Anda di halaman 1dari 30

Perspektif Keperawatan: Konsep Keperawatan Palliatif

“Semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita, terutama yang tak mungkin
disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud antara lain menghilangkan nyeri dan keluhan lain, serta
mengupayakan perbaikan dalam aspek psikologis, sosial dan spiritual”

Perspektif dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Jadi perspekif
merupakan penilaian seseorang mengenai suatu fenomena yang terjadi.

Keperawatan adalah: upaya pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic dan


professional, holistik berdasarkan ilmu dan kiat, standart pelayanan dengan berpegang teguh
kepada kode etik yang melandasi perawat professional secara mandiri atau melalui upaya
kolaborasi.

Perspektif keperawatan sangat penting karena menyediakan kerangka kerja di mana pasien dan
keluarga diperlakukan dengan martabat dan rasa hormat. Klarifikasi dari alasan di balik keputusan
untuk berpartisipasi — apakah fisik, psikologis, sosial, atau spiritual – harus didorong.

Perawat praktik lanjutan seperti spesialis perawat klinis dan praktisi perawat, dapat menjadi faktor
penting dalam pelaksanaan uji klinis.

Keahlian dalam manajemen gejala dan pemecahan masalah klinis. Misalnya, praktisi perawat bekerja
dalam pengaturan percobaan klinis memiliki ruang lingkup yang diperluas latihan dan
memungkinkan mereka untuk melakukan tindak lanjut fisik secara rutin melakukan pemeriksaan
serta mendiagnosis dan mengelola perawatan komplikasi.

Tingkat partisipasi pada pasien dan perawatan keluarga dapat meningkatkan kepuasan pasien,
kepatuhan, dan retensi. Rencana perawatan terkoordinasi yang melibatkan kualitas paliatif care.

Tujuan utama perawatan palliatif bukan untuk menyembuhkan penyakit dan yang ditangani bukan
hanya penderita, tetapi juga keluarganya.

Dulu perawatan ini hanya diberikan kepada pasien kanker yang secara medis sudah tidak dapat
disembuhkan lagi, tetapi kini diberikan pada semua stadium kanker, bahkan juga pada penderita
penyakit-penyakit lain yang mengancam kehidupan seperti HIV/AIDS dan berbagai kelainan yang
bersifat kronis.

Palliative Care (WHO, 2014) :

• Membebaskan nyeri dan gejala distress lain


• Menerima kehidupan dan menunjukkan bahwa kematian merupakan proses normal
• Tidak mempercepat atau menunda kematian
• Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual dalam asuhan pasien
• Memberikan support system untuk membantu pasien seaktif mungkin sampai meninggal
• Memberikan support system untuk membantu keluarga menghadapi pasien sakit dan
berduka
• Menggunakan pendekatan tim dalam memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga, termasuk
konseling berduka, bila dibutuhkan
• Meningkatkan kualitas hidup yang mungkin mempengaruhi penyakit secara positif

Memberikan perawatan dan layanan yang mendukung pasien secara optimal dan keluarga di tahun-
tahun terakhir kehidupan, pertama-tama orang harus mengerti pengalaman penyakit dan
dampaknya pada pasien dan keluarga.
Pengalaman penyakit, pengasuhan, kematian dan dukacita lebih dari sekadar peristiwa fisik yang
berfokus pada penyakit dan manajemen gejala.

Etik dalam Perawatan Paliatif, Kebijakan Nasional Terkait Perawatan Paliatif

Kanker merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Kanker
cenderung meningkat dari waktu ke waktu. WHO (2012) memperkirakan tahun 2030 akan ada 26
juta orang akan menderita kanker dan 17 juta diantaranya diperkirakan akan meninggal. Di
Indonesia, prevalensi kanker tercatat 1,4 per 1000 peduduk (Riskesdas, 2013)

Program Paliatif

Program Paliatif merupakan bentuk layanan kesehatan yang perlu terus dikembangkan, sehingga
penatalaksanaan pasien kanker menjadi efektif dan efisien. Buku ini diharapkan mampu
memberikan pengertian tentang prinsip Program Paliatif dan sistem yang berlaku dalam
menjalankan program tersebut.

Visi dan Misi Program Paliatif

• Visi: Mencapai kualitas hidup dan kenyamanan bagi pasien kanker dan keluarganya serta agar
pasien dapat menghadapi akhir kehidupan yang bermartabat.

• Misi: Mengurangi penderitaan pasien dan memberikan dukungan kepada keluarga yang
mengalami kesulitan akibat gejala fisik, gang-guan psikologis, kesulitan sosial, dan masalah spiritual.

Tujuan Program Paliatif

• Tujuan Umum: Terselenggaranya Program Paliatif yang terintegrasi dalam tata laksana
kanker di setiap jenjang pelayanan kesehatan di Indonesia.

• Tujuan Khusus:

1. Tersosialisasinya Program Paliatif pasien kanker di semua tingkat layanan kesehatan.

2. Terintegrasinya Program Paliatif pasien kanker untuk mewujudkan pelayanan paripurna.

3. Terlaksananya sistem rujukan Program Paliatif pasien kanker.

Sasaran Program Paliatif

Sasaran program paliatif meliputi tenaga kesehatan termasuk perawat dan tenaga lain yang terlibat
termasuk relawan, dan keluarga pasien.

Ruang Lingkup Program Paliatif

1. Program Paliatif di Rumah Sakit (Rumah Sakit tipe A, B ,C, dan D)

2. Program Paliatif di masyarakat (Puskesmas, hospis, perawatan di rumah)

Landasan hukum

1. Keputusan Menteri Kesehatan RI no 604/Menkes/SK/IX/1989 tentang Pokok-Pokok


Penanggulangan Penyakit Kanker di Indonesia;

2. Undang-undang nomor 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak;


3. Undang-undang nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan;

4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/Menkes/SK/ /VIII/2003 tentang Pedoman


Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan;

5. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1479/Menkes/SK/ /X/2003 tentang Pedoman


Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
Terpadu;

6. Undang-undang nomor 29 tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran;

7. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 430/Menkes/SK/IV/ 2007 tentang Pedoman


Pengendalian Penyakit Kanker;

8. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 812/Menkes/SK/VII/ 2007 tentang Kebijakan


Perawatan Paliatif;

9. Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika;

10. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 144 tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5063);

11. Undang-undang nomor 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit;

12. Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014;

13. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 1144/ Menkes/Per/ VIII/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kese-hatan;

14. Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK 03.01/160/I/2010 tentang Rencana Strategis


Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014;

15. Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

16. Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional;

KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Kebijakan

• Program Paliatif yang efektif akan tercapai jika didukung komitmen pemangku kebijakan dengan
pendekatan kesehatan masyarakat, melalui:

1. Integrasi layanan paliatif dalam sistem kesehatan nasional.

2. Ketersediaan layanan professional serta pemberdayaan masyarakat.

3. Ketersediaan sarana dan prasarana terutama untuk pengelolaan nyeri dan gejala psikologis.

4. Aksesibilitas setiap pasien yang memerlukan program paliatif.

5. Program paliatif dilakukan mulai dari RS hingga masyarakat.

Strategi

1. Menjamin pelayanan paliatif pada institusi fasyankes.


2. Mendorong sistem pembiayaan kesehatan bagi program paliatif.

3. Menyiapkan tenaga profesional pada program paliatif.

4. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam program paliatif.

5. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran masyarakat untuk


menyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang program paliatif.

6. Menjamin aksesibilitas masyarakat terhadap program paliatif yang berkualitas melalui


peningkatan sumber daya manusia dan penguatan institusi serta standarisasi pelayanan.

ETIKA DALAM PELAYANAN PALIATIF

Etika

Etika merupakan prinsip nilai-nilai luhur yang dipegang sebagai komitmen bersama. Yaitu bahwa
setiap pasien kanker dan keluarga memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan dilibatkan dalam
pengambilan keputusan medis. Prinsip-prinsip medis yang disepakati dan perlu diketahui dalam
pelayanan paliatif maupun medis secara umum adalah:

Etika Paliatif

• Autonomy adalah Hak individu dalam membuat keputusan terhadap tindakan yang akan
dilakukan atau tidak dilakukan setelah mendapatkan informasi dari dokter serta memahami
informasi tersebut secara jelas. Pada pasien anak, autonomy tersebut diberikan pada
orangtua atau wali.
• Beneficence adalah Tindakan yang dilakukan harus memberikan manfaat bagi pasien dengan
memperhatikan kenyamanan, kemandirian, kesejahteraan pasien dan keluarga, serta sesuai
keyakinan dan kepercayaannya.
• Non-maleficence adalah Tindakan yang dilakukan harus tidak bertujuan mencederai atau
memperburuk keadaan kondisi yang ada.
• Justice adalah Memperlakukan semua pasien tanpa diskriminasi (tidak membe-dakan ras,
suku, agama, gender dan status ekonomi)

Tindakan yang telah disetujui oleh pasien dan atau keluarga harus dituangkan dalam “inform
consent” dan ditandatangani oleh pasien dan keluarga dan petugas kesehatan sebelum tindakan
dilakukan atau tidak dilakukan.

Kepatutan Terapi

• Kepatutan terapi pada pasien paliatif kanker adalah suatu pertimbangan cost benefit. Terapi
berlebihan yang bertujuan memperpanjang proses kematian secara intensif tidak memberikan
manfaat. Berarti justru menambah penderitaan pasien. Pertimbangan ini harus berdasarkan etika,
tergantung pada situasi klinis medis, paliatif, serta penilaian yang dilakukan secara seksama.

Allow Natural Death (AND)

• Suatu keputusan untuk tidak melaksanakan resusitasi pada pasien stadium terminal apabila
diindikasikan. Tidak melakukan resusitasi bukan berarti meniadakan tindakan yang diperlukan untuk
mencapai kematian yang bermartabat, misalnya pemberian cairan apabila dehidrasi menimbulkan
ketidaknyamanan pasien, pemberian obat-obat anti nyeri, pemberian oksigen apabila ditemu-kan
hipoksia pada sesak nafas, dan nutrisi yang sesuai kondisi pasien.obat lain secara simptomatis.
Menahan dan Menghentikan Terapi Medik (To Withhold and Withdraw = Curing Versus Caring)

Sesuai prinsip perawatan paliatif, tujuan terapi pada pasien stadium terminal adalah untuk mencapai
kondisi nyaman dan meninggal secara bermartabat. Sehingga terapi yang diberikan bertujuan untuk
memperpanjang proses kematian harus dihentikan dan terapi yang tidak sesuai dengan tujuan di
atas tidak mungkin diberikan.

• Pasien memiliki hak untuk mendapatkan informasi. Dalam penyampaian diagnosa dan
prognosa, diperlukan keterampilan untuk mengetahui kesiapan pasien dalam menerima
informasi sejauh yang dikehendaki pasien.
• Dalam memberikan terapi paliatif pada pasien kanker stadium terminal, kondisi pasien
dinilai berdasarkan:

 Kondisi fisiologi sistem organ

 Terapi

 Derajat kesadaran

• Pada pasien dengan kondisi terminal (mengalami kematian batang otak) yang mendapatkan
bantuan hidup ventilator, diharapkan tim medis dapat menjelaskan manfaat dan kerugian
melanjutkan penggunaan ventilator pada kondisi tersebut. Bila keluarga memilih
menghentikan ventilator, maka persetujuan tertulis (formulir inform concent) dan pelepasan
ventilator dilakukan oleh keluarga didampingi petugas medis.

Penyingkapan Informasi (Disclosure)

• Penyingkapan/penyampaian informasi merupakan pemberian informasi dari petugas


kesehatan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi medis pasien, diagnosa, dan
prognosa.
• Penyampaian tersebut diberikan dengan tiga cara:

 Informasi kepada keluarga: Keluarga (orang yang dikehendaki pasien) berhak mendapatkan
informasi, terutama bila pasien tidak mampu membuat keputusan.

 Informasi yang diberikan harus dapat membantu keluarga dalam membuat keputusan.

 Apabila terdapat perbedaan antar pasien dan keluarga dalam dalam hal pengambilan
keputusan, keputusan pasien yang harus diperhatikan.

Semoga bermanfaat

Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronik

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit kronik didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan
gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang. Berdasarkan data
WHO, prevalensi penyakit kronik di dunia mencapai 70% dari kasus yang menyebabkan kematian.
Presentase ini akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan gaya hidup, mengkonsumsi makanan tinggi lemak, kolesterol, merokok dan stress yang
tinggi. Jenis penyakit kronik yang menyebabkan kematian adalah penyakit kardiovaskuler, kanker,
penyakit paru obstruksi kronik, hipertensi dan diabetes mellitus.
Rumusan Masalah

1. Apa ynag dimaksud dengan penyait Kronis?

2. Apa penyebab dari penyakit Kronis?

3. Sifat penyakit Kronis?

4. Dampak penyakit Kronis terhadap pasien?

5. Respon klien terhadap penyakit Kronis?

6. Perilaku klien terhadap penyakit Kronis?

Tujuan Masalah

1. Menjelaskan pengertian penyakit Kronis.

2. Menjelaskan penyebab dari timbulnya penyakit kronis.

3. Menjelaskan sifat penyakit Kronis.

4. Menjelaskan dampak kronis terhadap pasien.

5. Respon klien terhadap penyakit Kronis.

6. Perilaku klien terhadap penyakit Kronis.

PEMBAHASAN

Pengertian

Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung lama sampai bertahun-
tahun, beertambah berat, menetap, dan sering kambuh (Purwarningsih & Karbina, 2009). Kondisi
kronis di definisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan
gejala, gangguan, atau pun ketidakmampuan dan membutuhkan manajemen pengobatan dan
perawatan dalam waktu yang lama. Penyakit kronis adalah penyakit yang mempunyai karakteristik
yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama,dan
sering tidak dapat di sembuhkan (Blesky, 2010).

Penyebab Penyakit Kronis

Penyakit konis dapat diderita oleh semua kalangan maupun kelompok usia, tingkat sosial, ekonomi
dan budaya. Kemajuan dalam teknologi perawatan dan farmakologi telah memperpanjang rentan
kehidupan tanpa harus menyembuhkan penyebab penyakit kronis yang mendari. Peningkatan dalam
metode skrining dan diangnosa memungkinkan deteksi dini penyakit, sementara kondisi tersebut
masih dapat diobati, dengan demikian juga meningkatkan umur panjang. Meskipun merupakan
penyakit infeksi AIDS meupakan penyakit kronis karna perkembangan dan penggunaan medikasi
baru untuk mengobati infeksi oputunistik.

Meskipun teknologi dapat menyelamatkan hidup, teknologi juga dapat mengakibatkan masalah-
masalah kronis yang hampir sama melemahkannya seperti yang di rancang untuk
menyembuhkannya. Sebagai contoh teknologi sangat meningkatkan angka bertahan hidup bayi-bayi
yang sangat premature namun pada saat yang sama teknologi tersebut juga membuat mereka
rentan terhadap komplikasi seperti ketergantungan ventilator dan kebutaan.

Sifat Penyakit Kronik

Menurut Wristht Le (1987) mengatakan bahwa pwnyakit kronik mempunyai beberapa sifat
diantaranya adalah:

Progresi : Penyakit kronik yang semakin lama semakin bertambah parah. Contoh penyakit jantung.
Menetap setelah seseorang terserang penyakit, maka penyakit tersebut akan menetap pada
individu. Contoh penyakit diabetes mellitus.

Kambuh : Penyakit kronik yang dapat hilang timbul sewaktu-waktu dengan kondisi yang sama atau
berbeda. Contoh penyakit arthiritis.

Dampak Penyakit Kronik pada Klien

Dampak yang dapat ditimbulkan dari penyakit kronik terhadap klien diantaranya (Purwaningsih dan
kartina, 2009) adalah :

a. Dampak psikologis

Dampak ini dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, yaitu:

• Klien menjadi pasif


• Tergantung
• Kekanak-kanakan
• Merasa tidak nyaman
• Bingung

• Merasa menderita

b. Dampak somatic

Dampak somatic adalah dampak yang ditimbulkan oleh tubuh karena keadaannya penyakitnya.
Keluhan penyakit sesuai dengan kedaan penyakitnya.

1. Dampak gangguan seksual.

O Merupakan akibat dari perubahan fungsi secara fisik (kerusakan organ) dan perubahan
secara psikologis (persepsi klien terhadap fungsi seksual)

2. Dampak gangguan aktivitas.

O Dampak ini akan mempengaruhi hubungan sosial sehingga hubungan sosial dapat terganggu
baik secara total maupun sebagian.

Respon Klien terhadap Penyakit Kronik

Penyakit kronik dan keadaan terminal dapat menimbulkan respon Bio-psiko-sosial-spritual ini akan
meliputi respon kehilangan. (Purwaningsih dan Kartina,2009)

1. Kehilangan Kesehatan.

O Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat berupa klien merasa takut, cemas
dan pandangan tidak realistic, aktivitas terbatas.
2. Kehilangan kemandirian.

O Respon yang ditimbulkan dari kehilngan kemandirian dapat ditujukan melalui berbagai
perilaku, bersifat kekanak-kanakan, ketergantungan.

3. Kehilangan situasi.

O Klien merasa kehilangan situasi yang dinikmati sehari-hari bersama keluarga kelompoknya.

4. Kehilangan rasa nyaman.

O Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi seperti panas, nyeri, dll.

5. Kehilangan fungsi fisik.

O Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh seperti klien dengan gagal ginjal harus
dibantu melalui hemodialisa.

6. Kehilangan fungsi mental.

O Dampak yang dapat ditimbulkan keilangan seperti klien mengalami kecemasan dan depresi,
tidakdapat berkonsentrasi dan berfikir efisien sehingga klien tidak dapat berfikir secara rasional.

7. Kehilangan Konsep diri.

O Klien dengan penyakit kronik merasa dirinya berubah mencakup bentuk dan fungsi sehingga
klien tidak dapat berfikir secara rasional (bodi image) peran serta identitasnya. Hal ini dapat akan
mempengauhi idealism diri dan harga diri rendah.

8. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga.

Perilaku Klien dengan Penyakit Kronik

Ada beberapa respon emosional yang muncul pada pasien atas penyakit kronis yang
dideritanya oleh klien atau individu (Purwaningsih & Kartina, 2009), yaitu:

• Penolakan (Denial)

 Merupakan reaksi yang umum terjadi pada penderita penyakit kronis seperti
jantung, stroke dan kanker. Atas penyakit yang dideritanya ini, pasien akan
memperlihatkan sikap seolah-olah penyakit yang diderita tidak terlalu berat
(menolak untuk mengakui bahwa penyakit yang diderita sebenarnya berat) dan
menyakini bahwa penyakit kronis ini akan segera sembuh dan hanya akan
memberi efek jangka pendek (menolak atau mengakui bahwa penyakit kronis ini
belum tentu dapat disembuhkan secara total dan menolak untuk mengakui
bahwa ada efek jangka panjang atas penyakit ini, misalnya peubahan body
image).
 • Cemas
 Setelah muncul diangnosa penyakit kronis, reaksi kecemasan merupakan
sesuatu yang umum terjadi. Beberapa pasien measa terkejut atas reaksi dan
perubahan yang terjadi pada dirinya bahkan membayangkan kematian yang
akan terjadi padanya. Bagi individu yang telah menjalani operasi jantung, rasa
nyeri yang muncul di daerah dada, akan memberikan reaksi emosional
tersendiri. Peubahan fisik yang terjadi dengan cepat akan memicu reaksi cemas
pada individu dengan penyakit kanker.
 • Depresi
 Depresi juga merupakan reaksi yang umum terjadi pada penderita penyakit
kronis. Kurang lebih sepertiga dari individu penderita strok, kanker dan penyakit
jantung mengalami depresi.
 PENUTUP

Kesimpulan

Jadi dapat di simbulkan bahwa teknologi juga mempengaruhi terhadap terjangkitnya penyakit
kronis, kenapa? Sebagai contoh teknologi juga dapat mengakibatkan masalah-masalah kronis yang
mampir sama melemahkannya seperti yang dirancang untuk menyembuhkannya. Sebagai contoh
teknologi sangat meningkatkan angka bertahan hidup bayi-bayi yang sangat premature namun pada
saat yang sama teknologi tersebut juga membuat mereka rentan terhadap komplikasi seperti
ketergantungan terhadap ventilator dan kebutaan.

Saran

Sebagai calon perawat profesional, alangkah lebih baiknya jika dalam membeikan asuhan
keperawatan menggunakan teknik-teknik komunikasi secara benar dan bijaksana sehingga
terciptalah generasi-generasi penerus yang berkualitas.

Daftar Pustaka

1. Campbell, L Margaret. (2014). Perawatan Paliatif. Jakarta :Salemba Medika.

2. Rasjidi, I. (2010). Perawatan Paliatif & bebas nyeri pada kanker. Jakarta: Sagung Seto.

Patofisiologi Penyakit Terminal

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat
sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan
kualitas hidup dari lahir sampai mati. Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien
karena peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari
bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-
spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual
( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah
menjadi ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu
unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan
terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang
konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas mulia mengantarkan
pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang
terakhir sangat menentukan, sehingga perawat dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi)
agar pasien tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun
peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting
terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati
sakaratul maut.

Menurut Hawari (1977) “orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut
lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian sehingga
pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”. Pasien
terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di samping perawat.
Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan semangat hidup klien yang
didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam
yang kekal.

B. Tujuan

1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang mendekati kematian.

2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.

3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.

4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.

C. Rumusan Masalah

1. Latar belakang permasalahan terminal pada klien.

2. Konsep materi tentang kebutuhan terminal pada klien.

3. Diagnosa keperawatan pada pasien terminal.

4. Intervensi masalah.

5. Evaluasi masalah.

PEMBAHASAN

Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan meninggal
dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan dan dambaan tersebut
tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin bertambah dan kematian
semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien
dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang
panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang ditandai
dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan akhirnya kematian.

Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan terjadi perlahan-
lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi kematian yang muncul secara
perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk berhadapan dengan ancaman
kematian. Ditengah keputusasaan, sering kali terdengar ”Kami sudah melakukan segalanya yang bisa
dilakukan”

Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis masih dapat melakukan
banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas kesempatan untuk upaya paliatif.
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik
seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami
gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala
fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative
care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terminal untuk membantu pasien menjalani sisa hidupnya dalam keadaan seoptimal
mungkin.

Konsep Materi

a) Pengertian

1. Keadaan Terminal

Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi
si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui
suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Kubler-Rosa, 1969).
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1999).

2. Kematian

Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami/menghadapinya


seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan suatu kehilangan.

b) Tahap-tahap Menjelang Ajal

Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang ajal (dying) dalam
5 tahap, yaitu:

1. Menolak/Denial

O Pada fase ini , pasien/klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan
menunjukkan reaksi menolak.

2. Marah/Anger

O Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal yang
telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.

3. Menawar/bargaining

O Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan kesan
sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.

4. Kemurungan/Depresi

O Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang sedangan
melalui masa sedihnya sebelum meninggal.

5. Menerima/Pasrah/Acceptance

O Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga tentang kondisi
yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat membantu apabila kien
dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal.
Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat.

c) Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian

Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:


1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari
fase akut ke kronik.

2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.

3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada pasien
dengan operasi radikal karena adanya kanker.

4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik
dan telah berjalan lama.

d) Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian

Kehilangan Tonus Otot, ditandai:

O Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.

O Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.

O Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut kembung,


obstipasi, dsbg.

O Penurunan control spinkter urinari dan rectal.

O Gerakan tubuh yang terbatas.

Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:

O Kemunduran dalam sensasi.

O Cyanosis pada daerah ekstermitas.

O Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.

Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital

O Nadi lambat dan lemah.

O Tekanan darah turun.

O Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur

O Gangguan Sensoria

O Penglihatan kabur

O Gangguan penciuman dan perabaan.

e) Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal

o Pupil mata melebar.

O Tidak mampu untuk bergerak.

O Kehilangan reflek.

O Nadi cepat dan kecil.

O Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.


O Tekanan darah sangat rendah.

O Mata dapat tertutup atau agak terbuka.

f) Tanda-tanda Meninggal secara klinis

Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi,
respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa
petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu:

O Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.

O Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.

O Tidak ada reflek.

O Gambaran mendatar pada EKG.

g) Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap Kematian.

Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type:

a. Closed Awareness/Tidak Mengerti

Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang diagnosa dan
prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat menyulitkan karena
kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal
dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dsbg.

b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.

Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu yang
bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.

c. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka

Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang menjelang
dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini memberikan
kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi
tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.

h) Bantuan yang dapat Diberikan

Bantuan Emosional

1. Pada Fase Denial

O Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara mananyakan
tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan perasaan-perasaannya.

2. Pada Fase Marah

O Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang marah.
Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal yang normal dalam
merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan
kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima
kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan
rasa aman.

3. Pada Fase Menawar

O Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong pasien untuk
dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.

4. Pada Fase Depresi

O Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh
pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan tenang
disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga menumbuhkan rasa
aman bagi pasien.

5. Pada Fase Penerimaan

O Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-
temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan
seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas
kemampuannya.

Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

1. Kebersihan Diri

O Kebersihan dilibatkan unjtuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas kemampuannya


dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan.

2. Mengontrol Rasa Sakit

O Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit terminal,
seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan tingkat toleransi nyeri
yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra Vena dibandingkan melalui Intra
Muskular/Subcutan, karena kondisi system sirkulasi sudah menurun.

3. Membebaskan Jalan Nafas

O Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran sekresi
lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi klien yang tida sadar, posisi
yang baik adalah posisi sim dengan dipasang drainase dari mulut dan pemberian oksigen.

4. Bergerak

O Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti: turun dari
tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan secara periodik, jika
diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien, karena tonus otot sudah menurun.

5. Nutrisi

O Klien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat diberikan annti
ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta pemberian makanan tinggi
kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot yang berkurang, terjadi dysphagia,
perawat perlu menguji reflek menelan klien sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan
makanan cair atau Intra Vena/Invus.
6. Eliminasi

O Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi, inkontinen
urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi. Klien dengan inkontinensia
dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau dipasang duk yang diganjti setiap saat atau
dilakukan kateterisasi. Harus dijaga kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet,
harus diberikan salep.

7. Perubahan Sensori

O Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya menolak/menghadapkan


kepala kearah lampu/tempat terang. Klien masih dapat mendengar, tetapi tidak dapat/mampu
merespon, perawat dan keluarga harus bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.

Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial

Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan kontak
sosialnya, perawat dapat melakukan:

• Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien dan
didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota keluarga lain.
• Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
• Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-teman
terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk membersihkan diri dan merapikan diri.
• Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang lain dan
membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu membacanya.

Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual

• Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana klien


selanjutnya menjelang kematian.
• Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi
kebutuhan spiritual.
• Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Dini:

O Pernafasan terhenti , penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi)

O Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

O Kulit pucat

O Tonus otot menghilang dan relaksasi

O Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian

O Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang dengan


penyiraman air)

2. Lanjut (Tanda pasti kematian)

O Lebam mayat (livor mortis)


O Kaku mayat (rigor mortis)

O Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

O Pembusukan (dekomposisi)

O Adiposera (lilin mayat)

O Mumifikasi

Gejala dan masalah yang sering dijumpai pada berbagai sistem organ

• Sistem Gastrointestinal : Anorexia, konstipasi, mulut kering dan bau, kandidiasis dan
sariawan mulut.
• Sistem Genitourinaria : Inkontinensia urin
• Sistem Integumen : Kulit kering/pecah-pecah, dekubitus
• Sistem Neurologis : Kejang
• Perubahan Status Mental : Kecemasan, halusinasi, depresi

Pengkajian

Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk dapat
menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa
bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai.

Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat
fase, yaitu :

1. Fase Prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.

2. Fase Akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan,
termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.

3. Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya.

4. Fase Terminal, dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi pasti
terjadi.

Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis, maupun social-
spiritual. Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain:

• Problem Oksigenisasi ; respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes,
sirkulasi perifer menurun, perubahan mental; agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, nadi ireguler.
• Problem Eliminasi; Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambatØ peristaltic, kurang
diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal bisa
terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit(mis Ca Colon), retensi urin,
inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit mis trauma
medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis
gagal ginjal.
• Problem Nutrisi dan Cairan; asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
• Problem suhu; ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
• Problem Sensori ; Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun. Penglihatan kabur,pendengaran berkurang, sensasi
menurun.
• Problem nyeri ; ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena, klien
harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.
• Problem Kulit dan Mobilitas ; seringkali tirah baring lama menimbulkanvmasalah pada kulit
sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
• Masalah Psikologis ; klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon
emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang
muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu
lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi /
barrier komunikasi.
• Perubahan Sosial-Spiritual ; klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi
terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai
kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai
jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang
dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan,
ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup

Faktor-Faktor yang perlu dikaji

1. Faktor Fisik

Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai masalah pada fisik. Gejala
fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan,
eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri. Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik
yang terjadi pada klien, klien mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum
terjadi kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal
karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien dalam
pemeliharaan diri.

2. Faktor Psikologis

Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus peka dan
mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa mengenali ekspresi wajah yang
ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah. Problem psikologis lain yang muncul pada pasien
terminal antara lain ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali
tahap-tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.

3. Faktor Sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena pada kondisi ini
pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin berkomunikasi, dan sering bertanya
tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku
isolasi. Perawat harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan
dukungan sosial bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.

4. Faktor Spiritual

Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian, bagaimana sikap pasien
menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin
berontak akan keadaannya. Perawat juga harus mengetahui disaat- saat seperti ini apakah pasien
mengharapkan kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.

Konsep dan Prinsip Etika, Norma, Budaya dalam Pengkajian Pasien Terminal

Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural/budaya yang mempengaruhi reaksi klien
menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi individu dan keluarga mengekspresikan
berduka dan menghadapi kematian/menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap
kondisi pasien terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus
dihindari. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat harus
mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Perawat harus sensitive
terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual
klien menjelang kematian dapat terpenuhi.

Diagnosa Keperawatan

1. Ansietas/ ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang
tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif
pada pada gaya hidup.

2. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.

3. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,takut


akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres ( tempat perawatan )

4. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system
pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam menghadapi ancaman
kematian.

Intervensi

Diagnosa I

1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :

O Berikan kepastian dan kenyamanan.

O Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari pertanyaan.

O Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang berhubungan


dengan pengobtannya.

O Identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Klien yang cemas mempunbyai
penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas cendrung
untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran peningkatan ansietas tegang,
emosional dan nyeri fisik.

2. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau sedang Beberapa
rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat dihilangkan denga memberikan
informasi akurat. Klien dengan ansietas berat atauparah tidak menyerap pelajaran.

3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka Pengungkapan


memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan untuk memperbaiki konsep yang
tidak benar.
4. Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif Menghargai klien untuk
koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan datang.

Diagnosa II

1. Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan, didiskusikan


kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah
reaksi yang umum dan sehat Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan
bahwa kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan,
marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapat
membantu klien dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan respon mereka terhdap
situasi tersebut.

2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang memberikan
keberhasilan pada masa lalu Stategi koping fositif membantu penerimaan dan pemecahan masalah.

3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif Memfokuskan
pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan penerimaan kematian yang terjadi.

4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai
kematian yang akan terjadi di terima.

5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak nyamanan


dan dukungan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai tindakan
keperawatan berikut :

 Membantu berdandan

 Mendukung fungsi kemandirian

 Memberikan obat nyeri saat diperlukandan

 meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 )

Diagnosa III

1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan pengertian yang
empati Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian dan peduli dapat membantu
mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran.

2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan, ketakutan dan
kekawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk mengintifikasi ketakutan dan
kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk mengatasinya.

3. Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU. Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas
yang berkaitan dengan ketidak takutan.

4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan berikan
informasi spesifik tentang kemajuan klien.

5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan Kunjungan
dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya Keluarga
denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak berhasil atau konflik yang
tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk membantu mempertahankankan fungsi
keluarga

Diagnosa IV

1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual keagamaan atau
spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesemptan pada klien untuk melakukannya Bagi klien
yang mendapatkan nilai tinggi pada do,a atau praktek spiritual lainnya , praktek ini dapat
memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi sumber kenyamanan dan kekuatan.

2. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan praktik
religius atau spiritual klien Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu mengurangi kesulitan
klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.

3. Berikan prifasi dan ketenangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan refresi dan
perenungan.

4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdo,a bersama klien lainnya atau membaca buku
ke agamaan Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau keyakinan yang sama dengan klien
dapat membantu klien memenuhi kebutuhan spritualnya.

5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit untuk
mengatur kunjungan. Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( kapel dan injil RS ) Tindakan ini dapat
membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan mempraktikkan ritual yang penting ( Carson
1989 )

Evaluasi

1. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya pada perawat.

2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.

3. Klien selalu ingat kepada Allah dan selalu bertawakkal.

4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa akan kembali kepadanya

PENUTUP

Kesimpulan

Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit yang tidak
mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian. Respon klien
dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis, social yang dialami,
sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat
kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal. Orang yang telah lama hidup sendiri,
terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang
yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan,
kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
DAFTAR PUSTAKA

• Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills. Basic to
Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.
• Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
• Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice, Ethics and Values.
California : Addison Wesley

Pengkajian Fisik dan Psikologis

Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawatan paliatif meliputi
masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah
pada aspek spiritual (Campbell, 2013).

Masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif

Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima perawatan paliatif dilihat dari persepktif
keperawatan meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan
keluarga serta masalah pada aspek spiritual atau keagamaan (Campbell, 2013).

• Masalah Fisik

 Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien paliatif yaitu
nyeri
 • Masalah Psikologi
 Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan.
 NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau
kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang disebabkan
olehantisipasi terhadap bahaya.

Proses Keperawatan

1. Pengkajian

2. Diagnosa

3. Perencanaan

4. Implementasi

5. Evaluasi

Tinjauan Agama tentang Perawatan Paliatif

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan
cara meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan
penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health
Organization (WHO), 2016). Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam
perawatan paliatif seperti penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%, kanker 34%, penyakit
pernapasan kronis 10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes 4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas
40-60%. Pada tahun 2011 terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang
membutuhkan perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliatif berada
pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59 tahun) 25%, pada
usia 0-14 tahun yaitu 6% (Baxter, et al., 2014).

Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu Benua Pasifik Barat 29%,
diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22% (WHO,2014). Benua Asia terdiri dari Asia Barat,
Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu negara
yang termasuk dalam benua Asia Tenggara dengan kata lain bahwa Indonesia termasuk dalam
Negara yang membutuhkan perawatan paliatif.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), prevalensi tumor/kanker di Indonesia
adalah 1.4 per 1000 penduduk, atau sekitar 330.000 orang, diabete melitus 2.1%, jantung koroner
(PJK) dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3.6%.
Kementrian kesehatan (KEMENKES, 2016) mengatakan kasus HIV sekitar 30.935, kasus TB
sekitar330.910.

Kasus stroke sekitar 1.236.825 dan “883.447 kasus penyakit jantung dan penyakit diabetes sekitar
1,5% (KEMENKES, 2014). Pelayanan perawatan paliatif memerlukan keterampilan dalam mengelola
komplikasi penyakit dan pengobatan, mengelola rasa sakit dan gejala lain, memberikan perawatan
psikososial bagi pasien dan keluarga, dan merawat saat sekarat dan berduka (Matzo & Sherman,
2015). Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau sudah tidak dapat
disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016).

Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan psikososial, emosional,
dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah
sakit atau tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan
penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan tim multidisiplin untuk
mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga mereka (Canadian Cancer Society, 2016). Selain itu Matzo
& Sherman (2015) juga menyatakan bahwa kebutuhan pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau
pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi, sosial dan
spiritual yang dilakukan dengan pendekatan yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Ramdani
(2015) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan beribadah, rasa nyaman,
motivasi dan kasihsayang tehadap sesama maupun sang penciptanya. Spiritual bertujuan untuk
memberikan pertanyaan mengenai tujuan akhir tentang keyakinan dan kepercayaan pasien
(Margaret & Sanchia, 2016). Spiritual merupakan bagian penting dalam perawatan, ruang lingkup
dari pemberian dukungan spiritual adalah meliputi kejiwaan, kerohanian dan juga keagamaan. Pada
perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus di hindari tetapi
kematian merupakan suatu hal yang harus dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal
setiap yang bernyawa (Nurwijaya dkk, 2010)

Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita kankerterutama
yang tidak mungkin desembuhkan tetapi juga pada penderita yang mempunyaiharapan untuk
sembuh bersama-sama dengan tindakan kuratif (Menghilangkan nyeri dankeluhan lain serta
perbaikan dalam bidang psikologis, sosial dan spiritual).
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang
dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya,
termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup. Dimensi dari kualitas
hidup yaitu gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi
sosial, kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan), orientasi masa depan,
kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri, fungsi dalam bekerja.

Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Palliative home care adalah pelayanan perawatan
paliatif yang dilakukan di rumah pasien, oleh tenaga paliatif dan atau keluarga atas bimbingan/
pengawasan tenaga paliatif. Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal
yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah
sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan pelayaan
untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.

Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Sarana (fasilitas) kesehatan adalah tempat yang
menyediakan layanan kesehatan secara medis bagi masyarakat. Kompeten adalah keadaan
kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampu menerima dan memahami informasi
yang diperlukan dan mampu membuat keputusan secara rasional berdasarkan informasi tersebut
(KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan lagi bahwa pelayanan paliatif berpijak
pada pola dasar berikut ini :

1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai prosesyang normal.

2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.

3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.

4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.

5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.

6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Palliative Care adalah pendekatan yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini,
pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis,
sosial atau spiritual.Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia
sudah siap secara psikologis dan spiritual, secara tidak stress menghadapi penyakit yang dideritanya.

Sprititualitas

1. Definisi Spiritualitas

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta,
sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa.
Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhan dengan melakukan ibadah
sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Spiritualitas merupakan aspek kepribadian manusia
yang memberikan kekuatan dan mempengaruhi individu dalam menjalani hidupnya. Spiritualitas
mencakup aspek non fisik dari keberadaan seorang manusia.
Spiritualitas sebagai suatu multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan dimensi agama.
Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih
berfokus lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan. Spiritualitas merupakan suatu
konsep dua dimensi yaitu dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertical merupakan
hubungan individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan
dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Spiritualitas merupakan suatu dimensi yang berhubungan dengan menemukan arti kehidupan dan
tujuan hidup, menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,
mempunyai perasaan yang berkaitan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Spiritual
merupakan kekuatan yang menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan nilai-nilai individu,
persepsi, kepercayaan dan keterikatan di antara individu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah kebutuhan dasar manusia yang
berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan untuk menemukan arti
kehidupan dan tujuan hidup agar mendapatkan kekuatan, kedamaian, dan rasa optimis dalam
menjalankan kehidupan.

2. Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup para individu. Spiritualitas berperan
sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat stress individu akan mencari
dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit
yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan
hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan
lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupaka suatu perlindungan bagi
individu.

Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan sumber koping bagi individu.
Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya,
mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi lebih
berarti. Pemenuhan kebutuhan spiritual yang dilakukan perawat dapat membuat pasien menerima
kondisinya atau penyakit yang sedang dialami serta pasien memiliki pandangan hidup yang positif.
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat memberikan semangat pada individu dalam menjalani
kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Jika spiritualitas
terpenuhi, maka individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan bimbingan dalam perjalanan
hidup. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada seseorang dapat meningkatkan kepercayaan,
kekuatan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang. Spiritualitas dapat mengurangi kecemasan pasien,
membuat pasien menerima kondisinya, dan meningkatkan rasa optimis pada pasien.

Adanya rasa optimis, dukungan, dan motivasi dapat meningkatkan rasa optimis pada pasien. Adanya
rasa optimis, dukungan, dan motivasi dapat meningkatkan proses penyembuhan yang dialami
pasien.

3. Karakteristik Spiritualitas
• Hubungan dengan diri sendiri.
• Hubungan dengan orang lain/sesama.
• Hubungan dengan alam.

• Hubungan dengan sang pencipta.

4. Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas


Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang diantaranya adalah:

• Tahap Perkembangan, dimulai dari masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa awal, masa
dewasa tengah, dan masa lansia.
• Keluarga.
• Budaya.
• Agama.
• Pengalaman hidup.
• Krisi dan perubahan.
• Terpisah dari ikatan spiritual.
• Isu moral terkait dengan terapi.
• Asuhan keperawatan yang kurang sesuai.

Spiritual Care

1. Definisi Spiritual Care

Spiritual care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien untuk
memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Spiritual care adalah kegiatan dalam keperawatan untuk
membantu pasien yang dilakukan melalui sikap dan tindakan praktek keperawatan berdasarkan
nilai-nilai keperawatan spiritual yaitu mengakui martabat manusia, kebaikan, belas kasih,
ketenangan dan kelemahlembutan. Spiritual care merupakan aspek perawatan yang integral dan
fundamental dimana perawat menunjukkan kepedulian kepada pasien (Meehan T). Spiritual care
berfokus pada menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan
penuh perhatian dan memberikan kekuatan pada pasien dalam menghadapi penyakitnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritual care adalah praktek dan prosedur keperawatan
yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien berdasarkan nilai-nilai
keperawatan spiritual yang berfokus pada menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik,
mendengar dengan penuh perhatian, memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
kebutuhan pasien, memberikan kekuatan pada pasien dan memberdayakan mereka terkait dengan
penyakitnya, dan tidak mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien tentang
agamanya.

2. Peran Perawat dalam Spiritual Care

Perawat merupakan orang yang selalu hadir ketika seseorang sakit, kelahiran, dan kematian. Pada
peristiwa kehidupan tersebut kebutuhan spirituak sering menonjol, dalam hal perawat berperan
untuk “memberikan spiritual care. Perawat berperan dalam proses keperawatan yaitu melakukan
pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun rencana dan implementasi keperawatan
serta melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien, perawat juga berperan dalam komunikasi
dengan pasien, tim kesehatan lainnya dan organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga masalah etik
dalam keperawatan. Peran perawat dalam proses keperawatan terkait dengan spiritual care
dijelaskan sebagai berikut :

a. Pengkajian kebutuhan spiritual pasien

Menurut Kozier et al, pengkajian kebutuhan spiritual terdiri dari pengkajian riwayat keperawatan
dan pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat keperawatan semua pasien diberikan satu atau dua
pertanyaan misalnya ‟apakah keyakinan dan praktek spiritual penting untuk anda sekarang?”,
bagaimana perawat dapat memberikan dukungan spiritual pada anda?”. Pasien yang
memperlihatkan beberapa kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang beresiko mengalami distres
spiritualharus dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut. Kozier menyarankan pengkajian spiritual
sebaiknya dilakukan pada akhir proses pengkajian dengan alasan pada saat tersebut sudah
terbangun hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Untuk itu diharapkan perawat
meningkatkan sensitivitasnya, dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan saling percaya,
hal ini akan meningkatkan keberhasilan pengkajian spiritual pasien. Pertanyaan yang diajukan pada
pasien saat wawancara untuk mengkaji spiritual pasien antara lain : adakah praktik keagamaan yang
penting bagi anda?; dapatkah anda menceritakannya pada saya?; bagaimana situasi yang dapat
mengganggu praktik keagamaan anda?; bagaimana keyakinan anda bermanfaat bagi anda?; apakah
cara-cara itu penting untuk kebaikan anda sekarang?; dengan cara bagaimana saya dapat memberi
dukungan pada spiritual anda?; apakah anda menginginkan dikunjungi oleh pemuka agama di rumah
sakit?; apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda sekarang?; apa yang
membuat anda merasa nyaman selama masa-masa sulit ini? Pada pengkajian klinik meliputi:

1. Lingkungan

2. Perilaku

3. Verbalisasi

4. Hubungan interpersonal

b. Merumusakan Diagnosa Keperawatan

Peran perawat dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkait dengan spiritual pasien mengacu
pada distress spiritual. Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada
pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose penyakit
kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam
melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual
adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup
seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besar dari
dirinya.

Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi
seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial. Berdasarkan definisi diatas
distress spiritual memiliki ciri-ciri. Distres spiritual selanjutnya dijabarkan dengan lebih spesifik

Sebagai berikut :

1) Spiritual Pain; Spiritual pain merupakan ekspresi atau ungkapan dari ketidaknyamanan pasien
akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit terminal atau penyakit kronis mengalami
gangguan spiritual dengan mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena selama hidupnya tidak
sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan ini lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.

2) Pengasingan Diri (spiritual alienation); Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan
bahwa pasien merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan penyakit kronis
merasa frustasi sehingga bertanya : dimana Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?

3) Kecemasan (spiritual anxiety); Dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan hukuman
Tuhan, takut Tuhan tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkah lakunya. Beberapa budaya
meyakini bahwa penyakit merupakan suatu hukuman dari Tuhan karena kesalahan-kesalahan yang
dilakukan semasa hidupnya.
4) Rasa Bersalah (spiritual guilt); Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal
yang seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan hal-hal yang tidak
disukai Tuhan.

5) Marah (spiritual anger); Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam, Tuhan
kejam. Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan mengapa Tuhan mengijinkan orang yang
mereka cintai menderita.

6) Kehilangan (spiritual loss); Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari Tuhan,
takut bahwa hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan yang kosong. Kehilangan sering
diartikan dengan depresi, merasa tidak berguna dan tidak berdaya.

7) Putus Asa (spiritual despair); Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki
suatu hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum orang-orang yang beriman
sangat jarang mengalami keputusasaan.

c. Menyusun Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan membantu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam diagnosa
keperawatan. Rencana keperawatan merupakan kunci untuk memberikan kebutuhan spiritual
pasien dengan menekankan pentingnya komunikasi yang efektif antara pasien dengananggota tim
kesehatan lainnya, dengan keluarga pasien, atau orang-orang terdekat pasien. Memperhatikan
kebutuhan spiritual pasien memerlukan waktu yang banyak bagi perawat dan menjadi sebuah
tantangan bagi perawat disela-sela kegiatan rutin di ruang rawat inap, sehingga malam hari
merupakan waktu yang disarankan untuk berkomunikasi dengan pasien.

d. Implementasi Keperawatan

Membantu berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan keperawatan terkait
spiritual Islam pasien. Berdoa melibatkan rasa cinta dan keterhubungan. Pasien dapat memilih untuk
berpartisipasi secara pribadi atau secara kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama
Islam. Pada situasi ini peran perawat adalah memastikan ketenangan lingkungan dan privasi pasien
terjaga. Keadaan sakit dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk berdoa. Pada beberapa
rumah sakit pasien dapat meminta perawat untuk berdoa dengan mereka dan ada yang berdoa
dengan pasien hanya bila ada kesepakatan antara pasien dengan perawat. Karena berdoa
melibatkan perasaan yang dalam, perawat perlu menyediakan waktu bersama pasien setelah selesai
berdoa, untuk memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya. Menurut
Kozier et al, perawat perlu juga merujuk pasien kepada pemuka agama. Rujukan mungkin diperlukan
ketika perawat membuat diagnosa distres spiritual, perawat dan pemuka agama dapat bekerjasama
untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Implementasi perawat harus peduli, penuh kasih,
gembira, ramah dalam berinteraksi, dan menghargai privasi.

e. Evaluasi

Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat harus melakukan evaluasi
yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini sulit dilakukan karena dimensi
spiritual yang bersifat subjektif dan lebih kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari
implementasi yang telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik untuk mengevaluasi spiritual
care pasien.Respon spiritual pada tahun 2004 pada tahap evaluasi perawat menilai bagaimana efek
pada pasien dan keluarga pasien dimana diharapkan ada efek yang positif terhadap pasien dan
keluarganya, misalnya pasien dan keluarganya mengungkapkan bahwa kebutuhanspiritual mereka
terpenuhi, mengucapkan terimakasih karena sudah menyediakan pemuka agama.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Pemberian Kebutuhan Spiritual

Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam memberikan kebutuhan spiritual kepada
pasien, yaitu :

• Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi; Komunikasi yang tidak efektif dapat


mengakibatkan pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan spiritualnya.
• Ambigu; Ambigu terjadi ketika adanya perbedaan keyakinan antara perawat dengan pasien.
Perawat akan merasa kebingungan, takut salah, dan menganggap spiritual terlalu sensitive
dan merupakan hak pribadi pasien.
• Kurangnya pengetahuan tentang spiritual care; Pengetahuan perawat tentang spiritual care
juga mempengaruhi perawat dalam memberikan kebutuhan spiritual pasien. Jika perawat
percaya bahwa pemberian spiritual care adalah ibadah maka persepsi ini akan secara
langsung akan memberikan kebutuhan spirual kepada pasien. Spiritual perawat itu sendiri
mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku, bagaimana menangani pasien, dan
bagaimana berkomunikasi dengan pasien pada saat perawat memberikan spiritual care.
• Hal yang bersifat pribadi; Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat
pribadi, sehingga sulit untuk ditangani perawat.
• Takut melakukan kesalahan; Adanya perasaan takut jika apa yang dilakukan adalah hal yang
salah, dalam situasi yang sulit hal ini dapat mengakibatkan penolakan dari pasien.
• Organisasi dan manajemen; Jika profesi perawat memberikan perawatan spiritual yang
efektif maka manajemen harus bertanggungjawab dan mendukung pemberian spiritual care.
• Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu, masalah pendidikan;
Perawat mengungkapkan bahwa mereka kurang percaya diri dalam memberikan spiritual
care karena kurangnya wawasan dan pengetahuan.
• Gender; Perawat wanita lebih berempati terhadap perasaan orang lain, penyayang, cepat
merasa iba, dan menghibur orang lain.
• Pengalaman kerja; Perawat yang berpengalaman lebih dari 3 tahun memiliki kepercayaan
yang tinggi tentang spiritual care daripada perawat yang memiliki pengalaman kurang dari 3
tahun.

Tinjauan Sosial dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif

Latar Belakang

Perawatan Paliatif merupakan semua tindakan aktif guna meringankan beban pasien terutama yang
tidak dapat disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud ialah antara lain menghilangkan nyeri dan
keluhan lain,serta perbaikan dalam bidang psikologis, sosial dan spiritual. Perawatan ini tidak saja
diberikan kepada pasien yang tidak dapat disembuhkan tetapi juga pasien yang mempunyai harapan
untuk sembuh bersama-sama dengan tindakan kuratif (Departemen Kesehatan [Depkes] RI, 1997).

Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang mengenai
masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan ataukultur dapat membentuk kebiasaan dan respons
terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya.
Karenaitulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikankesehatan, tapi juga
membuat mereka mengerti tentang proses terjadinyasuatu penyakit dan bagaimana meluruskan
keyakinan atau budaya yangdianut hubungannya dengan kesehatan.Pengaruh kebudayaan juga
sangat berperan penting dalam kesehatanmasyarakat. Tanpa disadari kebudayaan telah
menanamkan garis pengaruhsikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikapanggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu
masyarakat. Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat
kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar
perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentukdari tiga factor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,


kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dansebagainya

2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalamlingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitasfasilitas atausarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,
air bersih dan sebagainya

3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikapdan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat terhadap
tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat dipengaruhi oleh
budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut.

Sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan pikiran dan budinya
dalam kehidupan bermasyarakat. Sosial budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata
nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut.
Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat, karena
kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu individu masyarakat.

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah melekat dalam
kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib. Sehingga
usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari
kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan
benda hasil karya manusia.

7.2. Pendekatan, Pengkajian Sosial dan Budaya

Keluarga adalah unit perawatan. Ketika menilai pasien dengan penyakit yang membatasi hidup,
penting untuk mengeksplorasi kekhawatiran mereka sehubungan dengan rumah, keluarga dan
komunitas mereka, dan untuk mengidentifikasi risiko dalam kaitannya dengan otonomi dan fungsi
sosial mereka.

Pendekatan

Pengkajian sosial mencari pemahaman tentang pengalaman kehidupan individu dengan


memperhatikannya:

• Latar Belakang,
• Dukungan keluarga,
• Dukungan emosional dan sosial,
• Perhatian praktis.
Dukungan Keluarga

Anjuran yang Disarankan – Undang diskusi tentang keluarga dan hubungan:

• Siapa yang tinggal dengan mu?


• Adakah anak / tanggungan dewasa?
• Setiap kekhawatiran / kekhawatiran tentang keluarga atau hubungan pribadi

Dukungan Emosional Dan Sosial

Anjuran yang Disarankan

• Apakah Anda memiliki dukungan lain seperti : bantuan rumah, pengasuh pribadi, teman,
tetangga?
• Seberapa sering kamu melihat mereka?
• Apakah Anda membutuhkan lebih banyak dukungan?
• Apa yang akan membantu?

Perhatian praktis dan perencanaan perawatan muka

Anjuran yang Disarankan – Diskusi tentang masalah praktis:

• Bagaimana Anda mengelola?


• Ada kesulitan dalam: memobilisasi, mengelola tangga, pekerjaan rumah tangga misalnya.
Mencuci, memasak, dll?
• Setiap kekhawatiran tentang kebutuhan perawatan di masa depan, pendapatan, keuangan,
menyelesaikan urusan Anda?

• Apa keinginan orang tersebut mengenai:

O Tujuan perawatan?

O Tingkat intervensi yang dapat diterima?

O Tempat perawatan yang disukai (orang dan keluarga)?

Setelah identifikasi masalah:

• Dapatkan riwayat kekhawatiran termasuk dukungan / intervensi sebelumnya yang diterima.


• Pastikan efek masalah pada aktivitas / fungsi normal pasien.
• Pertimbangkan opsi / intervensi pengobatan.

Tindakan

Sepakati dan terapkan rencana perawatan dengan pasien dan tim multidisipliner. Tetapkan apakah
kebutuhan ini dapat dikelola oleh tim yang merawat saat ini. Jika keluarga yang kompleks dan
masalah sosial yang signifikan diidentifikasi atau diantisipasi, pertimbangkan rujukan ke Layanan
Spesialis Perawatan Paliatif.

Anda mungkin juga menyukai