Anda di halaman 1dari 10

REVIEW JURNAL

Kritik atas Penafsiran Abdul Moqsith Ghazali tentang Keselamatan


Non-Muslim

PENULIS:

NAMA : VANNISYA RIFINA PUTRI

NIM : 18521032

DOSEN : ASEP SETIAWAN, S.Th.I., M.Ag.

MATA KULIAH : PENDIDIKAN AGAMA

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam merupakan agama yang berlandaskan dengan Al-Quran dan Hadist sebagai landasan
ketentuan-ketentuan atau peraturan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di dunia ini, juga
sebagai tuntunan bagi umat di dunia hingga akhir zaman. Review artikel jurnal dengan judul
“Kritik atas Penafsiran Abdul Moqsith Ghazali tentang Keselamatan Non-Muslim” ini bertujuan
untuk mengetengahkan penafsiran Abdul Moqsith Ghazali terhadap QS. al-Baqarah [2] ayat 62
dan QS. al-Maidah [5] ayat 69, tentang keselamatan non-Muslim sebagai legitimasi dari paham
pluralisme agama. Sehingga, menurut Moqsith, al-Qur’an tidak hanya mengakui ajaran agama dan
umat agama lain, namun, mereka juga akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan
agama mereka. Jelas bahwa hasil penafsiran dari Moqsith sangat bertentangan dan tidak sesuai
dengan penafsiran-penafsiran dari para ulama tafsir. Hal itu disebabkan karena kelemahan metode
tafsir yang digunakan oleh Moqsith yaitu tafsîr maud}û’i, us}ûl al-fiqh, dan hermeneutika. maka
lahirlah pemahaman yang parsial dan atomistik, yakni seakan al-Qur’an melegalkan paham
pluralisme agama. Padahal jelas bahwa mayoritas ulama tafsir terdahulu tidak menyatakan
demikian.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan latar belakang maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Apakah benar penafsiran yang dipaparkan oleh Moqsith tersebut bahwa Al-Quran
membenarkan paham pluralisme agama?
2. Apakah penafsiran Moqsith sesuai dengan penafsiran-penafsiran yang dilakukan
oleh para ulama tafsir yang muktabar?
3. Bagaimana metode tafsir yang digunakan sehingga melahirkan pemahaman
demikian?
4. Bagaimana keselamatan umat-umat yang telah beriman sebelum adanya NAbi
Muhammad SAW?
5. Apa yang seharusnya dilakukan kaum-kaum tersebut ketika kitab sudah
disempurnakan Allah SWT menjadi Al-Quran yang dibawakan Nabi Muhammad
SAW?
C. TUJUAN PENULISAN
a. Untuk berusaha mengetengahkan penafsiran Abdul Moqsith tentang keselamatan non-
Muslim sebagai legitimasi dari paham pluralisme agama.
b. Untuk membandingkan metode tafsir yang digunakan Abdul Moqsith dan para ahli tafsir
lainnya.
c. Untuk mengetahui keterkaitan ayat-ayat Al-Quran yang melandasi mengenai keselamatan
non Muslim tersebut.

D. MANFAAT PENULISAN
a. Agar mengarahkan masyarakat pada pemahaman dan pembahasan mengenai legitimasi
dari paham pluralism agama menurut Abdul Moqsith.
b. Agar masyarakat dapat mengetahui dengan penjelasan yang rinci mengenai pluralism
agama.
c. Agar kita senantiasa dapat mempertebal iman, aqidah mengenai Islam.
d. Agar kita yakin bahwa sebagai umat Islam harus meyakini, dan bertakwa dengan rukun
Iman.
e. Agar kita tahu bahwa dalam Alquran ada ketentuan-ketentuan yang bersifat universal, dan
rinci sehingga kita harus memfiltrasi hal-hal tersebut dengan baik.

E. METODE PENELITIAN
Jurnal tersebut menggunakan metode penelitian yang diambil dari berbagai sumber tafir
dan pendapat dari berbagai ahli tafsir dengan dipaparkan secara sistematis dan dianalisis
secara mendalam.

F. TEORI PENELITIAN
Banyak mengambil teori dari berbagai ahli tafsir yang berlandaskan Al Quran dan Hadist
yang menganalisis dan mengacu dari pandangan mereka, yaitu:

1. Menurut Budhy Munawar-Rahman, Argumen Islam untuk Pluralisme: Islam Progresif


dan Perkembangan Diskursusnya, keyakinan bahwa hanya agama Islamlah satu-
satunya agama yang benar sedangkan yang lainnya sesat dan kafir adalah pemahaman
yang salah. Kebenaran dan keselamatan menurut mereka tidak hanya terdapat dalam
Islam, akan tetapi juga terdapat pada agama lain.

2. Menurut Abdul Moqsith Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul Argumen Pluralisme
Agama; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, dengan sangat yakin Moqsith
berpendapat bahwa pluralisme adalah keniscayaan agama tauhid.

3. Menurut Kata Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl
Ay al-Qur’ân Jilid I, Abu ‘Abdullâh Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi,
al-Jâmi‘ li Ah}kâm al-Qur’ân, Jilid I, “âmanû” menurut al-Thabari adalah orang-
orang yang membenarkan Rasulullah SAW dan kebenaran yang dibawanya dari sisi
Allah.

4. Menurut al-Zamakhsyari, mereka adalah orang-orang yang munafik yang zahirnya


saja beriman. Oleh karenanya, Allah menggandengkan mereka dengan
orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabiin.
BAB II
PEMBAHASAN

Islam merupakan agama yang berlandaskan dengan Al-Quran dan Hadist sebagai
landasan ketentuan-ketentuan atau peraturan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di
dunia ini, juga sebagai tuntunan bagi umat di dunia hingga akhir zaman.
Abdul Moqsith merupakan seorang ulama asal Indonesia. Ia belajar di Universitas
Islam Nasional/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam bukunya yang berjudul “Argumen
Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran. Abdul Moqsith menafsirkan
terhadap QS.al-Baqarah [2] ayat 62 dan QS.al-Maidah[5] ayat 69, mengenai keselamatan
non-Muslim sebagai legitimasi dari paham pluralime agama. Dalam penafsiran hal ini, ia
menggunakan 3 metode penafsiran, yakni tafsir maudu’I, usul al-fiqh, dan hermeneutika.
Menurutnya, dengan perpaduan ketiga metode ini akan menghasilkan pemahaman yang
seutuhnya. Akan tetapi, hasilnya tidak demikian. Menurut para ulama tafsir lainnya,
lemahnya metode-metode yang igunakan oleh Abdul Moqsith ini kemudian melahirkan
paham Parsial dan atomistic, seakan –akan Al-Quran melegalkan paham pluralism agama.
Tafsir maudu’I memang Menjawab tantangan zaman. Permasalahan dalam
kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu
sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan
tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Namun kekelemahan dari tafsir maudu’I ini Memenggal ayat al-Qur’an.
Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu
ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang
shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila
ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu
melakukan analisis yang secara tidak lanngsung akan membatasi pemahaman ayat. Dengan
diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak
mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa,
ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan
diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata
tersebut. Kemudian usul al-Fiqh ini lebih merupakan sebuah aturan-aturan tertentu yang
dijadikan pegangan atau kaidah bagi proses kelahiran sebuah hukum. Karena wilayah
kerjanya yang semacam ini, maka ia berlaku secara global baik pada suatu persoalan hukum
atau lainnya, dan yang terakhir yakni hermeneutika. Hermeneutika adalah salah satu
jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari
kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi
pemahaman, atau menerjemahkan, menuntut individu dalam memahami sebuah peristiwa
sejarah. Sedangkan apabila individu-individu memiliki tingkat pemahaman yang berbeda,
maka hasil penafsiran setiap individu juga akan berbeda.
Abdul Moqsith sendiri begitu tekstual dalam memahami isi ayat dari QS.al-Baqarah [2] ayat
62 yang berbunyi:

Dan QS.al-Maidah [5] ayat 69 yang berbunyi:

‫هُم ول علي ِهم خوف فل صا ِل ًحا وع ِمل اْل ِخ ِر واليو ِم بِاّللِ آمن من والنصارى والصابِئُون هاد ُوا والذِين آمنُوا الذِين إِن‬
‫يحزنُون‬
“ Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang
Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Dari kedua ayat diatas, dia menarik kesimpulan bahwa tidak ada pernyataan bahwa
orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Shabiah supaya beriman kepada Nabi
Muhammad SAW, namu hanya menerangkan tentang kewajiban mereka untuk beriman
kepada Allah SWT, hari akhir, dan beramal shaleh sesuai dengan ketentuan kitab suci yang
menjadi landasan ajaran mereka. Sehingga, menurut Abdul Moqsith, Al-Quran tidak hanya
mengakui adanya ajaran agama lain dan umat yang ain, melainkan juga umat-umat tersebut
akan diselamatkan oleh Allah SWT apabila mereka tidak menyimpang dari kitab yang
menjadi panutan mereka itu sendiri. Kesimpulan yang ditarik oleh Abdul Moqsith ini
tentunya ditentang oleh para ulama tafsir yang lain karena metode tafsir yang Abdul Moqsith
gunakan itu lemah dengan alasan-alasan yang sudah dipaparkan, lahirlah paham parsial dan
atomistic, yaitu seakan-akan Al-Quran melegalkan paham puralisme agama dan tidak
menyatakan bahwa satu-satunya agama yang diridhoi Allah SWT adalah Islam.
Banyak pihak dengan dalih QS.al-Baqarah [2] ayat 62 dan QS.al-MAidah [5] ayat 69
menuturkan bahwa dalam ayat itu lahirlah paham pluralisme agama, dimana menurut mereka
berdasarkan kedua ayat tersebut, me-legitimasikan bahwa Al-Quran memberikan pengakuan
dan menjamin keselamatan non-muslim selama mereka taat berdasarkan kitab sucinya serta
beranggapan bahwa agama yang benar bukan hanya Islam saja, tetapi tetap ada pada agama
lain.
Menurut penafsiran Moqsith, ajaran para nabi saling bertentangan satu sama lain
sehingga kehadiran para nabi baru selalu berfungsi utuk menghapus hukum atau
membatalkan ajaran yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Penafsiran seperti ini bertentangan
dengan jaran nabi itu sendiri. Perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nasrani bukan pada
prinsip pokoknya, melainkan pada syariat yang diembannya. Oleh karena itu tidak sedikit
syariat Nabi Muhammad SAW yang merupakan kelanjutan dan hasil modifikasi dari syariat
sebelumnya. Dimulai pada kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., kitab Zabur
yang diturunkan kepada Nabi Daud as., Kitab Injil yan g diturunkan kepada Nabi Isa as., dan
yang terakhir Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kitab Taurat,
Zabur, dan Injil berisi tentang akidah (tauhid) dan hukum-hukum syariat. Sedangkan kitab
Alquran berisi akidah, hukum-hukum syariat dan muamalah. Sebagian besar isi Alquran
menghapus sebagian syariat yang termuat dalam kitab-kitab terdahulu dan melengkapinya
dengan hukum syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman. Alquran adalah kitab suci
yang paling lengkap, yang berisi pokok-pokok keyakinan (akidah), aturan dan tata cara
peribadatan (syariah), tata cara hukum kemasyarakatan (muamalah). Isi Alquran berlaku
untuk selamanya dan untuk siapa saja.
Dalam penjelasan Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa ukuran keimanan orang
Yahudi adalah jika mereka berpegang teguh kepada Taurat dan sunah Nabi Musa as. Hingga
datang periode Nabi Isa as. Dan apabila mereka tidak ingin mengikuti ketentuan ajaran dari
Nabi Isa as. Tersebut, maka mereka akan binasa. Sementara ukuran keimanan seorang
Nasrani dinilai ketika mereka berpegang teguh pada kitab Taurat dan Injil dan syariat nabi
sebelumya hingga dating periode Nabi Muhammad SAW bersama Al-Quran sebagai kitab
penyempurna namu jika mereka tidak mau mengikutinya, mereka akan binasa.
Dapat kita rangkum bahwa umat-umat ini dapat dijamin keselamatannya oleh Allah
SWT apabila mereka beriman kepada Allah SWT, beriman kepada hari akhir, beriman pada
kitab-kitab yang mereka imani hingga batas waktu atau apabila kitab selanjutnya diturunkan
ke Nabi yang lain dan mereka mengikutinya hingga percaya beriman kepada Nabi
Muhammad SAW karena Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir dan diturunkan
Al-Quran sebagai kitab yang paling sempurna hingga akhir zaman. Mereka tidak dapat
dikatakan beriman apabila mereka tidak mau mengiman dan tetap bersikh kukuh dengan
kitab sebelumya.
Meskipun dalam ayat ayat 69 hanya disebutkan tiga syarat bagi kebenaran iman
seseorang, yakni beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, namun pada ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya sebagaimana diterangkan di atas juga mengharuskan tiga kelompok
yakni Yahudi, Nasrani, Shabiah untuk menegakkan ajaran Al-Quran , tidak meyakini bahwa
Nabi Isa adalah Tuhan dan tidak meyakii doktrin Trinitas. Oleh karena itu, jelas ketika
datangnya Nabi Muhammad SAW , orang-orang Yahudi, NAsrani, dan Shabiah
diperintahkan untuk masuk Islam dan menjalankan agama Islam dan meyakini Al-Quran.
Sedangkan Moqsith berkesimpulan bahwa kewajiban untuk beriman kepada Nabi
Muhammad SAW adalah pernyataan para mufassir dan bukan pernyataan Al-Quran. Moqsith
lengah bahwa sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam bidang ilmu tafsir dan hadist,
nas-nas Al-Quran dan hadist terkadang ada yang bersifat global, terperinci, mutlak, dan
muqayyad.
Dari hal ini dapat kita lihat bahwa penafsiran Moqsith yang dipaparkan menurutnya
menggunakan metode tafsir maudu’I ternyata masih belum memenuhi syarat dan masih
banyak kekurangannya. Dalam memahami suatu permasalahan, ia hanya menggunakan
beberapa penggalan ayat tanpa mempertimbangkan ayat-ayat yang lain, tidak
mempertimbangkan hadist-hadist yang ada sarta mempertimbangkan pendapat ulama tafsir
lainnya. Oleh karena itu, Al-Quran harus diambil secara keseluruhan, tidak hanya dipenggal
perbagian, dan digabungakna satu sama lain. Dan apabila hal tersebut dilakukan, tidaklah
aneh jika penafsiran yang dilakukan oleh Moqsith melahirkan pemahaman yang parsial dan
tidak menyeluruh (komprehensif) tentang tema atau persoalan tertentu yang dibicarakan
dalam Al-Quran.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mengenai keselamatan non-Muslim yang dibahas pada atikel jurnal oleh Abdul
Moqsith ini begitu tekstual tanpa mempertimbangkan pendapat para ulama tafsir
lain, hadist-hadist yang ada, dan pemahaman ayat-ayat Al-Quran yang dipenggal
berdasarkan metode tafsir maudu’i. Sehingga ia menarik kesimpulan bahwa
semua non-Muslim dapat diselamatkan di akhirat oleh Allah SWT apabila mereka
mengimani Allah SWT, percaya hari akhir, dan berbuat baik serta mengamalkan
ketentuan-ketentuan dalam kitab sucinya berdasarkan QS.al-Baqarah [2] ayat 62
dan Qs.al-Maidah [5] 69. Hal ini tidak mengherankan karena latar belakang Abdul
Moqsith sendiri meyakii doktrin pluralism agama yang ia bangun berdasarkan
tafsir-tafsir Al-Quran yang lemah. Metode tafsir yang ia gunakan yaitu tafsir
maudu’I, masih belum memenuhi syarat dan memiliki banyak kekurangan. Dalam
menafsirkan makna suatu ayat, ia hanya berpegang teguh pada 1-2 ayat yang
dipenggal saja tanpa melihaat keterkaitan ayat yang lainnya dan latar belakang
dari ayat tersebut, karena ayat-ayat tersebut terkait satu dengan yang lainnya. Ini
menunjukkan bahwa metode, penafsiran makna yang digunakan Moqsith
bermasalah.

Anda mungkin juga menyukai