom gawat nafas respiratory
distress syndrome (RDS). Wong, 2003 juga mengemukakan bahwa RDS terutama
menyerang bayi-bayi preterm dan hanya 3% sampai 5% pada bayi-bayi yang
cukup bulan.
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya

produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22,

makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4

faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia

perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada


28

paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap

berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan

masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi

akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi

lahir dan akan bertambah berat. RDS merupakan penyebab utama kematian bayi

prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru,

sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru

yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,

penyakit membran hialin (PMH) (FK UI, 1985).

Penyakit RDS merupakan penyakit membran hialin, dimana terjadi

perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonar. Surfaktan adalah

suatu zat aktif pada alveoli yang dapat mencegah kolaps paru. Fungsi surfaktan itu

sendiri adalah untuk menurunkan tegangan ekspirasi. Penyakit ini terjadi pada

bayi prematur, mengingat produksi surfaktan yang kurang. Pada penyakit ini

kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitas menjadi terganggu dan

alveolus akan kembali kolaps. Pada setiap akhir ekspirasi pernapasan berikutnya

dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan cara inspirasi

yang lebih kuat. Keadaan kolaps paru dapat menyebabkan gangguan ventilasi

yang akan menyebabkan hipoksia dan asidosis. (Alimul Hidayat, 2008)

Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan yang berkolerasi

dengan RDS. Resiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir. Bayi

yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah, namun bayi yang

mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu mengalami kelahiran prematur.
29

Bayi prematur rentan mengalami RDS, karena pada usia <37 minggu terjadi

penurunan fungsi akibat tidak berkembangnya atau terjadinya klasifikasi dan

aerosklerosis pembuluh darah. Penurunan kemampuan nutrisi plasenta, plasenta

menimbulkan perubahan metabolisme anaerobic, pada keadaan ini akan

menyebabkan terjadinya Respiratory Distress Syndrom (Manuaba, 2008)

RDS pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya

berbanding terbalik dengan u m u r k e h a m i l a n d a n b e r a t l a h i r .

I n s i d e n s i n y a s e b e s a r 6 0 - 8 0 % p a d a b a y i k u r a n g d a r i 2 8 minggu,

15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan

sangat jarang terjadi pada bayi matur. (Arma, 2013)

Selain struktur anatomi, substansi biokimia juga penting untuk

keselamatan bayi waktu lahir. Yang paling penting untuk paru-0paru adalah

surfaktan yaitu suatu campuran lipoprotein aktif dengan dengan permukaan yang

melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolap[s pada akhir ekspirasi. Jika alveoli

kolaps pada saat ekspirasi akan diperlukan banyak tekanan yang lebih tinggi

untuk membukanya saat inspirasi. Pada usia gestasi sekitar 16-20 minggu,

beberapa sel epitel yang melapisi jalan nafas mulai berdiferensiasi menjadi sel-sel

tipe II. Sel-sel tersebut bertanggung jawab terhadap produksi dan sintesis

surfaktan, pada awal kehamilan sel-sel itu tidak mengeluarkan surfaktan ke dalam

lapisan alveolar sampai 10 minggu kemudian. Dengan demikian bayi sehat yang

tidak mengalami asfiksia pada usia gestasi 30 minggu memiliki kemungkinan

lebih rendah untuk terkena RDS dibandingkan bayi yang dilahirkan pada

kehamilan dini.
30

Frase, 2009 mengatakan penyakit RDS terjadi akibat insufisiensi

produksi surfaktan dan terlihat paling sering setelah kelahiran prematur, namun

gangguan lain seperti diabetse maternal atau sindrom aspirasi mekonium dapat

pula menghambat produksi surfaktan. Sebagian besar bayi yang lahir sebelum

genap 30 minggu gestasi akan mengalami RDS.

Penelitian yang dilakukan oleh Herlina (2011) tentang pengaruh umur

kehamilan pada bayi baru lahir dengan kejadian Respiratory Distress Syndrom

(RDS) di RSUD Bakti Asih Maluku tahun 2010. Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian obervasional analitik dengan menggunakan rancangan penelitian case

control atau kasus kontrol, subjek penelitian ini adalah bayi baru lahir yaitu

sebanyak 80 responden dan peneliti mengambil sample responden sebanyak 40

responden untuk kelompok kasus 40 responden untuk kelompok kontrol.

Pengolahan dan analisi data menggunakan uji chi square. Hasil penelitian

didapatkan p value 0,024 artinya ada pengaruh umur kehamilan pada saat bayi

lahir dengan kejadian Respiratory Distress Syndrom. Demikian juga dengan

Penelitian yang di lakukan oleh Irma Okmala (2011) dengan judul “Karakteristik

Bayi Baru Lahir dengan kejadian Respiratory Distress Syndrom (RDS) di RSUD

Syaiful Anwar Malang untuk mengetahui karakteristik Bayi Baru Lahir dengan

kejadian Respiratory Distress Syndrom. Penelitian ini berbentuk deskritif secara

retrospektif dengan populasi penelitian seluruh bayi baru lahir di RSUD Syaiful

Anwar Malang tahun 2011 berjumlah 42 orang. Hasil penelitian ini yang

dilakukan dapat dilihat hasil uji statistik diperoleh nilai P value <0,05, sehingga
31

diketahui bahwa Karakteristik Bayi Baru Lahir dengan Respiratory Distress

Syndrom di RSUD Syaiful Anwar Malangsalah satunya adalah bayi premature.

2.2.3 Bayi Laki-Laki

Bayi laki-laki dan kehamilan kembar merupakan faktor resiko

Respiratory Distress Syndrom dan harus dipertimbangkan. Insiden Respiratory

Distress Syndrom pada laki-laki yang empat kali lipat lebih besar dibandingkan

bayi perempuan, ini berhubungan dengan kerentanan berdasarkan jenis kelamin

(Klaus, 2004). Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi

kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan

menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. (Williams, 2012)

Faktor resiko terjadi Respiratory Distress Syndrom adalah bayi yang

berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi di bandingkan bayi perempuan sehingga

bayi laki-laki memerlukan oksigen yang lebih banyak, karena jika oksigen kurang

didalam tubuh maka bakteri anaerob mudah berkembang (anaerob adalah

mikroorganisme yang tidak tertahan terhadap oksigen) (Fanaroff, 2004). Bayi

laki-laki dan kehamilan kembar merupakan faktor resiko Respiratory Distress

Syndrom dan harus dipertimbangkan. Insiden Respiratory Distress Syndrom pada

laki-laki yang empat kali lipat lebih besar dibandingkan bayi perempuan, ini

berhubungan dengan kerentanan berdasarkan jenis kelamin (Klaus, 2004).

Insidens RDS pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit

hitam dan sering lebih terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan

(Nelson, 1999). Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang

lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan,
32

misalnya : Ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan

antepartum.

Penelitian yang dilakukan oleh Simbolon tahun 2008 dengan judul

”Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Respiratory Distress Syndrom

di RSUD Curup Kabupaten Rejan Lebong Bengkulu” menunjukkan bahwa

menurut faktor bayi, kejadian Respiratory Distress Syndrom banyak terjadi pada

bayi yang berjenis kelamin laki-laki diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25%

yang meninggal.

2.2.4 Persalinan Sectio Caesaria

Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi

pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah

tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan

manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.

Artinya bahwa persalinan section caesarea berperan dalam kejadian RDS.

Persalinan section caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin

dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pertolongan operasi

persalinan merupakan tindakan dengan tujuan untuk menyelamatkan ibu maupun

bayi. Bahaya persalinan operasi masih tetap mengancam sehingga perawatan

setelah operasi memerlukan perhatian untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian (I.G.B. Manuaba, 2008).

Frekuensi RDS meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum

usia kehamilan 37minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan
33

operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan

riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. (Williams, 201 2).

Kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai

faktor diantaranya adalah dari faktor persalinan dengan tindakan yaitu persalinan

dengan sectio caesarea. Namun komplikasi sewaktu - waktu dapat timbul akibat

proses persalinan ini. Anestesi pada sectio caesarea dapat mempengaruhi aliran

darah dengan mengubah tekanan perfusi atau resistensi vaskuler baik secara

langsung maupun tidak langsung yang dapat menimbulkan asfiksia. Selain itu

tidak adanya kompresi dada seperti pada kelahiran pervaginam bayi yang lahir

dengan sectio caesarea mengandung cairan lebih banyak dan udara lebih sedikit di

dalam parunya selama enam jam pertama setelah lahir. Kejadian asfiksia pada

bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah dari

faktor persalinan dengan tindakan yaitu persalinan dengan sectio caesarea

[Majority. 2015;4(7):1-5]

Sitepu pada tahun 2011 meneliti tentang hubungan antara jenis persalinan

dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Dr. M Soewandhie Surabaya.

Berdasarkan data studi pendahuluan di RSUD Dr. M. Soewandhie didapatkan

bahwa 63,57% dari kasus asfiksisa tahun 2010 bayi lahir dengan persalinan

tindakan. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah pengambilan data

sekunder dengan melihat riwayat jenis persalinan dan factor - faktor risiko

terjadinya asfiksia neonatorum melalui rekam medik di RSUD dr. M. Soewandhie

Surabaya periode Januari – Juni tahun 2011. Hasil penelitian didapatkan sebanyak

73,0 % dari jenis persalinan tindakan bayi mengalami asfiksia neonatorum,


34

sedangkan 66,9% dari jenis persalinan normal bayi tidak mengalami asfiksia

neonatorum.

Terdapat hubungan antara sectio caesarea dengan asfiksia neonatorum

yang berarti neonatus yang dilahirkan secara sectio caesarea akan lebih sering

mengalami asfiksia neonatorum. Kejadian asfiksia neonatorum pada bayi yang

dilahirkan dengan persalinan tindakan yaitu 100% pada persalinan ekstraksi

vakum dan persalinan sungsang, 60,78% pada persalinan seksio sesar dan 56%

pada induksi persalinan. Sebanyak 36,77% dari responden memiliki faktor risiko

lain yang dimungkinkan menjadi penyebab asfiksia neonatorum seperti adanya

lilitan tali pusat, kehamilan dengan preeklampsia, kala II yang lama, kehamilan

prematur, kelainan kongenital pada bayi, oligohidrammoni serta ketuban

bercampur mekoneum.

2.2.5 Asfiksia Perinatal

Asfiksia perinatal atau asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru

lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Banyak

faktor yang menyebabkan diantaranya adanya penyakit pada ibu sewaktu ibu

hamil seperti hipertensi, paru, gangguan kontraksi kontraksi uterus. Dapat juga

karena faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga faktor janin

itu sendiri seperti terjadi kelainan pada tali pusat dengan menumbung atau melilit

pada leher atau juga kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir kemudian

faktor persalinan yaitu partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.

(Maryanti, 2011 hal 176). RDS sering terjadi pada bayi dengan riwayat asfiksia

waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir kehamilan. Tanda gangguan
35

pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dengan gejala

yang karakteristik mulai terlihat pada 24 – 72 jam (FK UI, 1985). Asfiksia

merupakan keadaan janin atau bayi baru lahir kekurangan oksigen (hipoksia)

dan/atau kurangnya perfusi (iskemik) ke berbagai organ, yang akan

menyebabkan kesulitan dalam membangun respirasi spontan. Asfiksia saat lahir

terbukti menjadi faktor penting dalam pengembangan penyakit. Lima menit

asfiksia segera sebelum napas pertama sangat meningkatkan insiden

dan keparahan penyakit membran hialin karena aktivitas surfaktan berkurang.

Kematangan paru berkaitan dengan produksi surfaktan. Paru-paru dan sistem

surfaktan paling rentan terhadap hipoksia dan / atau asidosis pada tahap

awal produksi surfaktan. Proses biokimiawi asfiksia terjadi peningkatan

PaCO2, penurunan PaO2, dan derajat keasaman/pH. Hipoksia terjadi bila kadar

PaO2 sudah sangat rendah. Bayi dengan penyakit membran hialin bila disertai

asfiksia maka fungsi dari sistem pernapasannya akan menurun sehingga terjadi

disfungsi organ dan kematian sel. Asfiksia merupakan faktor risiko kematian

penyakit membran hialin yang independen pada bayi (Prawirohardjo, 2005)

Asfiksia neonatorum disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut (Oxorn dan


Forte, 2010 hal 661) :
1. Pada saat kehamilan
1) Sebab-sebab maternal
(1) Anemia

(2) Perdarahan dan shock

(3) Penyakit kardiorespiratorik

(4) Toxemia gravidarum


36

(5) Umur ibu lebih dari 40 Tahun

(6) Grande multipara

2) Sebab-sebab pada plasenta


(1) Penyakit pada plasenta (syphilis, infark)

(2) Perdarahan (plasenta previa, abruptio plasenta)

1) Sebab-sebab pada funiculus

(1) Prolapsus

(2) Membelit dan membuhul/simpul

(3) Kompresi

2) Sebab-sebab fetal

(1) Anomalin kongenital

(2) Prematuritas

(3) Ketuban pecah dini yang membawa infeksi, khususnya pneumonia

(4) Kehamilan lama

2. Persalinan dan kelahiran


1) Anomali kongenital

2) Narkosis akibat pemberian analgesik dan anasthesi yang berlebihan

3) Hipotensi maternal akibat anasthesi spinal

4) Obstruksi saluran napas akibat aspirasi darah, lendir dan debris vaginal

5) Partus lama Kelahiran yang sukar (dengan atau tanpa forceps) sehingga

menyebabkan perdarahan cerebral atau kerusakan pada system saraf

Kriteria diagnosis asfiksia berupa skor APGAR, adanya

asidosis metabolik, dan adanya gangguan fungsi organ neurologis. Skor

APGAR digunakan untuk mendiagnosis asfiksia dan mengklasifikasikan


37

derajatnya, bukan untuk memulai kapan dilakukan resusitasi. Secara cepat

diagnosis di komunitas adalah adanya gangguan dalam pernapasan, asidosis

metabolik yang ditunjukkan dengan analisis gas darah, warna kulit dan

frekuensi jantung yang menunjukkan asidosis metabolik. Asfiksia dengan skor

APGAR < 7 disebutkan sebagai factor risiko kematian bayi dengan penyakit

membran hialin (Sudarti, 2010)

Hasil penelitian Anggraini, Sumadiono dan Wandita tentang faktor-faktor

risiko yang memengaruhi kematian pasien PMH yang dirawat di Instalasi

Maternal Perinatal RSUP Dr. Sardjito menunjukkan proporsi kematian

neonatus dengan penyakit membran hialin di RSUP Dr. Sardjito selama

2007– Oktober 2011 adalah 52%. Faktor risiko kematian neonatus dengan

penyakit membran hialin yang bermakna secara statistik adalah asfiksia

dengan OR 4,97 (IK 95% 2,39-10,28). Analisis dengan metode regresi logistik

menunjukkan bahwa asfiksia merupakan faktor risiko independen kematian

neonatus dengan penyakit membran hialin (OR 5,15, IK 95% 2,43-10,91).

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Risiko :
1. Berat Badan Lahir
Respiratory
2. Usia Kehamilan
Distress
3. Jenis Kelamin
Sindrom
4. Jenis Persalinan
5. Asfiksia Neonatorum

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian


38

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat kita lihat bahwa faktor

risiko Respiratory Distress Sindrom pada bayi baru lahir antara lain Berat Badan

Lahir, Prematuritas, Jenis Kelamin, Jenis Persalinan dan Asfiksia Neonatorum.

2.4 Hipotesis

Berat Badan Lahir, Prematuritas, Jenis Kelamin, Jenis Persalinan dan

Asfiksia Neonatorum menjadi faktor risiko kejadian Respiratory Distress Sindrom

pada bayi baru lahir.


39

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan

cross sectional. Dalam penelitian seksional silang, variable sebab atau risiko dan

akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur dan dikumpulkan

secara simultan sesaat atau satu kali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu

bersamaan), pada studi ini tidak ada follow (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian direncanakan dilakukan pada bayi baru lahir yang dirawat di

ruang Perinatologi RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu mulai bulan

Oktober sampai Desember 2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh bayi baru lahir yang dirawat di

ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang periode Januari s.d

36
40

Juni 2019. Jumlah populasi seluruhnya adalah 366 (tiga ratus enam puluh enam)

orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Penarikan sampel dilakukan secara secara total atau sampling jenuh.

Sampling jenuh artinya teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi

digunakan menjadi sampel (Setiadi 2007). Jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah 366 (tiga ratus enam puluh enam) orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini hanya satu jenis data yaitu data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh melalui dokumentasi data dari data profil

Indonesia, Riskesdas 2013, Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Rumah

Sakit Umum Daerah Sidikalang berupa rekam medik riwayat kesehatan bayi baru

lahir yang relevan dengan tujuan penelitian.

3.5 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional (DO) adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

dapat diamati (diukur) untuk diobservasi atau pengukuran secara cermat terhadap

situasi objek yang kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain (Budiarto, 2003)

Definisi operasional dalam penelitian ini meliputi :

1. Variabel Independen

1) Berat badan lahir adalah berat badan anak yang diukur segera setelah

lahir. Alat ukurnya adalah kuesioner, skala pengukuran : Ordinal dengan

hasil ukur dikategorikan sebagai berikut :


41

(1) Normal : >2500 gr

(2) BBLR : < 2500 gr.

2) Usia Kehamilan adalah kurun waktu bayi berada dalam kandungan

ibu. Alat ukurnya adalah kuesioner, skala pengukuran : Ordinal dengan

hasil ukur dikategorikan sebagai berikut :

(1) Premature : <36 minggu

(2) Matur : 36 – 40 minggu

(3) Post matur : > 40 minggu

3) Jenis Kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan fungsi biologi laki-

laki dan perempuan yang menentukan perbedaaan peran mereka dalam

menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan. Alat ukurnya

adalah kuisioner, skala pengukuran nominal dengan hasil ukur

dikategorikan sebagai berikut :

(1) Laki-laki

(2) Perempuan.

4) Jenis Persalinan adalah teknik atau metode pengeluaran janin dari

dalam kandungan. Alat ukurnya adalah kuesioner, skala pengukuran :

nominal dengan hasil ukur dikategorikan sebagai berikut :

(1) Normal

(2) Sectio

(3) Dengan bantuan alat vakum atau cunam


42

5) Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas

spontan dan teratur. Alat ukurnya adalah kuesioner, skala pengukuran

ordinal dengan hasil ukur dikategorikan sebagai berikut :

(1) Tidak asfiksia : APGAR Score 10

(2) Asfiksia Ringan : APGAR Score 7-9

(3) Asfiksia sedang : APGAR Score 4- 6

(4) Asfiksia berat : APGAR Score 0-3

2. Variabel dependen

Respiratory Distyress Sindrom adalah adalah suatu sindroma kegawatan pada

pernafasan di mana penentuan standarnya adalah Skor Downe. Alat ukur

adalah kuisioner, skala pengukuran : Ordinal dengan hasil ukur dikategorikan

sebagai berikut :

1) Gangguan pernafasan ringan : Skor <4

2) Gangguan pernafasan sedang : Skor 4 – 6

3) Ancaman gagal nafas : Skor > 7 :

3.6 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, menggunakan uji statistik dengan menggunakan soft

komputer untuk melihat apakah berat badan lahir, usia kehamilan, jenis kelamin,

jenis persalinan dan asfiksia neonatorum (variabel independen) berisiko terhadap

kejadian respiratory distress sindrom (variabel dependen) dengan menggunakan

Chi-Square pada taraf nyata 95 % (α = 0,05).


43

1. Analisis Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang

distribusi frekuensi responden disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Analisis

ini digunakan untuk memeroleh frekuensi masing-masing variabel bebas

(independen) yaitu berat badan lahir, usia kehamilan, jenis kelamin, jenis

persalinan dan asfiksia neonatorum dan variabel dependen yaitu respiratory

distress sindrom.

2. Analisis Bivariat

Pada analisis ini semua variabel dikategorikan. Analisis bivariat dilakukan

dengan uji regresi linear untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas

(independen) faktor berat badan lahir, usia kehamilan, jenis kelamin, jenis

persalinan dan asfiksia neonatorum terhadap variabel terikat (dependen) kejadian

respiratory distress sindrom pada bayi baru lahir dengan menggunakan uji chi-

square pada tingkat kemaknaan 95% (α = 0,05). Jika hasil uji menunjukkan nilai p

< 0,05 artinya ada hubungan bermakna atau signifikan.


44

DAFTAR PUSTAKA

Anik, Maryunani. 2010. Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Trans Info Media.
Jakarta

Alifah, Sumadiono, Wandita. Setya, 2013. Faktor-faktor risiko yang


memengaruhi kematian pasien penyakit membran hialin (pmh) yang
dirawat di instalasi maternal perinatal RSUP Dr. Sardjito. Bagian ilmu
kesehatan anak fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr.
Sardjito. Yogyakarta

American Lung Association (ALA). 2008. Lung disease data at glance :


respiratory distress syndrome (RDS). Diunduh dari :
http://www.lungusa.org.

Bappenas. 2007. Laporan perkembangan pencapaian millennium


development goals Indonesia. Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Jakarta.

Betz, Lyn. Cecily, dan Sowden, Linda A. 2009. Keperawatan pediatric, edisi 5.
EGC; Jakarta

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. EGC;


Jakarta

Budiarto, Eko. 2003. Metodologi penelitian kedokteran sebuah pengantar. EGC.


Jakarta

Bungin, Burhan. 2008. Metodologi penelitian kuantitatif. Edisi Pertama. Kencana


Prenada Media Group. Jakarta.

Cunningham GF, Leveno, Kenneth J. 2005. Obstetri. Edisi 4. EGC. Jakarta

Creswell, John W. 2012. Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif dan


mixed. Pustaka Pelajar.Yogyakarta

Dep. Kes RI dan IDAI. 2005. Buku Panduan manajemen masalah bayi baru lahir
untuk dokter, perawat, bidan di rumah sakit rujukan dasar. Depkes RI.
Jakarta

Deslidel, dkk. 2011. Asuhan neonatus, bayi dan balita . EGC. Jakarta

Doenges, Marilynn, dkk. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 8 . EGC.


Jakarta

44
45

Ester, Monica. 2003. Perawatan bayi resiko tinggi. EGC. Jakarta.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985. Ilmu kesehatan anak, Buku


Kuliah 3. Infomedika. Jakarta.

Hidayat, A Aziz Alimul. 2008. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan
kebidanan. Salemba Medika. Jakarta.

_______, 2009. Pengantar ilmu keperawatan anak. Salemba Medika. Jakarta

Kosim Soleh, dkk. 2005. Panduan manejemen bayi baru lahir untuk dokter,
perawat, bidan di rumah sakit dan rujukan dasar. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta

Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders


Elsevier : St. Louis Missouri

Mansjoer Arif. 1999. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. EGC. Jakarta

Marmi, Rahardjo, Kukuh. 2012. Asuhan neonatus bayi balita dan anak
prasekolah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Melson, A. Kathryn & Marie S. Jaffe. 1994. Maternal infant health care planning.
Second Edition. Springhouse Corporation. Pennsylvania

Mitayani, 2011. Asuhan keperawatan maternitas. Salemba Medika, Jakarta

Nelson, Waldoe. 1996. Ilmu kesehatan anak. Volume I. EGC. Jakarta

Nelson, Behrman, Kliegman dan Arvin, 1999. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15.
EGC. Jakarta

Neonatology. 2009. Management, procedures, on-call problems, diseases and


drugs. McGraw Hill company. New York

Ngastiyah, 2005. Perawatan anak sakit, Edisi 2. EGC. Jakarta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta.


Jakarta

Muslihatun, Nur, Wafi. 2010. Asuhan neonatus bayi dan balita. Fitramaya.
Yogyakarta

Papageorgiou A, Pelausa E, Kovacs L. 2005. The extremely low-birth-weight


infant. Edisi 6. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
46

Prawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta

Saifuddin, Abdul Bari. Dkk. 2009. Buku buku acuhan nasional pelayanan
kesehatan internal dan neonatal. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta.

Setiadi. 2007. Konsep dan penulisan riset keperawatan. Graha Ilmu. Jogjakarta

Sitepu. Neneng YB, 2011. Hubungan antara jenis persalinan dengan kejadian
asfiksia neonatorum di RSUD Dr. M Soewandhie Surabaya [skripsi] .
Surabaya: Program Studi S1 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya
Sudarti, Khoirunnisa ,Endang. 2010. Asuhan kebidanan neonatus bayi dan anak
balita. Nuha Medika. Yogyakarta.

Surasmi, Astrining, dkk. 2003. Perawatan bayi resiko tinggi. EGC. Jakarta

Wahyuni, Sari. 2011. Asuhan neonatus, bayi dan balita. EGC. Jakarta

Surasmi. 2003. Kegawatdaruratan pada neonatus. EGC. Jakarta.

Suriadi dan Yuliani. 2006. Patofisiologi anak sakit.Tranns Info Medika. Jakarta

Tammela OKT. 2004. Hyaline Membrane Disease. Dalam: Gomella TL,


Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle D, penyunting. Neonatology,
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi
keenam. McGraw-Hill. New York

Wahyuningsih, Esty. 2009. Asuhan neoatus anak dan balita. EGC. Jakarta.

Wardhani DM, Wandita S, Haksari EL. 2009. Risk factors of neonatal


mortality of referred babies with birthweight of 1000 - <2500
grams. Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Whalley , Wong. 2009. Pediatric of nursing. EGC. Jakarta

Wiknjosastro. 2007. Lmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo. Jakarta

Wong. Donna L. 2004. Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Edisi 4. EGC.


Jakarta
47

Lampiran 1. Kuisioner

FAKTOR RISIKO RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) PADA


BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI TAHUN 2019

Data Responden

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin :

4. Berat Badan Lahir :

5. Usia Kehamilan :

6. Jenis Persalinan :

7. APGAR Score :

82
44

BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang diresmikan pada tanggal 5

September 1983 oleh Gubernur Sumatra Utara (Kaharuddin Nasution) merupakan

satu-satunya rumah sakit milik pemerintah Kabupaten Dairi yang mengadakan

pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat baik masyarakat umum,

maupun masyarakat pengguna jasa Badan penyelenggara Jaminan Kesehatan

(BPJS) dan peserta asuransi dari perusahaan swasta.

Visi Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang adalah “Menjadi Rumah

Sakit Pemerintah yang terdepan di Sumatra Utara” dengan misi :

1. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, efisien, efektif dan

terjangkau

2. Tersedianya sumber daya (Sarana dan Prasarana) untuk meningkatkan dan

pengembangan peleyanan kesehatan.

3. Terwujudnya sumber daya manusia yang professional dan berorientasi

pelanggan di semua unit pelayanan.

4. Meningkatkan kesejahteraan pihak-pihak terkait.

Motto Rumah Sakit Umum Sidikalang :

1. Memberikan pelayanan yang terkait

2. Atas dorongan hati nurani

3. Lewat ilmu yang digapai


44
45

4. Untuk menyembuhkan penyakit

5. Membuat hidup penuh arti.

Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang di Kota Sidikalang merupakan

Rumah Sakit pemerintah Kelas C. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialis terbatas yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah,

pelayanan kesehatan anak, pelayanan kebidanan dan kandungan dan yang terbaru

adalah pelayanan kesehatan jiwa. Rumah sakit ini memiliki luas 2,1 Ha, dengan

kapasitas 112 tempat tidur inap. Cakupan pelayanan kesehatan Rumah Sakit

Umum Daerah Sidikalang meliputi Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat,

Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Samosir.

Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang dapat melayani masyarakat

Kabupaten Dairi dan sekitarnya dengan jenis dan kapasitas pelayanan yang

diberikan kepada masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Rawat jalan yang terdiri dari : Poli Umum, Poli Gigi, Poli Bedah, Poli Anak,

Poli Kebidanan dan Kandungan, Poli Penyakit Dalam, Poli THT, Poli

Endoscopy dan EKG, Poli PKBRS, Fisioterapy, Pojok DOTS.

2. Rawat inap terdiri dari : Ruangan VIP, Super VIP, Ruangan Melati, Ruangan

Anggrek, Ruangan Melur, Ruangan Mawar, Ruangan Dahlia, Ruangan VK,

Ruangan Bougenville, Ruangan Neonaty, dan Ruangan Pemulasaran Jenazah.

3. Layanan 24 Jam yang terdiri dari : IGD (Instalasi Gawat Darurat), Instalasi

Laboratorium, Instalasi Radiologi, Instalasi Farmasi, Instalasi Gizi,

Ambulance.

4. Bedah sentral memberikan pelayanan Bedah Umum, Bedah Obgyn.


46

4.2 Analisis Univariat

Bayi baru lahir yang dirawat di ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum

Daerah Sidikalang periode Januari s.d Juni 2019 berdasarkan data dari ruang

Perinatologi adalah 366 (tiga ratus enam puluh enam) orang. Setelah dilakukan

penelusuran data rekam medic di unit Rekam Medik RSUD Sidikalang,

ditemukan hanya 320 buah data. Dengan demikian jumlah data subjektif yang

dianalisa pada penelitian ini adalah sejumlah 320 bayi. Maka sampel penelitian ini

berjumlah 320 bayi.

4.2.1 Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir

Pada bagian ini akan ditunjukkan, karakteristik Bayi Baru Lahir di Rumah

Sakit Umum Daerah Sidikalang berdasarkan Berat Badan Lahir sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Berat Badan Lahir Baru
di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2019

No Berat Badan Lahir f %


1. BBLR 103 32,2
2. Normal 217 67,8
Jumlah 320 100,0

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa bayi baru lahir dengan berat badan lahir

rendah sebanyak 103 orang (32,2%) dan berat badan lahir normal sebanyak 217

orang (67,8%).
47

4.2.2 Distribusi Frekuensi Usia Kehamilan

Karakteristik Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang

berdasarkan usia kehamilan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Usia Kehamilan di


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2019

No Usia Kehamilan f %
1. Prematur 57 17,8
2. Matur 250 78,1
Postmatur 13 4,1
Jumlah 320 100,0

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas bayi lahir dengan

usia kehamilan matur sebanyak 250 orang (78,1 %), terdapat juga premature 57

orang (17,8%) dan post matur sebanyak 13 orang (4,1%).

4.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Jenis kelamin bayi baru lahir di RSUD Sidikalang periode Januari sampai

dengan Juni 2019 dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 4.3 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah
Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2019

No Jenis Kelamin f %
1. Laki-Laki 191 59,4
2. Perempuan 129 40,3
Jumlah 320 100,0
48

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa jenis kelamin bayi baru lahir di RSUD

Sidikalang mayoritas laki-laki sebanyak 191 orang (59,4 %) dan perempuan

sebanyak 129 orang (40,3%).

4.2.4 Distribusi Jenis Persalinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang dirawat di ruang

Perinatologi RSUD Sidikalang mayoritas dilahirkan dengan cara section caesarea

sebanyak 213 orang (66,6%) dan dilahirkan dengan partus normal sebanyak 107

orang (33,4%) seperti terlihat pada table di bawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Jenis Persalinan di


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2019

No Jenis Persalinan f %
1. Partus normal 107 33,4
2. Sectio Caesarea 213 66,6
Jumlah 320 100,0

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jenis persalinan bayi baru

lahie mayoritas dengan cara section caesarea sebanyak 213 orang (66,6 %) dan

partus normal sebanyak 107 orang (33,4%).

4.2.5 Distribusi Asfiksia Neonatorum

Bayi baru lahir yang dirawat di ruang perinatologi RSUD Sidikalang

memiliki riwayat asfiksia neonatorum dijelaskan pada table berikut ini.


49

Tabel 4.5 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Asfiksia Perinatal di


Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2019

No Asfiksia Perinatal f %
. Tidak asfiksia 69 21,6
Asfiksia Ringan 132 41,3
Asfiksia Sedang 44 13,8
Asfiksia Berat 75 23,4
Total 320 100,0

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang dirawat di RSUD

Sidikalang mayoritas memiliki riwayat asfiksia neonatorum ringan sebanyak 132

orang (41,3 %), riwayat asfiksia berat 75 orang (23,4 %), tidak ada riwayat

asfiksia sebanyak 69 orang (21,6) dan riwayat asfiksia sedang sebanyak 44 orang

(13,8 %).

4.2.6 Distribusi Kejadian Respiratory Distress Syndrome

Kejadian Respiratory Distress Syndrome di RSUD Sidikalang tergolong

tinggi. Ada 213 orang bayi (66,6%) yang mengalami Respiratory Distress

Syndrome seperti terlihat pada table di bawah ini.

Tabel 4.6 Distribusi Bayi Baru Lahir berdasarkan Kejadian Respiratory


Distress Syndrome di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang
tahun 2019

No Respiratory Distress Syndrome f %


1. Ya 213 66,6
2. Tidak 107 33,4
Jumlah 320 100,0
50

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 213 orang bayi

(66,6%) yang mengalami Respiratory Distress Syndrome dan 107 orang (33,4 %)

bayi yang tidak mengalami Respiratory Distress Syndrome.

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

bebas (independen) faktor risiko Respiratory Distress Sindrome terhadap variabel

terikat (dependen) kejadian Respiratory Distress Sindrome pada bayi baru lahir

dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat kemaknaan 95% (α = 0,05). Jika

hasil uji menunjukkan nilai p < 0,05 artinya ada hubungan bermakna atau

signifikan. Pada bagian ini akan digambarkan faktor risiko Respiratory Distress

Syndrome pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah.

4.3.1 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome

Penyakit yang sering menyertai bayi baru lahir dengan berat badan lahir

rendah antara lain sindrom gangguan pernafasan idiopatik yang disebut juga

dengan penyakit membrane hialin yang melapisi alveolus paru atau disebut

dengan Respiratory Distress Sindrome. Bayi yang lahir dengan berat badan 2000-

2500 gram masih sangat mungkin untuk hidup tanpa dampak sisa yang berat,

dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan 1000-1500 gram dan

1500-2000 gram sangat sulit untuk hidup dan memerlukan perawatan yang intesif.

Bayi ini sering mengalami komplikasi hiportermi, ikterik, anemia, infeksi,

hipoglikemia, Respiratory Distress Syndrome (RDS), dan daya hisap yang lemah.
51

Hal ini disebabkan karena fisik bayi yang kurang sempurna. Hubungan Berat

Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome pada Bayi Baru

Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang digambarkan pada table berikut

ini.

Tabel 4.7 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory


Distress Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum
Daerah Sidikalang tahun 2019

No Berat Respiratory Distress Syndrome Total P Value


Badan Tidak Ya
Lahir n % n % n %
1 Normal 80 36,9 137 63,1 217 100 0,965
2 BBLR 27 26,2 76 73,8 103 100
Jumlah 107 213 320 100

Dari uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value =

0,965. Berdasarkan nilai p menunjukkan tidak ada hubungan antara badan lahir

dengan kejadian respiratory distress syndrome pada bayi baru lahir.

4.3.2 Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome

Bayi prematur rentan mengalami Respiratory Distress Syndrome, karena

pada usia <37 minggu terjadi penurunan fungsi akibat tidak berkembangnya atau

terjadinya klasifikasi dan aerosklerosis pembuluh darah. Penurunan kemampuan

nutrisi plasenta, plasenta menimbulkan perubahan metabolisme anaerobic, pada

keadaan ini akan menyebabkan terjadinya Respiratory Distress Syndrom.

Hubungan usia kehamilan dengan kejadian Respiratory Distress Syndrome pada


52

bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang dapat dilihat pada table

di bawah ini.

Tabel 4.8 Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidikalang tahun 2019

No Usia Respiratory Distress Syndrome Total P Value


Kehamilan Tidak Ya
n % n % n %
1 Prematur 8 14,0 49 86,0 57 100 0,001
2 Matur 91 36,4 159 63,6 250 100
3 Postmatur 8 61,5 5 38,5 13 100
Jumlah 107 213 320 100

Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara usia kehamilan dengan kejadian respiratory distress syndrome

pada bayi baru lahir dengan nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value = 0,001

artinya usia kehamilan premature memengaruhi kejadian respiratory distress

syndrome pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang.

4.3.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome

Bayi laki-laki dan kehamilan kembar merupakan faktor resiko Respiratory

Distress Syndrom dan harus dipertimbangkan. Faktor resiko terjadi Respiratory

Distress Syndrom bayi yang berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi di bandingkan

bayi perempuan karena bayi laki-laki memerlukan oksigen yang lebih banyak,

karena jika oksigen kurang didalam tubuh maka bakteri anaerob mudah

berkembang (anaerob adalah mikroorganisme yang tidak tertahan terhadap


53

oksigen). Insiden Respiratory Distress Syndrom pada laki-laki yang empat kali

lipat lebih besar dibandingkan bayi perempuan, ini berhubungan dengan

kerentanan berdasarkan jenis kelamin (Klaus, 2004). Kejadian Respiratory

Distress Syndrom pada bayi laki-laki di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang

disajikan pada table berikut.

Tabel 4.9 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidikalang tahun 2019

No Jenis Respiratory Distress Syndrome Total P Value


Kelamin Tidak Ya
n % n % n %
1 Laki-Laki 66 34,6 125 65,4 191 100 0,895
2 Perempuan 41 31,8 88 68,2 129 100
Jumlah 107 213 320 100

Dari uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value =

0,907 atau > 0,05, artinya berdasarkan nilai p menunjukkan tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian respiratory distress syndrome pada bayi

baru lahir.

4.3.4 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome

Kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai

faktor diantaranya adalah dari faktor persalinan dengan tindakan yaitu persalinan

dengan sectio caesarea. Komplikasi sewaktu - waktu dapat timbul akibat proses

persalinan ini. Anestesi pada sectio caesarea dapat mempengaruhi aliran darah

dengan mengubah tekanan perfusi atau resistensi vaskuler baik secara langsung
54

maupun tidak langsung yang dapat menimbulkan asfiksia. Selain itu tidak adanya

kompresi dada seperti pada kelahiran pervaginam bayi yang lahir dengan sectio

caesarea mengandung cairan lebih banyak dan udara lebih sedikit di dalam

parunya selama enam jam pertama setelah lahir.

Tabel 4.10 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidikalang tahun 2019

No Jenis Respiratory Distress Syndrome Total P Value


Persalinan Tidak Ya
n % n % n %
1 Normal 47 60 107 100 0,000
2 Sectio 60 153 213 100
Caesarea
Jumlah 107 213 320 100

Tabel 4.10 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis

persalinan dengan kejadian respiratory distress syndrome pada bayi baru lahir

dengan nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value = 0,000, artinya jenis persalinan

section caesarea memengaruhi kejadian respiratory distress syndrome pada bayi

baru lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang

4.3.5 Hubungan Asfiksia Neonatorum dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome

Respiratory Distress Syndrome sering terjadi pada bayi dengan riwayat

asfiksia waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir kehamilan. Tanda

gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dengan

gejala yang karakteristik mulai terlihat pada 24 – 72 jam. Asfiksia merupakan

keadaan janin atau bayi baru lahir kekurangan oksigen (hipoksia) dan/atau
55

kurangnya perfusi (iskemik) ke berbagai organ, yang akan menyebabkan

kesulitan dalam membangun respirasi spontan. Asfiksia saat lahir terbukti

menjadi faktor penting dalam pengembangan penyakit. Lima menit asfiksia

segera sebelum napas pertama sangat meningkatkan insiden dan

keparahan penyakit membran hialin karena aktivitas surfaktan berkurang.

Tabel 4.11 Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Respiratory Distress


Syndrome pada Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidikalang tahun 2019

No Asfiksia Respiratory Distress Syndrome Total P Value


Tidak Ya
n % n % n %
1 Tidak 40 58,0 29 42,0 69 100 0,000
Asfiksia
2 Asfiksia 43 32,6 89 67,4 132 100
Ringan
3 Asfiksia 11 25,0 33 75,0 44 100
Sedang
4 Asfiksia 13 17,3 62 82,7 75 100
Berat
Jumlah 107 213 320 100

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai P adalah 0,000 artinya ada

hubungan yang bermakna antara asfiksia neonatal dengan kejadian Respiratory

Distress Syndrome.
56

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Respiratory Distress Syndrome

Berat badan lahir rendah merupakan salah satu penyebab angka morbiditas

dan mortalitas yang cukup tinggi pada neonatus. Berat badan lahir rendah

menyumbang sebesar 51% sebagai penyebab kematian neonatal di dunia. Pada

tahun 2000, angka kejadian BBLR di dunia sekitar 1,4% dari seluruh kelahiran.

Jumlah tersebut meningkat secara signifikan pada tahun 2004 menjadi 8,1%

meskipun telah diupayakan peningkatan asupan gizi, pelayanan antenatal dan

penurunan jumlah BBLR.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara

berat badan lahir dengan kejadian Respiratory Distress Syndrome dengan nilai P =

0,965 atau nilai P > 0,05. Berat badan lahir bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum

Daerah Sidikalang sejumlah 103 (seratus tiga) bayi atau sebesar (32,2%)

mengalami berat badan lahir rendah dan 217 (dua ratus tujuh belas) bayi atau

(67,8%) dengan berat badan normal. Bayi dengan BBLR ini mayoritas dilahirkan

oleh ibu dengan golongan social ekonomi rendah, multi paritas dan usia

kandungan di bawah 36 minggu.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Tamad tahun 2011 tentang

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Dengan Kejadian Sindrom Distress

Respirasi pada Bayi di RSUD. Prof. Margono Soekarjo menunjukkan hasil uji kai

kuadrat didapatkan nilai p = 0,67 (p > 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan

antara BBLR preterm dengan kejadian sindrom distress respirasi pada bayi.
56
57

Demikian juga dengan Penelitian Marfuah, Wisnu Barlianto, Dian Susmarini

tahun 2013 tentang Faktor Risiko Kegawatan Nafas pada Neonatus di RSD DR.

Haryoto Kabupaten Lumajang menunjukkan hasil bahwa berat badan lahir tidak

memiliki hubungan bermakna dengan kejadian Kegawatan Nafas pada Neonatus

adalah asfiksi dengan nilai P 0,174 dan OR 1,594.

Berbeda dengan penelitian Liu J, Yang N, Liu Y tahun 2011 tentang High-

risk Factors of Respiratory Distress Syndrome in Term Neonates berdasarkan uji

regresi logistik didapatkan operasi seksio sesaria, asfiksia berat, kecil umur

kehamilan, Prolonged Ruptur of Membran (PROM), jenis kelamin laki-laki,

diabetes, dan berat lahir rendah merupakan faktor risiko utama dari sindrom

distres respirasi

Pada bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) terjadi immaturitas sistem

neurologi dan ketidakoptimalan fungsi motorik dan autonom pada awal bulan

kehidupannya. Hal ini mengakibatkan ketidakoptimalan kemampuan untuk

mempertahankan kelangsungan hidup dan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Pada bayi baru lahir, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan

mempertahankan kelangsungan hidupnya berkembang lebih baik pada bayi

BBLR dibandingkan bayi Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR). Faktor

risiko sindrom distress respirasi pada bayi yaitu berat badan lahir rendah, bayi

kurang bulan, usia maternal lebih dari sama dengan 32 tahun, ibu yang menderita

gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan yaitu ibu penderita diabetes

mellitus, hipertensi, toksemia, hipotensi atau perdarahan antepartum, sebelumnya

melahirkan bayi dengan sindrom distress respirasi, metode persalinan dengan


58

seksio sesarea dan bayi laki – laki. Sindrom ini diperberat dengan asfiksia

perinatal, infeksi dan bayi kembar (Rosario, 2005)

Menurut penelitian Lemons et al tahun 2001, sindrom distress respirasi

terjadi pada 78% neonatus dengan berat badan lahir 501 - 1.500 gram yang mana

71% terjadi pada bayi dengan berat badan lahir 501 – 750 gram, 54% terjadi pada

bayi dengan berat badan lahir 751-1.000 gram. Sindrom ini terjadi pada 36% bayi

dengan berat badan lahir 1.001-1.250 gram dan 26% terjadi pada bayi dengan

berat badan lahir 1.250-1.500 gram (Andrew, 2008). Sindrom gawat nafas

neonatus merupakan suatu sindrom yang sering ditemukan pada neonates dan

menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat lahir rendah (BBLR)

sehingga SGNN disebut juga sebagai penyakit membran hialin (PMH) karena

PMH merupakan bagian terbesar dari sindrom gawat nafas pada masa neonatus.1-

11 Penyakit membran hialin umumnya terjadi pada bayi prematur. Angka

kejadian PMH pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar 60%-

80%, pada usia kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia kelahiran 32-

36 minggu sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai (Monintja,

1991).

Bayi yang lahir dengan berat badan 2000-2500 gram masih sangat

mungkin untuk hidup tanpa dampak sisa yang berat, dibandingkan dengan bayi

yang lahir dengan berat badan 1000-1500 gram dan 1500-2000 gram sangat sulit

untuk hidup dan memerlukan perawatan yang intesif. Bayi ini sering mengalami

komplikasi hiportermi, ikterik, anemia, infeksi, hipoglikemia, Respiratory Distress

Syndrome (RDS), dan daya hisap yang lemah. Hal ini disebabkan karena fisik
59

bayi yang kurang sempurna (Hidayat, 2008). Bayi berat lahir rendah (BBLR)

cendrung mengalami kesulitan pernafasan, diantaranya: penurunan jumlah alveoli

fungsional, defisiensi kadar surfaktan, lumen pada system kapiler-kapiler paru

mudah rusak dan tidak matur. Fungsi kardiovaskuler mengalami penurunan darah,

perlambatan pengisian kapiler dan gawat nafas yang berlanjut walaupun telah

dilakukan oksigenasi dan ventilasi. Salah satu permasalahan yang mengakibatkan

angka morbiditas dan mortalitas tinggi adalah masalah respirasi antara lain

Penyakit Membran Hialin (PMH) Bayi berat lahir rendah dapat mempengaruhi

kejadian Penyakit Membran Hialin (PMH) karena BBLR terjadi imaturitas sistem

neurologi, ketidakoptimalan fungsi motorik, dan autonom (Jensen, 2004).

5.2 Hubungan Usia Kehamilan dengan Respiratory Distress Syndrome

Faktor-faktor yang mempermudahkan terjadinya Respiratory distress

syndrome pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit

berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorak masih

lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfakatan

mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal

tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan

paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat (Rukiyah,

2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia kehamilan menjadi factor risiko

terjadinya Respiratory Distress Syndrome dengan hasil uji statistic p value sebesar

0,000. Bayi baru lahir dengan kondisi premature sebanyak 57 (lima puluh tujuh)
60

orang (17,8 %), lahir matur sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) orang (78,1%)

dan post matur sebanyak 13 (tiga belas) orang atau (4,1%). Usia kehamilan

premature ini mayoritas pada usia 28-30 minggu sebanyak 45 orang (78,9%) dan

ada yang usia kehamilannya 22 minggu sebanyak 2 orang (3,5%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dani C et al yang berjudul Risk

factors for the development of respiratory distress syndrome and transient

achypnoea in newborn infants menunjukkan bahwa terjadinya penyakit membrane

hialin atau Respiratory distress syndrome lebih sering pada kehamilan pertama

atau setelah kehamilan ke-4, setelah operasi ceasarian darurat, ketika ibu berusia

lebih dari 32 tahun, ketika ibu menderita penyakit dari kehamilan, ketika bayi

dengan jenis kelamin laki-laki atau bayi kembar, ketika berat badan kurang dari

1500 gram dan masa gestasinya kurang dari 36 minggu.

Demikian juga dengan Penelitian yang dilakukan oleh Herlina (2011)

tentang pengaruh umur kehamilan pada bayi baru lahir dengan kejadian

Respiratory Distress Syndrom (RDS) di RSUD Bakti Asih Maluku tahun 2010.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian obervasional analitik dengan

menggunakan rancangan penelitian case control atau kasus kontrol, subjek

penelitian ini adalah bayi baru lahir yaitu sebanyak 80 responden dan peneliti

mengambil sample responden sebanyak 40 responden untuk kelompok kasus 40

responden untuk kelompok kontrol. Pengolahan dan analisi data menggunakan uji

chi square. Hasil penelitian didapatkan nilai hitung > tabel (5.115> 3,841).

Dengan p value 0,024 maka Ho di tolak dan Ha diterima. Kesimpulan dari


61

penelitian ini adalah ada pengaruh umur kehamilan pada saat bayi lahir dengan

kejadian Respiratory Distress Syndrom.

Terdapat korelasi terbalik antara insiden Respiratory distress syndrome

dengan usia kehamilan yaitu semakin muda kehamilan, semakin tinggi resiko

RDS. Akan tetapi, tampaknya kasus-kasus Respiratory distress syndrome lebih

bergantung pada kematangan paru daripada usia gestasi. Diagnosis pada 25% bayi

dengan usia gestasi 34 minggu dan 80% bayi yang usia gestasinya kurang dari 28

minggu. (Nelson, 2012). Respiratory Distress Syndrom terjadi pada bayi

prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi

surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan,

makin besar pula kemungkinan terjadi Respiratory Distress Syndrom.. Ada 4

(empat) faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada Respiratory Distress

Syndrom yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.

Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk

menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada

bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya

berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut

biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.

(Ngastiyah,2012)

Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan yang berkolerasi

dengan Respiratory distress syndrome. Resiko meningkat sebanding dengan

penurunan berat lahir. Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir

rendah, namun bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu
62

mengalami kelahiran prematur. Bayi prematur rentan mengalami Respiratory

distress syndrome, karena pada usia <37 minggu terjadi penurunan fungsi akibat

tidak berkembangnya atau terjadinya klasifikasi dan aerosklerosis pembuluh

darah. Penurunan kemampuan nutrisi plasenta, plasenta menimbulkan perubahan

metabolisme anaerobic, pada keadaan ini akan menyebabkan terjadinya

Respiratory Distress Syndrom (gawat janin). Sedangkan kehamilan yang melewati

294 hari atau lebih dari 42 minggu disebut post term atau kehamilan lewat waktu,

sehingga fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin

dengan resiko 3 kali lebih besar dari kehamilan aterm. Akibat penuaan plasenta

maka pemasokan makanan dan oksigen akan menimbulkan metabolisme anaerob

sehingga terjadi penimbunan karbon dioksida, asidosis darah dan cairan tubuh

yang berdampak terjadinya Respiratory Distress Syndrom (Manuaba, 2008).

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur

disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,

pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi

surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada

alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan

fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari

normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi

hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%

protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga

agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak


63

berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru

memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara

histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal

menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga

menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli,

tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau

volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan

epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi

matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli

dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan

surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini

adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan

bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi

Bronchopulmonal Displasia (BPD).

Sindrom gawat nafas atau penyakit atau penyakit membran hialin

merupakan akibat dari imaturitas anatomi paru-paru dan kekurangan surfaktan.

Sintesa surfaktan paru-paru pada penumocytes tipe II, dimulai pada usia

kehamilan 24-28 minggu dan secara berangsur-angsur meningkat sampai usia

kehamilan aterm. Surfaktan paru-paru menurunkan tegangan permukaan dalam

alveolus selama ekspirasi, yang memungkinkan alveolus sebagian tetap

mengembang, yang dapat mempertahankan kapisitas residual fungsional

(Maryunani, 2009). Pada bayi dengan RDS, dimana adanya ketidakmampuan paru
64

untuk mengembang dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur

menyebabkan gagal pernafasan karena imaturnya dinding dada, parenchyma paru,

dan imaturnya endotelium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir

ekspirasi (Rita, 2006).

Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang

dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru

yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons.

Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas

membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga laveoli

yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat

respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.

Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema

interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih

tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada

bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi

negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal

tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi

prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah

dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru

untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume

residu, cencerung mengalami atelektasis.

Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit

respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan


65

atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh

ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal

volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha

bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.

Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri

pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale,

ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas

iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler

menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. Pada bayi imatur, selain

defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan

kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu

terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan

asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi

pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit

tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.

5.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Respiratory Distress Syndrome

Bayi laki-laki dan kehamilan kembar merupakan faktor resiko Respiratory

Distress Syndrom dan harus dipertimbangkan. insiden Respiratory Distress

Syndrom pada laki-laki yang empat kali lipat lebih besar dibandingkan bayi

perempuan, ini berhubungan dengan kerentanan berdasarkan jenis kelamin

(Klaus, 2004).
66

Penelitian menunjukkan hasil uji statistic nilai p = 0,895 atau nilai p >0,05

artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian

Respiratory Distress Syndrom pada bayi baru lahir. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa bayi baru lahir dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 191 (seratus

sembilan puluh satu) orang (59,4%) dan perempuan 129 (seratus dua puluh

Sembilan) orang (40,3%). Persentase jenis kelamin laki-laki dan perempuan baik

pada bayi yang mengalami Respiratory Distress Syndrom maupun tidak

mengalami Respiratory Distress Syndrom adalah hampir sama.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Marfuah, Wisnu Barlianto, Dian

Susmarini tahun 2013 tentang Faktor Risiko Kegawatan Nafas pada Neonatus di

RSD DR. Haryoto Kabupaten Lumajang menunjukkan hasil bahwa jenis kelamin

tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian Kegawatan Nafas pada

Neonatus adalah asfiksi dengan nilai P 0,678 dan OR 1,060. Demikian juga

dengan Penelitian Wahid tahun 2013 tentang Faktor Risiko Kejadian Respiratory

Distress Syndrome pada Neonatus Preterm Di RSUD dr. Soetomo Surabaya

menunjukkan hasil bahwa faktor jenis kelamin, usia maternal, second born twin,

komplikasi maternal preeklamsi dan diabetes melitus tidak terbukti berhubungan

dengan kejadian RDS.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Liu J, Yang N, Liu Y tahun

2011 tentang High-risk Factors of Respiratory Distress Syndrome in Term

Neonates berdasarkan uji regresi logistik didapatkan operasi seksio sesaria,

asfiksia berat, kecil umur kehamilan, Prolonged Ruptur of Membran (PROM),

jenis kelamin laki-laki, diabetes, dan berat lahir rendah merupakan faktor risiko
67

utama dari sindrom distres respirasi. Demikian juga dengan Penelitian Dani C et

al yang berjudul Risk factors for the development of respiratory distress syndrome

and transient tachypnoea in newborn infants menunjukkan bahwa terjadinya

Penyakit Membran Hialin (PMH) lebih sering pada kehamilan pertama atau

setelah kehamilan ke-4, setelah operasi ceasarian darurat, ibu berusia lebih dari 32

tahun, ibu menderita penyakit dari kehamilan, ketika bayi dengan jenis kelamin

laki-laki atau bayi kembar, berat badan kurang dari 1500 gram dan masa

gestasinya kurang dari 36 minggu. Hasil penelitian Anadkat JS, Kuzniewicz MW,

ChaudhariBP, Cole FS, tentang Increased risk for respiratory distress among

white, male, late preterm and term infants menunjukkan hasil bahwa risiko PMH

meningkat pada masa gestasi kurang dari 39 minggu, persalinan dengan operasi,

diabetes maternal, dan chorioamnionitis. Jenis kelamin laki-laki dan ras kulit putih

secara independen meningkatkan Penyakit Membran Hialin (PMH).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang di lakukan oleh Irma (2011)

dengan judul “Karakteristik Bayi Baru Lahir dengan kejadian Respiratory

Distress Syndrom (RDS)” di RSUD Syaiful Anwar Malang untuk mengetahui

karakteristik Bayi Baru Lahir dengan kejadian Respiratory Distress Syndrom.

Penelitian ini berbentuk deskritif secara retrospektif dengan populasi penelitian

seluruh bayi baru lahir di RSUD Syaiful Anwar Malang tahun 2011 berjumlah 42

orang. Hasil penelitian ini yang dilakukan dapat dilihat hasil uji statistik diperoleh

nilai P value <0,05, sehingga diketahui bahwa Karakteristik Bayi Baru Lahir jenis

kelamin berhubungan dengan kejadian Respiratory Distress Syndrom di RSUD

Syaiful Anwar Malang. Demikian juga dengan Penelitian yang dilakukan oleh
68

Simbolon tahun 2008 dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Respiratory Distress Syndrom di RSUD Curup Kabupaten Rejan

Lebong Bengkulu, hasil dari penelitian ini adalah bahwa menurut faktor bayi,

kejadian Respiratory Distress Syndrom banyak terjadi pada bayi yang berjenis

kelamin laki-laki diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25% yang meninggal.

Faktor resiko terjadi Respiratory Distress Syndrom pada bayi yang

berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi di bandingkan bayi perempuan karena bayi

laki-laki memerlukan oksigen yang lebih banyak, karena jika oksigen kurang

didalam tubuh maka bakteri anaerob mudah berkembang (anaerob adalah

mikroorganisme yang tidak tertahan terhadap oksigen) (Fanaroff, 2004).

5.4 Hubungan Jenis Persalinan dengan Respiratory Distress Syndrome

Persalinan section caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin

dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pertolongan operasi

persalinan merupakan tindakan dengan tujuan untuk menyelamatkan ibu maupun

bayi. Bahaya persalinan operasi masih tetap mengancam sehingga perawatan

setelah operasi memerlukan perhatian untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian (Manuaba, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara jenis

persalinan dengan kejadian Respiratory Distress Syndrome dengan nilai p 0,005

atau nilai p <0,005. Persalinan bayi baru lahir mayoritas dengan tindakan secti

casarea sebanyak 213 (dua ratus tiga belas) orang (66,6%) dan persalinan normal

sebanyak 107 (seratus tujuh) orang (33,4%). Pilihan persalinan section caesarea
69

nampaknya menjadi pilihan pertama bagi para ibu ibu yang ingin melahirkan.

Indikasi dari persalinan secti caesarea ini mayoritas bukan karena indikasi medis

tetapi karena permintaan atau keinginan dari ibu dan atau keluarga.

Penelitian Wahid tahun 2013 tentang Faktor Risiko Kejadian Respiratory

Distress Syndrome Pada Neonatus Preterm di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

berdasarkan hasil penelitian studi kasus kontrol diperoleh hasil bahwa faktor

risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian RDS adalah asfiksia perinatal,

usia gestasi 24-33 minggu, berat lahir <1500 gram dan persalinan Sectio

Caesarea.

Berbeda dengan Penelitian Marfuah, Wisnu, Dian tahun 2013 tentang

Faktor Risiko Kegawatan Nafas pada Neonatus di RSD DR. Haryoto Kabupaten

Lumajang menunjukkan hasil bahwa jenis persalinan tidak memiliki hubungan

bermakna dengan kejadian kegawatan nafas pada neonatus dengan nilai P 1,000

dan OR 1,000.

Persalinan seksio sesarea dilakukan pada faktor kehamilan dengan risiko

tinggi sehingga persalinan tersebut mengakibatkan gangguan pada janin atau bayi

baru lahir, dan juga perlu di ingat tindakan seksio sesarea dilakukan baik untuk

kepentingan ibu maupun anak, oleh sebab itu seksio sesarea tidak dilakukan

kecuali dalam keadaan terpaksa persalinan dengan bedah caesar sangat tinggi

risikonya terhadap bayi baru lahir yaitu kematian bayi, risiko gangguan

pernafasan bayi, risiko trauma bayi dan risiko gangguan otak. Risiko yang dialami

bayi baru lahir terkait persalinan dengan caesar adalah 3,5 kali lebih besar

dibandingkan dengan persalinan normal (Hestiantoro, 2009)


70

Sectio caesaria menurut beberapa penilitian, apabila tindakan sectio

secaria dilakukan sebelum masuknya proses persalinan dapat meningkatkan

resiko timbulnya Respiratory Distress Syndrom disebabkan ketika proses

persalinan produksi cairan paru berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat

penekanan pada dada ketika proses persalinan pervaginam berlangsung. Hal ini

juga sesuai dengan pendapat Setyobudi (2008), anastesi pada section caecarea

dapat mempengaruhi aliran darah perfusi atau ekstensi vaskuler baik secara

langsung maupun tidak langsung. Salah satu pengaruh anastesi terhadap janin

adalah terjadinya respiratory distress syndrome.

5.5 Hubungan Asfiksia Neonatorum dengan Respiratory Distress Syndrome

Asfiksia merupakan keadaan janin atau bayi baru lahir kekurangan

oksigen (hipoksia) dan/atau kurangnya perfusi (iskemik) ke berbagai organ, yang

akan menyebabkan kesulitan dalam membangun respirasi spontan. Asfiksia saat

lahir terbukti menjadi faktor penting dalam pengembangan penyakit. Lima menit

asfiksia segera sebelum napas pertama sangat meningkatkan insiden dan

keparahan penyakit membran hialin karena aktivitas surfaktan berkurang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa asfiksia neonatorum berhubungan

signifikan dengan Respiratory Distress Syndrome dengan nilai p = 0,000. Bayi

baru lahir yang memiliki riwayat tidak asfiksia neonatorum sebanyak 69 (enam

puluh sembilan) orang (21,6%), asfiksia neonatorumm sedang sebanyak 132

(seratus tiga puluh dua) orang (41,3%), asfiksia neonatorum sedang sebanyak 44
71

(empat puluh empat) orang (13,8%), asfiksia neonatorum berat sebanyak 75 (tujuh

puluh lima) orang (23,4%).

Penelitian ini sejalan dengan Anggraini tahun 2011 tentang Faktor Risiko

Kematian Neonatus dengan Penyakit Membran Hialin menjunjukkan hasil bahwa

Asfiksia merupakan faktor risiko independen kematian neonatus dengan penyakit

membran hialin dengan nilai P 0,01. Demikian juga dengan penelitian Marfuah,

Wisnu Barlianto, Dian Susmarini tahun 2013 tentang Faktor Risiko Kegawatan

Nafas pada Neonatus di RSD DR. Haryoto Kabupaten Lumajang menunjukkan

hasil bahwa factor risiko yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian

Kegawatan Nafas pada Neonatus adalah asfiksi dengan nilai P 0,0001 dan OR

14,529, artinya bayi yang lahi dengan kondisi asfiksi berisiko 14,529 kali

mengalami kegawatan nafas dibandinglan bayi yang lahir tanpa asfiksia.

Asfiksia perinatal atau asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru

lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Banyak

faktor yang menyebabkan diantaranya adanya penyakit pada ibu sewaktu ibu

hamil seperti hipertensi, paru, gangguan kontraksi kontraksi uterus. Dapat juga

karena faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga faktor janin

itu sendiri seperti terjadi kelainan pada tali pusat dengan menumbung atau melilit

pada leher atau juga kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir kemudian

faktor persalinan yaitu partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.

(Maryanti, 2011 hal 176). Respiratory Distress Syndrome sering terjadi pada bayi

dengan riwayat asfiksia waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir

kehamilan.
72

Masa gestasi, asfiksia, gawat janin, diabetes saat hamil, placenta previa,

preeklamsia, solusio plasenta, berat lahir, premature rupture of membranes

(PROM), oligohidramnion, jenis kelamin, dan cara persalinan merupakan faktor

risiko yang mempengaruhi Penyakit Membran Hialin (PMH). Hasil penelitian

Deng dkk menyatakan bahwa mortalitas pasien penyakit membran hialin

meningkat secara bermakna dengan adanya asfiksia. Penelitian oleh Fidanovski

dkk juga menyebutkan bahwa terdapat risiko kematian lebih tinggi pasien

penyakit membran hialin dengan skor Apgar 1 menit dan 5 menit yang lebih

rendah meskipun skor Apgar 1 menit bukan merupakan faktor risiko kematian

yang independen. Penelitian lain juga melaporkan asfiksia merupakan faktor yang

meningkatkan mortalitas pasien dengan penyakit membran hialin (Bhutta, 1997).

Terjadinya hipoksia dimulai dengan frekuensi jantung dan tekanan darah

pada awalnya meningkat dan bayi melakukan upaya megap-megap. Bayi

kemudian masuk periode apnea primer. Bayi yang menerima stimulasi adekuat

selama apnea primer akan mulai melakukan usaha nafas lagi. Bayi-bayi yang

mengalami proses asfiksia lebih jauh berada dalam tahap apnea sekunder. Apnea

sekunder cepat menyebabkan kematian jika bayi tidak benar-benar didukung oleh

pernafasan buatan dan bila diperlukan, kompresi jantung. Selama apnea sekunder,

frekuensi jantung dan tekanan darah, warna bayi berubah dari biru ke putih karena

bayi baru lahir menutup sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkan aliran

darah ke organ-organ, seperti jantung, ginjal dan adrenal. Selama apnea,

penurunan oksigen yang tersedia menyebabkan pembuluh darah di paru-paru

mengalami kontriksi. Vasokontriksi ini menyebabkan paru-paru resisten terhadap


73

ekspansi sehingga mempersulit kerja resusitasi. Dalam periode singkat, kurang

oksigen menyebabkan metabolisme pada bayi baru lahir berubah menjadi

metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya glukosa yang di butuhkan untuk

sumber energi pada saat kedaruratan. Neonatus yang lahir melalui sectio

caesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak mendapatkan manfaat

dari pengurangan cairan paru dan penekanan pada toraks sehingga mengalami

paru-paru basah yang lebih persisten. Situasi ini dapat mengakibatkan takipnea

sementara pada bayi baru lahir atau disebut juga transient tachypnea of the

newborn (TTN). Asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran gas dan

pengangkutan O2 dari ibu ke janin, sehingga terdapat gangguan dalam persediaan

O2 dan dalam menghilangkan CO2. Kadar O2 tidak cukup dalam darah disebut

hipoksia dan CO2 tertimbun dalam darah disebut hiperapnea. Akibatnya dapat

menyebabkan asidosis tipe respiratorik atau campuran dengan asidosis metabolik

karena mengalami metabolisme yang anaerob serta juga dapat terjadi

hipoglikemia (Mochtar, 2011).


74

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang factor risiko kejadian

Respiratory Distress Sindrome pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum

Daerah Sidikalang, didapatkan hasil sebgaai berikut :

1. Dari 320 bayi baru lahir terdapat 32,2 orang (32,2%) dengan berat badan lahir

rendah dan 217 orang (67,8%) dengan berat badan lahir normal. Berat badan

lahir terbukti tidak berhubungan dengan kejadian Respiratory Distress

Sindrome dengan nilai P = 0,965 artinya berat badan lahir rendah bukan

merupakan factor risiko kejadian Respiratory Distress Sindrome.

2. Usia kehamilan terbukti menjadi factor risiko kejadian Respiratory Distress

Sindrome. Hasil penelitian menunjukkan 57 orang (17,8%) yang lahir

premature, 250 orang (78,1%) lahir matur dan 13 orang (4,1%) lahir post

matur. Hasil uji statistic, terdapat hubungan usia kehamilan dengan kejadian

Respiratory Distress Sindrome dengan nilai P = 0,000

3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi baru lahir dengan jenis kelamin

laki-laki sebanyak 191 (seratus sembilan puluh satu) orang (59,4%) dan

perempuan 129 (seratus dua puluh Sembilan) orang (40,3%). Penelitian

menunjukkan hasil uji statistic nilai p = 0,895 atau nilai p >0,05 artinya tidak

ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian

Respiratory Distress Syndrom pada bayi baru lahir.

4. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara jenis

persalinan dengan kejadian Respiratory Distress Syndrome dengan nilai p


74
75

0,005 atau nilai p <0,005. Persalinan bayi baru lahir mayoritas dengan

tindakan secti casarea sebanyak 213 (dua ratus tiga belas) orang (66,6%) dan

persalinan normal sebanyak 107 (seratus tujuh) orang (33,4%).

5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asfiksia neonatorum berhubungan

signifikan dengan Respiratory Distress Syndrome dengan nilai p = 0,000. Bayi

baru lahir yang memiliki riwayat tidak asfiksia neonatorum sebanyak 69

(enam puluh sembilan) orang (21,6%), asfiksia neonatorumm sedang

sebanyak 132 (seratus tiga puluh dua) orang (41,3%), asfiksia neonatorum

sedang sebanyak 44 (empat puluh empat) orang (13,8%), asfiksia neonatorum

berat sebanyak 75 (tujuh puluh lima) orang (23,4%).

Hasil penelitian menunjukkan yang menjadi factor risiko kejadian

Respiratory Distress Syndrome pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum

Daerah Sidikalang adalah usia kehamilan dengan nilai p 0,000 , jenis persalinan

dengan nilai p 0,005 dan asfiksia neonatorum dengan nilai p 0,000.

6.2 Saran

1. Kepada masyarakat umum terutama ibu hami, diharapkan masyarakat

menyadari pentingnya persalinan diawasi oleh tenaga kesehatan, terutama

persalinan sebelum waktunya. Kehamilan dan persalinan yang aman dan

terkendali melindungi bayi dari kegawatan neonatal Respiratory Distress

Syndrome.
76

2. Kepada tenaga kesehatan penolong persalinan yang utama di Indonesia

mencakup bidan. Oleh karena itu peran bidan dalam menurunkan angka

kesakitan dan kematian neonatal sangat besar. Peran itu dapat dimulai saat

dilakukannya prenatal care, yaitu dengan pencegahan prematuritas, termasuk

menghindarkan seksio sesarea yang tidak perlu atau kurang sesuai waktu,

manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran berisiko tinggi dan

ramalan akan kemungkinan diperlukannya pengobatan imaturitas paru dalam

uterus. Sedangkan pada periode natal, peran bidan dapat melingkupi

pencegahan stres dingin, asfiksia lahir dan hipovolemia. Diharapkan kiranya

seluruh tenaga kesehatan dapat lebih mewaspadai setiap persalinan yang bisa

berakhir dengan kejadian Respiratory Distress Syndrome. Mengetahui faktor

risikonya lebih dini penting untuk menjaga persalinan dilakukan di fasilitas

kesehatan yang memadai sehingga pertolongan pertama dapat segera

diberikan, terutama saat asfiksia perinatal terjadi. Bila persalinan tidak dapat

dihindarkan terjadi diluar fasilitas perawatan yang memadai, rujukan

diharapkan dapat segera dilakukan tanpa menunggu kegawatan neonatus

terjadi. Bila tidak ada komplikasi yang menghalangi, persalinan pervaginam

tetap merupakan prioritas utama dalam metode pelahiran bayi.


77

3. Kepada pihak rumah sakit Diharapkan fasilitas perawatan dan pengobatan

terhadap Respiratory Distress Syndrome lebih baik lagi demi menurunkan

angka morbiditas dan mortalitas sehubungan dengan penyakit Respiratory

Distress Syndrome. Sistem rujukan kiranya bisa lebih baik lagi guna

menunjang perawatan sedini mungkin bayi yang berisiko mengalami

Respiratory Distress Syndrome. Penanganan asfiksia neonatorum yang tepat

dapat menurunkan risiko kejadian Respiratory Distress Syndrome.


78

DAFTAR PUSTAKA

Alifah Anggraini, Sumadiono, Setya Wandita. 2013. Faktor-faktor risiko yang


memengaruhi kematian pasien pmh yang dirawat di instalasi maternal
perinatal rsup dr. sardjito. Sari Pediatri ;15(2):75-80 Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada – RSUP
Dr. Sardjito, Yogyakarta
Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Firman Sakti Wibawanto. 2011. Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Divisi Pulmonologi, Alergi dan
Immunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan- RSHAM. Medan

American Lung Association (ALA) (2008). Lung disease data at glance:


Respiratory distress syndrome (RDS). Diunduh dari:
http://www.lungusa.org.
Andrews, K.M., D. B. Brouillette and R. T. Brouillette. 2008. Mortality, Infant.
Pp. 343-358. In: Marshall M. Haith dan Janette B. Benson (Eds).
Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development Volume 2.
Elsevier Academic Press, USA

Bappenas. 2007. Laporan perkembangan pencapaian millennium development


goals indonesia 2007. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Betz, Cecily lyn, dan linda A. sowden 2009. Keperawatan pediatric, edisi 5.
Jakarta: EGC
Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta :
EGC
Bhutta ZA, Yusuf K. 1997. Profile and outcome of the respiratory distress
syndrome among newborns in Karachi: risk factors for mortality. J Trop
Pediatr;43:143-8. USA

Dep. Kes RI dan IDAI. 2005. Buku Panduan manajemen masalah bayi baru lahir
untuk dokter, perawat, bidan di rumah sakit rujukan dasar. Jakarta.
Deslidel, dkk. 2011. Asuhan neonatus, bayi dan balita . Buku Kedokteran EGC.
Jakarta

78
Doenges, Marilynn, dkk. 2010. Rencana asuhan keperawatan, edisi 8. Jakarta :
EGC
Ester, Monica. 2003. Perawatan bayi resiko tinggi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
79

Hidayat, A Aziz Alimul. 2008. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan
kebidanan. Salemba Medika: Jakarta.
Kosim Soleh, dkk. 2005. Panduan manejemen bayi baru lahir untuk dokter,
perawat, bidan di rumah sakit dan rujukan dasar . Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders
Elsevier : St. Louis Missouri
Liu J, Yang N, Liu Y. 2009. High-risk factors of respiratory distress syndrome in
term neonates. (Balkan Med J 2014;31:64-68). Thailand

Mansjoer Arif. 1999. Kapita selekta kedokteran.Edisi 3.FKUI : Jakart

Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Marfuah, Wisnu Barlianto, Dian Susmarini. 2013. Faktor risiko kegawatan nafas
pada neonatus di rsd dr. haryoto kabupaten lumajang tahun 2013.
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Markum HA, Ismael S, Alatas H, Akib A. 1991. Buku ajar ilmu kesehatan anak.
FKUI, 1991. h. 302-567. Jakarta

Marmi dan Kukuh Rahardjo. 2012. Asuhan neonatus bayi balita dan anak
prasekolah. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Maryunani, Anik. Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Trans Info Media.
Jakarta
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2012. Penyakit kandungan dan keluarga berencana.
Salemba Medika. Jakarta.

Melson, A. Kathryn & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care


Planning,Second Edition, Springhouse Corporation, Pennsylvania, 1994

Mitayani, Asuhan keperawatan maternitas, 2011. Salemba Medika, Jakarta

Mochtar, Rustam. 2011. Sinopsis obstetri. EGC; Jakarta.

Monintja HE. 1991. Masalah umum sindrom gawat nafas pada neonatus. dalam:
monintja he, aminullah a, boedjang rf, amir i, penyunting. sindrom gawat
nafas pada neonatus. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXIII. FKUI; 1991 8-9 Juli;
Jakarta: Balai Penerbit FKUI,

Nelson Waldoe. 1996. Ilmu kesehatan anak Volume I. : EGC. Jakarta


Nelson, Behrman, Kliegman dan Arvin, 1999. Ilmu kesehatan anak, edisi 15,
EGC. Jakarta

Ngastiyah, 2005. Perawatan anak sakit, Edisi 2.EGC. Jakarta


80

Nur Muslihatun, Wafi. 2010. Asuhan neonatus bayi dan balita. Fitramaya:
Yogyakarta
Papageorgiou A, Pelausa E, Kovacs L. 2005. The extremely low-birth-weight
infant. Dalam: MacDonald, MMK Seshia, MD Mullet, penyunting.
Avery’s neonatology pathophysiology and management of the newborn.
Edisi 6. Lippincott Williams & Wilkins; h.459-89. Philadelphia.

Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Saifuddin, Abdul Bari. Dkk. 2009. Buku buku acuhan nasional pelayanan
kesehatan internal dan neonatal. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta.
Purba, MA. 2011. Faktor prediktor mortalitas sepsis neonatorum awitan dini di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta

Rosario, Santos and Chua, Santos. 2005. Neonatal assessment of respiratory


distress syndrome. On-line: http://www.inisrc.
org/docs/081013.RDSinthenewborn.pdf. Diakses pada 17 Desember
2017.

Sitepu. Neneng YB, 2011. Hubungan antara jenis persalinan dengan kejadian
asfiksia neonatorum di rsud dr. m soewandhie surabaya [skripsi] .
Surabaya: Program Studi S1 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya

Sudarti dan Endang Khoirunnisa. 2010. Asuhan kebidanan neonatus bayi dan
anak balita. Nuha Medika: Yogyakarta.

Surasmi. 2003. Kegawatdaruratan pada neonates. EGC. Jakarta

Suriadi dan Yuliani. 2006. Patofisiologi anak sakit. EGC. Jakarta


Tambunan T, Monintja HE, Karyomanggolo WT,Tamaela LA. 1978. Gambaran
radiologik paru pada bayi baru lahir dengan respiratory distress.
Majalah Kedokteran Indonesia 1978;28:109-16. Jakarta

Tammela OKT. Hyaline membrane disease. Dalam: Gomella TL, Cunningham


MD, Eyal FG, Tuttle 2002
Wahid. 2013. Faktor risiko kejadian respiratory distress syndrome pada
neonatus preterm di rsud dr. soetomo Surabaya. Surabaya

Wahyuningsih, Esty. 2009. Asuhan neoatus anak dan balita. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
81

Wardhani DM, Wandita S, Haksari EL. 2009. Risk factors of neonatal mortality
of referred babies with birthweight of 1000 - <2500 grams. Berkala
Ilmu Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Whalley dan Wong. 2009. Pediatric of nursing. EGC. Jakarta


Wiknjosastro (2007) lmu Kebidanan . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Edisi 4, Jakarta:
EGC.
83

Lampiran 2 : Hasil Uji Statistik

Statistics
Jenis
Seks Asfiksia Persalinan Usia Hamil BBL RDS
N Valid 320 320 320 320 320 320
Missing 0 0 0 0 0 0

Frequency Table

Seks
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-Laki 191 59.7 59.7 59.7
Perempuan 129 40.3 40.3 100.0
Total 320 100.0 100.0

Asfiksia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 69 21.6 21.6 21.6
Ringan 132 41.3 41.3 62.8
Sedang 44 13.8 13.8 76.6
Berat 75 23.4 23.4 100.0
Total 320 100.0 100.0

Jenispersalinan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Normal 107 33.4 33.4 33.4
Sectio 213 66.6 66.6 100.0
Total 320 100.0 100.0
84

Usiahamil
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Prematur 57 17.8 17.8 17.8
Matur 250 78.1 78.1 95.9
Postmatur 13 4.1 4.1 100.0
Total 320 100.0 100.0

Berat Badan Lahir

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid BBLR 103 32.2 32.2 32.2
Tidak 217 67.8 67.8 100.0
Total 320 100.0 100.0

Respiratory Distress Syndrome

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 213 66.6 66.6 66.6
Tidak 107 33.4 33.4 100.0
Total 320 100.0 100.0

Crosstabulatiuon

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Seks * RDS 320 100.0% 0 .0% 320 100.0%
Asfiksia * RDS 320 100.0% 0 .0% 320 100.0%
Jenispersalinan * RDS 320 100.0% 0 .0% 320 100.0%
Usiahamil * RDS 320 100.0% 0 .0% 320 100.0%
BBL * RDS 320 100.0% 0 .0% 320 100.0%
85

Seks * RDS Crosstabulation

Count
RDS
1 2 Total
Seks Laki-Laki 125 66 191
Perempuan 88 41 129
Total 213 107 320

Asfiksia * RDS Crosstabulation

Count
RDS
1 2 Total
Asfiksia Tidak 29 40 69
Ringan 89 43 132
Sedang 33 11 44
Berat 62 13 75
Total 213 107 320

Jenis Persalinan * RDS Crosstabulation

Count
RDS
1 2 Total
Jenis Persalinan Normal 60 47 107
Sectio 153 60 213
Total 213 107 320
86

Usia Hamil * RDS Crosstabulation

Count
RDS
1 2 Total
Usia Hamil Prematur 49 8 57
Matur 159 91 250
Postmatur 5 8 13
Total 213 107 320

Berat Badan Lahir * RDS Crosstabulation

Count
RDS
1 2 Total
BBL BBLR 76 27 103
Tidak 137 80 217
Total 213 107 320

Variables Entered/Removed

Variables
Model Variables Entered Removed Method
1 BBL, Jenispersalinan, Seks, Asfiksia, . Enter
Usiahamila
a. All requested variables entered.
87

Model Summary

Change Statistics
Std. Error R
R Adjusted of the Square F Sig. F
Model R Square R Square Estimate Change Change df1 df2 Change
1 .408a .167 .153 .435 .167 12.563 5 314 .000
a. Predictors: (Constant), BBL, Jenispersalinan, Seks, Asfiksia, Usiahamil

ANOVAb
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 11.873 5 2.375 12.563 .000a
Residual 59.349 314 .189
Total 71.222 319
a. Predictors: (Constant), BBL, Jenispersalinan, Seks, Asfiksia, Usiahamil
b. Dependent Variable: RDS

Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.702 .189 8.998 .000
Seks -.007 .050 -.007 -.133 .895
Asfiksia -.141 .024 -.319 -5.985 .000
Jenis Persalinan -.233 .053 -.233 -4.378 .000
Usia Hamil .200 .061 .189 3.247 .001
BBL -.003 .059 -.003 -.044 .965
a. Dependent Variable: RDS

Anda mungkin juga menyukai