Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH HUKUM KEUANGAN NEGARA

TENTANG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DARI ASPEK HUKUM

OLEH:

SRI SATRIANI PUTRI

B011171586

FAKULTAS HUKUM

PRODI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat-
Nyalah makalah ini dapat terselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk menyelesaikan tugas makalah mengenai Kerugian Keuangan, selain itu juga
untuk meningkatkan pemahaman saya mengenai materi, dan sebagai tugas
tambahan.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat


kekurangan, maka dari itulah bagian dari kelemahan saya. Mudah-
mudahan melalui kelemahan itulah yang akan membawa kesadaran kita akan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada pembaca yang


telah meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini. Untuk itu saya selalu
menantikan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan
penyusunan makalah ini.

Makassar, 30 Oktober 2019

Sri Satriani Putri


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................

A. Latar Belakang................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................

A. Pengertian........................................................................................
B. Timbulnya Kerugian Keuangan Negara..........................................
C. Kewenangan Menetapkan Kerugian Keuangan Negara..................
D. Kerugian Keuangan Negara Unsur Delik Korupsi..........................

BAB III PENUTUP.....................................................................................

A. Kesimpulan......................................................................................
B. Saran................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerugian keuangan negara bersumber dari Undang-Undang
Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-
Undang Mata Uang, Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan serta Undang-Undang Badan Pemeriksaan
Negara. Kerugian keuangan adalah berkurangnya uang, atau barang milik
negara yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan yang
tidak bersesuaian dengan hukum karena dilakukan dengan sengaja atau
kelalaian. Salah satu penyebab timbulnya kerugian keuangan negara
adalah pejabat negara, bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain, yang melakukan perbuatan yang tidak bersesuaian dengan
hukum atau yang melalaikan kewajiban hukum.
Dan yang berwenang dalam menetapkan terjadinya kerugian
keuangan negara juga memerlukan penguraian seacara keilmuan dalam
bidang hukum keuangan negara. Korupsi adalah salah satu penyebab
kerugian keuangan hukum yang dipandang sebagai unsur delik korupsi,
Korupsi telah menjadi wabah yang berkembang dengan sangat subur dan
tentunya berdampak pada kerugian keuangan negara. Tindakan korupsi
yang menimbulkan kerugian keuangan negara merupakan salah satu
tindak pidana yang memiliki hukuman yang paling berat di antara jenis
tindakan korupsi yang lain, hal ini tentunya sejalan dengan fungsi dari
keuangan negara adalah untuk membiayai kegiatan negara yang
tujuannya adalah untuk mensejahterahkan rakyat, selain itu salah satu
sumber keuangan negara adalah dari kontribusi pajak dari rakyat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yaitu:
1. Apa pengertiankerugian negara?
2. Siapa yang berwenang dalam menetapkan kerugian keuangan negara?
3. Bagaimana kerugian negara dalam unsur delik korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Kerugian keuangan negara merupakan salah satu objek hukum dari


keuangan negara dengan substansinya yang prinsipil. Jika dikaji hukum
keuangan negara bersumber dari Undang-Undang Keuangan Negara,
Undang-Undang Perbendahraan Negara, Undang-Undang Mata Uang,
Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negar, serta Undang-Undang Badan Pemeriksaan Keuangan,
tidak ada pengertian mengenai kerugian keuangan negara. Tetapi, dalam
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Perbendaharaan Negara ditemukan
pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga,dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai.

Kerugian keuangan negara adalah berkurangnya uang atau barang


milik negara yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai dari perbuatan yang
tidak bersesuaian dengan hukum karena dilakukan dengan kesengajaan
atau kelalaian. Dari pengertian tersebut terdapat unsur-unsur dari kerugian
negara, yaitu:
a. Kerugian negara merupakan berkurangnya keungan negara berupa
uang berharga, barang milik negara dari jumlahnya/nilai yang
seharusnya.
b. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus pasti dan nyata
dari jumlahnya atau kerugian tersebut harus benar-benar telah terjadi
dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya.
c. Kerugian tersbut merupakan akibat tindakan melawan hukum, baik
sengaja maupun lalai, serta unsur melawan hukum harus dapat
dipastikan secara cermat dan tepat.
Kerugian negara dan kerugian keuangan negara memiliki perbedaan,
kerugian negara memilki substansi yang luas daripada kerugian keuangan
negara sebagai bagian yang tak pernah terpisahkan dari kerugian negara.
Oleh karena itu, kerugian negara meliputi kerugian keuangan negara serta
kerugian perekonomian negara. Demikian, kerugian keuangan negara
merupakan bagian dari kerugian negara dan tidak dapat disamakan.

B. Timbulnya Kerugian Keuangan Negara


Pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh presiden sebagain
kepala pemerintahan negara karena merupakan bagian tak terpisahkan dari
pemerintahan negara. Dalam melakukan pengelolaan keuangan negara,
presiden dibantu oleh beberapa pihak yang dianggap mampu dan cakap di
bidang keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara yang dilakukan
oleh beberapa pihak tersebut, diwajibkan untuk tidak menimbulkan
kerugian keuangan negara karena berpengaruh negative dalam pemenuhan
tugas negra sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Unsdang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sebagai dasar untuk mengkajinsubstansi tentang timbulnya kerugian
keuangan negara, yakni kaidah hukum keuangan negara. Kaidah hukum
keuangan negara yang dijadikan dasar terdapat pada Pasal 59 ayat (2)
Undang-Undang Pemeruksaan Pengelolaan dan Tanggung Jwab Keuangan
Negara. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Keuangan Negara, ditegaskan
bahwa setiapa pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang
melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung dan tidak
langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti
kerugian yang dimaksud. Kemudian, Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
menegaskan bahwa bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikna
kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Berdasarkan kaidah hukum tersebut, maka timbulnya kerugian


keuangan negara, disebabkan oleh:
a. Pejabat negara, bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain;
b. Perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum; atau
c. Perbuatan melalaikan kewajiban hukum yang dibebankan.

Peranan penting dalam pengkajian timbulnya kerugian keuangan


negara tertuju pada perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum atau
melalaikan kewajiban hukum yang dibebankan untuk dilaksanakan.
Perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum dalam kaitan pengelolaan
keuangan negara yang terjadi pada pejabat negara, bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain dalam meneglola keuangan
negara, yang terdiri dari:

a. Tidak melakukan perbuatan hukum sehingga tidak bersesuaian dengan


kewajiban hukum;
b. Melakukan perbuatan hukum tetapi tidak sesuai dengan hukum
(onrechtmatige overheidsdaad)
c. Penyalahgunaan wewenang (detournement de poviour);
d. Melampaui batas kewenangan (daad van willekeur).

Hal ini bergantung pada ketaatan hukum yang dimiliki oleh para
pihak tersebut, apabila ketaatan hukum masih rendah berarti peluang lebih
besar untuk menimbulkan kerugian keuangan negara pada saat meneglola
keuangan negara. Sebaliknya, jika ketaatan hukum cukup tinggi berarti
peluang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat kecil pada saat
meneglola keuangan negara.

Kemudian, subsantsi hukum bagi perbuatan yang tidak bersesuaian


dengan hukum dalam kajian hukum pidana, sebagai berikut:

a. Perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum dalam arti formil,


yaitu perbuatan yang dilakukan secara tegas bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku.
b. Perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum dalam arti materiil,
yaitu perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, tetapi apabila
perbuatan itu dipandang tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadailan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat.

Melalaikan kewajiban hukum yang menimbulkan kerugian keuangan


negara, pada hakikatnya terjadi pada saat tidak memenuhi kewajiban yang
diwajibkan oleh hukum keuangan negara berhak melakukan penagihan
tetapi tidak dilakukan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Kewajiban hukum tersebut kadang kala tidak disadari oleh peneglola
keauangan negara dalam rangka mengelols keuangan negara sehingga hak
menagih dari negara dinyatakan kadaluarsa. Hukum keuangan negara
meletakkan hak bagi negara untuk melakukan penagihan tetapi hak itu
tidak dilakukan sehingga negara mengalami kerugian keuangan negara.

a) Kerugian keuangan negara berkenaan dengan aset

Timbulnya kerugian negara menurut Theodorus M. Tuanakotta


(2009:158-164) terbagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:

a. Pengadaan Barang dan Jasa


Bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan jasa
adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya, bentuk
kerugiannya dapat berupa:
1. Mark Up untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan
dokumen tender. Kualitas dan kuantitas barang sudah benar tapi
harganya lebih mahal;
2. Syarat penyerahan barang (terms of delivery) lebih “istimewa”,
oleh karena syarat pembayaran (terms of payment) tetap, maka
ada kerugian bunga.
3. Harga yang lebih mahal dikarenakan kualitas barang yang
dipasok dibawah persyaratan. Harga secara total “sesuai”
dengan kontrak tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih
rendah dari yang disyaratkan.
4. Syarat pembayaran yang lebih baik, tetapi syarat-syarat lainnya
seperti kuantitas, kualitas, dan syarat penyerahan barang tetap.
Seperti contoh diatas, ada kerugian bunga.
5. Kombinasi dari kerugian yang disebutkan diatas, seperti mark
up dan adanya kerugian bunga.
b. Pelepasan Aset
Pelepasan aset atau pelepasan kekayaan atau pelepasan harta
negara. Berikut bentuk pelepasan aset (diposal of asset atau asset
dipossal) dan kerugian yang dapat ditimbulkan, sebagai berikut:
1. Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan “nilai buku” (nilai
buku akuntansi) sebagai patokan. Panitia penjualan (boleh
direksi dangan persetujuan Dewan Komisaris) menyetujui
harga jual di atas nilai buku. Proses penjulannya dapat dengan
atau tanpa tender. Praktik tender yang curang serupa dengan
proses tender pada pengadaan barang dan jasa.
2. Penjual tanah dan bangunan “diatur” melalui Nilai Jual Objek
Pajak hasil kolusi dengan pejabat terkait. Nilai Jual Objek
Pajak disini berperan seperti “nilai buku”, yaitu sebagai
pembenaran, seakan-akan penjualannya telah dilakukan
dengan due process.
3. Tukar guling (ruislagi) tanah dan bangunan yang dikuasai
negara denga tanah, bangunan, atau aset lain. Oleh karena asset
ditukar dengan aset, maka nilai pertukaran (exchange values)-
nya lebih sulit ditentukan.
4. Pelepasan hak negara untuk menagih. Hak negara dapat timbul
karena perikatan (misalnya dalam bantuan likuiditas Bank
Indonesia) dan putusan pengadilan. Pelaksanaan klaim atau
hak tagih sering kali terlaksana seret. Tidak atau kurang ada
pengendalian internal atas hak tagih ini atau tindak lanjutnya
sangat lemah. Para makelar perkara (wartawan
memperkenalkan istilah “markus” atau makelar kasus)
memberikan perangsan kepada penguasa untuk
“menghilangkan hak tagih”. Sebaliknya, penegak hukum
melihat “peluang” untuk berkooptasi dengan para makelar
kasus. Bentuk dan besarnya kerugian keuangan negara
seharusnyabukan semata-mata jumlah pokok (total loss), tetapi
juga kerugian bunga untuk periode sejak hak tagih “hilang”
sampai terpidana membayar kembali berdasarkan putusan
majelis hakim.
c. Pemanfaatan Aset
Kementerian negara, BUMN, BUMD, badan hukum milik negara,
badan layanan umum dan lembaga-lembaga negara lainnya
mempunyai aset yang mungkin belum dimanfaatkan secara penuh
karena “salah beli” ata “salah urus”. Pihak jetiga melihat peluang
untuk memanfaatkan kekayaan negara ini, tetapi bukan melalui
tranksaksi jual-beli. Tranksaksinya dapat berupa sewa, kerjasama
operasional, atau, kemitraan strategis.
Aset atau keayaan negara yang boleh “dikaryakan” bermacam-
macam bentuknya. Keayaan tersebut dapat berupa aset berwujud
(tangible asset) maupun aset tak berwujud (intangible asset).
Berikut bentuk-bentuk kerugian keuangan negara dari pemanfaatan
aset, sebagai berikut:
1. Negara tidak memperoleh imbalan yang layak dari harga pasar;
2. Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional
yang melibatkan aset negara yang “dikaryakan” kepada mitra
usaha;
3. Negara kehilangan aset yangdijadikan jaminan kepada pihak
ketiga, dalam rangka kerja sama operasional atau kerja sama
lainnya (dimana aset diperhitungkan sebagai inbreng), atau
perbuatan lainnya.
d. Penempatan Aset
Penempatan aset (asset placement) merupakan penanaman atau
investasi dari dana-dana negara. Kerugian keuangan negara terjadi
karena kesengajaan menepatkan dana-dana tersebut pada investasi
yang tidak seimbang riskreward-nya. Tidak jarang, substansi
penempatan aset sudah memperlihatnkan unsur perbuatan
melanggar hukum, meskipun seandainya diabaikan masalah
imbalannya (reward) yang sangat rendah.
Penempatan aset merupakan “kita” para pelaku kejahatn kerah
putih (white collar crime). Tranksaksi didukung dengan segala
dokumen hukum yang “sah” dan “lengkap”. Bentuk luarnya
senpurna tapi substansinya bodong. Adapun bentuk-bentuk
kerugian keuangan negara yang terkait dengan penempatan aset
negara, sebagai berikut:
1. Imbalan yangbtidak sesuai dengan risiko. Kerugiannya selisih
bunga ditambah premi untuk faktor tambahan risiko dengan
imbalan yang diterima selama periode sejak dilakukannya
penempatan aset sampai pengembaliannya.
2. Jumlah pokok yang ditanamkan (principal amount) dan yang
hilang. Kerugiannya adalah sbesar jumlah pokok dan bunga.
3. Jika ada dana-dana pihak ketiga (disamping dana negara) yang
ikut hilang dan ditlang olrh negara, kerugiannya sebesar
jumlah pokok dari dana talngan beserta bunganya.
e. Kredit Macet
Kredit diberikan dengan melanggar tata cara perkreditan, baik yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun oleh bank BUMN itu
sendiri. Bangkir yang koruptor (dan tim pembelanya) akan
menggunakan argument bahwa kredit macet merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari risiko usaha perbankan.
Pemberian kredit dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih,
dilakukan dalam bentuk kolusi antara pejabat bank (kadang kala
sampai tingkat direksi, dengan atau tanpa restu dewan komisaris)
dan sarat dengan benturan kepentingan. Pada penyidikan
selanjutnya (tahap selanjutnya), pelaku yang menjadi penerima
kredit mencoba menylesaikan kredit macetnya dengan melunasi
pokok pinjaman (dengan atau tanpa negosiasi haircut).
Penyelesaian pokok pinjaman ini seharusnya tidak menyelsaikan
tindak pidana korupsinya. Maka dari itu pemberian kreditnya
dilakukan dengan cara melanggar hukum, bentuk kerugian
keuangan negara berupa jumlah pokok dan bunga tanpa dikurangi
hak haircut. Tindak pidana korupsi yang terkandung dalam
tranksaksi ini membedakan bagian dari credit risk suatu bank
BUMN. Jika risiko ini murni risiko bisnis, wajar jika bank
memberikan haircut dalam proses restruktusisasi pinjaman.

b) Kerugian keuangan negara berkenaan dengan kewajiban


Terdapat 3 jenis kerugian negara berkaitan dengan kewajiban di
antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata,
kewajiban bersyarat yang menjadi nyata, dan kewajiban
tersembunyi.
1. Perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata
Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong,
dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal
karena mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat
fraud-nya adalah penjarahan kekayaan negara melalui
penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi normal.
Bentuk kerugiannya adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga
selama periode sejak timbulnya kewajiban nyata sampai dengan
pengembalian dana oleh terpidana.
2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat
Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan
perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan
contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak
menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan
kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu
memenuhi kewajibannya sehingga lembaga negara yang
menjadi penjaminnya memiliki kewajiban nyata yang
sebelumnya adalah kewajiban bersyarat.
Bentuk kerugian keuangan negara adalah sebesar jumlah pokok
kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat
berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian
dana tersebut oleh terpidana.
3. Kewajiban tersembunyi
Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu
lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya
mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor
akuntan yang termasuk dalam Big Four senantiasa
memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah
hukum karena legal expenses merupakan tempat persembunyian
segala macam biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak
pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika
auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara:
a. Menciptakan aset bodong untuk menghindari
pengeluaran fiktif.
b. Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban
kepada pihak yang masih terafiliasi.

c) Kerugian keuangan negara yang berkenaan dengan penerimaan


Penerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang,
misalnya:
1. penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai,
2. penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas
pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral
lainnya.
3. penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat
ditemukan di hampir semua lembaga namun pertanggungan
jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh
BPK, sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di
Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya
mempunyai kewenangan atas PNBP.
Terdapa tiga sumber kerugian keuangan negara yang berkenaan
dengan penerimaan

1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya


2. Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang
Bertanggung Jawab
3. Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa
Pengurangan Pendapatan Negara

d) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Pengeluaran


Kerugian keuangan negara terjadi karena pengeluaran negara
dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran negara
seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran negara dilakukan
lebih cepat.
Kerugian keuangan negara berkenaan dengan transaksi pengeluaran
dapat terjadi karena hal-hal berikut.
1. Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif
2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan
yang Sudah Tidak Berlaku Lagi.
3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat.

C. Kewenangan Menetapkan Kerugian Keuangan


Lembaga atau badan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Badan Pemeriksa Keuangan.
Pengaturan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan terdapat pada Pasal
23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G UU Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
1) “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan
mandiri”.
2) “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya”.
3) “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan undang-undang”.
Pasal 23F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
1) “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden”
2) “Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh
anggota”.
Pasal 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945:
1) “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi”.
2) Ditentukan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan
Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang”.

Berdasarkan dengan sumber hukum terhadap badan pemeriksaan


keuangan tersebut, maka satu-satunya lembaga yang berwenang
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara,
yakni Badan Pemeriksa Keuangan. Kehadirannya tidak dapa diganggu
gugat oleh badan atau pihak lain terhadap pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara, termasuk badan pengawas
keuangan dan pembangunan, serta akuntan lain.

Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga yang


berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara yang bebas dan mandiri. Dalam hal ini, tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun, termasuk presiden sebagai kepala
pemerintahan negara. Padahal, dalam pengelolaan keuagna negara
kedudukan presiden merupakan chief financial officer.
Untuk dapat lebih memudahkan melaksanakan pemeriksaan
peneglolaan dan tanggung jawab keuangan negra, maka ditetapkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan. Undang-undang ini diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Dasar pertimbangan ditetapkan Undang-Undang
Badan Pemeriksa Keuangan dapat dilihat dalam pertimbangan, pada hal
menimbang, sebagai berikut:

1. Bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam


penyelenggaraan dan mempunyai manfaat yang sangat penting gun
mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil,
Makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud
pada nomor 1, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan
professional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan napotisme.
3. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK sudah
tidak sesuai dengan perkembangan system ketatanegaraan, baik
pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
nomor 1, 2, dan 3, perlu membentuk Undang-Undang tentang BPK.

Perkembangan yang signifikan terdapat dalam Undang-Undang


BPK, berikut beberapa Undang-Undang dalam BPK:

1. Adanya pedoman pemeriksaan bagi Badan Pemeriksa Keuangan


dengan berpedoman pada Undang-Undang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
2. Pemeriksaan peneglolaan keuangan negara dan tanggung jawab
keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan
terhadap:
a. Pemerintah pusat;
b. Pemerintah daerah;
c. Lembaga negara lainnya;
d. Bank Indonesia;
e. BUMN;
f. BUMD;
g. Badan layanan umum; dan
h. Lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara
berbadan hukum (PTN Berbdan Hukum)
3. Badan Pemeriksa Keuangan menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakbatkan oleh perbuatan yang tidak
bersesuaian dengan hukum baik sengaja maupun lalaiyang
dilakukan oleh:
a. Bendahara;
b. Pengelola BUMN
c. Pengelola BUMD; dan
d. Lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara, seperti PTN Berbadan
Hukum.

Wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian


negara pada hakikatnya berada pada Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam arti pengawas keuangan dan pembangunan, serta akuntan
lain tidak berwenang menetapkan jumlah kerugian keuangan
negara tanpa menggunakan atau atas nama Badan Pemeriksa
Keuangan. Dasar hukum bagi Badan Pemeriksa Keuangan terdapat
pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Badan
Pemeriksa Keuangan, yang menetapkan sebagai berikut:

a. Badan Pemeriksa Keuangan menilai dan/atau menetapkan


jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan
lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
b. Penilaian kerugian keuangan negra dan/atau penetapan pihak
yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (10 ditetapkan dengan keputusan Badan
Pemeriksa Keuangan.

Sehubungan penetapan kerugian keuangan negara oleh Badan


Pemeriksa Keuangan dalam bentuk keputusan, maka keputusan itu
harus dipertanggungjawabkan baik di luar maupun di dalam peradilan.
Hal ini dimaksudkan karena keputusan Badan Pemeriksa tentang
kerugian keuangan negara merupakan pencemaran nama baik ketika
memuat data atau keterangan yang tidak benar secara yuridis.

Penetapan jumlah kerugisn keuangan negara oleh Badan Pemeriksa


Keuangan dipertegas oleh ketua Mahkamah Agung Re[ublik Indonesia.
Penegasan ini ditetapkan dalam bentuk fatwa Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 068/KMA/HK.01/VII/2012. Jika terdapat
lembaga selain Badan Pemeriksa Keuangan yang menetapkan jumlah
kerugian keuangan negara, berarti penetapan jumlah kerugian keuangan
negara tersebut batal demi hukum.

Jika dikaji dalam bidang ilmu hukum, fatwa Mahkamah Republik


Indonesia Nomor 068/KMA/HK.01/VII/2012 pada hakikatnya hanya
mengikat bagi hakim tatkala melakukan pemeriksaan kasus tindak
pidan korupsi. Dengan demikian, wewenang untuk menetpakan
kerugian negara berada dalam kewenangan Badan Pemeriksa
Keuangan.

D. Kerugian Keuangan Negara Unsur Delik Korupsi


Keberadaan kerugian negara sebagai unsur delik korupsi diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Korupsi. Dengan demikian, cara pandang terhadap kerugian kauangan
negara tidak didasarkan pada aspek hukum keuangan negara, melainkan
dari aspek hukum pidana.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
KOrupsi, yang mengatur setaiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapt merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidan penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit RP 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dang
paling banyak RP 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak PIdan Korupsi
yang mengatur setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidanapenjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau
denda paling sedikit RP 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak RP 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam bagian penjelasan Umum UU Tipikor disebutkan keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala kerugian
keuangan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawakan pejabat lembaga negara baik di tingkat
pusat maupun di daerah;
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha
Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan Perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan
modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut


dapat menimbulkan kesulitan. Kesulitan tersebut ada dalam upaya
menetapkan berapa kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi, dan berapa besar jumlah uang pengganti yang
akan dibebankan kepada terpidana, disamping kesulitan mengenai
pembuktian dipersidangan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memuat kata-kata yang berbunyi, “…


yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara”,
sebagai salah satu unsur dapat tidaknya pelaku korupsi dikenakan
pidana. Pada praktiknya, terdapat perdebatan akan pemahaman
dan penerapan kata “dapat merugikan”. Kata “dapat merugikan”
bertentangan dengan konsep actual loss di mana kerugian negara
harus benar-benar sudah terjadi. Sedangkan konsep potential loss
memungkinkan bahwa dengan adanya perbuatan (melawan hukum)
memperkaya diri sendiri walaupun belum terdapat kerugian negara
secara pasti, unsur kerugian negara sudah dapat diterapkan.

Adanya pemahaman yang berbeda soal unsur kerugian keuangan


negara dapat dilihat pada perkara korupsi yang melibatkan Direksi Bank
Mandiri, ECW Neloe dkk. Pada bagian pertimbangan Putusan, majelis
hakim PN Jakarta Selatan yang membebaskan tiga mantan direksi Bank
Mandiri menyatakan bahwa unsur “dapat merugikan dkeuangan negara”
tidak terbukti.

Kredit yang disalurkan Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha


Nusantara (CGN) belum dapat dikatakan merugikan negara karena
perjanjian kredit masih berlangsung hingga September 2007 dan CGN
selalu membayar cicilan hutang. Karenanya, majelis berpendapat
secara substansi Bank Mandiri tidak mengalami kerugian sehingga
negara juga tidak dirugikan. Pendapat majelis ini mengacu pada definisi
kerugian negara dalam Pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004
tentang Perbendaharaan Negara, yang mensyaratkan adanya kerugian
negara yang benar-benar nyata.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006,


disebutkan bahwa kalimat “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” berarti ada kerugian nyata (actual loss),maupun
hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian
(potential loss); pemahaman bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di
depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi
hanya “dapat’ menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau
potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah
dapat diajukan ke depan pengadilan.

Mahkamah dalam hal ini berpendapat bahwa kerugian yang


terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar,
sangatlah sulit dibuktikan secara tepat. Ketepatan yang dituntut
sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika jumlah
kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat,
namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti adanya
perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi
atau akurasi kesempurnaan pembuktiaan, sehingga menyebabkan
dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam tidak
dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan
yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat
terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku,
sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi dengan secara melawan hukum
(wederrechtelijk) telah terbukti.

Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang


a quo sebagai delik formil,dengan demikian kategori tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai delik formil. Mahkamah juga menimbang
bahwa “dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam
melindungi seseorang, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan
keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1)
nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan
kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud
mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil.
Hakikat yang terkandung pada kerugian keuangan negara, berarti
penyelenggaraan negara atau pihak yang bertanggung jawab sebagai
pengelola keuangan negara yang tidak berpihak kepada rakyat yang tealh
menyerahkan sebagian harta kekayannya untuk negara dalam bentuk
memnayar pajak dan/atau penerimaan negara bukan pajak.

Pada sebuah perkara yang memiliki indikasi tindak pidana korupsi,


sebelum dinyatakan bahwa terdapat “kerugian negara”, maka perlu
melalui proses peradilan. Lembaga yang berwenang berkaitan dengan
proses peradilan tindak pidana korupsi, sesuai tugas dan fungsinya terdiri
dari: kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung. Dalam pelaksanaan proses peradilan terdapat fungsi yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
meliputi: penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelasanaan putusan,
pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Sedangkan untuk proses pengembalian kerugian keuangan negara


akibat pelaku tindak pidana korupsi dilakukan melalui 3 (tiga)
pendekatan yaitu:

1. Jalur Perdata
Pendekatan melalui jalur perdata ini dapat dilihat dalam ketentuan-
ketentuan pada Pasal 32 ayat (1) menetapkan bahwa dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
telah ada kerugia keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk diajukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
2. Jalur Pidana
Disamping itu dalam hal penyitaan, diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yaitu dalam pasal 38 yang mengatur tentang penyitaan hanya
dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua
Pengadilan Negeri setempat sebagaimana ditentukan dalam ayat (1),
dengan pengecualian sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) tanpa
mengurangi ketentuan ayat (1); Pasal 39 tentang benda-benda yang
dapat dikenakan penyitaan; Pasal 42 tentang kewenangan penyidik
untuk memerintahkan orang yang mengusai benda yang dapat disita,
menyerahkan benda tersebut untuk kepentingan pemeriksaan; dan
pasal 273 ayat (3) yang mengatur jika putusan pengadilan juga
menetapkan bahwa barang bukti yang dirampas untuk negara, selain
pengecualian sebagaimana diatur dalam pasal 46, Jaksa
mengusahakan benda tersebut kepada kantor lelang negara
dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, kemudian hasilnya
dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama Jaksa.
3. Jalur perampasan
Dalam hal perampasan akibat pelaku tindak pidana korupsi
ketentuannya diatur dalam pasal 38 ayat (5) yang menetapkan bahwa
dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan
dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana korupsi, hukum atas tuntutan penuntut
umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
Pasal 38 ayat (6) yang menetapkan bahwa penetapan perampasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan
upaya banding, sedangkan pasal 38B ayat (2) yang menetapkan
bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena
tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga
dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan
seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.

Selanjutnya mekanisme kerja BPK bersifat mandatory, yaitu


melakukan pemeriksaan keuangan negara kepada seluruh entitas yang
menggunakan uang negara. Setelah proses mandatory, bisa jadi timbul
kasus yang kemudian ditelusuri. Proses mandatory dilakukan dengan tiga
hal, audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan
tertentu. Prosedur tersebut merupakan agenda rutin tahunan. Pertengahan
semester pertama mengaudit laporan keuangan yang hasilnya bisa saja
mengindikasikan kerugian negara, baik di kementerian maupun di
daerah. Berikut alur kerja BPK:

1. Melakukan pemeriksaan keuangan negara


2. Penyerahan LHP kepada pemangku kepentingan
3. Melaporkan kepada apparat penegak hukumjika ditemukan unsur
pidana
4. Memantau tindak lanjut pemeriksaan BPK.

Secara praktis dan teoritis, metodologi pemeriksaan investigatif yang


digunakan untuk mengungkapkan dugaan adanya unsur tindak pidana
korupsi yang merugikan keuangan negara, paling kurang terdiri dari 11
(sebelas) langkah sebagai berikut:

1. pengumpulan Bukti
2. pengujian Bukti,
3. observasi,
4. pengujian fisik,
5. wawancara,
6. konfirmasi,
7. analisis data,
8. menyusun hipotesa,
9. menguji hipotesa,
10. menyempurnakan hipotesa,
11. penyusunan laporan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
pengertian dari kerugian keuangan negara, yang pada intinya mengacu
pada pengertian yaitu kerugian keuangan negara adalah berkurangnya
uang atau barang milik negara yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai dari
perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum karena dilakukan dengan
kesengajaan atau kelalaian. Terdapat beberapa unsur dalam kerugian
keuangn negara yaitu a) Kerugian negara merupakan berkurangnya
keungan negara berupa uang berharga, barang milik negara dari
jumlahnya/nilai yang seharusnya, b) Kekurangan dalam keuangan negara
tersebut harus pasti dan nyata dari jumlahnya atau kerugian tersebut harus
benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat
ditentukan besarnya. c) Kerugian tersbut merupakan akibat tindakan
melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, serta unsur melawan hukum
harus dapat dipastikan secara cermat dan tepat.
Berdasarkan kaidah hukum tersebut, maka timbulnya kerugian
keuangan negara, disebabkan oleh Pejabat negara, bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain; Perbuatan yang tidak
bersesuaian dengan hukum; atau Perbuatan melalaikan kewajiban hukum
yang dibebankan. Lembaga atau badan yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Badan Pemeriksa
Keuangan. Pengaturan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan terdapat
pada Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G UU Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Keberadaan kerugian negara sebagai unsur delik korupsi
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Korupsi.

DAFTAR PUSTAKA
Emerson Yuntho, Illian Deta, Arta Sari, Jeremiah Limbong, Ridwan Bakar,,
Firdaus Ilyas, Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik
Tindak Pidana Korupsi, 2014
Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi,S.H., M.H., Eka Merdeka Djafar, S.H., M.H.,
Hukum Keuangan Negara: Teori dan Praktik - Edisi Ketiga, PT Rajagrafindo
Persada, Depok, 2013
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Penerbit Salemba Empat, 2009

Anda mungkin juga menyukai