Anda di halaman 1dari 10

GERIATRI

Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia lanjut) ~ Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
masalah kesehatan pada lanjut usia yang menyangkut aspek Promotof, Preventif, Kuratif dan
Rehabilitatif serta Psikososial yang menyertai kehidupan lanjut usia. Sementara Psikogeriatriadalah
cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lanjut usia yang
menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai
kehidupan lanjut usia.

Ilmu yang mempelajari pengelolaan pasien berusia lanjut denganbeberapa karakteristik (multipatologi,
daya cadangan faali menurun,tampilan tak khas, penurunan status fungsional dan gangguan
nutrisi) .Bagian ilmu penyakit dalam yang mempelajari aspek-aspek preventif, promotif, kuratif,
rehabilitatif serta aspek sosial dan psikologis dan penyakit pada usia lanjut.

Hal- hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasi) sehingga membawa lansia
kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang
mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya
stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga
dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hokum, atau trauma psikis.

Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara
berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik
maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada
usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu
mengatur cara hidupnya yang baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.

Geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan
kedokteran pada warga Lanjut Usia termasuk pelayanan kesehatan kepada Lanjut Usia dengan
mengkaji semua aspek kesehatan berupa promosi, pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi.

Pasien Geriatri adalah pasien Lanjut Usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan akibat
penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan
kesehatan secara terpadu dengan pendekatan Multidisiplin yang bekerja secara Interdisiplin.

Pelayanan kesehatan geriatri di masyarakat (Community Based Geriatric Service)


Pada upaya kesehatan pelayanan ini, semua upaya kesehatan yang berhubungan dan
dilaksanakan oleh masyarakat harus diupayakan berperan serta menangani kesehatan para
lanjut usia. Puskesmas dan dokter praktek swasta merupakan tulang punggung layanan di
tingkat ini. Puskesmas berperan dalam membentuk kelompok/klub lanjut usia. Di dalam dan
melalui klub lanjut usia ini pelayanan kesehatan dapat lebih mudah dilaksanakan, baik usaha
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pada dasarnya layanan kesehatan geriatri di tingkat masyarakat seharusnya


mendayagunakan dan mengikut-sertakan masyarakat (termasuk para lanjut usia) semaksimal
mungkin. Yang perlu dikerjakan dengan berbagai cara, antara lain ceramah, symposium,
lokakarya, dan penyuluhan-penyuluhan.

a. Pelayanan kesehatan geriatri di masyarakat berbasis rumah sakit (Hospital Based


Comomnity Geriatric Service)
Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah melakukan layanan geriatri
bertugas membina geriatri berada di wilayah-wilayahnya, baik secara langsung atau tidak
langsung memalui pembinaan pada puskesmas yang berada diwilayah kerjanya “Transfer of
Knowledge” berupa lokakarya, ceramah-ceramah, symposium baik kepada tenaga kesehatan
ataupun kepada awam perlu dilaksanakan. Di lain pihak, rumah sakit harus selalu bersedia
bertindak sebagai rujukan dari layanan kesehatan yang ada di masyarakat.

b. Pelayanan kesehatan geriatri berbasis rumah sakit (Hospital Based Geriatric Service).
Pada layanan ini rumah sakit, tergantung dari jenis layanan yang ada, menyediakan
berbagai layanan bagi para lanjut usia. Mulai dari layanan sederhana berupa poliklinik lanjut
usia, sampai pada layanan yang lebih maju, misalnya bangsal akut, klinik siang terpadu (day-
hospital), bangsal kronis dan/atau panti rawat wredha (nursing homes). Disamping itu rumah
sakit jiwa juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi geriatri dengan pola yang sama. Pada
tingkat ini, sebaliknya dilaksanakan suatu layanan terkait antara unit geriatri rumah sakit umum
dengan unit psikkogeriatri suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk menangani penderita
penyakit fisik dengan komponen gangguan psikis berat atau sebaliknya.

Pada skema berikut ini dapat dilihat konsep pelayanan kesehatan lanjut usia, mulai dari
tingkatan di masyarakat, sampai dengan rujukan tertinggi di rumah sakit dengan layanan
geriatri paripurna

Gambar 3. Konsep pelayanan kesehatan lanjut usia


Keterangan :

(Placement): adalah jenis pelayanan, di mana unit geriatri di suatu rumah sakit setelah
mengadakan asesmen pada seorang penderita, memberikan rekomendasi pada penderita
tersebut untuk dapat diterima di suatu institusi lanjut usia, terutama bila institusi tersebut
dilaksanakan oleh/atau mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Tim Pengembangan Pelayanan dan Pendidikan Geriatri PB PAPDI telah menyusun


konsep dasar pelayanan geriatri di berbagai jenis rumah sakit. Tingkatan-tingkatan pelayanan
yang diberikan berdasar pada kemampuan rumah sakit yang bersangkutan, dan dapat dibagi
sebagai berikut (TPPG PAPDI, 1993).

1. Tingkat sederhana, hanya menyediakan layanan poliklinik lanjut usia. Jenis kegiatan
yang dapat dilakukan berupa pengkajian, konsultasi, pemeriksaan, penyuluhan, dan
supervisi ke puskesmas. Bentuk fasilitas pelayanannya berupa poliklinik, sedangkan
sumber daya manusia yang diperlukan adalah internist-geriatrist, perawat geriatri, ahli
gizi, dan pekerja sosio-medik.

2. Tingkat sedang, dimana layanan yang diberikan selain poliklinik juga klinik siang
terpadu (day-hospital). Pelayanan sedang merupakan gabungan antara pelayanan tingkat
sederhana yang ditambah terapi fisik, terapi okupasi, terapi bicara, rekreasi dan
pemeriksaan maupun perawatan gigi-mulut sederhana. Adapun bentuk fasilitas
pelayanannya berupa poliklinik dan ‘Day Hospital’. Dengan demikian sumber daya
manusia yang diperlukan disesuaikan dengan jenis pelayanan tersebut.

3. Tingkat lengkap, sama seperti layanan pada tingkat sederhana ditambah dengan
pengadaan bangsal lanjut usia dengan penyakit akut.

4. Tingkat paripurna, dimana diberikan semua jenis layanan yang ada pada tingkat lengkap
ditambah dengan adanya bangsal lanjut usia dengan penyakit kronis.

Pada semua tingkatan, pengadaan upaya pendidikan dan pelatihan merupakan suatu
keharusan.
Pertimbangan Terapi Geriatri

emberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena
beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat
yang merugikan (Anonim, 2004).

Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang
pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang
sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian
ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan
infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain
itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif,
keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia
memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).

KONSEP DASAR PEMAKAIAN OBAT

Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat

· Diagnosis dan patofisiologi penyakit

· Kondisi organ tubuh

· Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)

Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang
dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan
diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan
sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum
penggunaan obat pada usia lanjut :
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang
tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya

2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak
berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya

3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan
pada orang dewasa yang masih muda.

4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah.

5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien

6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak
diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

FARMAKOKINETIK

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi
obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan
curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh
karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada
beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).

Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan
ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan
protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk
organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak
dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan
albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi
pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan
meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat
efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan
ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut
dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh
ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake)
oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan
pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga
kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan
propanolol.

Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan
dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan
kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi
ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi
glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang
secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus
(Bustami, 2001).

INTERAKSI FARMAKOKINETIK

1. Fungsi Ginjal

Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan
menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar
kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi
dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan
kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja
panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih
kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai
waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak
di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah
digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug
(Darmansjah, 1994).

Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan
nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya
aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut
juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.

Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat
yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini
juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.

2. Fungsi Hati

Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan fungsinya
tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan
karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak
mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas
hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT
juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran
umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat
dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon,
prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk
dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme
oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat
tertentu.

First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting
secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan
melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan
melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat
mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam
plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis
yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi
langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami
first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.

Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak
oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti
aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek
samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1%
merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini
dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh
protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik
mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai
antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin
yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak
berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat
membahayakan penderita (Boestami, 2001)

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara
keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang
berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses
biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma
bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya
akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi
homeostatis melemah (Boedi, 2006)

INTERAKSI FARMAKODINAMIK

Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan
target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan
kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin
menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis
“normal” dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif
seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang
terlalu besar) pada lansia.

Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga
obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga
menyebabkannya (Darmansjah, 1994)

Anda mungkin juga menyukai