Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MENTORING AGAMA ISLAM

NAMA : MAULANA ACHMAD IBRAHIM


KLS : MI 13411
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul qurban. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Itikaf
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya
makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Wassalam
Penulis,

Maulana Achmad I
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qurban............................................................................. 5
B. Hukum Qurban.................................................................................. 5
C. Keutamaan Qurban............................................................................ 6
D. Waktu dan tempat qurban................................................................. 7
E. Hewan qurban.................................................................................... 8
F. Teknis penyembelihan...................................................................... 9

BAB III ANALISIS


A. Hikmah qurban.................................................................................. 10

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 11
4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba
(fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati
atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-
dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu
matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira
pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari
raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq,
Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian Qurban?
2. Bagaimana hukum Qurban?
3. Bagaimana keutamaan qurban?
4. Jelaskan teknis penyembelihan qurban!
5

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qurban
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba
(fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati
atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-
dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu
matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira
pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari
raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq,
Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

B. Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin
Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, “Qurban itu hukumnya sunnah bagi
orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim),
dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut
Imam Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah)
(Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah,
yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok ( al hajat al
asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al
kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban
(Al Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT : “Maka dirikan (kerjakan)
shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. ” (QS Al Kautsar : 2)
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi
kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
6

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad
Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah.
Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas
ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi,
“umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum ” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban,
sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba ‘alayya an
nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas
kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi
bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar,
qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i
et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi
SAW : “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah
sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari
Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri
tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak
berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan
celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’ ) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min
‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan
sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya
sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat
‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab
memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW : “Barangsiapa yang bernadzar untuk
ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. ” (lihat Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157). Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli
kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah, ” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987;
Al Jabari, 1994).

C. Keutamaan Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha.
Sabda Nabi SAW : “Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai
Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
7

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah
berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan
hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang
berqurban. Sabda Nabi SAW : “Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena
setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. .” (lihat
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)

D. Waktu dan Tempat Qurban


a. Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari
Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih
sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW : “Barangsiapa menyembelih qurban sebelum
sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri.
Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka
sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah
(ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW : “Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu
untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal
yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh.
Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur,
dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).
Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang
dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin
Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10
Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti
ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang
Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh
dunia.
b. Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha
dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian
(HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di
rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar,
yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
8

E. Hewan Qurban
a. Jenis Hewan
Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba).
Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid
Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman : “…supaya mereka menyebut nama Allah
terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS Al
Hajj : 34)
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi,
dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994). Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh
Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau ( jamus), sebab disamakan dengan sapi.
b. Jenis Kelamin
Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan,
sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan
jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987;
Abdurrahman, 1990)
c. Umur
Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba
berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun
ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).
d. Kondisi
Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau
cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan
hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al , 1978)
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
1. yang nyata-nyata buta sebelah,
2. yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
3. yang nyata-nyata pincang jalannya,
4. yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
5. yang tidak ada sebagian tanduknya,
6. yang tidak ada sebagian kupingnya,
7. yang terpotong hidungnya,
8. yang pendek ekornya (karena terpotong/putus) ,
9. yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).
9

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan
dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri ( al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan
Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990) “Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

F. Teknis Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :
1. Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi
mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa ” Robbanaa taqabbal minnaa
innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini,
sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
2. Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak
menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
3. Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.”
(Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas
Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)
4. Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu :
“Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ….” (sebut nama orang yang
berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah,
terimalah dari….) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia
seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban
menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
1. Adz Dzaabih (penyembelih) , yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang
mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),
menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak
sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).
2. Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
3. Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan,
seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan
tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum
(saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
10

BAB III
ANALISIS
A. Hikmah Kurban
1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban
Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah
qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.”
Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah
menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-
bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad
dan ibn Majah]
2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam
keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.”
[HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari
raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan
qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap
dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan
sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya
sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi
menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]
4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa
“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR.
Muslim]
5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar :
2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika
menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan
menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah
11

Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”
6. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash
Shaffat : 102 - 107]

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah
orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas
lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban
karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli
rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan
daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman : “Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang
mencapainya. ” (QS Al Hajj : 37)

\
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, Bambang. (2012). Definisi Qurban dan Hukumnya,

Anda mungkin juga menyukai