7 - Faishal Dig
7 - Faishal Dig
Tokoh :
No Nama Usia Ciri Fisik Karakter
.
1. Zako Patipi 8 tahun Lebih tinggi daripada anak-anak seusianya, berkulit Pemberani, ringan tangan dalam
kecokelatan, bermata bulat lebar penuh rasa ingin membantu.
tahu, terdapat luka bekas kejatuhan durian di pipinya.
2. Bak (Ayah Zako) 35 tahun Berkulit putih kemerahan dan berbadan jangkung. Tidak banyak bicara, berinisiatif tinggi.
Perut Ayah tidak buncit karena banyak beraktivitas di
ladang.
3. Mak (Ibu Zako) 30 tahun Lebih pendek dari Ayah, berkulit kecokelatan. Bertutur kata lembut, gesit, dan
Selama berada di ladang memakai penutup kepala mengayomi.
berupa kain yang dililitkan ke sanggulnya.
Tema : ◻ Tradisi dan Ekspresi Lisan; ◻ Seni Pertunjukan; ◻ Adat Istiadat Masyarakat Adat, Ritus, dan Perayaan-perayaan Khas;
◻ Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku mengenai Semesta Alam; ◻ Kemahiran dan Keterampilan Tradisional**
Unsur : ◻ Science; ◻ Technology; ◻ Engineering; ◻ Art; ◻ Mathematics
* Mengacu kepada Peraturan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Nomor 030/P/2022 Tentang Pedoman Perjenjangan
Buku
** Keterangan: pilih salah satu
Naskah : (Dilarang menambahkan baris/row halaman, cukup mengisi pada bagian dengan tanda “xxx” dan biodata penulis)
Hlm Halaman
Ilustrasi Teks Bahasa Daerah
. Teks
1 1) Sampul Depan: Zako Moro Buk Awo (Zako Membuat Bubuk Kopi)
Adegan ketika Zako (8 tahun)
membantu Ibu menumbuk kopi. Di
sebelah mereka, ada Ayah yang
Judul
sedang memasak air di tungku.
Pondok kayu kecil dan rimbun
batang-batang kopi menjadi gambar
latar belakang.
2 Halaman balik sampul
3 Halaman perancis
- -
4 Halaman kata pengantar kepala
5 Halaman daftar isi
6 Bumper I - -
7 2) Pengenalan tokoh: 1 (hlm. 1)
Zako (8 tahun) digambarkan Mak we nge bak Zako ne kerjo a tani kawo. Tiap ahai, sang umah holah Zako lalu ka
memakai seragam merah-putih. tapan mak bak a yem ume. Ume wang kak ni tapan a yem bukit yem Bermani Ulu,
Dengan penuh semangat ia Bengkulu.
mencangklong tas di punggung
untuk menghampiri orang tuanya di Orang tua Zako bekerja sebagai petani kopi. Setiap hari, sepulang sekolah Zako pergi
kebun. menghampiri orang tuanya di kebun. Kebun mereke ada di sebuah bukit di Bermani
Ulu, Bengkulu.
3) Lokasi: Kebun kopi, pondok 2—3 (hlm. 2)
panggung kecil. (spread) Hiang tu, pas ye la hapai yem pondok, Zako ningok mak a dang ngidang upan tuk ye.
Narasi: Bak a dan inom yo pi, pesetnya ulas a.
Keluarga Zako makan di lantai
pondok yang terbuat dari kayu. Dari Siang itu, ketika sampai di pondok, Zako melihat ibunya sedang menyiapkan makan
atas sini, terlihat kebun kopi yang siang untuk mereka. Ayahnya sedang meminum segelas kopi, kelihatan lelah.
8 cukup luas milik mereka. Tampak
9 juga pondok-pondok di kebun milik (hlm. 3)
orang lain di kejauhan. Zako halam nge mak bak a, dem tu ye gitai haraba holah a nge haraba tok bosek.
Makanlah sekeluargo kak yem pondok tu.
Zako menyalami kedua orang tuanya, lalu mengganti pakaian sekolah dengan kaus
untuk bermain. Mereka makan siang bersama di pondok.
(hlm. 5)
Zako ndak nya milu bak a moro buk awo. “Olih dak ku milu nga mongot kawo,
Bak?”
Bak a tawe. “Olih, pi hayangnya kawo ite lah gim Bak pongot, Nang.”
“Yah… Pi, kan, nga la de bejanji ndak ngajo ku moro buk awo, Bak.” Je Zako,
Bak a neho le ningok mehan anak a.
Zako ingin sekali ikut membantu ayahnya membuat bubuk kopi. “Apa aku boleh ikut
memetik kopi, Yah?”
Ayahnya tertawa. “Boleh, tapi sayangnya kopi kita sudah habis ayah petik semua,
Nak.”
“Yah… Tapi, kan, ayah sudah janji mau mengajari bikin kopi.” Kata Zako.
Ayahnya merasa iba melihat wajah Zako.
5) Lokasi: Kebun kopi, pondok 6—7 (hlm. 6)
panggung kecil. (spread) Mak a neho le ningok Zako dak semangat gi de. Mak a nyarankan, “Men gik tu, kan
Narasi: la edu dipongot, gik ne men nga milu mak we nge bak njemo awo be?”
Zako, Ayah, dan Ibu bersiap “Pelah, Mak! La dak habar gi asek a.” Uji Zako semangat nya.
menjemur kopi di halaman pondok
di bawah sana. Ibu juga kasihan melihat semangat Zako padam. Ibu memberi saran, “Kalau begitu,
karena sudah selesai dipetik, bagaimana kalau kamu ikut ayah dan ibu menjemur kopi
saja?”
12 “Ayo, Bu! Sudah tidak sabar lagi rasanya.” Zako berseru semangat.
13
(hlm. 7)
Mak we nge bak a tawe ningok Zako ndak nya nulung. “Gacanglah diabis kyan unu
tu. Royo nya lan kak lek, Nang.”
(hlm. 9)
Dem tu, wang tu nggelar terpal. “Terpal kak tuk alas kawo a,” Bak a bekate nga Zako.
“Mbay a gik tu, Bak?” Zako betanye.
“Kan kopi a dak kene anah. Men ye kene anah, kopi a gete nak kehing.”
Zako nganggok-anggok. “Oooh, gik tu.”
Kemudian mereka membentangkan terpal. “Terpal ini untuk alas kopi yang kita
jemur.” Ayah menjelaskan kepada Zako.
“Kenapa begitu, Yah?” Zako bertanya.
“Biar kopinya tidak menyentuh tanah. Kalau menyentuh tanah, kopi akan lama
keringnya.”
Zako mengangguk-angguk. “Oooh, begitu.”
Ayah mengambil keranjang berisi buah-buah kopi tadi. “Nah, sekarang kita sebarkan
buah-buah kopi ini ke atas terpal.”
Zako ikut membantu Ayah menyebarkan buah-buah kopi.
“Kopi-kopi ini kelihatannya sangat segar, Yah. Seperti buah kersen.” Kata Zako, ingat
buah kersen yang ada di dekat pondok Nando.
“Betul, buah-buah kopi yang merah adalah yang sudah matang dan bagus. Nanti,
ketika sudah jadi bubuk kopi, rasanya akan segar dan sedikit asam.” Ayahnya
menjelaskan.
(hlm. 11)
Mak a hapai, ngunde kayu panjang. Ulas a ugik hidu raksasa.
“Mekak, kita moro wah awo kak kan ye rate nge gosur kak.” Ajak mak a. Zako milu
nulung mak a merate wah kopi wang dang dijemo tu.
Ibu datang membawa kayu panjang. Benda itu tampak seperti sendok raksasa.
“Sekarang, kita buat buah-buah kopi ini menjadi rata dengan alat ini.” Ajak Ibu.
Zako pun membantu Ibu meratakan buah kopi yang dijemur itu.
(hlm. 13)
“Ooo. Ape petang kak wah a la edi itam, Bak?”
Mak nge bak a tawe nengo uji Zako.
“Lum, Nang.” Je mak a.
“Laju, bile kopi a pacak diangkit, Mak?” tanye Zako. Kas a ye la dak habar gi nak
ningok buk awo a edi.
“Kire-kire tige ahai gi la,” Mak a senyum.
“Tige ahai gi? Pi, lame nya tu ne, Mak…” je Zako kecewa.
“Ooh. Apa sore nanti buah kopinya sudah berubah hitam, Yah?”
Ayah dan Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Zako.
“Belum, Nak.” Jawab Ibu.
“Terus, kapan kopinya bisa kita angkat, Bu?” Tanya Zako. Rupanya ia sudah tak
sabar ingin bubuk kopinya jadi.
“Sekitar tiga hari lagi,” Ibunya tersenyum.
“Tiga hari lagi? Tapi, itu lama sekali, Bu…” Zako tampak kecewa.
20 9) Pesan moral: 14—15 (hlm. 14)
21 Diperlukan kesabaran dan “Lame nya e, Nang. Pi, tu harus nya e kan kopi a kehing gele. Men gisi besah lek geti
ketekunan untuk mencapai tujuan nak nyapak kulit a.” je Mak a.
dengan memuaskan. Zako gisi cemberut. Ye dak tan nunggu jat awo kak kehing tige ahai gi.
“Memang lama, Nak. Tapi, itu harus dilakukan biar kopinya betul-betul kering. Kalau
masih basah, nanti sulit memisahkan kulitnya.” Jelas Ibu.
Zako masih cemberut. Dia tidak bisa tahan menunggu biji kopi kering tiga hari lagi.
(hlm. 15)
“Zako, men nga ndak hasil a alap, kdang kite kak ndak nunggu nya.” Pesan Mak a.
Zako kak gisi sedih, pi ye ngagguk be nengo mak a.
“Nah, uji nga di ndak bejo moro buk awo. Mak ade nyipam ikit kopi wang la kehing
a.”
Zako ladas gi pek a. “Ao nya, Mak?”
Mak a ngangguk. “Lah, milu mak day.”
“Zako, untuk mendapatkan hasil yang terbaik, kadang kita harus sabar menunggu.”
Nasihat Ibu.
Meskipun masih agak sedih, Zako mengangguk mendengar perkataan Ibu.
“Nah, karena katanya kamu mau belajar bikin kopi. Ibu sudah menyiapkan sedikit
kopi yang sudah kering.”
Mata Zako berbinar. “Benarkah, Bu?”
Ibu mengangguk. “Ayo, ikut Ibu.”
Ibu mengajak Zako ke bagian belakang pondok. Di sana ada sebuah keranjang kecil
berisi buah-buah kopi berwarna hitam. Zako mengambil beberapa biji kopi dengan
tangannya. Biji-biji kopi itu terasa ringan.
“Sekarang, coba guncang biji kopi itu dan dekatkan ke telinga.” Kata Ibu sambil
tersenyum.
Zako mengambil sebiji kopi dan mendengarkan suara yang dimaksud.
Klung, klung, klung!
“Ada bunyinya, Bu!”
“Nah, itu adalah biji kopi yang sudah terpisah dari kulitnya. Sekarang, ayo kita
kupas.”
(hlm. 17)
Pahak itulah, ade kotak kayu. Yem tengah a ade ugik lubang. “Kak name a lesung.
Gune a tuk numbuk kawo.” Mak a nuang jat kopi ke lesung tu sambil ye bekate.
Mak a ngambik tongkat kayu. “Pertamo, kite tumbuk jat kawo kak, sakso be, tuk
misahkan jat a sang kulit. Gik kak,” Mak a nginjuk contoh. Tangana numbuk lesung
tu sakso.
Tuk, tuk, tuk.
Di dekat sana ada benda kotak dari kayu. Di bagian tengahnya ada cekungan. “Ini
namanya lesung. Gunanya untuk menumbuk kopi.” Ibu menuang beberapa butir kopi
ke dalam lesung sambil menjelaskan.
Ibu mengambil tongkat penumbuk dari kayu. “Pertama, kita tumbuk biji kopi pelan-
pelan untuk memisahkan bijinya dari kulit. Seperti ini,” Ibu mencontohkan. Tangan
Ibu mengentak-ngentakkan tongkat kayu pelan-pelan.
Tuk, tuk, tuk.
Zako mengikuti yang dicontohkan Ibu dan mulai menumbuk. Zako melihat kulit kopi
yang hitam terlepas dari bijinya. Ternyata, biji-biji kopi di dalamnya berwarna abu-
abu pucat.
Setelah beberapa lama, Zako dan Ibu berhenti menumbuk. Rupanya, semua biji kopi
itu sudah terpisah dari kulitnya. Sekarang lesung itu dipenuhi biji-biji berwarna
terang.
“Setelah ini kita apakan, Bu?”
(hlm. 19)
“Nah, kak ne ndak habar le.” Je Mak. Mak a ngambik kulit kawo wang itam a dem tu
misahkan sang jat wang abu-abu di.Mak nepo a yem hangkek, dem tu ye unde ke
rendo gi.
Kas a, Bak a la nyiap tungku. Yem pucuk a la ade lenge beso we nge serok tuk
ngaduk a.
“Nah, ini juga bagian yang memerlukan kesabaran.” Kata Ibu. Ibu mengambil kulit
kopi yang hitam dan memisahkannya dari biji-biji yang berwarna pucat. Ibu
menaruhnya kembali ke keranjang yang tadi dan membawanya ke depan pondok.
Ternyata, Ayah sudah menyiapkan tungku api. Di atas tungku itu ada sebuah kuali
besar, lengkap dengan sudip untuk mengaduk.
“Sekarang biji kopi ini akan kita sangrai sampai berwarna kehitaman. Zako, ayo bantu
Ibu menuang ke wajan.”
“Tapi, apa Ibu lupa memberi minyak? Biasanya, kan, Ibu pakai minyak kalau masak
di wajan.” Tanya Zako kebingungan.
Ibu tertawa kecil. “Sangrai artinya memanaskan tanpa minyak, Nak. Kalau pakai
minyak, nanti jadi kopi goreng dong.” Ucap ibu bergurau.
Zako garuk-garuk kepala. “Oh, begitu.. Maaf, Bu. Zako tidak tahu.” Zako tersipu
malu.
Ibu mengusap pundak Zako. “Tidak apa-apa. Kita kan belajar. Kalau sedang belajar,
memang harus berani bertanya kalau tidak tahu.” Pesan Ibu.
Kemudian, Ibu dan Zako menuang biji-biji kopi tadi ke wajan.
(hlm. 21)
Mak nge Zako ngaduk kopi yem lenge, Bak a nambah putung gi kan api a dak mati.
Dak lame tu tecium mbau harum sang jat awo a.
“Daday, mbau a ogik ayo kopi wang ngasang diinom Bak ne Mak.” Je Zako.
“Aduk gi, Nang. Harang gi ledu kak.” Uji Bak a.
Ibu dan Zako mengaduk-aduk kopi di wajan, sementara Ayah menambah kayu di
tungku supaya apinya tidak padam. Beberapa waktu kemudian tercium wangi dari
biji-biji kopi.
“Wah, baunya seperti kopi yang sering diminum Ayah.” Celetuk Zako.
“Ayo, terus aduk kopinya. Sebentar lagi selesai.” Ayah menyemangati.
28 6) Lokasi: Di bawah pondok. 22—23 (hlm. 22)
29 Halaman depan. (spread) Pas jat awo tu la edi itam gale, Bak a mati api a.
Narasi: “Nah, mekak kite tunggu kawo a dengen day ao.” Je Mak. Kas a ahai la petang.
Di bagian depan pondok terdapat Mateahai dak angat gi asek a.
tungku dengan wajan besar tempat “Ndak habar gi kite kak ye, Mak?”
menyangrai kopi. Tak jauh dari Mak a nganggok. “Ao. Nah, sambil nunggu, pela kite angkat kawo wang dijemo di
sana, biji kopi yang mulai layu ne.”
terhampar di atas terpal. “La!” je Zako gisi semangat. Zako bekit, milu benyap wah awo nge terpal tu. Dem tu
bak a nepo a lem pondok.
Setelah semua biji kopi berubah hitam, Ayah mematikan api tungku.
“Nah, sekarang kita tunggu kopinya dingin dulu ya.” Kata Ibu. Tahu-tahu saja, hari
sudah sore. Matahari tidak bersinar terlalu terik lagi.
“Lagi-lagi harus bersabar ya, Bu?”
Ibu mengangguk. “Betul. Nah, sambil menunggu, ayo kita angkat kopi yang dijemur
tadi.”
“Ayo!” seru Zako masih bersemangat. Ia pun berdiri, ikut membereskan buah-buah
kopi dan terpal. Lalu Ayah menyimpannya di pondok.
(hlm. 23)
“Ulas a jat awo kak la dengen.” Je Mak. Zako ladas nya. Ye la dak habar gi nak nom
buk awo moroan ye.
“Men gek tu, kite tumbuk lah, Mak. La, lah!” Zako melopat-lopat kesenangan.
“Sepertinya, biji kopi kita sudah dingin.” Kata Ibu. Wajah Zako bersinar bahagia. Ia
tak sabar ingin menikmati bubuk kopi buatannya.
“Kalau begitu, ayo kita tumbuk, Bu. Ayo, ayo!” Zako meloncat-loncat kegirangan.
Ibu mengangkat biji kopi dari wajan dan memasukkannya ke dalam keranjang.
“Sekarang, langkah yang terakhir, kita akan menumbuk kopi ini sampai jadi bubuk.”
Kata Ibu.
Zako menarik napas dan berseru, “Hmm…. Harum sekali, Bu!”
“Katanya, kopi Bermani Ulu ini sudah terkenal sampai ke luar negeri, lho.” Kata Ibu
lagi.
“Wajar saja, wanginya seharum ini. Aku yakin rasanya juga enak. Ya, kan, Bu?”
(hlm. 25)
Zako nulung Mak a nuang jat kawo wang itam tu ke lesung gi. Mak a nginjuk nge
Zako hikok tongkat wang cik a tuk numbuk kawo. Ye bedue numbuk begetai-getai.
Tuk, tak, tuk, tak, tuk, tak. Gik tu unyi a.
“Adek nya sek a, Mak!” je Zako.
Mak a tawe be.
Yem rendo pan, Bak dang masak ayo.
Zako membantu Ibu menuang biji-biji kopi yang berwarna hitam ke dalam lesung
kayu lagi. Ibu memberikan satu tongkat penumbuk kecil kepada Zako. Mereka pun
mulai menumbuk bergantian.
Tuk, tak, tuk, tak, tuk, tak. Begitu bunyinya.
“Ini menyenangkan sekali, Bu!” komentar Zako.
Ibu tersenyum.
Sementara itu di depan pondok, Ayah mulai memasak air.
(hlm. 27)
Bak moro ayo kopi tuk due lobo. Mak a dak agam kopi.
Zako minom kopi a dikit. “Daday, angat nya.” Zako tekejir.
“Sakso be, Nang.” Uji Mak nge Bak harepak.
Zako niop ayo kopi a yem gelas, dem tu nguji minom a gi. Ali kak dak panas gi.
“Adek nya sek a!”
“Kawo Bermani kak asek a pait nya, hapai asek asam a ketotop. Pi tu lah mbay ye kak
padek nya.” Uji Bak.
“Ao nya. Je wang do, awo kak la menang yem lomba-lomba kopi internasional.”
“Dodododoi, padek la ye.” Je Zako, ye tepok tangan.
“Gacanglah abis ayo kopi nga, Nang. Men lah edu lek kite belek ke osun gi, ahai la
nak kelam.” Je Bak a.
Ayah menyeduh kopi itu ke dalam dua gelas. Ibu tidak suka minum kopi.
Zako meminum sedikit kopinya. “Aw, panas.” Zako kaget.
“Hati-hati, Sayang.” Kata Ayah dan Ibu bersamaan.
Zako meniup sedikit kopi di dalam gelasnya, lalu mencoba minum lagi. Kali ini tidak
panas. “Enak sekali!”
“Kopi Bermani Ulu ini rasanya pahit, sampai-sampai menutupi rasa asamnya. Tapi itu
yang membuatnya enak.” Kata Ayah.
“Betul. Bahkan, katanya Kopi Bermani Ulu ini sampai memenangkan lomba
internasional.” Tambah Ibu.
“Wah, keren sekali!” Zako bertepuk tangan.
“Ayo, dihabiskan kopinya, Nak. Kalau sudah selesai, kita akan kembali ke dusun
sebelum malam tiba.” Kata Ayah.