Disusun oleh:
Salah satu kebijakan deviden yang harus diambil oleh manajemen adalah laba yang
diperoleh oleh perusahaan selama satu periode akan dibagi sebagian untuk deviden dan sebagian
lagi di bagi dalam laba ditahan. Menurut Sartono (1997:369) pengertian dari kebijakan deviden
adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang
saham sebagi dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di
masa datang.
Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa kebijakan deividen adalah
kebijakan yang diambil oleh perusahaan dalam membagikan setiap keuntungannya kepada para
pemegang sahamnya atau bisa keuntungan itu bisa di gunakan oleh perusahaan (laba ditahan).
Harga saham akan bergerak seiring dengan pengumuman pembagian dividen yang akan
dilakukan oleh perusahaan. Secara umum harga saham akan bergerak naik sesuai dengan
besarnya dividen yang akan dibagikan perusahan sampai dengan cum dividend date. Kemudian
harga saham akan turun kembali pada tingkat wajarnya pada ex-dividend date. Berikut jadwal
pembayaran dividen yang harus diperhatikan pemegang saham menurut Weston (1996:98),
yaitu:
1. Declaration Date, yaitu tanggal pengumuman resmi dari emiten/perusahaan untuk
melakukan pembagian dividen.
2. Cum-Dividend Date, yaitu tanggal terakhir transaksi/perdagangan saham dimana pembeli
saham memperoleh hak atas dividen yang dibagikan perusahaan.
3. Ex-Dividend Date, yaitu tanggal dimana investor sudah memiliki hak untuk memperoleh
dividen dan sudah boleh untuk menjual saham yang dimilikinya.
4. Date of Record/ Recording Date, yaitu tanggal dimana investor harus terdaftar atau
menentukan daftar nama dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan sehingga ia mempunyai
hak yang diperuntukan bagi pemegang saham.
5. Payment Date / Distribution Date, yaitu tanggal dimana perusahaan membagikan dividen
kepada pemegang saham.
C. Factor-faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Deviden
Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti
jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan, yaitu perusahaan
membiayai hutang itu pada saat jatuh tempo atau menggantikan dengan jenis surat berharga yang
lain. Jika keputusannya membayar hutang tesebut, maka biasanya perlu untuk menahan laba.
Semakin cepat suatu perusahaan berkembang, semakin besar juga kebutuhannya untuk
membiayai ekspansi aktivanya, perusahaan yang ekspansi aktivanya semakin banyak cenderung
untuk menahan laba dari pada membayarkannya dalam bentuk deviden.
4. Stabilitas Laba
Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil sering kali dapat memperkirakan berapa
besar laba dimasa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan
“DPR” yang tinggi, daripada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Deviden yang lebih rendah
akan mebih mudah untuk dibayar apabila laba menurun pada masa yang akan datang.
Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana
yang berasal dari sumber interen saja. Kebijakan tersebut dijalankan atas dasar pertimbangan
bahwa kalau ekspansi dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan
melemahkan control dari kelompok dominan di dalam perusahaan. Demikian pula kalau
membiayai ekspansi dengan uang akan memperbesar risiko financialnya. Mempercayakan pada
pembelanjaan interen dalam usaha mempertahankan control terhadap perusahaan, berarti
mengurangi dividen payout ratio nya.
Menurut Brigham (2001:66) kebijakan deviden ini, ada 3 teori tentang kebijakan deviden
yang haru di perhatikan sebua perusahaan. Teori kebiajakn tersebut
Deviden tidak relevan (Irrelevance theory) adalah suatu teori yang menyatakan bahwa
kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh baik terhadap nilai perusahaan maupun terhadap
biaya modalnya. Menurut teori ini, kebijakan dividen tidak mempengaruhi harga saham ataupun
cost of capital perusahaan. Oleh karena itu, kebijakan dividen menjadi tidak relevan (irrelevant).
Teori ini dikembangkan oleh Miller dan Modigliani, yang menyatakan bahwa nilai suatu
perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk mengahsilkan laba dan resiko
bisnisnya. Dengan kata lain, MM berpendapat bahwa perusahaan hanya tergantung pada laba
yang diekspektasikan dari aktiva, bukan dari pemisahan laba menjadi dividen dan laba ditahan.
Teori ini menganggap bahwa kebijakan dividen tidak membawa dampak apa-apa bagi nilai
perusahaan. Jadi, peningkatan atau penurunan dividen oleh perusahaan tidak akan mempengaruhi
nilai perusahaan.
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Lintner yang berpendapat bahwa
ekuitas atau nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran dividen dinaikkan, karena
para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gain) yang
dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya para investor menerima dividen.
Gordon dan Lintner berpendapat bahwa sesungguhnya investor jauh lebih menghargai
pendapatan yang diharapkan dari dividen daripada pendapatan yang diharapkan dari keuntungan
modal.
MM dalam hal ini tidak setuju bahwa ekuitas atau nilai perusahaan tidak tergantung pada
kebijakan dividen, yang menyiratkan bahwa investor tidak peduli antara dividen dengan
keuntungan modal. MM menamakan pendapat Gordon-Lintner sebagai kekeliruan bird-in-the-
hand, yakni: mendasarkan pada pemikiran bahwa investor memandang satu burung di tangan
lebih berharga dibandingkan seribu burung di udara. Dengan demikian, perusahaan yang
mempunyai dividend payout ratio yang tinggi akan mempunyai nilai perusahaan yang tinggi
pula.
Ada tiga alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin
lebih menyukai pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi, yaitu:
1. Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk
itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka perusahaan
menahan dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin
dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya rendah
akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.
2. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual, sehingga ada efek nilai waktu.
3. Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak
keuntungan modal yang terutang.
Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka
perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikia para investor akan mau
membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk
perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.
E. Jenis-jenis Deviden
Menurut Sartono (1997:390) deviden yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat terbagi dalam
beberapa jenis, yaitu:
1. Dividen tunai (cash dividen), yaitu dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dalam
bentuk uang tunai dan dikenai pajak pada tahun pengeluarannya. Dividen ini yang paling
umum dan banyak digunakan dalam pembagian saham.
2. Dividen saham (stock dividen), yaitu dividen yang dibagikan perusahaan kepada para
pemegang saham dalam bentuk saham perusahaan sehingga jumlah saham perusahaan
menjadi bertambah. Jadi, pemberian stock dividen ini dilakukan dengan cara mengubah
sebagian laba ditahan (retained earnings) menjadi modal saham yang pada dasarnya tidak
mengubah jumlah modal sendiri. Namun demikian cash flow perusahaan tidak terganggu
karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang tunai. Peristiwa ini dilakukan jika posisi
kas perusahaan atau likuiditas diperlukan oleh perusahaan. Investor dalam hal ini akan
memiliki lebih banyak saham tetapi laba per lembar saham lebih rendah. Proporsi pemilikan
investor tidak mengalami perubahan.
3. Dividen saham pecahan (stock split), yaitu pemecahan selembar saham menjadi n lembar
saham. Harga per lembar saham baru setelah stock split adalah sebesar 1/n dari harga
sebelumnya. Dengan demikian, sebenarnya stock split tidak menambah nilai dari perusahaan
atau dengan kata lain stock split tidak mempunyai nilai ekonomis. Melakukan pemecahan
dalam hal, yaitu menambah jumlah saham dengan cara melalui pengurangan nilai
nominalnya. Pada contoh di atas, jumlah lembar saham 400.000 lembar saham menjadi 2 x
400.000 lembar = 800.000 lembar. Harga nominal saham menjadi Rp. 2.500 (Rp. 5.000/2).
Dengan demikian struktur modal tidak berubah, dan nilai jual saham biasa, agio, dan laba
tidak mengalami perubahan. Tetapi harga nominal dan lembar saham berubah proporsional.
4. Dividen scrip, yaitu dalam bentuk perjanjian tertulis untuk membayar dalam jumlah tertentu
pada waktu yang disepakati.
5. Dividen property (property dividen), yaitu dividen yang dibagikan dalam bentuk aktiva lain
selain kas atau saham, misalnya aktiva tetap dan surat-surat berharga.
6. Dividen likuidasi (liquidating dividen), yaitu dividen yang diberikan kepada pemegang
saham sebagai akibat dilikuidasikannya perusahaan. Dividen diperoleh dari selisih antara
nilai realisasi aset perusahaan dikurangi dengan semua kewajibannya.
Dengan dilakukannya stock dividend, maka tidak terjadi cash outflows, tetapi hanya
transaksi pembukuan guna memindahkan sejumlah uang dari perkiraan laba yang ditahan kepada
perkiraan modal saham biasa yang disetor. Stock dividend adalah pembayaran tambahan saham
kepada para pemegang saham, dan menunjukkan penyusunan kembali modal perusahaan,
sedangkan proporsi kepemilikan pemegang saham, tetap tidak berubah.
Contoh:
Saham biasa (nominal Rp 1000; 3 000 000 lembar) Rp 3 000 000 000 Capital surplus 1 500 000
000 Laba ditahan 7 500 000 000 Modal sendiri 12 000 000 000 Perusahaan menentukan stock
dividend sebesar 10%. Harga pasar saham Rp 4.000,- Bagaimanakah komposisi modal sendiri
setelah stock dividend?
Jawab:
Stock dividend 10%, maka ada tambahan saham sebanyak 10% x 3 000 000 = 300 000 lembar.
Stock deviden = 300 000 x Rp 4.000,- = Rp 1.200.000.000,- ditransfer dari laba ditahan ke
saham biasa dan capital surplus. Nilai nominal saham tidak berubah, maka 300000 lbr x Rp 1000
= Rp 300.000.000, ditransfer ke modal saham biasa, sisanya Rp 1 200 000 000,- – Rp 300 000
000,- = Rp 900 000 000,- dimasukkan dalam capital surplus, sehingga total modal sendiri tidak
berubah. Setelah stock dividend maka komposisi modal sendiri PT Abadi :
Saham biasa (nominal Rp 1000; 3 300 000 lembar) Rp 3 300 000 000
Stock dividend meningkatkan jumlah saham yang beredar, sehingga laba per saham (EPS) akan
menurun secara proporsional. Jadi para pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang
bertambah, tetapi mempunyai EPS yang berkurang, sehingga proporsi keuntungan totalnya tetap
tidak berubah. Pembagian stock dividen akan menurunkan harga saham sehingga tidak
memberikan manfaat ekonomis, kalau kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba tidak
berubah, demikian juga dengan biaya modalnya.
Bagaimanapun, harga saham akan dipengaruhi oleh kemampuan memperoleh laba dan resiko
perusahaan (yang tercermin dalam biaya modalnya). Kedua factor tersebut tidak
bisadimanipulasi oleh manajer keuangan. Manajer keuangan tidak bisa menyebabkan pemegang
saham menjadi lebih kaya hanya karena memutuskan untuk membagikan stock dividend.
Umumnya perusahaan memutuskan untuk membagikan stock dividend, karena mereka
memerlukan dana tersebut, dan tidak ingin mengecewakan pemegang saham.
Stock split adalah pemecahan nilai nominal saham ke dalam nilai nominal yang lebih
kecil. Pemecahan saham lama ini menjadi beberapa saham baru, akan menyebabkan jumlah
saham yang beredar bertambah. Tujuan stock split adalah untuk menempatkan harga pasar
saham dalam trading range tertentu.
Contoh:
PT Abadi menentukan stock split dari satu menjadi dua saham. Komposisi modal sendiri
perusahaan adalah sebagai berikut:
Jadi ada persamaan antara Stock Devidend dan Stock Split, yaitu:
3. Total modal sendiri (net worth) tidak berubah, tetapi hanya komposisinya saja yang berubah.
Sebagai alternative lainnya dalam pemberian deviden berupa uang tunai, perusahaan
dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali
saham perusahaan (repurchasing stock). Saham yang dibeli kembali itu akan dibukukan sebagai
perkiraan Treasury Stock. Dengan dibelinya kembali sebagian saham, maka jumlah saham yang
beredar akan berkurang, bila diasumsikan pembelian kembali saham ini tidak memberi pengaruh
negative terhadap keuntungan perusahaan, maka EPS akan meningkat, yang akan, meningkatkan
harga pasar saham. Kenaikan harga pasar saham itu akan memberikan capital gains sebagai ganti
deviden kepada para pemegang sahamnya.
Contoh: PT Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur yang
memproduksi produk-produk perlengkapan busana wanita dan pria. Pada tahun 2005
memperoleh laba sebesar Rp 550 juta dan 50% dari jumlah tersebut akan dibagikan kepada para
pemegang saham dalam bentuk pembelian kembali saham. Jumlah saham yang beredar saat ini
adalah sebanyak 1.100.000 lembar dengan harga pasar sebesar Rp 2.500,- per lembar saham.
Manajer keuangan saat ini menawarkan kepada mereka yang mau menjual kembali saham biasa
yang dimilikinya seharga Rp 2.750,- jadi seolaholah menawarkan cash dividend Rp 250 per
lembar saham. Berdasarkan data tersebut,
carilah:
a. laba per saham dan P/E Ratio sebelum kebijakan pembelian kembali saham
b. laba per saham setelah kebijakan pembelian kembali saham
c. harga saham setelah kebijakan pembelian kembali saham dengan asumsi P/E Ratio konstan.
Jawab:
Jumlah saham yang dapat ditarik kembali = 275 juta / 2750 = 100 ribu lembar
Eugene F. Brigham dan Joel F. Houton. 2001. Manajemen Keuangan, Edisi 8. Jakarta: Erlangga
J. Fred Weston dan Thomas E. Copeland. 1996. Manajemen Keuangan, Edisi 8. Jakarta:
Erlangga
Sartono, Agus. 1997. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi 3. Yogyakarta: BPFE
Sundjaja, Ridwan S dan Inge Berlian, 2003, Manajemen Keuangan, Edisi Keempat, Yogyakarta:
Literata Lintas Media.