Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PRAKTIKUM

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

“Tugas 1 : Identifikasi Faktor Abiotik”

Disusun Oleh:

Nama : Dian Novitasari

NIM : 215040200113030

Kelas : Agroekoteknologi B

Asisten Praktikum : Titis Sulistiani

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PSDKU KEDIRI

2023
1. Kondisi Wilayah Pengamatan

Gambar 1. Lokasi lahan pengamatan


Pengamatan faktor abiotik dilakukan pada hari Sabtu, 06 Maret 2023 pada
pukul 07.15 sampai 08.45. lahan area pengamatan ini terletak pada lahan yang ada di
sekitar kampus PSDKU Universitas Brawijaya Kediri, yang berada pada Jl.
Pringgodani, Mrican, Kec. Mojoroto, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Letak lahan ini
secara astronomis pada koordinat 7°46'57.3"S 111°59'55.3"E. Dari aspek topografi,
Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 meter di atas permukaan laut,
dengan tingkat kemiringan 0-40%. Dengan curah hujan tahunan di wilayah Kota
Kediri berkisar antara 1.500–2.00 mm per tahun dan jumlah hari hujan berkisar pada
80–130 hari hujan per tahun. Suhu udara di kota ini bervariasi antara 19°-32 °C
dengan tingkat kelembapan relatif berkisar antara 67%–84%.
2. Hasil Pengamatan Identifikasi Faktor Abiotik
Agrosistem merupakan suatu wilayah lokal yang didalamnya terdapat
kerjasama antar bagian biotik dan abiotik. Agroekosistem adalah suatu kondisi
dimana terdapat kerjasama antara tumbuhan, makhluk hidup dan jaringan alam.
Agroekosistem juga merupakan hasil usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dari hasil hortikultura (Kirana 2015, Resti 2015). Faktor abiotik
didalamnya juga dipengaruhi oleh faktor iklim sendiri. Faktor abiotik lingkungan
meliputi intensitas cahaya, suhu, kelembababan, kemasaman tanah, susunan gas
dalam tanah serta ketersediaan unsur hara dalam tanah (Febbiyanti, 2020).
Pengamatan identifikasi faktor abiotik ini dibagi menjadi 5 plot dalam satu lahan.
Gambar 2. Denah plot pengamatan

Untuk pengamatan suhu udara dilakukan dengan menggunakan aplikasi cuaca


asli dari handphone berdasarkan lokasi. Sedangkan untuk pengamatan intensitas
cahaya matahari menggunakan aplikasi Luxmeter yang bisa diinstal dari handphone.
Berikut ini ialah tabel data-data yang diperoleh dari 5 plot pengamatan pada lahan
yang telah ditentukan.

a. Plot 1
No. Faktor Abiotik Hasil Pengamatan
1. Suhu 27˚ C
2. Intensitas cahaya matahari 2370

b. Plot 2
No. Faktor Abiotik Hasil Pengamatan
1. Suhu 26˚ C
2. Intensitas cahaya matahari 14655

c. Plot 3
No. Faktor Abiotik Hasil Pengamatan
1. Suhu 24˚ C
2. Intensitas cahaya matahari 9000

d. Plot 4
No. Faktor Abiotik Hasil Pengamatan
1. Suhu 24˚ C
2. Intensitas cahaya matahari 2399

e. Plot 5
No. Faktor Abiotik Hasil Pengamatan
1. Suhu 27˚ C
2. Intensitas cahaya matahari 5020
Berdasarkan dari data-data diatas bahwa dapat disimpulkan jika setiap
plot memiliki intensitas cahaya matahari dan suhu yang berbeda, namun pada
intensitas cahaya sebagian besar plot memiliki suhu berkisar 24-27˚ C.
Perbedaan ini terjadi karena mungkin kurangnya keakuratan dalam mengambil
data-data tersebut. Akan tetapi dari data-data suhu diatas termasuk suhu yang
stabil, sehingga meskipun berbeda beda namun tidak menyebabkan laju
pertumbuhan tanaman yang ada disekitar lahan berkurang. Suhu tersebut
justru cocok dan dapat optimum dalam pertumbuhan tanaman sendiri.
3. Strategi yang Dilakukan Petani Untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi
perubahan iklim terutama untuk dampak negatifnya tentu berbeda di setiap
wilayahnya. Penelitian terkait strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat telah
dilakukan oleh Ahmed dan Haq (2019), yang dilakukan di Bangladesh sebagai
salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Penelitian ini
merupakan upaya untuk menilai bagaimana masyarakat adat berpikir tentang
perubahan iklim, mengelola sumber daya hutan mereka, dan mengadopsi
berbagai strategi untuk mengatasi mengurangi dampak negatif dari perubahan
iklim. Diversifikasi tanaman, memodifikasi periode penanaman dan panen, dan
jangka pendek musim tanam adalah strategi yang paling umum digunakan
untuk meningkatkan produksi pertanian.
Hal ini juga didukung dari penelitian yang telah dilakukan oleh
Shrestha., et al (2017), di Thailand. Hasil penelitian menujukkan bahwa petani telah
menanggapi dampak yang dirasakan dengan mengubah praktek pertanian yang
tergantung pada jenis tanaman. Penyesuaian waktu tumbuh dengan penundaan
penanaman satu hingga empat berminggu-minggu ditemukan untuk padi, jagung dan
kacang-kacangan, dan bahkan mengubah tanaman dalam beberapa kasus. Sebagian
petani telah mencoba berbagai praktik dengan meningkatkan aplikasi pupuk,
mempraktikkan penanaman campuran dan menunda panen, membangun air struktur
pemanenan di daerah tangkapan air, penjatahan air, dan perlindungan hutan. Upaya
para petani untuk mengatasi masalah penurunan ketersediaan air diadaptasi langkah-
langkah sebagian besar mengatasi masalah kesuburan dan penurunan hasil panen
dibandingkan dengan kelangkaan air.
Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Soriano., et al (2017), yang
dilakukan di Filipina Utara. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya pengetahuan
dan budaya tradisional dalam adaptasi perubahan iklim, dan lebih diyakini dapat
meningkatkan kapasitas adaptasi internal sambil menangani sumber yang lebih luas
kerentanan komunitas. Penelitian ini mengungkapkan bahwa selain dari perubahan
iklim, kepedulian mereka terhadap berkurangnya ketersediaan tenaga kerja untuk
pemeliharaan adat lokal. Hal ini karena ketidaktertarikan kaum muda dalam
pekerjaan bertani. Tren ini terkait dengan disintegrasi tradisional pengetahuan
yang membantu sawah tumbuh subur. Secara keseluruhan, strategi adaptasi petani
yang dirasa lebih efektif yaitu sistem pengetahuan tradisional dan menanamkan
kembali minat dan kebanggaan dalam pertanian di antara para petani generasi muda.
Selain strategi yang murni dari masyrakat, dukungan pemerintah dalam
adaptasi masyarakat juga turut berperan untuk menghadapi perubahan iklim. Hal isi
sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Uddin, 2014). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi petani dalam mengadopsi
strategi adaptasi perubahan iklim ialah teknologi (misalnya, varietas tahan terhadap
salinitas dan kekeringan), kredit dan input seperti biji, pupuk, pestisida, dan irigasi
harus tersedia secara lokal untuk petani. Mekanisme kebijakan yang mendukung
pengembangan infrastruktur terkait, memungkinkan dapat menghema tbiaya ke
input pertanian, dan mensubsidi investasi awal baik secara langsung atau melalui
intervensi pasar kredit. Perbaikan dalam hal inifaktor-faktor dapat menyebabkan
peningkatan hasil produksi dan pendapatan yang lebih besar, memungkinkan ada
adaptasiyang lebihterhadap efek perubahan iklim di masa depan
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M. N. Q., dan S. M. A. Haq. 2019. Indigenous people’s perceptions about


climate change, forest resource management, and coping strategies: a comparative
study in Bangladesh. Environ Dev Sustain, 21(1): 679-708.

Febbiyanti, T. R. (2020). Pengaruh faktor abiotik terhadap perkembangan penyakit karet


dan metode peramalan epidemi. Warta Perkaretan, 39(2), 95-114.

Kirana, C. (2015). Distribusi Spasial Arthropoda pada Tumbuhan Liar di Kebun Biologi
Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang. Bioeksperimen, 1 (2): 9-21

Nurhayati, D., Dhokhikah, Y., & Mandala, M. (2020). Persepsi dan strategi adaptasi
masyarakat terhadap perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara. Jurnal Proteksi:
Jurnal Lingkungan Berkelanjutan, 1(1), 39-44.

Resti, V.D.A. (2015). Distribusi Temporal Arthropoda pada Tumbuhan Liar Centella
asiatica L. di Kebun Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang.
Bioeksperimen, 1 (2), 1-8.

Shrestha, R. P.m N. Chaweewan., dan S, Arunyawat. 2017. Adaptation to Climate


Change by Rural Ethnic Communities of Northern Thailand. Climate, 5(57): 1-16.

Soriano, M., Johanna D., dan S. Herath. 2017. Local perceptions of climate
change and adaptation needs in the Ifugao Rice Terraces (Northern Philippines).
JmtSci, 14(8): 1455-1472.

Uddin, M. N., W. Bokelman, dan J. S. Entsminger. 2014. Factors Affecting Farmers’


Adaptation Strategies to Environmental Degradation and Climate Change
Effects: A Farm Level Study in Bangladesh. Climate, 2(1): 223-241.

Anda mungkin juga menyukai