OLEH KELOMPOK 7 :
DOSEN PENGAMPU :
Dr.HJ.Ummy Kalsum,SE.,M.Si.,CRA.CRP.CSF
KENDARI
2023
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN..........................................................................................................1
1.1 Pengertian Dividen Dan Kebijakan Dividen........................................................1
1.2 Teori Kebijakan Dividen.......................................................................................2
1.3 Permasalahan Kebijakan Dividen Lainnya..........................................................6
1.4 Menentukan Kebijakan Dividen Dalam Praktik.................................................6
1.5 Rangkuman Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen............10
1.6 Dividen Saham Dan Pemecahan Saham.............................................................14
1.7 Pembelian Kembali Saham..................................................................................18
BAB II PENUTUP...............................................................................................................23
2.1 Kesimpulan...........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................24
iii
BAB I
PEMBAHASAN
iv
bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan
investasi di masa yang akan datang.
Pengertian kebijakan dividen menurut Riyanto (2001) adalah
kebijakan
yang bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara
pengguna pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai
dividen atau untuk digunakan dalam perusahaan, yang berarti pendapatan
tersebut harus ditanam di dalam perusahaan.
v
laba ditahan, biaya modal sendiri sebesar Ks. Tapi bila berasal dari saham
biasa baru, biaya modal sendiri adalah Ke.
Ks = D1/Po + g
Ke = D1/Po (1-F) + g
Dimana:
Ks = Biaya modal sendiri dari laba di tahan
Ke = Biaya modal sendiri dari saham biasa baru
D1 = Dividen setahun mendatang
Po = Harga saham saat ini
g = Pertumbuhan dividen/keuntungan
F = Flotation Cost atau biaya emisi saham.
vi
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka
menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan
capital gains, para investor lebih menyukai capital gains karena dapat
menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu
tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan
dividend yield tinggi, capital gains yield rendah daripada saham dengan
dividend yield rendah, capital gains yield tinggi. Jika pajak atas dividen
lebih besar dari pajak atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa.
Jika manajemen percaya bahwa teori “Dividen tidak relevan“ dari MM
adalah benar, maka perusahaan tidak perlu memperdulikan berapa besar
dividen yang harus dibagi. Jika mereka menganut teori “The Bird in the
Hand“, mereka harus membagi seluruh EAT dalam bentuk dividen. Dan
bila manajemen cenderung mempercayai teori perbedaan pajak (Tax
Differential Theory), mereka harus menahan seluruh EAT atau DPR =
0%. Jadi ke 3 teori yang telah dibahas mewakili kutub-kutub ekstrim dari
teori tentang kebijakan dividen. Sayangnya tes secara empiris belum
memberikan jawaban yang pasti tentang teori mana yang paling benar.
vii
Seperti teori dividen yang lain, teori “Signaling Hypothesis“ ini juga
sulit dibuktikan secara empiris. Adalah nyata bahwa perubahan dividen
mengandung beberapa informasi. Tapi sulit dikatakan apakah kenaikan
dan penurunan harga setelah adanya kenaikan dan penurunan dividen
semata-mata disebabkan ole efek “sinyal“ atau disebabkan karena efek
“sinyal“ dan prefensi terhadap dividen.
viii
Bukti empiris menunjukkan bahwa pada umumnya perusahaan di
Amerika Serikat cenderung memberikan dividen yang tetap jumlahnya
atau meningkat secara konstan dari waktu ke waktu. Jarang sekali mereka
memotong atau meniadakan pembayaran dividen. Penemuan ini
mendukung teori “signaling hypothesis.“ Dapat disimpulkan bahwa
pengujian empiris tentang teori kebijakan dividen memberikan hasil yang
berbeda. Hingga saat ini kontroversi tentang kebijakan dividen tetap
berlangsung.
ix
1) Pembatasan Hukum. Pembatasan hukum tertentu mungkin membatasi
jumlah dividen yang perusahaan boleh bayarkan. Pembatasan hukum ini
dibagi menjadi dua kategori. Pertama, statutory restrictions, yang
mungkin mencegah perusahaan dari membayar dividen. Meski
pembatasan secara spesifik berbeda-beda oleh negara bagian, pada
umumnya perusahaan tidak boleh membayar dividen (1) jika kewajiban
perusahaan melebihi aktivanya, (2) jika jumlah dividen melebihi
akumulasi keuntungan (retained earnings/laba ditahan), (3) jika dividen
dibayarkan dari modal yang ditanamkan dalam perusahaan. Tipe kedua
dari pembatasan hukum adalah unik bagi masing-masing perusahaan dan
merupakan hasil dari pembatasan dalam kewajiban dan kontrak saham
preferen. Untuk meminimisasi risiko mereka, investor sering kali
memberlakukan provisi terbatas atas manajemen sesuai kondisi dari
investasi mereka dalam perusahaan. Pembatasan ini mungkin termasuk
provisi bahwa dividen tidak boleh diumumkan sebelum utang dibayar
kembali. Juga, perusahaan mungkin diminta untuk mempertahankan
jumlah tertentu dari modal kerja. Pemegang saham preferen mungkin
menetapkan bahwa dividen saham biasa tidak boleh dibayarkan ketika
dividen saham preferen manapun tertunggak.
2) Posisi Likuiditas. Berlawanan dengan opini umumnya, fakta yang
menyedihkan bahwa perusahaan yang menunjukkan jumlah besar laba
ditahan dalam neraca tidaklah mengindikasikan bahwa kas tersedia untuk
dibayarkan berupa dividen. Posisi terkini perusahaan dalam aset cair,
termasuk kas adalah hal yang berdiri sendiri dari akun laba ditahan. Secara
historis, sebuah perusahaan dengan laba ditahan yang cukup besar telah
berhasil menghasilkan kas dari operasi. Tetapi dana ini biasanya bisa
diinvestasikan ulang dalam perusahaan dalam jangka waktu yang singkat
ataupun digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo. Dengan
demikian, perusahaan mungkin saja secara ekstrim sangat menguntungkan
x
dan masih saja menyedihkan secara kas. Karena dividen dibayar dengan
kas, dan tidak dengan laba ditahan, perushaan harus memiliki kas tersedia
untuk dividen dibayarkan. Oleh karena itu, posisi likuiditas perusahaan
menanggung langsung kemampuan untuk membayar dividen.
3) Kekosongan Atau Kekurangan Terhadap Sumber Penbiayaan Lainnya.
Seperti telah dicatat, perusahaan boleh (1) menahan keuntungan untuk
tujuan investasi, atau (2) membayar dividen dan mengeluarkan utang baru
atau sekuritas ekuitas untuk membiayai investasi. Untuk banyak
perusahaan kecil dan baru, opsi kedua ini tidaklah realistis. Perusahaan ini
tidak memiliki akses terhadap pasar modal, maka mereka harus
mengandalkan lebih pada dana yang dihasilkan internal. Sebagai
konsekuensinya dividen payout ratio pada umumnya lebih kecil untuk
perusahaan yang kecil atau baru didirikan dibandingkan yang besar,
perusahaan yang dimiliki publik.
4) Kemampuprediksian Laba. Dividen payout ratio perusahaan tergantung
pada banyak hal atas kemampuan memprediksi keuntungan perusahaan
selama selang waktu. Jika laba berfluktuasi secara signifikan, manajemen
tidak dapat mengandalkan dana yang dihasilkan dari dalam untuk
memenuhi kebutuhan masa depan. Ketika keuntungan direalisasikan,
perusahaan boleh menahan jumlah yang lebih besar untuk memastikan
bahwa uang itu tersedia ketika dibutuhkan. Sebaliknya, perusahaan dengan
tren laba yang stabil akan secara tipikal membayar porsi yang lebih besar
dari laba untuk dividen. Perusahaan ini memiliki lebih sedikit
kekhawatiran tentang ketersediaan akan keuntungan untuk memenuhi
permintaaan modal masa depan.
5) Kontrol Kepemilikan. Untuk banyak perusahaan besar, kontrol melalui
kepemilikan atas saham bukanlah suatu isu. Namun, untuk banyak
perusahaan berukuran kecil dan menengah, mempertahankan kontrol hak
pilih merupakan prioritas utama. Jika kehadiran pemegang saham tidaklah
xi
mampu untuk berpartisipasi dalam penawaran baru, mengeluarkan saham
baru menjadi kurang menarik, dalam hal ini kontrol dari pemegang saham
sekarang menjadi terdilusi. Pemilik mungkin lebih menyukai bahwa
manajemen membiayai investasi baru dengan utang dan melalui
keuntungan daripada mengeluarkan saham baru. Pertumbuhan perusahaan
ini kemudian dibatasi dengan jumlah dari modal utang yang tersedia dan
oleh kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.
6) Inflasi (Inflation). Sebelum akhir tahun 1970-an, tekanan inflasi belumlah
merupakan masalah yang signifikan baik bagi konsumen ataupun dunia
bisnis. Namun, selama sepanjang tahun 1980-an. kehancuran dari daya
beli dolar memiliki dampak langsung atas penggantian aktiva tetap. Dalam
periode inflasi, idealnya, ketika aktiva tetap menjadi aus dan usang, dana
yang dihasilkan dari depresiasi digunakan untuk membiayai penggantian.
Banyak faktor yang ikut berperan dalam penetapan besarnya
pembayaran dividen, namun yang menjadi persoalan selanjutnya adalah
mengenai bentuk-bentuk kebijakan dividen yang bisa ditempuh oleh suatu
perusahaan. Menurut Awat (1998: 171) terdapat empat macam bentuk-bentuk
kebijakan dividen, yaitu:
1) Kebijakan Dividen Yang Stabil (Stable Dividend-Per-Share Policy), yakni
jumlah pembayaran dividen itu sama besarnya dari tahun ke tahun. Salah
satu alasan mengapa suatu perusahaan itu menjalankan kebijakan dividen
yang stabil adalah untuk memelihara kesan para investor terhadap
perusahaan tersebut, sebab apabila suatu perusahaan menerapkan
kebijakan dividen yang stabil berarti perusahaan tersebut yakin bahwa
pendapatan bersihnya juga stabil dari tahun ke tahun. Meskipun
perusahaan mengalami kerugian, jumlah dividen yang dibayar misalnya
Rp. 1.500 per saham, maka jumlah ini tetap dibayar kepada pemegang
saham. Investor akan aman dengan jumlah yang tetap diterimanya sesuai
dengan motivasi mereka
xii
2) Kebijakan Dividend Payout Ratio Yang Tetap (Constant Dividend Payout
Ratio Policy). Dalam hal ini, jumlah dividen akan berubahubah sesuai
dengan jumlah laba bersih, tetapi rasio antara dividen dan laba ditahan
adalah tetap. Deviden yang dibayar berfluktuasi tergantung besarnya
keuntungan bagi pemegang saham. Misalnya DPO 60% dari keuntungan.
Jika keuntungan Rp 1 miliar, maka deviden yang dibayarkan sebesar 60%
x Rp 1 Milyar = Rp 600 juta.
3) Kebijakan Kompromi (Compromise Policy), yakni suatu kebijakan
dividen yang terletak antara kebijakan per saham yang stabil dan
kebijakan dividend payout ratio yang konstan ditambah dengan persentasi
tertentu pada tahun-tahun yang mampu menghasilkan laba bersiih yang
tinggi.
4) Kebijakan Dividen Residual (Residual-Dividend Policy), adalah kebijakan
di mana dividen yang dibayarkan sama dengan laba aktual dikurangi
dengan laba yang perlu ditahan untuk membiayai anggaran modal
perusahaan yang optimal. Apabila suatu perusahaan menghadapi suatu
kesempatan investasi yang tidak stabil maka manajemen menghendaki
agar dividen hanya dibayar ketika laba bersih itu bersih.
xiii
pola (skedul) pengurangan utang dan masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi posisi kas perusahaan harus dipertimbangkan dalam
analisis kebijakan dividen. Kebijakan dividen yang diambil telah
memperhatikan kebutuhan dana termasuk investasi profitable. Dengan
anggapan semacam ini, kebijakan dividen yang ditempuh hanya
mempertimbangkan kelebihan dana di masa datang.
2) Likuiditas Perusahaan
Perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan akan memerlukan dana
yang cukup besar guna membiayai investasinya dibutuhkan, oleh karena
itu mungkin akan kurang likuid karena dana yang diperoleh lebih banyak
diinvestasikan pada aktiva tetap dan aktiva lancar yang permanen.
Likuiditas perusahaan sangat besar pengaruhnya terhadap investasi
perusahaan dan kebijakan pemenuhan kebutuhan dana. Keputusan
investasi akan menentukan tingkat ekspansi dan kebutuhan dana
perusahaan, sementara itu keputusan pembelanjaan (keputusan pemenuhan
kebutuhan dana) akan menentukan pemilihan sumber dana untuk
membiayai investasi tersebut.
3) Kemampuan Meminjam
Posisi likuiditas perusahaan dapat diatasi dengan kemampuan perusahaan
untuk meminjam dalam jangka pendek. Kemampuan meminjam dalam
jangka pendek tersebut akan meningkatkan fleksibilitas likuiditas
perusahaan. Selain itu fleksibilitas perusahaan juga dipengaruhi oleh
kemampuan perusahaan untuk bergerak di pasar modal dengan
mengeluarkan obligasi. Perusahaan yang semakin besar dan sudah stabil
akan memiliki akses yang lebih baik di pasar modal. Kemampuan
meminjam yang lebih besar, fleksibilitas yang lebih besar akan
memperbesar kemampuan membayar dividen.
xiv
4) Keadaan Pemegang Saham
Jika perusahaan itu kepemilikan sahamnya relative tertutup, manajemen
biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan
dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada
dalam golongan high tax dan lebih suka memperoleh capital gains, maka
perusahaan dapat mempertahankan dividen payout yang rendah. Dengan
dividen payout yang rendah tentunya dapat diperkirakan apakah
perusahaan akan menahan laba untuk kesempatan investasi yang
profitable. Untuk perusahaan yang jumlah pemegang sahamnya besar
hanya dapat menilai dividen yang diharapkan pemegang saham dalam
konteks pasar.
5) Stabilitas Dividen
Bagi para investor faktor stabilitas dividen akan lebih menarik daripada
dividen payout ratio yang tinggi. Stabilitas disini dalam arti tetap
memperhatikan tingkat pertumbuhan perusahaan, yang ditunjukkan oleh
koefisien arah yang positif. Apabila faktor lain sama, saham yang
memberikan dividen yang stabil selama periode tertentu akan mempunyai
harga yang lebih tinggi daripada saham yang membayar dividennya dalam
presentase yang tetap terhadap laba.
xv
Cash dividend merupakan arus kas keluar bagi perusahaan, oleh karena itu
bila perusahaan membayarkan dividen berarti harus menyediakan uang
kas yang cukup banyak dan ini akan menurunkan tingkat likuiditas
perusahaan. Bagi perusahaan yang kondisi likuiditasnya kurang baik,
biasanya dividend payout rationya kecil, sebab sebagian besar laba
digunakan untuk menambah likuiditas. Namun perusahaan yang sudah
mapan dengan likuiditas yang baik cenderung memberikan dividen lebih
besar.
xvi
modal sendiri yang berasal dari pemilik, dan salah satunya juga bisa
diperoleh dari internal resources berupa memperbesar laba yang ditahan.
Dengan semakin pesat perluasan yang dilakukan perusahaan semakin kecil
dividend payout rationya.
5) Kesempatan investasi
Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang memengaruhi besarnya
dividen yang akan dibagi. Semakin terbuka kesempatan investasi,
semakin kecil dividen yang dibayarkan sebab dananya digunakan untuk
memperoleh kesempatan investasi. Namun bila kesempatan investasi
kurang baik, maka dananya lebih banyak akan digunakan untuk membayar
dividen.
6) Stabilitas pendapatan
Bagi perusahaan yang pendapatannya stabil, dividenyang akan dbayarkan
kepada pemegang saham lebih besar disbanding dengan perusahaan yang
pendapatannya tidak stabil. Perusahaan yang pendapatannya stabil tidak
perlu menyediakan kas yang banyak untuk berjaga-jaga, sedangkan
perusahaan yang pendapatannya tidak stabil harus menyediakan uang kas
yang cukup besar untuk berjaga-jaga.
7) Pengawasan terhadap perusahaan
Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap
perusahaan. Apabila perusahaan mencari sumber dana dari modal sendiri,
kemungkinan akan masuk investor baru dan ini tentunya akan mengurangi
kekuasaan pemilik lama dalam mengendalikan perusahaan. Jika dibelanjai
dari hutang risikonya cukup besar. Oleh karena itu perusahaan cenderung
tidak membagi dividennya agar pengendalian tetap berada ditangannya.
xvii
Keduanya berupa mengeluarkan lembar saham baru berdasar pro rata kepada
pemegang saham sekarang, sementara aktiva perusahaan, labanya dan resiko
yang ditanggung dan pesentase kepemilikan investor dalam perusahaan
tidaklah berubah. Satu-satunya hasil yang pasti hanyalah dari baik apakah
dividen saham ataupun pemecahan saham adalah meningkatnya jumlah
lembar saham beredar.
Untuk mengilustrasikan efek dari dividen saham, asumsikan bahwa
Katie Corporation memiliki 100.000 lembar saham beredar. Keuntungan
setelah pajak perusahaan adalah $500.000 atau $5 dalam laba per saham. Pada
saat ini, saham perusahaan dijual pada price/earning 10 kali atau $50 per
lembar. Manajemen merencanakan mengeluarkan dividen saham 20%, jadi
dengan demikian pemegang saham yang memiliki 10 lembar akan menerima
tambahan 2 lembar. Kita mungkin akan dengan segera berkesimpulan bahwa
investor ini diberikan aset (dua lembar saham) senilai $100; sebagai
konsekuensi, kekayaan pribadinya akan bertambah $100. Kesimpulan ini
adalah salah. Perusahaan akan mengeluarkan 20.000 lembar aham baru
(100.000 saham x 20%). Karena $500.000 dalam keuntungan setelah pajak
tidaklah berubah, earning per share yang baru menjadi $4.167 ($500.000:
120.000 saham). Jika perkalian price/earning tetap 10, harga pasar saham
setelah dividen akan jatuh menjadi $41,67 ($4.167 earning per share x 10).
Investor sekarang memiliki 12 lembar saham dengan nilai $41,67, yang mana
menyediakan total nilai $500, maka pemegang saham tidaklah menjadi lebih
baik ataupun buruk dibanding sebelum dividen saham.
xviii
lembar saham kepada pemegang saham sekarang. Namun, untuk tujuan
akuntansi, pemecahan akuntansi didefinisikan sebagai dividen saham yang
melebihi 25 persen. Oleh karena itu, dividen saham arbitrarily didefinisikan
sebagai distribusi saham sampai dengan 25 persen dari jumlah saham
beredar sekarang.
xix
dividen saham atau pemecahan tidaklah signifikan. Oleh karena itu, kita harus
mencurigai pernyataan bahwa dividen saham atau pemecahan dapat
meningkatkan kekayaan investor.
Alasan kedua untuk dividen saham atau pemecahan adalah
pemeliharaan kas perusahaan. Jika perusahaan menghadapi masalah kas,
mereka mungkin mengganti dividen saham untuk dividen kas. Namun, seperti
sebelumnya, investor kemungkinan akan melihat di luar dividen untuk
meyakinkan alasan yang mendasari pemeliharaan kas tersebut. Jika dividen
saham adalah usaha untuk pemeliharaan kas untuk memanfaatkan kesempatan
investasi yang menarik, pemegang saham mungkin menawar tinggi harga
saham. Jika peralihan ke pemeliharaan kas berhubungan dengan kesulitan
keuangan dalam perusahaan, harga pasar akan bereaksi sebaliknya.
xx
2) Setelah pemecahan saham, jumlah saham Anda akan berubah sesuai
dengan rasio pemecahan. Dalam kasus ini, setiap 1 lembar saham akan
menjadi 2 lembar saham baru. Oleh karena itu, jumlah saham Anda
setelah pemecahan saham akan menjadi:
Jumlah saham yang Anda miliki setelah pemecahan saham = Jumlah
saham sebelum pemecahan saham × Rasio pemecahan saham
Jumlah saham yang Anda miliki setelah pemecahan saham = 100
lembar × 2
Jumlah saham yang Anda miliki setelah pemecahan saham = 200
lembar
3) Selanjutnya, kita perlu memperbarui harga per lembar saham setelah
pemecahan saham. Dalam kasus ini, setelah pemecahan saham, harga per
lembar saham akan berkurang setengah dari harga sebelumnya.
Harga per lembar saham setelah pemecahan saham = Harga per
lembar saham sebelum pemecahan saham ÷ Rasio pemecahan saham
Harga per lembar saham setelah pemecahan saham = $100 ÷ 2
Harga per lembar saham setelah pemecahan saham = $50
4) Terakhir, hitung total nilai investasi Anda setelah pemecahan saham:
Total nilai investasi Anda setelah pemecahan saham = Jumlah saham
yang Anda miliki setelah pemecahan saham × Harga per lembar
saham setelah pemecahan saham
Total nilai investasi Anda setelah pemecahan saham = 200 lembar ×
$50
Total nilai investasi Anda setelah pemecahan saham = $10,000
Dengan demikian, meskipun jumlah saham Anda telah berubah setelah
pemecahan saham, total nilai investasi Anda tetap sama yaitu $10,000.
Namun, harga per lembar saham dan jumlah saham yang Anda miliki akan
berubah sesuai dengan rasio pemecahan saham yang ditentukan oleh
xxi
perusahaan.
xxii
kepercayaan manajemen bahwa sahamnya dinilai terlalu rendah
(undervalued). Kedua, para pemegang saham mempunyai suatu pilihan ketika
suatu perusahaan membeli saham untuk menjual atau tidak menjual.
Selanjutnya, para pemegang saham harus menerima suatu pembayaran
dividen dan membayar pajak. Jika perusahaan memilih untuk
mendistribusikan kelebihan kasnya dengan pembelian kembali saham, saat itu
siapa yang tidak menginginkan kas tambahan dapat secara sederhana menahan
dalam sahamnya.
Ketiga, pembelian kembali menggerakkan para pemegang saham yang
secara favorable kurang terpengaruh dengan perusahaan, dan yang cenderung
memanfaatkan kinerja harga saham di masa mendatang. Keempat, dividen
adalah potongan dalam jangka pendek karena manajemen enggan untuk
meningkatkan dividen jika kenaikan tidak dapat dipertahankan di masa
mendatang, manajemen tidak menyukai pemotongan dividen tunai. Dengan
demikian, jika kelebihan arus kas dari satu waktu seperti penjualan dari suatu
divisi, manajemen dapat mendistribusikan kelebihan kas melalui pembelian
kembali saham lebih baik daripada dividen tunai yang tidak disukai.
Kelima, perusahaan dapat menggunakan model residual untuk
membuat suatu tingkat distribusi kas sasaran, kemudian membagi distribusi
ke dalam suatu komponen dividen dan suatu komponen pembelian kembali.
Rasio pembayaran dividen (DPR) secara relatif rendah, tetapi dividen itu
sendiri secara relatif aman, dan ini akan tumbuh sebagai hasil dari penurunan
jumlah lembar saham yang beredar. Terakhir, pembelian kembali dapat juga
digunakan untuk menghasilkan perubahan dalam skala besar dalam struktur
modal.
xxiii
dividen dan capital gains dan harga saham lebih menguntungkan daripada
pembelian kembali. Dividen tunai secara umum dependable, tetapi pembelian
kembali saham tidak. Kedua, para pemegang saham yang menjual tidak dapat
secara penuh menyadari semua implikasi pembelian kembali, atau mereka
tidak dapat mempunyai semua informasi yang berhubungan dengan aktivitas-
aktivitas perusahaan sekarang dan masa mendatang. Selanjutnya, perusahaan
biasanya mengumumkan program pembelian kembali sebelum kenaikan atas
saham untuk menghindari pemegang saham potensial yang cocok.
Terakhir, perusahaan dapat membayar dengan harga sangat tinggi
untuk pembelian kembali saham. Hal ini merupakan kerugian bagi para
pemegang saham tetapnya. Jika saham perusahaan tidak aktif diperdagangkan,
dan jika perusahaan menginginkan untuk membeli saham dalam jumlah yang
besar, kemudian harga yang ditawarkan di atas tingkat keseimbangannya dan
kemudian jatuh, maka perusahaan akan menghentikan operasi pembelian
kembalinya. Program pembelian kembali biasanya dihubungkan untuk periode
waktu yang lama (tiga sampai empat tahun).
xxiv
merugikan pemegang saham lainnya. Terakhir, pembelian lewat pasar terbuka
(open- market purchases). Perusahaan membeli lewat pialang di bursa efek
seperti layaknya investor individual. Risiko dengan metode ini, ada
kemungkinan harga menjadi sangat tinggi, dan adanya biaya komisi bagi
pialang yang harganya relatif mahal.
xxv
MILWAUKEE BUCKS harus membeli lebih tinggi maka yang terjadi adalah
kebalikkannya
xxvi
BAB II
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa dividen adalah
proporsi laba atau keuntungan perusahaan yang akan di bagikan ke pada
pemegang saham, dividen sendiri dapat di berikan langsung kepada pemegang
saham yang memiliki hak atas keuntungan perusahaan atau bisa di tahan
terlebih dahulu untuk di investasikan dengan memperhatikan tujuannya yaitu
untuk meningkatkan nilai perusahaan. Kemudian, manakah yang lebih bagus
antara dividan dan keuntungan modal, dividen mengurangi biaya transaksi
bagi investor yang mencari pendapatan stabil dari investasi mereka, karena
sistem dividen merupakan pembagian hasil yang di peroleh suatu perusahaan
kepada para pemegang sahamnya, sedangkan keuntungan modal dapat di
artikan sebagai imbal hasil yang di dapat ketika seorang investor menjual
saham dengan harga yang tinggi yang berarti keuntungan modal masih
berkaitan dengan biaya transaksi.
xxvii
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Lukas Setia. (2008). Teori dan Praktek Manajemen Keuangan. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Jogiyanto. (2000). Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi kedua. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
Keown, A. J., Martin, J. D., Petty, J. W., Scott, D. F. (2005). Manajemen Keuangan:
Prinsip-Prinsip Dasar Dan Aplikasi, Edisi Kesembilan, Jilid 2. (Alih Bahasa,
Dalimunthe, Z.). Jakarta: PT. INDEKS Kelompok GRAMEDIA.
xxviii
Warsono. (2003). Manajemen Keuangan Perusahaan, Edisi ketiga, Jilid 1. Malang:
Bayumedia Publishing.
xxix