Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH LEGALITAS PRAKTIK KEFARMASIAN

PERATURAN TERKAIT INDUSTRI OBAT DAN REGISTRASI OBAT

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

Stefani Nilawati Rambu Liwa 198114118 Brigitta Amanda Maharani 208114093


Yurikoh Kuputri 198114119 Lyvia Stefani Susanto 208114106
Clodya Gabrielle Christina 208114065 Yanita Yomberlin Sinta M. B 208114107
I Gusti Ayu Dyah Sriani P. G 208114066 Nyoman Bayu Wisnu K 208114108
Ni Putu Dewi Meliani 208114082 Levani Angelica 208114113
Gabriela Widiari Puteri 208114091 Feliks Adis Yudi Prakoso 208114120

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
berkat-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Terima kasih juga kepada seluruh anggota kelompok yang telah
menumpahkan segenap jiwa dan raga untuk memberikan ide-ide dan tanggapan-
tanggapan terkait tugas ini sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi
sesuai harapan bersama. Kami juga tidak lupa untuk berterimakasih kepada Dr. apt.
Yustina Sri Hartini selaku dosen pengampu di mata kuliah Legalitas Praktik
Kefarmasian karena telah memberikan dukungan secara materi dan moral sehingga
kami dapat memenuhi tugas yang disampaikan.
Harapan kami, makalah ini dapat menambah pengetahuan kami sebagai
penyusunnya dan para pembaca. Kami juga berharap agar makalah ini dapat
memenuhi tugas yang telah diberikan. Namun terlepas dari itu, kami memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami mengharapkan saran
dan tanggapan yang bersifat membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik
lagi kedepannya.

Yogyakarta, 17 Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL MAKALAH.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I ................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 1
BAB II ................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
2.1 Peraturan PerUUan Terkait Industri Obat dan Registrasi Obat .................... 2
2.2 Kasus terkait Industri Farmasi dan Registrasi Obat ..................................... 3
2.3 Kedudukan Kasus Terhadap Peraturan PerUUan yang Berlaku ................... 5
BAB III .............................................................................................................. 12
PENUTUP.......................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 12
3.1 Saran ........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun


2018 industri obat atau yang dikenal dengan sebutan industri farmasi adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
produksi atau pemanfaatan sumber daya produksi, penyaluran obat, bahan obat, dan
fitofarmaka, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, dan/atau penelitian dan
pengembangan. Kemudian, Registrasi obat merupakan basis pengawasan pre-
market di bidang obat dengan melakukan evaluasi terhadap aspek keamanan,
khasiat, mutu, dan label serta pemenuhan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB). Sesuai dengan Permenkes 1010 tahun 2008, setiap produk obat yang
akan beredar di Indonesia harus memiliki izin edar dari Badan POM. Sedangkan,
kriteria dan tata laksana registrasi obat diatur dalam Peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 (BPOM, 2022).

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana peraturan perUUan terkait industri farmasi dan registrasi obat?


b. Apa saja kasus-kasus yang ditemukan terkait industri farmasi dan registrasi
obat?
c. Bagaimana kedudukan kasus terhadap peraturan perUUan yang berlaku?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui peraturan perUUan terkait industri farmasi dan registrasi


obat
b. Untuk mengetahui kasus-kasus yang ditemukan terkait industri farmasi dan
registrasi obat
c. Untuk mengetahui kedudukan kasus terhadap peraturan perUUan yang
berlaku

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peraturan PerUUan Terkait Industri Obat dan Registrasi Obat

1. UU

Industri Farmasi:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran


Negara Republik Indonesia

Registrasi Obat:

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia


nomor: HK.00.05.3.1950 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi
Obat

2. PP

Industri Farmasi:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian.

Registrasi Obat:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang


Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan.

3. Peraturan Menteri/Peraturan KBPOM

Industri Farmasi:

- PerKBPOM Nomor HK.04.1.33.02.12.0883 Tahun 2012 tentang


Dokumen Induk Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional

2
- PerKBPOM Nomor 32 Tahun 2018 tentang Pencabutan Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.34.03.747 Tahun 2001 tentang Persyaratan Tambahan
Izin Usaha Industri Farmasi
- Permenkes Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan
- PerKBPOM Nomor 35 Tahun 2019 tentang Pelaporan Kegiatan
Industri Farmasi
- PerKABPOM Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pelaporan Kegiatan
Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi

Registrasi Obat:

- PerKABPOM Nomor 13 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas


Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan
Tata Laksana Registrasi Obat
- Permenkes Nomor 7 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat
Tradisional
- Rancangan PerKABPOM Tahun 2018 Kriteria dan Tata Cara
Registrasi Obat Tradisional
- Permenkes Nomor 1120 tentang Perubahan Atas Permenkes Nomor
1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat

2.2 Kasus terkait Industri Farmasi dan Registrasi Obat

1. Kasus Pertama

Sumber: kompas.com

Bareskrim: Pabrik Obat Keras Ilegal di Yogyakarta Mampu Produksi 14


Juta Butir Pil Tiap Hari

3
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno
Halomoan Siregar mengatakan, dua pabrik obat keras ilegal di DI
Yogyakarta dapat memproduksi hingga 14 juta butir obat per hari dan sudah
beroperasi sejak 2018. Disampaikan bahwa estimasi produksi jumlah obat
keras ilegal yang bisa dihasilkan dari tujuh mesin produksi per hari adalah
14.000.000 butir pil, yang berarti 420.000.000 butir/bulan. Sementara itu,
berdasarkan keterangan para tersangka, pabrik bisa memproduksi 2.000.000
butir obat per hari.

Polisi menyita satu unit truk colt diesel nopol AB 8608 IS serta
30.345.000 butir obat keras yang dikemas menjadi 1.200 colli paket dus,
tujuh mesin cetak pil Hexymer, DMP dan Double L, lima buah mesin oven
obat, dua buah mesin pewarna obat, satu buah mesin cording/printing untuk
mencetak, 300 sak lactose dengan berat total sekitar 800 kg, 100 kg adonan
bahan pembuatan obat keras dan 500 kardus warna coklat, serta 500 botol
kosong tempat penyimpanan obat keras.

(Maharani, 2021)

2. Kasus Kedua

Sumber: Kompas.com

Polisi dan BPOM Gerebek Industri Obat Tradisional di Madiun.

Tim Satuan Reserse dan Narkoba Polres Madiun bersama dengan


Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Surabaya menggerebek
industri obat tradisional Nurusy Syifa Center di Jalan Raya Madiun-
Ponorogo Ponorogo No 11, Kelurahan Kertosari, Kecamatan Geger,
Kabupaten Madiun, Selasa (19/9/2017) dini hari.

"Polisi menyita ribuan butir obat tradisional yang tidak memiliki izin
edar. Saat ini, barang buktinya sudah diamankan di Mapolres Madiun," ujar
Kasat Reserse dan Narkoba, AKP Agung Sutrisno, Selasa (19/9/2017)

4
siang. Agung mengatakan, penggerebekan dilakukan setelah tim
mendapatkan informasi bahwa pabrik itu memproduksi obat tradisional tak
berizin. Dari informasi itu, polisi bersama tim BPOM Surabaya
menggerebek lokasi industri obat tradisional tersebut. Agung mengatakan,
pabrik obat tradisional itu sudah memproduksi obat ilegal dalam delapan
tahun terakhir. Hanya saja, pabrik mengakali untuk pemasarannya.

"Mereka ada yang memproduksi obat yang ada izin edarnya. Tetapi
banyak yang memproduksi obat yang tidak memiliki izin edarnya," jelas
Agung. Untuk pengembangan penyidikan, kata Agung, saat ini polisi masih
mengembangkan pemeriksaan. Pemilik pabrik dan saksi sementara
diperiksa di Mapolres Madiun. Terkait nasib pabrik, Agung mengatakan
polisi belum menyitanya. Saat ini, anggota masih berjaga-jaga di lokasi
penggerebekan. Agung mengatakan, pemilik industri obat-obatan ilegal
dijerat Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan (Al Alawi, 2017).

2.3 Kedudukan Kasus Terhadap Peraturan PerUUan yang Berlaku


1. Kasus Pertama
Para tersangka dijerat Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja perubahan atas Pasal 106 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
(1). Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi
dan alat kesehatan harus memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(2). Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

5
Dengan demikian, para tersangka yang melanggar UU Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja Pasal 60 perubahan atas UU Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan Pasal 106 ayat 1 dan 2 akan dikenai sanksi UU
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 60 perubahan atas UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 197 yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki perizinan
berusaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat 1 dan 2,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta
rupiah).”

Berdasarkan isi ayat di atas, tersangka diancam pidana selama 15 tahun


penjara dengan denda sebesar Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus
juta rupiah).

Di samping itu, terdapat para tersangka juga melanggar UU Nomor 5 Tahun


1997 tentang Psikotropika Pasal 5 dan 7 karena para tersangka
memproduksi double L yang merupakan psikotropika golongan IV tanpa
perizinan dari Badan POM (BNN, 2019). Berikut adalah isi dari pasal
tersebut, berbunyi:
(5). Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(7). Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan Farmakope Indonesia atau buku
standar lainnya.
Dengan demikian, para tersangka dijerat UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika Pasal 60 ayat 1 butir a, b, dan c yang berbunyi:
(a). memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 5; atau

6
(b). memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk
obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
(c). memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat
yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Dengan begitu, para tersangka juga terancam pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah).

Akan tetapi, terdapat subsider atau ancaman pidana pengganti jika tersangka
tidak mampu membayar ancaman pidana diatas, beberapa subsider yang dapat
dilakukan:
a. Tersangka melanggar UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
98 ayat 2 dan 3, yang berbunyi:
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar
mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan begitu, tersangka akan terjerat UU Nomor 36 Tahun 2009 Pasal
196, yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dan 3 akan dipidana penjara

7
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Maka, para tersangka akan diancam pidana dengan penjara selama 10
(sepuluh) tahun dengan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
a. Tersangka melanggar UU Nomor 36 Tahun 200 tentang Kesehatan Pasal
108 ayat 1 yang berbunyi:
“Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Maka, tersangka akan terjerat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 198 yang berbunyi:
“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).”
Dengan demikian, para tersangka akan diancam pidana berupa denda
sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

➢ Kesimpulan Kasus Pertama


Berdasarkan penjabaran di atas, para tersangka diancam pidana
selama 15 tahun penjara dengan denda sebesar Rp. 1.500.000.000,00 (satu
milyar lima ratus juta rupiah) dan para tersangka juga terancam pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Namun, terdapat beberapa subsider
yaitu para tersangka akan diancam pidana dengan penjara selama 10
(sepuluh) tahun dengan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah) dan/atau para tersangka akan diancam pidana berupa denda sebesar
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

8
➢ Solusi Kasus Pertama
Solusi yang bisa dilakukan untuk kasus pertama yaitu perlu
ditingkatkannya pengawasan dan pemeriksaan BPOM bersama polisi
terhadap pabrik obat ilegal yang memproduksi obat keras yang ada di setiap
wilayah Indonesia sehingga kejadian serupa tidak terjadi berulang kali dan
sediaan obat keras tidak tersebar luas ke konsumen dan setiap pabrik obat
yang akan berdiri memiliki izin edar yang jelas dan tentu dapat memberikan
perlindungan kepada konsumen.

2. Kasus Kedua
Berdasarkan kasus kedua, pemilik industri obat-obatan ilegal dijerat
Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.

UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 196:


“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Analisis kasus : Berdasarkan kasus kedua, pihak industri obat tradisional


ilegal ini telah melanggar peraturan UU No 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Pasal 196. Hal ini diduga karena adanya kesengajaan pengedar
dalam memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi. Mengenai kasus
sediaan obat tidak memiliki izin edar ini hukuman atau peraturan tersebut
tepat untuk dijatuhkan kepada pengedar/produsen sesuai dengan tindakkan
yang dilakukan.

9
UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 197:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki
izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).”

Analisa kasus: Pada kasus yang kedua, pihak industri obat tradisional ilegal
ini telah melanggar peraturan UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 197. Hal ini diduga karena pihak industri dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar. Mengenai kasus sediaan obat tidak memiliki
izin edar ini hukuman atau peraturan tersebut tepat untuk dijatuhkan kepada
pengedar/produsen sesuai dengan tindakkan yang dilakukan.

UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 98 ayat (2):


“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat.”

Analisis kasus : Berdasarkan kasus yang telah dilakukan oleh pelaku telah
melanggar ketentuan peraturan UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 98 ayat (2). Hal ini sesuai dengan peraturan UU yang ada dimana
pelaku tidak memiliki keahlian dan wewenang untuk mengadakan,
menyimpan, mengolah, memproduksi dan juga mengedarkan obat
tradisional tersebut karena tidak memiliki izin edar.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun


2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional Pasal 2 ayat (1):

“Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib


memiliki izin edar.”

10
Analisis kasus: Pada kasus kedua ini diduga pihak industri maupun
pengedar tidak melakukan registrasi izin edar yang sesuai dengan aturan
yang diatas dan tidak memiliki registrasi resmi dari pihak BPOM. Hal ini
juga menjadikan industri obat tradisional tersebut tidak memiliki izin edar
atau ilegal.

➢ Kesimpulan Kasus Kedua


Berdasarkan kasus kedua ini dapat disimpulkan bahwa kurangnya
pengawasan dari pihak BPOM dalam peredaran sediaan farmasi/obat
tradisional di Indonesia. Diharapkan BPOM lebih teliti lagi dalam
menyelidiki dan mengawasi adanya pengedaran obat tradisional khususnya
sediaan farmasi yang ilegal di Indonesia dan melakukan pemeriksaan rutin
setiap tahunnya terhadap pabrik maupun usaha kecil lainnya sehingga obat
tradisional yang diedarkan ke masyarakat dapat terjamin mutu dan
kualitasnya serta dapat memberi khasiat yang baik dan tidak merugikan
masyarakat. Selain itu juga, hal ini tidak menjadi contoh bagi orang lain
dalam pengedaran sediaan farmasi ilegal.

➢ Solusi Terkait Kasus Kedua


Solusi yang bisa dilakukan untuk kasus ini yaitu perlu
ditingkatkannya pengawasan dan pemeriksaan BPOM terhadap pabrik
maupun usaha kecil obat tradisional yang ada di setiap wilayah Indonesia
sehingga kejadian serupa tidak terjadi berulang kali supaya sediaan obat
maupun makanan yang beredar bisa memiliki izin edar yang jelas dan tentu
dapat memberikan perlindungan kepada konsumen.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Registrasi obat merupakan basis pengawasan pre-market di bidang obat


dengan melakukan evaluasi terhadap aspek keamanan, khasiat, mutu, dan label
serta pemenuhan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Sesuai
dengan Permenkes 1010 tahun 2008, setiap produk obat yang akan beredar di
Indonesia harus memiliki izin edar dari Badan POM. Sedangkan, kriteria dan tata
laksana registrasi obat diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 24 Tahun 2017 (BPOM, 2022).
Peraturan perundang-undangan terkait industri obat dan registrasi obat,
sudah dijelaskan pada pembahasan di atas. Peraturan perundang-undangan terkait
industri obat dan registrasi obat dibagi menjadi 3 yaitu, UU, PP, dan Peraturan
Menteri/Peraturan KBPOM. Peraturan perundang-undangan penting untuk
diketahui agar dapat terhindar dari kriminalisasi dalam melaksanakan praktik
kefarmasian.
Terdapat juga contoh kasus kriminalisasi dalam praktik kefarmasian yang
dapat menjadi pelajaran bagi pembaca. Hal ini membantu kita agar lebih melek
terhadap hukum dan dapat mentaati hukum atau yang dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan dengan baik.
Hukum yang ada tidak hanya memberi batasan-batasan kepada para praktisi
kefarmasian, tetapi juga melindungi pasien sebagai bahan praktek kefarmasian.
Hukum memberi jaminan keamanan dan manfaat yang baik dari suatu sediaan
farmasi yang akan dikonsumsi oleh pasien. Maka dari itu, pengetahuan mengenai
peraturan perundang-undangan sangat diperlukan untuk dimengerti dan ditaati oleh
seluruh orang yang bersangkutan.

12
3.1 Saran

Berdasarkan hal telah ditulis oleh tim penulis, hukum adalah hal yang sangat
penting dalam melaksanakan praktik kefarmasian. Oleh karena itu, penulis berharap
melalui makalah yang ditulis ini pembaca dapat lebih memahami dan dapat
mengimplementasikan peraturan-peraturan yang ada. Penulis yakin bangsa ini
terutama di bidang farmasi dapat lebih baik lagi jika berpegang teguh pada
peraturan yang ada.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al Alawi, M., 2017, Polisi dan BPOM Gerebek Industri Obat Tradisional di
Madiun, https://regional.kompas.com/read/2017/09/19/11583161/polisi-
dan-bpom-gerebek-industri-obat-tradisional-di-madiun , diakses tanggal 14
Februari 2022.
BNN, 2019, Apa Itu Psikotropika dan Bahayanya?, https://bnn.go.id/apa-itu-
psikotropika-dan-bahayanya/, diakses tanggal 14 Februari 2022.
BPOM, 2020. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun
2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/490/TINGKATKAN-
KAPASITAS-INDUSTRI-FARMASI-UNTUK-PERCEPATAN-
PROSES-REGISTRASI-OBAT.html, diakses tanggal 12 Februari 2022.
Maharani, T., 2021, Bareskrim: Pabrik Obat Keras Ilegal di Yogyakarta Mampu
Produksi 14 Juta Butir Pil Tiap Hari,
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/27/15534231/bareskrim-pabrik-
obat-keras-ilegal-di-yogyakarta-mampu-produksi-14-juta, diakses tanggal
11 Februari 2022.
Permenkes, 2018. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik Sektor Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Republik Indonesia, 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1997 Tentang Psikotropika. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Republik Indonesia, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Republik Indonesia, 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional. Lembaran RI

14
Tahun 2012 No. 007. Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia,
Jakarta.
Republik Indonesia, 2020. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja. Kementerian Ketenagakerjaan Republik
Indonesia, Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai