Anda di halaman 1dari 8

TEORI COMMON LINK MENURUT PARA ORIENTALIS

DAN VARIASINYA
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Orientalis atas Hadis

Dosen Pengampu : Dr. Inayah Rochmaniyah, M. Ag, M. Hum.

Disusun oleh:
Nama : M. Kamalul Fikri
NIM : 12531147

Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir


Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2015
PENDAHULUAN
Sebagian besar Ahli Hadis beranggapan bahwa apabila sebuah hadis tertentu yang
disandarkan kepada nabi di temukan dalam koleksi hadis kanonik, lebih-lebih dalam koleksi
shahih al-Bukhari dan Muslim maka dengan sendirinya hadis itu bersumber dari nabi. Akan
tetapi, G.H.A. Juynboll denangan menggunakan teori common link walaupun sebuaah hadis
tertentu telah direkam dalam al-kutub as-sittah, hadis itu belum tenru berasal dari nabi.

G.H.A Juynboll sebenarnya bukan orang pertama yang membicarakan fenomena common
link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori
tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht serta menyatakan bahwa
dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam the
orgins. Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan
kurang memperhatikan perhatian ekaborasi yang cukup memadai.

Teori common link dengan metode analisis isnad-nya tidak lain adalah sebuah metode
kritik sumber dalam ilmu sejarah. Metode Schcaht yang dikembangkan oleh Juynboll ini
kemudian di elaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnad - cum - matn.
Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem penaggalan hadis ini merupakan
salah satu metode dalam pendekatan sejarah. Begitu juga dengan Michael A Cook dengan the
spread of isnad.

Dalam kenyataannya, teori common link dengan metode analisis isnad-nya berbeda
dengan metode kritik hadis dikalangan ahli hadis karna keduanya bepijak pada premis-premis
yang berbeda secara total.

Demikianlah, kriteria keshahihan sebuah hadis menurut teori Common link bukan hanya
terletak pada kualitas riwayat, kuantitas, bahkan terletak pada konteks kesejarahannya. Semakin
banyak jalur isnad yang memancar atau menuju seorang periwayat semakin besar pula
kemungkinan jalur itu memiliki klaim kesejarahan.

1
PEMBAHASAN

Sarjana barat yang pertama kali memperkenalkan konsep common link adalah Joseph
Schacht, dalam bukunya yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence dijelaskan
bahwa

“the isnads show a tendency to grow backwards and to claim higher and higher authority
until they arrive at the Prophet”1

Bahkan menurut Schacht isnad disusun secara acak-acakan, 2 dan kesimpulan umum
Schacht terhadap hadis adalah semua hadis tidak dapat dibuktikan secara historis sampai kepada
Nabi. Munculnya common link dalam keseluruhan rangkaian isnad hadis merupakan sebuah
indicator yang kuat bahwa hadis muncul pada masa common link.

Dalam pandangan Juynboll, common link adalah yang bertanggung jawab pada matan
hadis dan juga pada jaringan para periwayat yang menghubungkan common link pada Nabi.
Menurut Juynboll, jika penyandaran hadis pada Nabi merupakan fakta sejarah, maka jaringan
hubungan itu seharusnya sudah mulai menyebar pada level sahabat, bukan level setelahnya yaitu
tiga atau empat level, bahkan generasi jauh setelahnya.

Juynboll menawarkan konsep diving ketika menjelaskan fenomena periwayatan yang


kelihatannya dilakukan oleh lebih dari satu tabiin atau lebih dari satu sahabat. Menurutnya
fenomena seperti itu sebenarnya adalah dibuat oleh penghimpun tertentu untuk mendukung
periwayatan hadis yang bersangkutan. Jalur tersebut melewati common link atau langsung
“diving” kepada level tabiin atau level sahabat dan semakin dalam jalur itu menyelam dibawah
common link semakin belakangan umur atau asal-muasal jaringan isnad tersebut.3

Kenyataan ini tidak dapat terlepas dengan penyebab munculnya system isnad, yaitu pada
saat Abdullah bin Zubair memproklamasikan pemberontakan atas Umayyah. Sejak masa ini
semua periwayat hadis diwajibkan untuk menyebutkan nama informannya atau periwayat-
periwayat yang lebih tua untuk mengisi ruang antara periwayat masa itu pada Nabi, yaitu sebagai
1
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950, hlm. 172
2
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950, hlm. 163
3
Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009) hlm 163-
164

2
penghubung. Periwayat setelah masa ini kemudian dengan serampangan mengambil atau
mencantumkan nama historis dan membuat nama-nama palsu informan mereka.4

Lebih jauh lagi, dalam konsep common link, Juynboll menemukan bahwa tidak semua
yang terlihat common link merupakan real common link, tapi menurutnya terdapat beberapa
common link yang statusnya berubah menjadi seeming common link dan yang kemudian menjadi
real common link adalah partial common link.5 Tentunya dengan mempertimbangkan pada hasil
dating dari penelitian yang dilakukan terhdap jalur-jalur isnad. Pada akhir, Juynboll mengklaim
bahwa tidak sedikit common link muncul sebagai akibat dari adanya fabrikasi isnad oleh generasi
belakangan.

Menurut Motzki tidak selalu Common link tersebut dapat dikatakan sebagai pemalsu
hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang menunjukkan beliau sebagai pemalsu
hadis. Oleh karena itu menurut Motzi Common link tersebut lebih relevan dikatakan sebagai
penghimpun hadis yang pertama, yang berperan sebagai perekam dan meriwayatkannya ke
dalam kelas-kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar yang terlembaga dan
berkembang.6

Menurut Juynboll, ketika Common link mengutip satu jalur riwayat hadis saja maka itu
berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka terima saja, dan tidak
menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi riwayat yang lain. sementara alasan
yang kedua adalah bahwa Common link hanya mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur
yang dianggapnya paling terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa mungkin Common
link menambah informan yang paling cocok apabila mereka lupa informan yang sebenarnya.

Junyboll mengatakan kita tidak pernah menemukan metode yang sukses secara moderat
untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadis kepada nabi. Selaian itu menurutnya, metode
kritik isnad memiliki babarapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad baru berkemabang pada
priode yang relative sangat lambat. Kedua, isnad hadis, sekalipun shahih, dapat di palsukan
secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak diterapannya kriteria yang tepat untuk
4
G.H.A Juynboll, Muslim Traditions, hlm. 5 lihat juga Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan
Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009) hlm 165
5
Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009) hlm 173-
174
6
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176.

3
memeriksa matan hadis.7 Oleh karena itu Juynboll mengajukan solusi dengan menggunakan
metode common link dan metode analisis isnad dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menentukan hadis yang akan diteliti.


2. Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis.
3. Menghimpun seluruh isnad hadis.
4. Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad.
5. Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadis.

Selain menggunakan metode analisis isnad, Juynboll juga melakukan analisis matan guna
menguji otentisitas dan kesejarahan hadis nabi. Secara umum langkah-langkah metode analisis
matan yang diajukannya adalah : (1). Mencari matan yang sejalan. (2). Mengidentifikasi common
link yang terdapat pada matan yang sejalan. (3). Menentukan common link yang tertua. (4).
Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadis yang sejalan.

Sedangkan menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari proses
penyebaran isnad dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah
hadis benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Oleh karena itu, metode common
link yang dikembangkan oleh Juynboll tidak dapat dipakai menelusuri asal-usul, sumber, dan
kepengarangan hadis.8 Secara sederhananya Common link sebagai akibat dari proses penyebaran
isnad. Untuk mengkritik metode common link Cook mengembangkan dan memperluas dari
Schacht yang lain, yaitu teori penyebaran isnad (the spread of isnad). Teori ini mengatakan
bahwa para periwayat hadis terbiasa menciptakan isnad-isnad tambahan untuk mendukung
sebuah matan yang sama.9 Menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari
proses penyebaran isnad dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukan bahwa
sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Oleh karena itu metode
common link yang dikembangkan oleh Juynboll tidak dapat dipakai untuk menelusuri unsur-
unsur sumber dan kepengarangannya. Proses penyebaran isnad paling tidak dapat terjadi dalam

7
Ali Masrur, Teori Common link G.H.A Juynboll, PT Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007. Hal 79
8
Ali Masrur, Teori Common link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi(Yogyakarta:
Lkis, 2007), hlm. 184-185.
9
Joseph Schact, The origin of Muhammad Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, 1950. Hal 166

4
tiga cara. (1) melompat periwayat sezaman. (2) menyandarkan hadis pada guru yang berbeda. (3)
mengatasi persoalan hadis-hadis yang “terisolir”.10

Jadi tentang penyebaran isnad dalam pandangan Cook sebenarnya telah merusak teori
common link dan membuatnya tidak dapat diproses lagi. Jika tiga skenario diatas terjadi dalam
sekala luas maka dengan sendirinya skenario itu meruntuhkan upaya apapun untuk menggunakan
isnad sebagai alat untuk menelusuri asal-usul hadis. Cook menyatakan bahwa upaya untuk
menyelidiki kronologi hadis dengan metode common link seperti dilakukan Van Ess dan
Juynboll adalah salah. Baginya, interpretasinya mengenai fenomena common link lebih
merupakan penghancuran informasi daripada memberikan informasi.

Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori Harald Motzki
tentang jalur tunggal (Singgle Strand), yaitu sebagai berikut:

1. Jalur tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan

2. Jalur tunggal berarti bahwa Common link ketika meriwayatkan hadis dari koleksinya
hanya menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling diketahui dan dinilai paling
otoritatif.

3. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang karena Common
link tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau karena versi tersebut tidak
diketahui di masa dan tempat Common link.

Dengan demikian kesimpulan Motzki berbeda dengan orientalis skeptisisme seperti


Schacht dan Ignaz Golzher yang menganggap semua hadis adalah palsu. Karena Motzki telah
membantah teori Schacht yang mengungkapkan bahwa isnad cenderung membengkak jumlahnya
makin ke belakang, dan teorinya bahwa isnad yang paling lengkap adalah yang paling
belakangan munculnya.

Berbeda dengan pendapat Schacht dan Juynboll yang menganggap common link sebagai
pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, maka Motzki pun menafsirkan common link sebagai
penghimpun hadis yang sistematis pertama, yang berperan merekam dan meriwayatkannya
dalam kelas-kelas murid regular, dan dari kelas-kelas itulah sebuah sistem belajar berkembang.11

10
Ali Masrur, Teori Common link G.H.A Juynboll, PT Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007. Hal 185
11
Kamaruddin amin, Metode kritik hadis..., hlm. 167.

5
Selanjutnya adapun pemahaman beliau terhadap suatu fakta bahwa para kolektor awal ini
(common link) mengutip hanya satu otoritas untuk riwayat mereka adalah mereka hanya
menyampaikan versi hadis yang telah mereka terima atau mereka menganggapnya sebagai jalur
yang paling tepercaya dan bahwa kebutuhan untuk mengutip otoritas dan informan yang lebih
banyak,dan juga berarti versi matan yang berbeda, namun demikian mungkin para penghimpun
(common link) menambah informan yang paling cocok apabila mereka lupa informan yang
sesungguhnya.

Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada penafsiran yang
berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas yang lebih awal dan fenomena
diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single strand) tidak harus berarti hanya satu jalur
periwayatan, melainkan jalur tunggal adalah berarti bahwa common link ketika meriwayatkan
sebuah hadis dari koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat menurut versinya adalah karena
common link menganggap bahwa riwayat tersebutlah yang paling dia ketahui. Sementara
dikemudian hari, para murid common link atau penghimpun belakangan mencoba untuk
menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau diabaikan oleh common link) bersama dengan
jalur-jalur informasinya. Apabila mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive”
satu atau lebih generasi dibawah commom link. Ini juga berarti bahwa strand yang “diving” tidak
harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan, sebagaimana yang
dipahami oleh Juynboll.12

Dalam menanggapi metode analisis isnad Juynboll, motzki mengajukan suatu metode
yang disebut dengan metode analisis isnad-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri
sejarah periwayatan hadits dengan cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam
berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagai
varian dari sebuah hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari prose
periwayatan dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya sebagiannya,
merepleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.13

Metode analisis isnad-cum-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah:

12
Kamaruddin amin, Metode kritik hadis...,, hlm. 168
13
Harald Motzki, “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: On the Origin and the Reliability of Some Maghazi-
reports”, dalam Harald Motzki (ed.), the Bioghraphy of Muhammad: The Issue of Sources, (Leiden: Brill, 2000),
hlm. 174.

6
1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad
2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi
periwayat yang berbeda-beda
3. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan
perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya.
4. Membandingkan analisis isnad dan matan.

Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link berbeda dengan
dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga cenderung mengakui sistem
isnad secara umum dan sistem common link secara khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
penanggalan.

Bibliografi

Ali Masrur. Teori Common link G.H.A Juynboll. Yogyakarta: PT Pelangi Aksara. 2007

G.H.A Juynboll. Muslim Traditions: Studies in Chronology Provenence and Authorship of Early
Hadith, Cambridge University Press

Harald Motzki (ed.), the Bioghraphy of Muhammad: The Issue of Sources, (Leiden: Brill, 2000)

Joseph Schacht. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford. 1950

Kamarudin Amin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: Hikmah. 2009

Anda mungkin juga menyukai