Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FARMASI INDUSTRI
“INDUSTRI FARMASI”
Dosen Pengampu : Dra. Atti S. Nurhayati, Apt

Disusun Oleh :
MUHAMMAD AQSHAL RIEZA AS’ARI
NPM 31181016

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG FAKULTAS


FARMASI
Jl. Soekarno-Hatta No.754, Cipadung Kidul, Kec. Panyileukan, Kota
Bandung, Jawa Barat 40614

1
2
DAFTAR ISI
BAB 1....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1 Pengertian Industri Farmasi.....................................................................................................5
2.2 Persyaratan Izin Industri Farmasi...........................................................................................6
2.2.1 Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi........................................................6
2.2.2 Penyelenggaraan Industri Farmasi...................................................................................7
2.3 Pembinaan Dan Pengawasan Industri Farmasi......................................................................7
2.4 Bangunan Dan Fasilitas.............................................................................................................9
2.5 Produksi...................................................................................................................................10
2.6 Pengawasan Mutu....................................................................................................................12
2.7 Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk Dan Produk
Kembalian......................................................................................................................................13
2.8 Dokumentasi............................................................................................................................14
2.9 Pembuatan Dan Analisis Berdasarkan Kontrak...................................................................14
2.10 Kualifikasi Dan Validasi.......................................................................................................14
2.10.1 Perencanaan Validasi.....................................................................................................14
2.10.2 Dokumentasi....................................................................................................................15
2.10.3 Kualifikasi.......................................................................................................................15
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................17
3.2 Saran.........................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri farmasi merupakan penentu dalam ketersediaan obat di mana industri farmasi
berperan dalam memproduksi, dan mendistribusikan obat untuk dapat memenuhi
kebutuhan pasar dan masyarakat. Dalam memproduksi suatu obat, setiap industri farmasi
harus dapat memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) agar dapat menjamin
dan menghasilkan produk yang bermutu. Perkembangan yang sangat pesat dan teknologi
farmasi dewasa ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam
konsep serta persyaratan CPOB. Produk yang bermutu tidak dapat ditentukan berdasarkan
pemeriksaan produk akhir saja, melainkan setiap komponen yang berhubungan dengan
proses produksi, mulai dari penyiapan bahan baku, bahan kemas, proses pembuatan,
pengemasan, termasuk bangunan dan personil harus mengikuti Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB).
CPOB merupakan pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang
bertujuan untuk menjamin obat yang dibuat secara konsisten dapat memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunanya. CPOB mencakup seluruh aspek
produksi dan pengendalian mutu.
Aspek-aspek yang berpengaruh dalam CPOB antara lain personalia, bangunan dan
fasilitas, peralatan, sanitasi dan hygiene, produksi, pengawasan mutu, dokumentasi dan
inspeksi diri yang meliputi penanganan keluhan terhadap obat, penarikan kembali obat,
dan obat kembalian. Oleh karena itu, industri farmasi bertanggung jawab untuk
menyediakan personil yang berkualitas dan terkualifikasi antara lain penyediaan apoteker
yang cakap, terlatih, bertanggung jawab, dan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik
dan benar.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana persyaratan izin suatu industri farmasi?
 Bagaimana pembinaan dan pengawasan industri farmasi?
 Bagaimana cara pembuatan obat yang baik di suatu industri farmasi?
 Bagaimana menejemen mutu suatu industri farmasi?
 Bagaimana fasilitas yang harus ada di industri farmasi?

4
 Bagaimana produksi di suatu industri farmasi?
 Bagaimana kualifikasi dan validasi di industri farmasi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui persyaratan izin suatu industri farmasi
2. Untuk mengetahui bagaimana pembinaan dan pengawasan di industri farmasi
3. Untuk mengetahui CPOB di industri farmasi
4. Untuk mengetahui bagaimana menejemen mutu di suatu industri farmasi
5. Untuk mengetahui fasilitas apa saja yang harus ada di industri farmasi
6. Untuk mengetahui bagaimana cara produksi di industri farmasi
7. Untuk mengetahui kualifikasi dan validasi di industri farmasi

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Industri Farmasi


Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
1799/Menkes/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari Mentri Kesehatan
untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat adalah
seluruh tahapan kegiatan dalammenghasilkan obat yang meliputi pengadaan bahan awal
dan bahanpengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian
mutusampai diperoleh obat untuk didistribusikan.
       Industri farmasi dibagi dalam dua kelompok yaitu industri padatmodal dan
industri padat karya. Industri padat modal adalah industri yangmenggunakan mesin-mesin
produksi dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah tenaga kerjanya, sedangkan
industri padat karya lebih banyak menggunakan tenaga manusia dari pada tenaga mesin.
Menurut Priyambodo (2007), dibandingkan dengan berbagai industri lain, industri
farmasi memiliki ciri yang spesifik. Ciri industri farmasi yang perlu diperhatikan antara
lain:
1. Industri farmasi merupakan industri yang diatur secara ketat (seperti registrasi, Cara
Pembuatan Obat yang Baik, distribusi dan perdagangan produk yang dihasilkan, dan lain
lain) karena menyangkut jiwa (nyawa) manusia.
2. Industri farmasi di samping menghasilkan obat untuk penderita, juga merupakan suatu
industri yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan (profit). Jadi tidak hanya aspek
sosial namun juga ada aspek ekonomi (bisnis).
3. Industri farmasi adalah salah satu industri beresiko tinggi karena bukan tidak mungkin
kelak dikemudian hari kalau terbukti bahwa terjadi akibat yang tidak diinginkan karena
penggunaan obat, industri farmasi dituntut dan membayar ganti rugi yang sangat besar.
4. Industri farmasi adalah industri berbasis riset yang selalu memerlukan inovasi, karena
usia hidup produk atau obat (product life cycle) relatif singkat (lebih kurang 10-25 tahun)
dan sesudah itu akan ditemukan obat generasi baru yang lebih baik, lebih aman dan lebih
efektif.

6
2.2 Persyaratan Izin Industri Farmasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang
Industri Farmasi, proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh
industri farmasi.Setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi
dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan. Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi
sebagaimana yang tercantum
dalam Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/IX/2010 adalah sebagai berikut:
1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-
masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Dikecualikan dari persyaratan di atas poin 1 dan 2, bagi pemohon izin industri farmasi
milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.2.1 Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi


Berdasarkan Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/IX/2010, untuk memperoleh izin
usaha industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Permohonan persetujuan prinsip
diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal. Persetujuan prinsip diberikan oleh
Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah
diberikan, pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan,
pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan prinsip ini berlaku
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diubah berdasarkan permohonan dari pemohon izin
industri farmasi yang bersangkutan.

7
2.2.2 Penyelenggaraan Industri Farmasi
Suatu industri farmasi mempunyai fungsi:
a. Pembuatan obat dan/atau bahan obat
b. Pendidikan dan pelatihan
c. Penelitian dan pengembangan
Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama industri farmasi yang
bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
(Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010).

2.3 Pembinaan Dan Pengawasan Industri Farmasi


Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh Direktur
Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan. Pelanggaran terhadap
ketentuan dalam Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/IX/2010 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa :
a. Peringatan secara tertulis
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan
kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, atau mutu
c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/manfaat, atau mutu
d. Penghentian sementara kegiatan
e. Pembekuan izin industri farmasi
f. Pencabutan izin industri farmasi

A. Cara Pembuatan Obat Yang Baik


Industri farmasi merupakan industri yang memproduksi obat yang aman dan
berkualitas. Untuk menjamin mutu obat yang berkualitas, maka industri farmasi
melakukan seluruh aspek rangkaian kegiatan produksinya denganmenerapkan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). CPOB merupakan pedoman yang harus diterapkan
dalam seluruh rangkaian proses di industri farmasi dalam pembuatan obat jadi, sesuai
dengan keputusan Menteri KesehatanRI No. 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara
Pembuatan Obat yang Baik.

8
         Pedoman CPOB bertujuan untuk menghasilkan produk obat yang senantiasa
memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
CPOB dilakukan secara menyeluruh dan terpadu denganmengadakan pengawasan baik
sebelum, selama, dan sesudah proses produksiberlangsung untuk memastikan mutu
produk obat agar memenuhi standart yangtelah ditetapkan. Jadi CPOB adalah suatu
konsep yang ditetapkan dalam industrifarmasi mengenai langkah-langkah atau prosedur
yang dilakukan dalam suatuindustri farmasi untuk menjamin mutu obat yang diproduksi
dengan menerapkan “Good Manufacturing Practices” dalam seluruh aspek dan rangkaian
kegiatanproduksi, sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan
mutuyang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan perubahan-
perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep dan persyaratan CPOB. Konsep CPOB
bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti
perkembangan teknologi dibidang farmasi.
Pedoman CPOB merupakan suatu pedoman bagi industri farmasi mengenai semua
aspek-aspek dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadiPedoman CPOB
tahun 2006, meliputi 12 aspek antara lain: ketentuan umum,personalia, bangunan dan
fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri,
penanganan terhadap keluhan dan penarikankembali obat dan obat kembalian,
dokumentasi, pembuatan dan analisaberdasarkan kontrak, kulifikasi dan validasi.

B. Menejemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan
tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu
rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan
ini melalui suatu “Kebijakan Mutu” yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari
semua jajaran di semua departemen didalam perusahaan, para pemasok, dan para
distributor (Anonim, 2006).
Menurut Anonim (2009), untuk melaksanakan Kebijakan Mutu dibutuhkan 2 unsur
dasar:
1. Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan kewajiban,
semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang mengatur proses yang
ada.

9
2. Tindakan sistematis untuk melaksanakan sistem mutu, yang disebut pemastian
mutu atau quality assurance.
C. Personalia
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009, industri farmasi harus
memiliki 3 (tiga) orang apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang
pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem
pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu
industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi
dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas (Anonim, 2006).

2.4 Bangunan Dan Fasilitas


Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi,
letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik
untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus
dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran
silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang
efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan
dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat (Anonim, 2006).
Untuk pengolahan produk yang mengandung bahan yang beracun dan bahan
sitotoksik, harus disediakan fasilitas tersendiri untuk masing-masing produk, dengan
sistem penyaringan udara khusus (efisiensi minimum 98%). Sedangkan untuk sediaan
beta laktam (turunana penisillin) harus terpisah secara fisik dengan bangunan non-beta
laktam (Priyambodo, 2007).
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki rancang bangun
dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, dan ditempatkan dengan tepat sehingga
mutu dari setiap produk obat terjamin secara seragam dari bets ke bets, serta untuk
memudahkan pembersihan dan perawatannya. CPOB mempersyaratkan bahwa peralatan
sebaiknya dirawat secara teratur melalui program perawatan untuk mencegah cacat fungsi
atau kontaminasi yang dapat mengubah identitas, kualitas atau kemurnian suatu produk
(Anonim, 2006).
Sanitasi Dan Higiene

10
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat.
Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan
produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran
produk. Sumber pencemaran dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang
menyeluruh serta terpadu (Anonim, 2006).
Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB terbaru adalah terhadap
personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan hygiene divalidasi serta
dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur agar selalu memenuhi
persyaratan (Anonim, 2006).

2.5 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan
dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin produk obat jadi dan
memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar (registrasi) (Anonim, 2006).
Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Menurut
Anonim (2006), aspek yang perlu diperhatikan dalam proses produksi adalah :
1. Penanganan terhadap bahan awal.
Setiap bahan awal, sebelum dinyatakan lulus untuk digunakan hendaklah memenuhi
spesifikasi bahan awal yang sudah ditetapkan dan diberi label dengan nama yang
dinyatakan dalam spesifikasi. Pada saat penerimaan, hendaklah dilakukan pemeriksaan
secara visual tentang kondisi umum, keutuhan wadah, segelnya, kebocoran, kemungkinan
adanya kerusakan bahan, dan kesesuaian catatan pengiriman dengan label dari pemasok.
Bahan awal yang diterima hendaklah dikarantina sampai disetujui dan diluluskan untuk
pemakaian oleh kepala bagian pengawasan mutu. Persediaan bahan awal hendaklah
diperiksa dalam selang waktu tertentu. Bahan awal yang cenderung rusak atau turun
potensinya atau aktifitasnya selama dalam penyimpanan hendaknya ditandai secara jelas,
disimpan terpisah dan secepatya dimusnahkan atau dikembalikan kepada pemasok.
2. Validasi proses
Semua kegiatan produksi hendaklah divalidasi dengan tepat, hal tersebut bertujuan
untuk menguatkan pelaksanaan CPOB. Validasi hendaklah dilaksanakan menurut
prosedur yang telah ditentukan dan catatan hasilnya disimpan dengan baik. Perubahan
penting dalam proses, peralatan atau bahan harus divalidasi ulang untuk menjamin bahwa
perubahan tersebut tetap
menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan.

11
3. Pencegahan pencemaran silang
Setiap tahap proses, produk, dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran
mikroba dan pencemaran lain yang dapat timbul akibat tidak terkendalinya debu, gas,
uap, percikan atau organisme dari bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa
yang tertinggal pada alat dan pakaian kerja operator. Sistem penghisap udara yang efektif
hendaknya dipasang untuk menghindari pencemaran dari produk atau proses lain.
4. Sistem penomoran batch dan lot
Sistem ini diperlukan untuk memastikan bahwa produk antara, produk ruahan atau
produk jadi suatu bets atau lot dapat dikenali dengan nomor bets atau lot tertentu dan
tidak digunakan secara berulang.
5. Penimbangan dan penyerahan
Penimbangan atau perhitungan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk
antara, dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan
dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan
produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih belum kadaluarsa
yang dapat diserahkan.
6. Pengolahan
Semua bahan dan peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan hendaklah
diperiksa terlebih dahulu. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti
prosedur tertulis yang telah ditentukan. Bahan yang dapat diolah ulang melalui prosedur
tertentu yang disahkan serta hasilnya memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditentukan
dan tidak mempengaruhi mutu dimana semua proses pengolahan ulang hendaklah
disahkan dan didokumentasikan. Pencegahan pencemaran silang dilakukam untuk setiap
pengolahan.
7. Pengemasan
Pengemasan berfungsi membagi-bagi dan mengemas produk ruahan menjadi produk
jadi. Kegiatan pengemasan sebaiknya dilaksanakan dibawah pengawasan yang ketat
untuk menjaga identitas, keutuhan, dan mutu produk akhir yang dikemas. Produk jadi
yang sudah dikemas hendaklah dikarantina sambal menungu pelulusan dari bagian
pengawasan mutu.
8. Pengawasan selama proses
Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memantau hasil dan memvalidasi kinerja
dari proses produksi yang mungkin menjadi penyebab variasi karakteristik produk selama
proses berjalan.

12
9. Penanganan bahan dan produk yang ditolak, dipulihkan dan dikembalikan
Bahan dan produk yang ditolak hendaklah diberi penandaan yang jelas dan disimpan
terpisah di area terlarang (restricted area). Bahan atau produk tersebut hendaklah
dikembalikan kepada pemasoknya atau, bila dianggap perlu diolah ulang atau
dimusnahkan. Langkah apapun yang diambil hendaklah lebih dulu disetujui oleh kepala
bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) dan dicatat.
10. Karantina produk jadi dan penyerahan ke gudang obat jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke
gudang dan siap untuk didistribusikan. Selama menunggu pelulusan dari bagian
manajemen mutu, seluruh bets/lot yang sudah dikemas hendaknya disimpan dalam status
karantina. Setelah pelulusan, produk tersebut dipindahkan dari daerah karantina ke
gudang produk jadi.
11. Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk
jadi. Bahan atau produk hendaknya disimpan rapi dan teratur untuk mencegah risiko
tercampur baur atau pencemaran serta memudahkan pemeriksaan dan pemeliharaan.
Hendaknya semuanya disimpan dalam kondisi yang sesuai serta tidak langsung
kontak dengan lantai.
12. Pengiriman dan pengangkutan produk jadi
Pengawasan distribusi produk jadi pada sistem distribusi hendaknya dirancang dengan
tepat sehingga menjamin produk jadi yang pertama masuk akan didistribusikan terlebih
dahulu. Pengiriman dan pengangkutan produk dilakukan setelah ada permintaan
pengiriman.

2.6 Pengawasan Mutu


Pengawasan mutu adalah bagian yang esensial dari cara pembuatan obat yang baik
untuk memastikan tiap obat yang dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang
sesuai dengan tujuan penggunaannya. Keterlibatan dan rasa tanggung jawab semua unsur
yang berkepentingan dalam seluruh rangkaian pembuatan adalah mutlak untuk mencapai
sasaran mutu yang ditetapkan mulai dari saat obat dibuat sampai distribusi obat jadi
(Anonim, 2001)
Pengawasan mutu mencakup semua kegiatan yang dilakukan di laboratorium,
termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara,
produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini juga mencakup uji stabilitas, program
pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan

13
sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan dan produk, serta
metode pengujiannya (Anonim, 2006).

Inspeksi Diri Dan Audit Mutu


Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan
pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri
hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk
menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan (Anonim, 2001).
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang
kompeten dari perusahaan. Ada manfaatnya juga bila menggunakan auditor luar yang
independen. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus,
misalnya bila terjadinya penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang
berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan
catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang
efektif (Anonim, 2006).
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik, namun
inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh dilaksanakan minimal satu kali dalam
setahun. Frekuensi inspeksi diri tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri (Anonim,
2006).
Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu
meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari system manajemen mutu
dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu umumnya dilaksanakan
oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh
manajemen perusahaan (Anonim, 2006).

2.7 Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk Dan Produk
Kembalian
Penarikan kembali produk adalah suatu penarikan kembali dari satu atau beberapa
bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran. Hal ini dilakukan bila ada produk
yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap Kesehatan (Anonim, 2006).
Obat kembalian adalah obat jadi yang telah beredar yang kemudian dikembalikan ke
pabrik karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa, masalah keabsahan atau

14
sebab lain mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga menimbulkan keraguan
akan keamanan identitas, mutu dan jumlah obat yang bersangkutan (Anonim, 2006).
Penanganan keluhan dan laporan hendaknya dicatat dan secepatnya ditangani
kemudian dilakukan penelitian dan evaluasi. Tindak lanjut dilakukan berupa tindakan
perbaikan, penarikan produk dan dilaporkan kepada pemerintah yang berwenang
(Anonim, 2006).
Pencatatan dilakukan untuk penanganan obat kembalian dan dilaporkan, dan setiap
pemusnahan dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh pelaksana dan yang
menyaksikan pemusnahan (Anonim, 2006).

2.8 Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang
baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas
adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang
relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadi salah tafsir dan
kekeliruan yang biasanya btimbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan
(Anonim, 2006).

2.9 Pembuatan Dan Analisis Berdasarkan Kontrak


Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan
dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau
pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak
dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas menentukan tanggung jawab dan
kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur
pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala
bagian manajemen mutu
(Pemastian Mutu) (Anonim, 2006).

2.10 Kualifikasi Dan Validasi


CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu
dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan.
Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses dapat mempengaruhi mutu
produk hendaklah divalidasi (Anonim, 2006).

15
2.10.1 Perencanaan Validasi
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi
hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi
(RIV) atau dokumen setara. RIV sekurang-kurangnya mencakup: kebijaksanaan validasi;
struktur organisasi kegiatan validasi; ringkasan fasilitas, sistem, peralatan dan proses yang
akan divalidasi; format dokumen, protokol, dan laporan validasi, perencanaan dan jadwal
pelaksanaan; pengendalian perubahan; acuan dokumen yang digunakan (Anonim, 2006).

2.10.2 Dokumentasi
Protokol validasi tertulis hendaklah dibuat untuk merinci kualifikasi dan validasi yang
akan dilakukan. Protokol hendaklah dikaji dan disetujui oleh kepala bagian Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu). Hendaklah dibuat laporan yang mengacu pada protokol
kualifikasi dan/atau protokol validasi dan memuat ringkasan hasil yang diperoleh,
tanggapan terhadap penyimpangan yang terjadi, dan rekomendasi perbaikan tiap
perubahan terhadap rencana yang
ditetapkan dalam protokol hendaklah didokumentasikan dengan pertimbangan yang
sesuai.

2.10.3 Kualifikasi
Kualifikasi dibedakan atas :
1. Kualifikasi Desain (KD)
Kualifikasi desain (KD) adalah unsur pertama dalam melakukan validasi terhadap
fasilitas, sistem atau peralatan baru.
2. Kualifikasi instalasi (KI)
Kualifikasi Instalasi adalah (KI) hendaklah dilakukan terhadap fasilitas, sistem dan
peralatan baru atau yang dimodifikasi. KI hendaklah mencakup, tidak terbatas pada hal
berikut:
a. Instalasi peralatan, pipa dan sarana penunjang dan instrumentasi hendaklah sesuai
dengan spesifikasi dan gambar teknik yang didesain;
b. Pengumpulan dan penyusunan dokumen pengoperasian peralatan dari pemasok
c. Ketentuan dan persyaratan kalibrasi
d. Verifikasi bahan konstruksi.
3. Kualifikasi Operasional (KO)

16
KO hendaklah dilakukan setelah KI selesai dilaksanakan, dikaji dan disetujui. KO
hendaklah mencakup, tidak terbatas pada hal berikut:
a. Pengujian yang perlu dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang proses, sistem dan
peralatan.
b. Pengujian yang meliputi satu dan beberapa kondisi yang mencakup batas operasional
atas dan bawah, sering dikenal sebagai kondisi terburuk.
4. Kualifikasi Kinerja (KK)
KK hendaklah dilakukan setelah KI dan KO selesai dilaksanakan, dikaji dan disetujui.
5. Kualifikasi Fasilitas, Peralatan dan Sistem Terpasang yang telah Operasional.
Hendaklah tersedia bukti untuk mendukung dan memverifikasi parameter operasional dan
batas variabel kritis pengoperasian alat. Selain itu, kalibrasi, prosedur pengoperasian,
pembersihan, perawatan preventif serta prosedur dan catatan pelatihan operator hendaklah
di dokumentasikan.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk
melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri farmasi, sebagai industri
penghasil obat, dituntut untuk dapat menghasilkan obat yang harus memenuhi persyaratan
khasiat (efficacy),
keamanan (safety) dan mutu (quality) dalam dosis yang digunakan untuk tujuan Kesehatan
Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana yang tercantum
dalam Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/IX/2010 adalah sebagai berikut:
1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing
sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan tidak
menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau
tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu
“Kebijakan Mutu” yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua
departemen didalam perusahaan, para pemasok, dan para distributor
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi,
letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik
untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus
dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang
dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif
untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang
dapat menurunkan mutu obat
CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu
dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan.

18
Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses dapat mempengaruhi mutu
produk hendaklah divalidasi

3.2 Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan, besar harapan saya makalah ini
dapat bermanfaat untuk saya dan kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan
referensi, penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik
lagi dimasa yang akan dating.

DAFTAR PUSTAKA

 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang
Baik. Jakarta: Badan POM RI.
 Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2009. Petunjuk Operasional Penerapan
CPOB. Jakarta: Badan POM RI.
 Sagita, S.S., Rizky N., dan Yohan, B.I. 2012. CPOB Bangunan dan Fasilitas. Jurusan
Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Purwokerto.

19

Anda mungkin juga menyukai