Anda di halaman 1dari 8

Bagaimana Pengaruh Nilai Konfusianisme dalam Dinamika Kebijakan Politik Luar

Negeri Tiongkok?

Pendahuluan
Pada Kawasan Asia Timur, Tiongkok atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi
salah satu negara yang terkenal dengan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Hal
ini tidak terlepas dari adanya kebijakan pragmatis dalam politik luar negeri dan pemikiran
para pemimpinnya. Pada studi hubungan internasional, perubahan mengenai kebijakan luar
negeri suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh dunia perpolitikan kontemporer saja namun
juga dipengaruhi oleh kemunculan sebuah ide dan pemikiran dari para filsuf terdahulu.
Pemikiran terdahulu telah melekat pada masyarakat Tiongkok khususnya dalam berperilaku
selama ribuan tahun lamanya. Pemikiran yang digunakan saat itu adalah paham
konfusianisme yang dimana paham tersebut menekankan pada relasi dan tata cara hidup
sesama individu. Prinsip ini juga yang pada akhirnya berkembang dan masuk pada perpolitik
di Tiongkok. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana nilai konfusianisme
berperan dalam mempengaruhi politik dan kebijakan luar negeri Tiongkok yang dapat kita
lihat melalui perkembangan sejarah konfusiansime dan pemikiran tradisional pada
konfusianisme pada tiap era kepemimpinan.

Sejarah dan Nilai-Nilai Konfusianisme


Pada dinasti Han (206 - 220 SM), Konfusianisme digunakan sebagai ideologi negara
atau kekaisaran yang kemudian berkembang dari waktu ke waktu sebagai jawaban terhadap
kebutuhan politik yang berubah dari para penganutnya.1 Konfusiansime sendiri lahir dari
pemikiran Konfusius yang dikenal sebagai seorang filsuf yang mengajarkan moralitas baik
kepada pribadi perorangan maupun pemerintahan. Kemudian ajaran atau pun pesan bijak
yang disampaikannya akan dijadikan ‘way of life’ bagi beberapa masyarakat khususnya di
wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.
Selama zaman kekaisaran, orang Cina memegang teguh ajaran konfusianisme sebagai
ciri dari masyarakat beradab, sedangkan yang tidak memperhatikan ajaran konfusianisme
dianggap tidak beradab pada saat itu. Konfusiansime pada era kekaisaran sendiri memiliki
karaktertisik antara lain konservatif, hierarki, dan keteraturan. Konservatif karena saat itu

1
Kenneth Lieberthal. "Governing China: From revolution to reform 2nd ed." (2003). p. 7.
ideologi pemerintahan terkesan kaku dan bertujuan untuk memastikan ketertiban masyarakat
dan cenderung tidak progresif. Selanjutnya dikatakan hierarki karena saat itu menempatkan
hierarki dalam bidang politik dan sosial sebagai sesuatu yang bernilai, sehingga diasumsikan
bahwa dalam ranah politik warga negara tidak seharusnya setara. Tidak berarti konfusianisme
dalam konteks penguasa dan masyarakat mengabaikan unsur masyarakat begitu saja.
Konfusianisme memang memfokuskan pada penguasa karena pada posisi hierarki,
pemerintah berada di tangan penguasa. Namun rakyat dinilai memiliki dukungan yang
sangat berarti bagi sebuah pemerintahan, namun konfusius melihat rakyat sebagai obyek dan
penguasa sebagai subyek negara. Tiongkok melihat upaya yang berikan bagi rakyat adalah
cara untuk membentuk harmoni dan kedamaian. Adanya relasi antara mayoritas dan
minoritas membentuk sebuah pemahaman pada para minoritas untuk melihat perilaku dan
tindakan yang benar sesuai tiap hubungan sebagai kunci kehidupan masyarakat yang
harmonis, hal ini kemudian yang dianggap sebagai sebuah keteraturan pada era kekaisaran.
Pada era ini problematika dalam logika konfusianisme adalah menekankan aturan yang
dibentuk untuk mendeskripsikan seseorang berlaku benar atau baik, sehingga gerak
pemimpin dalam membuat terobosan tertentu akan semakin terbatas dan praktik tersebut
terkesan menekankan ortopraksi diatas ortodoksi.2 Kehadiran simbolisasi keharmonisan
melalui pertalian saudara dan fungsi sosial pada konfusianisme membuktikan adanya status
quo pada sosial dan politik yang harus terjaga pada tatanan dunia Tiongkok.3
Terdapat 6 aspek yang terkandung dalam nilai-nilai konfusianisme antara lain
kebajikan, keadilan, tata aturan, kepercayaan, berbakti dan keberanian.4 Pertama, konfusius
menyatakan pada nilai kebajikan bahwa kita menyukai seseorang yang melakukan kebajikan
sedangkan bagi orang yang melakukan kejahatan pasti akan dibenci, kedua sifat tersebut bisa
dirasakan jika kita memiliki hati yang baik. Kedua, konfusius menyatakan pada nilai keadilan
bahwa jika kita memiliki keberanian maka kita akan melakukan sebuah kewajiban, tetapi jika
kita tidak memiliki keberanian maka kita tidak akan melakukan kewajiban tersebut. Ketiga,
pada nilai tata aturan, konfusius mengatakan bahwa kita harus memiliki sikap hormat dan taat
yang sesuai dengan tata aturan agar tidak dipermalukan. Keempat, pada nilai kepercayaan,
konfusius menyatakan bahwa kepercayaan sangat penting, jangan sampai mengingkari janji

2
Ibid., p.8.
3
Andy Hallang Lewa. "Pola Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina." LITE: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Budaya 3, no. 2 (2007): p.68.
4
Stefhani Felina, Olivia Olivia, and Shan Hua Chao. "Xiao Yan Zi dan Nilai Konfusianisme yang Dimiliki yang
Terdapat dalam Novel Putri Huan Zhu《 还珠格格》 中小燕子与其儒家思想观念." Century: Journal of
Chinese Language, Literature and Culture 1, no. 2 (2013): 61-69.
karena akan mempermalukan diri sendiri. Kelima, konfusius menyatakan pada nilai berbakti,
seseorang harus memiliki sikap berbakti, seperti halnya hubungan anak dan orang tua, jika
terjadi sebuah kesalahan entah anak atau pun orang tua harus memberi tahu dengan lembut
dan sopan. Terakhir, konfusius mengatakan pada nilai keberanian seseorang tidak akan
pernah merasa takut ketika ia memiliki keberanian.
Konfusianisme pada era kebudayaan modern tepatnya setelah runtuhnya era
kekaisaran Tiongkok, mendapat penolakan dari para ahli. Dalam konteks politik, para ahli
Tiongkok melihat konfusianisme untuk membuat para pejabat politik menegakkan prinsip
dan etika dalam dunia politik. Kepercayaan atas konfusiansime telah hilang bersamaan
dengan kepercayaan terhadap kekaisaran yang runtuh. Konfusianisme dianggap tidak berhasil
dalam membangun peradaban Tiongkok, sehingga pada masa pemerintahan RRT
konfusianisme mengalami penolakan. Meskipun mendapat penolakan, Konfusianisme masih
dapat dilihat melalui konfusianis yang mengacu pada tingkat personal, patriarkat, birokrat
dan nasional.5 Pada tingkatan personal, konfusianisme dilihat sebagai salah satu cara untuk
pengolahan diri dibandingkan sebagai sebuah ideologi negara. Pada tingkat partriarkat,
konfusianisme bukan merupakan hal yang krusial karena terjadi perubahan pada masyarakat
dan sistem kekerabatan Tiongkok. Perubahan ke arah modern dinilai sulit untuk
mempertahankan sistem kekerabatan tradisional karena saat ini telah terjadi emansipasi pada
struktur sosial yang kemudian menyebabkan konfusianisme tidak dianggap penting pada
tingkatan ini. Pada tingkat birokrat, masih terdapat peran konfusianisme dalam melakukan
pemilihan yang ditetapkan oleh standar integritas tertentu. Dalam pelayanan publik, ide
konfusianisme memiliki peran mengenai aturan dan keselarasan sosial. Selanjutnya pada
tingkat negara, Konfusianise dapat dikatakan tidak lagi berperan karena pada saat ini
Konfusianisme bukan satu-satunya ideologi yang digunakan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa konfusianisme di Tiongkok masih memiliki peran pada tingkat personal dan birokrat
saja. Namun perlu diingat bahwa nilai konfusianisme ini tidak dapat dihilangkan begitu saja
dalam era modern Tiongkok karena nilai tersebut telah diwariskan melalui berbagai macam
doktrin dan sistem birokrasi. Konfusianisme menekankan pada tanggung jawab moral dan
pemahaman tentang kehidupan yang akan datang.
Kebijakan Luar Negeri Tiongkok
Pada masa pemerintahan Mao Zedong, Tiongkok menutup diri dari dunia luar dan
memfokuskan diri pada lingkup domestik. Mao Zedong yang memerintah RRT pada tahun
5
Dewi Hartati. "Konfusianisme dalam Kebudayaan Cina Modern." Paradigma: Jurnal Kajian Budaya 2, no. 2
(2016): p.178.
1949 tersebut membentuk sebuah gagasan yaitu Great Leap Forward yang menekankan
rakyat untuk mengembangkan pertanian dan industri seperti baja dan listrik secara massal.
Namun kemudian gagasan mengenai Great Leap Forward ini tidak membawa hasil yang
memuaskan karena menurunnya kesejahteraan rakyat seperti kelaparan akibat bencana
perekonomian. Sama halnya dengan gagasan sebelumnya, gagasan mengenai revolusi
kebudayaan yang digaungkan oleh Mao Zedong pun tidak dapat terealisasi karena dianggap
sebagai pemecah belah terhadap kesatuan bangsa dan negara.
Pada masa pemerintahan selanjutnya yaitu Deng Xiaoping, melihat bahwa perlu
diadakannya perubahan ekonomi karena saat itu kondisi perekonomian Tiongkok
memprihatinkan. Oleh karenanya Deng Xiaoping sebagai pemimpin yang dikenal pragmatis,
memberikan transformasi pada pola kebijakan pembangunan nasional Tingkok dengan
memperhatikan pembangunan ekonomi Tiongkok dan membangun relasi dengan dunia
internasional. Bagi Deng Xiaoping, menutup diri dari dunia internasional akan
mempengaruhi perkembangan negara tersebut, seperti pada pembangunan ekonomi Tiongkok
saat mereka menutup diri yang menjadi lambat dan tidak efisien.Pada akhirnya Deng
Xiaoping membuka kebijakan yaitu Sistem Pintu Terbuka (Kaifang Zhengzi) yang menjadi
satu kebijakan politik yang mengarah pada kepentingan ekonomi, hal ini kemudia ditandai
dengan bergabungnya RRT dalam WTO. Selain itu Deng Xiaoping juga membentuk
kerjasama ekonomi melalui kebijakan Empat Modernisasi (Sige Xiandaihua) guna
memeperkuat Tiongkok modern.

Konfusianisme dalam Dinamika Kebijakan Politik Luar Negeri Tiongkok


Ketika berbicara mengenai kebijakan luar negeri Tiongkok, perlu diakui bahwa para
pemimipin Tiongkok juga mempercayai adanya perubahan pada pandangan dunia Tiongkok
yang dibentuk oleh nilai konfusianisme. Kehadiran konfusianisme membuat pemimpin
Tiongkok merasa percaya diri dan mengklaim bahwa Tiongkok tidak boleh dipandang sebagi
ancaman oleh negara lain, karena pada dasarnya nilai Konfusianisme bertujuan untuk
membangun hegemoni regional.6 Falsafah politik pada pemerintahan Tiongkok sesungguhnya
diatur melalui konfusiansime dalam ranah perpolitikan saat ini. Tentunya terdapat relasi pada
historical line politik Tiongkok.
Kebijakan luar negeri Tiongkok pada arena internasional saat ini telah mengalami
perubahan. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, kebijakan luar negeri Tiongkok

6
Matej Šimalčík,. "Confucianism in Chinese foreign policy: A strategic-cultural analysis of the South China Sea
dispute." Available at SSRN 2908834 (2016).
berfokus pada tujuan untuk melestarikan kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas territorial
demi menciptakan lingkungan internasional yang menguntungkan bagi modernisasi
Tiongkok.7 Bagi Deng Xiaoping, yang terkenal lebih pragmatis dibanding Mao Zedong
melihat bahwa lebih baik untuk menggunakan kemampuan di luar domestik untuk mencapai
kepentingan domestik. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan Tiongkok kedepannya akan
berhasil dengan cara menjalin hubungan baik dengan negara-negara barat sebagai
perwujudan yang mengarah pada Tiongkok modern. Nilai penerimaan otoritas dan
kepemimpinan negara birokrasi yang diilhami oleh Konfusianisme telah berkontribusi pada
stabilitas politik dan sosial, hubungan bisnis pemerintah yang erat, serta penerimaan
bimbingan pemerintah aktif dari kegiatan bisnis dan pengembangan ekonomi dalam
masyarakat Tiongkok, yang kemudian dilihat sebagai faktor positif dalam perkembangan
ekonomi mereka di akhir abad ke-20.8
Pada masa presiden Hu Jintao, kebijakan politik luar negeri Tiongkok memiliki fokus
utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat sambil menekankan tata kelola
yang baik, meningkatkan jaring pengaman sosial, mendorong inovasi dan mengurangi
ketegangan sosial.9 Hu Jintao telah membawa terobosan baru ke Tiongkok untuk
memperdalam pengetahuan dan menjadi kekuatan ilmiah baru. Hal ini sejalan dengan salah
satu nilai konfusianisme yaitu pengetahuan dalam perumusan kebijakan luar negeri. Di era Xi
Jinping, Tiongkok masih berupaya mencapai modernisasi, menciptakan lingkungan eksternal
yang baik dan damai, serta mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan ekonomi
domestiknya dengan berpegang teguh pada pernyataan untuk mempromosikan sikap relasi
yang baik sebagai tradisi Tiongkok yang telah berlangsung lama. Selain itu, sesuai dengan
ajaran Konfusius, Xi tegas dalam menghentikan korupsi di dalam pemerintahan dan juga
mengubah citra kepemimpinan Tiongkok di dunia internasional.
Konfusianisme dapat diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri Tiongkok,
meskipun tidak menjadi sumber utama atau terpenting dari kebijakan luar negeri Tiongkok.
Seperti pada fenomena pembangunan rehabilitasi publik terhadap unsur-unsur tradisional
budaya Tiongkok, terutama Konfusianisme, telah meningkatkan citra nasional Tiongkok di
arena internasional. Ajaran konfius digunakan sebagai cara yang paling mudah dalam
menyebarkan minat pada budaya Tiongkok di lingkup Internasional. Pada tahun 2004,

7
Melisa Samaruga. "The influence of Confucianism in Chinese Foreign Policy (1971-2013)." (2013).
8
Ivan Hon. "Relationships between Confucianism and the Economic Development of Contemporary Chinese
Societies." (2019).
9
Melisa Samaruga. "The influence of Confucianism in Chinese Foreign Policy (1971-2013)." (2013).
didirikan sebuah institut bernama Confucius Institute.10 Institut tersebut dibentuk oleh
Tiongkok dengan tujuan sebagai jembatan dalam memperkuat relasi Tiongkok dengan dunia.
Confucius Institute sendiri digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan budaya, nilai
dan Bahasa Tionghoa melalui penyelenggaraan kelas budaya, sponsor pada program
pertukaran pendidikan, dan mengadakan acara publik. Ide mengenai keterlibatan peserta pada
program pertukaran pelajar adalah untuk menciptakan lingkungan Pendidikan yang
berkualitas, untuk memberikan pengalaman positif dan juga meletakkan dasar bagi relasi
kedepannya dengan penduduk dan institusi negara asing. Itu sebabnya program pertukaran
tidak hanya menekankan pada kerjasama antar negara namun juga pada relasi dengan
masyarakat. Tujuan utama yang di sini adalah bahwa Confucius Institute mampu
mempromosikan citra positif Tiongkok dengan para peserta serta menanamkan diri mereka
ke dalam institusi akademik. Tiongkok berpendapat bahwa Confucius Institute sama halnya
dengan pusat budaya dioperasikan oleh negara lain, seperti British Council dan Cervantes
Institute Spanyol. Namun, pejabat Tiongkok di masa lalu mengakui bahwa Confucius
Institute merupakan bagian penting dari alat propaganda luar negeri Tiongkok.11
Problematika yang dialami oleh Confucius Institute sendiri datang dari berbagai
pihak. Mengutip dari tulisan Zhao, pada tahun 2018 tercatat bahwa terdapat kontroversi yang
timbul dari pernyataan direktur FBI yaitu Christopher Wray yang menuduh Confucius
Institue sebagai pos terdepan jaringan intelijen luar negeri Tiongkok. 12 Selain itu laporan dari
Human Rights Watch terhadap Tiongkok juga menyatakan bahwa Confucius Intstitute
merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah Tiongkok dalam memberikan dasar politik
tertentu. Pernyataan tersebut tentunya akan memberikan kekhawatiran tersendiri bagi negara-
negara mitra Tiongkok. Akibat dari adanya pernyataan bahwa Confucius Institute mencoba
menggunakan soft power untuk mempengaruhi negara-negara mitra telah membuat Sebagian
Confucius Institute ditutup di negara seperti Amerika Serikat. Hal ini dilihat bahwa ada
potensi besar bagi Tiongkok untuk mempengaruhi serta memperkuat citra positif budaya dan
soft power mereka secara keseluruhan melalui pengaruh yang dibawa oleh Confucius
Institute.

10
Quansheng Zhao,. "The influence of Confucianism on Chinese politics and foreign policy." Asian Education
and Development Studies (2018). p. 6.
11
Praktik Jakhar. “Confucius Institutes: The growth of China's controversial cultural branch.” BBC News (2019)
Retrieved October 8, 2021, From https://www.bbc.com/news/world-asia-china-49511231
12
Quansheng Zhao,. "The influence of Confucianism on Chinese politics and foreign policy." Asian Education
and Development Studies (2018). p.7.
Kesimpulan
Kebijakan politik luar negeri Tiongkok mengalami perubahan seiring dengan
perubahan mengenai keadaan dan juga kebutuhan sebuah negara saat itu. Peranan para
pemimpin dapat terlihat jelas dalam membentuk kebijakan politik luar negeri suatu negara,
selain itu adanya peranan dari pemikiran tradisional dan ideologi yang melekat pada suatu
negara juga tentunya dapat berpengaruh pada politik luar negeri. Penekanan Konfusianisme
pada struktur dan harmoni sesuai dengan narasi yang dibuat Tiongkok mengenai kebijakan
luar negeri mereka. Penciptaan soft power Tiongkok sebagai kebijakan politik luar negeri
dinilai menjadi bagian dari kebijakan negara yang bertujuan dan berjangka panjang. Oleh
karena itu, perubahan politik luar negeri Tiongkok terkait dengan transisi ke kebijakan soft
power berdasarkan postulat dan maksim Konfusianisme, sehingga dapat disimpulkan bahwa
kebijakan ini ditujukan untuk mencegah memburuknya situasi internasional dan sudah
sepenuhnya sesuai dengan posisi Konfusianisme tentang kemenangan terbaik tanpa perang.

Daftar Pustaka
Felina, S., Olivia, O., & Chao, S. H. (2013). Xiao Yan Zi dan Nilai Konfusianisme yang
Dimiliki yang Terdapat dalam Novel Putri Huan Zhu《 还珠格格》 中小燕子与其
儒家思想观念. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture, 1(2),
61-69.
Hartati, D. (2016). Konfusianisme dalam Kebudayaan Cina Modern. Paradigma: Jurnal
Kajian Budaya, 2(2), 174-179.
Hon, I. (2019). Relationships between Confucianism and the Economic Development of
Contemporary Chinese Societies
Jakhar, Praktik. (2019) “Confucius Institutes: The growth of China's controversial cultural
branch.” BBC News. Retrieved October 8, 2021, From
https://www.bbc.com/news/world-asia-china-49511231
Lewa, A. H. (2007). Pola Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina. LITE: Jurnal Bahasa,
Sastra, dan Budaya, 3(2), 67-73.
Lieberthal, K. (2003). Governing China: From revolution to reform 2nd ed.
Samaruga, M. (2013). The influence of Confucianism in Chinese Foreign Policy (1971-
2013).
Šimalčík, M. (2016). Confucianism in Chinese foreign policy: A strategic-cultural analysis of
the South China Sea dispute. Available at SSRN 2908834
Zhao, Q. (2018). The influence of Confucianism on Chinese politics and foreign
policy. Asian Education and Development Studies.

Anda mungkin juga menyukai