Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH : HADIS II

JUDUL : REALISASI IMAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

NAMA KELOMPOK :
1. TETTY AGUSTIN ANGKAT
2. IIN NOLA UJUNG
3. NURAIZAH PADANG
4. SAMAWATI SAGALA

DOSEN PENGAMPU : RAJA AIDIL ANGKAT S.Ag, M.Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SWASTA DAIRI (STAIS-AD)


SIDIKALANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya
makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami
membahas “Keimanan dan Ketakwaan”.Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam
pemahaman mahasiswa mengenai keimanan dan ketakwaan serta
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua kalangan khusus nya kepada para
maahasiswa di lingkungan STAIS. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan
makalah ini. Akhir kata, atas segala dkungan yang diberikan kami mengucapka terima
kasih kepada dosen pembimbing sehingga makalah ini disusun dengan baik

Sidikalang,17 Maret 2023


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasulullah mengajarkan keimanan secara totalitas dengan hati, lisan, dan perbuatan. Artinya
kepercayaan dan keyakinan kepada Allah Swt harus dibarengi dengan perbuatanperbuatan
yang baik (amal shalih) dalam setiap kesempatan dan di manapun berada. Iman dalam
konteks kehidupan sosial sebagaimana yang terekam dalam literature hadits memiliki
jangkauan yang luas dan ruang lingkup yang tak terbatas. Dapat dikatakan bahwa iman
meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Akan tetapi walaupun segi-segi sosial
kemanusiaan yang berhubungan dengan iman cukup luas jangkauan dan ruang lingkupnya,
namun berdasarkan literature-literatur hadits yang merekam operasional dalam aktivitas
sosial Rasulullah dapat dirumuskan nilai-nilai esensial dan universal sehingga
memungkinkan untuk dimanifestasikan dalam konteks kekinian.
Salah satu aspek kajian terpenting dalam sejumlah besar hadits Nabi adalah persoalan al-
iman (kepercayaan dengan berbagai aspek kandungan di dalamnya. Hampir-hampir umat
Islam terfokus pada kajian iman dalam pengertian yang terbatas, parsial dengan melihat
aspek iman hanya persoalan teologis kepada Allah, Rasul, kitab-kitab, malaikat, hari kiamat
dan takdir. Iman bukan merupakan kata benda yang statis, tetapi iman adalah energi spiritual
yang mengendalikan dan mengarahkan ego seseorang untuk mengerti, memilih dan menjalani
kebenaran. Karena itu iman tidak berhenti pada pengakuan atau pernyataan akan kepercayaan
adanya Tuhan saja, lebih jauh lagi iman adalah aktualisasi dalam amal kesalehan, sehingga
iman yang tidak melahirkan kesalehan bertindak adalah dusta. Oleh karenanya mengkaji
keimanan sebagaimana dipraktikkan dan diajarkan oleh Rasulullah merupakan kajian
menarik dan akan selalu urgen dan tidak akan pernah purna dan sempurna bagi pecinta Allah
dan Rasulnya. Para sahabat dan ulama telah mendefinisikan istilah iman, sepeti diucapkan
oleh Ali bin Abi Thalib r.a “iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar
dengan hati dan perbuatan dengan anggota” Aisyah r.a berkata “iman kepada allah itu
mengakur dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.”
Imam al ghazali menguraikan makna iman “pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan
pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota).
Dengan demikian yang dikatakan beriman itu keyakinan yang dibenarkan oleh hati,
diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.
B. Rumusan Masalah
1. Penerapan iman dalam kehidupan sosial
2. Penerapan iman terhadap sesame

C. Tujuan Masalah
1. Untuk menambah wawasan tentang Iman
2. Memenuhi tugaas dari dosen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman
Iman adalah Keyakinan dan Perbuatan Iman yang berasal dari bahasa Arab ini
memang mempunyai arti keyakinan, dan tersirat adanya perbuatan. Iman yang
diucapkan dengan lisan saja belum menghasilkan apa1 Jurnal Studi Hadis Volume 2
Nomor 2 2016 apa. Oleh karena itu, dalam realisasinya iman itu perlu adanya
perbuatan sesuai dengan yang kita yakini. Misalnya kita beriman adanya Allah Swt,
maka untuk membuktikannya kita harus mematuhi segala yang diperintahkan oleh
Allah Swt. Dalam surat Al-Hujurat ayat
15 Allah Berfirman: َ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-
orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah. mereka itulah orang-orang yang benar”. (Q.S Al-Hujurat:15).
Dari ayat tersebut kita mengetahui bahwa iman yang diterima dan benar adalah
keyakinan yang tidak dicampuri dengan keraguan dan amalan yang diantaranya
berupa jihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah Swt. Jadi iman yang benar adalah
yang meliputi dua hal, yaitu pertama, keyakinan kuat yang tidak dicampuri dengan
keraguan; Kedua perbuatan yang membuktikan keyakinan itu dan ia merupakan
buahnya.

B. Cinta sesama muslim sebagian dari Iman

‫سلَّ َم ع َِن النَّبِ ِّي‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫ َخا ِد ُم َر‬،ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫س ْب ِن َمالِ ٍك َر‬ ْ َ‫عَنْ َأبِي َح ْمزَ ةَ َأن‬
‫ ) رواه البخاري‬.‫سه‬ ِ ‫ب َأل ِخ ْي ِه َما يُ ِح ُّب لِنَ ْف‬
َّ ‫ الَ يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِح‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ
(‫ومسلم‬
:Terjemahan Hadis
Dari Anas r.a. berkata bahwa nabi saw bersabda: “ Tidakah termasuk beriman
seseorang diantara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri. (H.R Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa`i)
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang
adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan
yang dimaksudkan disini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya
muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya
muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan
sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat
keimanan seseorang.

Dalam hadis lain disebutkan sebagai berikut:

Artinya:“Orang-orang yang saling berkasih sayang akan disayang oleh Dzat yang
maha penyayang. Maka sayangilah penduduk bumi maka Allah yang berada di atas
langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, No. 4941).
Hadis di atas menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan
dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang dasarnya
keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni
dan suci. Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah SWT.

Dengan kata lain, persaudaraan yang didasarkan lillah. Dalam kaitan ini
Rachmat Syafi’i mengutip hadis riwayat Muslim:
‫ان اهلل تعالى يقول‬:‫قل رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫عن ابى هريرة رضي اهلل عنه قال‬
‫اين المتحابون بجال لي اليوم اظلهم في ظلي يوم ال ظل اال ظلي )روه مسلم‬:‫يوم القيامة‬
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: rasulullah Saw. telah bersabda: pada hari
kiamat Allah Swt. akan berfirman: “dimanakah orang yang saling berkasih sayang
karena kebesaran-Ku, kini aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan,
kecuali naungan-Ku” (H.R Muslim).
Orang yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa
dirinya merupakan salah satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu
tatanan untuk kebahaiaan bersama. Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik
kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia anggap sebagai kebahagiaan dan kesengsaraan
juga. Dengan demikian, terjadi keharmonisan hubungan antar individu yang akan
memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Dalam hadis lain rasulullah SAW menyatakan :
‫ضا‬
ً ‫ضهُ بَ ْع‬
ُ ‫ش ُّد بَ ْع‬ ِ َ‫ِإنَّ ا ْل ُمْؤ ِمنَ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن َكا ْلبُ ْني‬
ُ َ‫ ي‬،‫ان‬
Artinya : sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya
bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lainnya” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Masyarakat seperti itu telah dicontohkan pada zaman Rasulullah SAW. Kaum
anshor dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh
kaum muhajirin sebagau penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan
keterkaitan darah atau keluarga, tapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran
kalau mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya
dari kaum muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu isterinya untuk
dinikahkan kepada sudaranya dari kaum muhajirin. Persaudaraan seperti itu sungguh
mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap
menolong saudaranya seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan
kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah
yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah SWT, yakni memberikan sesuatu yang
sangat dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan antara saudranya seiman
dengan dirinya sendiri.

C. Realisasi iman dalam Kehidupan Sosial Terhadap Tetangga


ْ ‫ َقا َل ا ْل ُم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ ع َِن النَّبِ ِّى‬- ‫ رضى هللا عنهما‬- ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو‬
‫س ِل ُم‬
ِ ‫سانِ ِه َويَ ِد ِه َوا ْل ُم َه‬
ُ‫اج ُر ِمنْ ه ََج َر َما َن َهى هَّللا ُ َع ْنه‬ ْ ‫سلَ َم ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ُمونَ ِمنْ ِل‬ َ ْ‫َمن‬
Dari Abdullah bin Umar berkata, bahwa Nabi saw, telah bersabda: “Seorang
muslim adalah orang yang menyebabkan orang-orang (islam yang lain) selamat dari
lisan dan tangannya, dan orang yang hijrah adalah orang yang berpindah dari apa
yang telah dilarang oleh Allah swt. (H.R Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa`i) Hadits di
atas mengandung dua pokok bahasan, yakni tentang hakikat seorang muslim, dalam
membina hubungan dengan sesama muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Juga
menjelaskan tentang hakikat hijrah dalam pandangan Islam. Seorang muslim dalam
bertindak dan bersikap senantiasa berbuat adil dan tidak menyinggung perasaan orang
lain.
Dia sangat hati-hati dalam berbicara dan berbuat. Seorang muslim idealnya
tidak boleh menyakiti saudaranya sendiri, baik dengan cara menghina, memfitnah
maupun menjelek-jelekan saudaranya dihadapan orang lain. Dalam hadis di atas
adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap
sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat
pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw.
menggambarkannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak
memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan
orang muslim sejati.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya
sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya.
Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa
disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta
bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya. Secara tekstual hadis di atas
menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang
dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah
saw.,
yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang
dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, orang yang
meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan
bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah
dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
Dalam hadits riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa nabi telah bersabda:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ” من حسن‬: ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫إسالم المرء ترك ما ال يعنيه ” حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” [HR. Tirmidzi no. 2318, Ibnu
Majah no. 3976].
Setiap muslim idealnya dapat mengisi waktunya dengan kegiatan yang
membawa kepada kebaikan dirinya di dunia atau di akhirat serta berpaling dari hal-hal
yang tidak berguna baginya, apalagi hal yang membahayakan dan menyakitkan
dirinya, serta jangan pula ia ikut campur urusan orang lain, karena itu semua
merupakan pertanda sempurnanya keistiqamahan dirinya.

D. Realisasi iman dalam Kehidupan Sosial Terhadap Tamu

Hadis Tentang Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu Dari Abu Huarairah r.a. ia
berkata, bahwa Rasulallah saw., bersabda:
،ُ‫ص ْل َر ِح َمه‬ِ ‫اآلخ ِر َف ْل َي‬
ِ ‫وم‬ َ ‫اآلخ ِر َف ْليُ ْك ِر ْم‬
ِ ‫ و َمن كانَ يُْؤ ِمنُ باهَّلل ِ وال َي‬،ُ‫ض ْيفَه‬ ِ ‫وم‬ ِ ‫َمن كانَ يُْؤ ِمنُ باهَّلل ِ وال َي‬
ْ‫ص ُمت‬ْ َ‫أو ِلي‬ْ ‫اآلخ ِر فَ ْل َيقُ ْل َخ ْي ًرا‬
ِ ‫وم‬ ِ ‫و َمن كانَ يُْؤ ِمنُ باهَّلل ِ وال َي‬

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya,
dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali
silaturrahmi, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia
berkata baik atau diam" (HR Bukhari).

Dalam hadis diatas, ada tiga perkara yang didasarkan atas keimanan kepada
Allah dan hari akhir, yakni memuliakan tamu, memuliakan tetangga dan berbicara
baik atau diam. Adapun alasan penyebutan dua keimanan yakni iman kepada Allah
dan hari akhir karena iman kepada Allah merupakan permulaan sedaga sesuatu dan
tangannya lah segala kebaikan dan kejelekan. Seaakan hari akhir merupakan akhir
kehidupan dunia, yang didalamnya mencakup hari kebangkitan, mahsyar, hisab, dan
surga – neraka, dan banyak sekali yang harus diimani pada hari akhir tersebut.
Dengan demikian seandainya manusia betul-betu beriman kepada allah dan hari akhir,
ia akan berbuat kebaikan dan menjauhi segala kemunkaran dan kemaksiatan. Namun
demikian, tidak berarti bahwa orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta
tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya, maksud
beriman kepada Allah dan hari akhir adalah sebagai penyempurnaan iman. Ketiga hal
diatas sangat penting dalam kehidupan sosial.
1. Memuliakan Tamu Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah
memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu
saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari
kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan
tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk
sedekah.5 Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.Abu syuraih Khuwailid bin
Amru Al-Khuzai’ir r.a., berkata, saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda,
“siapa yang percaya kepada Allah dan hari akhir, ia harus menghormati tamunya pada
bagian keistimewaannya. Sahabat bertanya, “apakah yang dimaksud dengan
keistimewaan itu? Jawab Nabi,
2. “hormati tamu itu sampai tiga hari, sedangkan selebihnya dari sadaqah”.
Diantara hal-hal yang harus diperhatikan dalam memuliakan tamu adalah memberikan
sambutan yang hangat. Hal ini akan lebih baik daripada disambut hidangan yang
mahalmahal, tetapi dengan muka masam dan kecut. Namun, dalam menjamu tamunya
ini haruslah sesuai dengan kemampuannya. Seandainya kedatangan tamu yang
bermaksud meminta tolong tentang suatu masalah atau kesulitan, sebagai orang
muslim kita harus memberinya bantuan semampunya. Apabila tamunya tidak
mengatakan suatu kebutuhan, tetapi kita mengetahui bahwa tamu tersebut dalm
keadaan fakir, sedangkan kita mampu, berilah bantuan apalagi kalau tamu tersebut
masih kerabat. Dan sebaliknya pihak tamu pun harus mengerti ketentuan bertamu
dalam islam.
E. . Selalu Membahagiakan Orang Lain
Membahagiakan orang lain merupakan perbuatan yang disenangi Allah dan manusia.
Perbuatan yang dapat membahagiakan orang lain tidak saja bersifat materi, tetapi juga
bisa bersifat non materi. Seperti:
1. Menampakan wajah yang simpati
Sesungguhnya pertemuan antar sesama muslim adalah sebaik-baiknya
pertemuan dimuka bumi ini. Didalamnya terkandung rasa cinta, keikhlasan,
kejujuran dan kegembiraan. Nabi Muhammad SAW menekankan kepada kita
akan pentingnya pertemuan. Sesuain dengan sabda nabi SAW “ janganlah
sedikitpun kamu menyepelekan kebaikan meski (hanya) dalam bentuk
menjumpi saudaramu dengan wajah yang berseri seri’ (HR. Muslim)
Syeikh ahma Ad daumi mengtakan, sesungguhnya muslim yang sebenarnya
itu jika berjumpa dengan saudaranya wajahnya akan berser-seri, senyumnya tulus,
pandangannya berbinar, kata-katanya bisa membuat keceriaan, ia merasa bahwa
cintanya amatlah dalam serta persaudaraannya sangatlah kuat. Seakan-akan mereka
adalah ranting-ranting cabang dari pohon satu. Mereka tak ubahnya satu jiwa dalam
banyak tubuh. Inilah hakekat kehidupan dan persaudaraan yang benar.
Urwah bin zubair Berkata hendaklah kamu memiliki wajah yang selalu
berseri-seri dan tutur kata yang halus maka kau akan dicintai manusia serta kamu
termasuk orang yang telah menjadi penderma bagi mereka. Alfudail bin iyad berkata
pandangan muslim pada saudaranya dengan wajah yang menggambarkan perasaan
cinta dan kasih sayang adalah ibadah. Dan bukankah wajah ceria menandakan apa
yang aa didalam hati? Bila hati telah menyatu maka kebaikan akan dengan mudahnya
mengalir dari kedua belah pihak. Masing-masing pun menjadi bahagia.

2. Saling memberi nasehat Memberi nasehat


adalah bukti perhatian dan kecintaan seseorang kepada orang yang ia nasehati.
Dalam komunitas masyarakat muslim, nasehat adalah kebutuhan mutlak, baik nasehat
itu bersifat duniawi maupun ukhrawi.Bahkan dalam H.R Muslim

ُ‫سلَّ َم قَا َل ال ِّديْن‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو‬َ ‫ض َي هللاُ تَ َعالَى َع ْنهُ َأنَّ النَّبِ َّي‬ ٍ ‫عَنْ َأبِي ُرقَيَّةَ تَ ِم ْي ٍم ْب ِن َأ ْو‬
ِ ‫س الدَّا ِري َر‬
‫سلِ ٌم‬
ْ ‫سلِ ِميْنَ َوعَا َّمتِ ِه ْم – َر َواهُ ُم‬ ْ ‫س ْولِ ِه َوَأِلِئ َّم ِة ال ُم‬
ُ ‫قَا َل هللِ َولِ ِكتَابِ ِه َولِ َر‬ ‫ لِ َمنْ ؟‬: ‫ص ْي َحةُ قُ ْلنَا‬ ِ َّ‫الن‬

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami
bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-
Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.”
(HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 55

Diriwayatkan dari jabir bin abdullah r.a bahwasanya ia berkata: “aku berbai’at
kepada Rasulullah SAW untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberi
nasehat kepada setiap muslim,” (HR. Bukhari) Dengan nasehat seorang muslim yang
hendak melakukan kesalahan akan segera meninggalkannya. Bila terlanjur
melakukannya maka kesalahan yang dilakukannya tidak sampai menjadi kebiasaan.

3. Memenuhi undangan Sungguh amat membahagiakan bila kita mengundang


kawan dan kolega dalam suatu acara yang kita selenggarakan kemudian mereka
datang. Sebaliknya akan kita sesalkan dan bahkan menyakitkan bia mereka menolak
datang. Karena itu, memenuhi undangan berarti membahagiakan orang lain, mematri
hakekat persaudaraan dan menambah kecintaan sesama muslim. Disamping itu juga
prtanda kemurnian jiwa. Untuk itu ajaran islam menekankan pentingnya masalah ini.
Diriwayatkan jabir bin abdulah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

‫ص ِّل وَِإنْ َكانَ ُم ْف ِط ًرا فَ ْليَ ْط َع ْم‬ َ َ‫ِإ َذا د ُِع َى َأ َح ُد ُك ْم فَ ْليُ ِج ْب فَِإنْ َكان‬
َ ُ‫صاِئ ًما فَ ْلي‬
“Jika salah seorang di antara kalian diundang makan, maka penuhilah
undangan tersebut. Jika dalam keadaan berpuasa, maka do’akanlah orang yang
mengundangmu. Jika dalam keadaan tidak berpuasa, santaplah makanannya.” (HR.
Muslim no. 1431)

Memenuhi undangan bisa menghadirkan rasa cinta, kasih sayang dan ketulusan jiwa
diantara sesama. Juga dapat bermanfaat untuk saling mengenal dengan sesama
undangan lain.
4. Menjenguk orang sakit Dianta hak seorang muslim atas muslim lainnya,
seperti ditegaskan dalam hadis riwayat muslim adalah bila ia sakit maka ia berhak
untuk dijenguk. Hak adalah sesuatu yang harus dimiliki. Sehingga orang fakir miskin
berhak atas lsebagia harta orang-orang kaya. Maka orang sakit mesti dijenguk,
sehingga mendapatkan hak nya. Karena itu, akan sangat mulia bila lembaga-lembaga
keagamaan atau sosial memperhatikan orang-orang sakit terutama dari kalangan fakir
miskin dengan misalnya memberikan santunan obat-obatan dan makanan. Rasululah
SAW mengumpamakan orang yang menjenguk orang sakit dengan sabdanya:
“sesungguhnya seseorang itu bila menjenguk saudaranya yang sakit senantiasa dalam
khufatul jannah sampai ia pulang. Ditanykan wahai rasululah, apakah yang dimaksud
dengan khurfatul jannah? Nabi menjawab memetik buah surga yang telah matang”
(HR.Muslim)

5. Tidak menjadi beban orang lain Termasuk yang dapat membahagiakan hati
sesama muslim ialah tidak memjadi beban baginya dlam urusan apapun. Karena itu
dalam hubungan antar sesama hendaknya kita selalu mengusahakan untuk bisa
menolong dan membantu orang lain. Bukan sebaliknya, selalu menghujaninya dengan
berbagai permintaan dan hal-hal yang membuatnya merasa sempit, tertekan dan
merugi. Selalu menggantungkan kepada orang lain dan menjadi beban baginya adalah
perbuatan tidak terpuji, bahkan lambat laun akan merusak hubungan kita dengam
sesama. Para salafus shaleh sangat menjaga diri untuk tidak merepotkan apalagi
menjadi beban orang lain. Suatu ketika, Abu Bakar r.a sedang berada diatas untanya,
tiba-tiba cambuknya terjatuh. Sahabat yang berada dibawahnya segera hendak
mengambilkannya tetapi abu bakar mencegah. Ia kemudian turun dan mengambilnya
sendiri karena tidak mau membuat repot orang lain.

6. Membayarkan hutang orang lain Hutang bisa membuat hati resah-gelisah.


Karena itu Rasulullah SAW memohon perlindungan kepada Allah agar dibebaskan
dari lilitan hutang. Dalam doanya: “YaAllah sesungguhnya aku meminta
perlindungan kepadamu dari kekhawatiran, kesusahan, kemiskinan, ketakutan,
terabaikannya hutang dan tekanan orang lain.” (muttafaq alaih) Lepas ari hutang
berarti kebahagiaan dan ketenangan hidup. Maka termasuk membahagiakan orang
lain jika kita membayarkan hutang mereka. Dalam kehidupan orang-orang shaleh
dikisahkan masyruq pernah mempunyai hutang yang sangat banyak. Tetapi secara
diam-diam khaisamah membayarkan dan melunasi hutang-hutang masyruq sehingga
ia terbebas dari lilitan hutang. Dan pada saat lain khaisamah juga mempunyai lilitan
hutang yang amat banyaksecara diam-diam pula masyruq yang sudah membaik
perekonomiannya melunasi seluruh hutang saudaranya tersebut. Dengan
membayarkan hutang orang lain berarti kita memudahkan kehidupannya juga
keluarganya. Kita pun dengan demikian insyallah akan dimudahkan Allah dalam
kehidupan kita, baik didunia maupun diakhirat.

7. Mendoakan orang islam Diantara hal yang harus dimiiki oleh setiap muslim
adalah rasa peduli kepada sesamanya dengan selalu mendoakan mereka, baik yang
masih hidup maupun mereka yang sudah meninggal, Seperti berdoa untuk dirinya
sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
‫ستَ ْغفَ َر‬
ْ ‫ « َم ِن ا‬:‫سلَّ َم يَقُو ُل‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ :‫ قَا َل‬،‫ت‬ َّ ‫عَنْ ُعبَا َدةَ ْب ِن ال‬
ِ ‫صا ِم‬
ً‫سنَة‬ ِ ‫»لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َوا ْل ُمْؤ ِمنَا‬
َ ‫ت َكت ََب هَّللا ُ لَهُ بِ ُك ِّل ُمْؤ ِم ٍن َو ُمْؤ ِمنَ ٍة َح‬
"Dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa mendoakan ampunan bagi kaum
mukminin dan mukminat, Allah akan menuliskan untuknya pahala sejumlah mukmin
dan mukminah". (HR. at-Thabarani)
Kita sebagai hamba biasa tidak tau seberapa sering kita berdoa dan
mendoakan orang lain. Amalan yang kita lakukan lainnya juga kita tidak tau dan yang
pasti kita tidak dapat menghitungnya.
Yang dapat menghitung amalan kita hanya Allah dan para malaikat yang
selalu ada disisis kita.
Apalagi jika kita mendoakan orang lain secara diam-diam, maka malakikat
akan langsung mencatat kebaikan kita dan langsung mendoakan kita seperti doa kita
panjatkan untuk orang lain. Sepert hadits yang diriwayatkan Muslim yang
menjelaskan hal tersebut, “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan
bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan
berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (HR. Muslim no. 4912).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Iman merupakan salah satu aspek kajian terpenting dalam sejumlah hadis Nabi
shalallahu alaihi wassalam. Dan iman ini berkenaan dengan hati dan tentunya
tidak satupun yang tau akan sesuatu yang ada didalam hati kecuali Allah SWT.
Namun, sebagai orang yang lemah manusia dapat menilai apakah seorang itu
benar-benar beriman yang baik atau tidak tentunya dapat dinilai dari perbuatan
baik maupun buruk yang nyata dalam kehidupannya. Karena iman tidak hanya
cukup dengan pengakuan hati tetapi harus terealisasi dalam kehidupannya. Bila
baik perilakunya itu adalah indikasi bahwa imannya bagus, sebaliknya bila jelak
berarti imannya rusak
B. Daftar Pustaka

Jurnal Studi Hadis Volume 2 Nomor 2 2016


Syafe’i Rahmat, Al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia: 2000 8
Realisasi iman dalam kehidupn sosial,vol 9,no 1 januari 2012

Hadis arbain nawawi, Bandung, husain bandung:1992

Realisasi iman dalam kehidupn sosial,vol 9,no 1 januari 2012

Anda mungkin juga menyukai